Jumat, 10 September 2010

Tarian Rumi

Setiap atom menari di darat atau di udara
Sadari baik-baik, seperti kita, ia berputar-putar tanpa henti di sana
Setiap atom, entah itu bahagia atau sedih,
Putaran matahari adalah ekstase yang tak terperikan

Shalawat disenandungkan, gendang mulai bertabuh, seruling ney mulai ditiup. Sekelompok darwis mengenakan atribut yang seragam. Topi yang memanjang ke atas, jubah hitam besar, baju putih yang melebar di bagian bawahnya seperti rok, serta tanpa alas kaki. Mereka membungkukkan badan tanda hormat lalu mulai melepas jubah hitamnya. Posisi tangan mereka menempel di dada, bersilang mencengkram bahu. Di tengah-tengah mereka tampak seorang Syaikh, yang berperan sebagai pemimpin. Jubah hitam tetap ia kenakan. Ia maju mengambil tempat. Kini giliran syaikh tersebut membungkukkan badannya pada darwis lainnya, mereka pun balas menghormat.
Sekelompok darwis itu kemudian membentuk barisan. Satu per satu maju. Setelah sang pemimpin memberi restu, maka ritual pun dimulai.
Tangan-tangan masih menyilang di bahu. Kaki-kaki yang telanjang mulai merapat. Lalu dimulailah gerakan berputar yang lambat, dengan tumit kaki dijadikan sebagai tumpuan secara bergantian, sementara kaki yang satunya sebagai pemutar. Perlahan-lahan tangan dilepas dari bahu dan mulai terangkat. Gerakan tangan yang anggun itu berangsur membentuk posisi horizontal. Telapak tangan kanan menghadap ke atas, yang kiri ke bawah.




Lukisan abad 17 yang menunjukan upacara dervish di India

Semakin lama gerakan semakin cepat, selaras dengan ketukan irama yang mengiringinya. Mata-mata itu nampak semakin sayu, sebagian terpejam. Kepala mereka semakin condong ke salah satu pundaknya. Semakin cepat putaran, rok-rok putih yang mereka kenakan semakin mengembang sempurna laksana payung yang terbuka. Orang-orang itu semakin larut. Suasana magis seolah tercipta.
Gendang belum berhenti bertabuh, ney(8) masih mengalun syahdu. Tanpa isyarat dari sang pemimpin ritual untuk berhenti, mereka akan terus melambung dalam keadaan ekstase.
Posisi tangan yang membentang secara simbolik menunjukkan bahwa hidayah Allah diterima oleh telapak tangan kanan yang terbuka ke atas, lalu disebarkan ke seluruh makhluk oleh tangan kiri. Ini merepresentasikan sebuah penyerahan dan penyatuan dengan Tuhan.
Atribut yang dikenakan juga merupakan metafora yang menyimpan makna. Topi Maulawi –yang biasanya berwarna merah atau abu-abu– melambangkan batu nisan ego, jubah hitam sebagai simbol alam kubur yang ketika dilepaskan melambangkan kelahiran kembali menuju kebenaran, baju putih adalah kain kafan yang membungkus ego, dan ney melambangkan jiwa yang dinafikan dari diri, digantikan dengan Jiwa Ilahi. Seruling buluh ini juga melambangkan terompet yang ditiupkan malaikat di hari kebangkitan untuk menghidupkan kembali orang yang mati. Karpet merah yang biasa diduduki oleh sang syaikh melambangkan keindahan matahari dan langit senja, yang waktu itu menghiasi kepergian Rumi untuk selamanya.
Samâ' bukanlah sembarang tarian, melainkan tarian yang memuat konsep spiritual didalamnya. Samâ' bisa dikatakan sebagai sebuah metode intuitif untuk membimbing setiap Individu untuk membuka jalan jiwanya menuju Tuhan. Ketika akal pikiran tak sanggup lagi menjangkau Tuhan, maka metode semacam ini ditempuh.
Dalam samâ', putaran tubuh mengibaratkan elektron yang bertawaf mengelilingi intinya menuju sang Maha Kuasa. Harmonisasi perputaran di alam semesta, dari sel terkecil hingga ke sistem solar, dimaknai sebagai keberadaan Sang Pencipta. Pikirkan ciptaan-Nya, bersyukur dan berdoalah. “Bertasbih kepada Allah apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi; hanya Allah lah yang mempunyai semua kerajaan dan semua pujian, dan Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu .” QS. 64:1.

Akhirnya kita saksikan sang pemimpin mulai berdiri. Tabuhan gendang terdengar dipercepat, seiring itu putaran tubuh pun semakin kencang. Kemudian syaikh itu memberikan isyarat untuk berhenti. Seketika itu musik dan para penari pun berhenti. Dan pertunjukan pun berakhir. Tanpa tepuk tangan, karena samâ' bukanlah sebuah pagelaran seni.
Dengan berputarnya tubuh yang berlawanan dengan arah jarum jam, para penari merangkul kemanusiaan dengan cinta. Manusia diciptakan dengan Cinta untuk mencinta. “Semua cinta adalah jembatan menuju Cinta. Siapa saja yang tak merasakannya tak akan tahu,” demikian kata Rumi .
Makam Rumi di Konya dikelola oleh pemerintah Turki sebagai obyek wisata. Setiap tahunnya, terutama antara tanggal 2-17 Desember, ribuan peziarah dari delapan penjuru mata angin berkunjung, menyaksikan para pengikut Maulawi berputar untuk memperingati “malam penyatuan”, malam di mana sang guru tercinta wafat.
Mausoleum Konya menyimpan kenangan. Saksi bisu sejarah tatkala ujaran sang penyair agung mengisi lembar peradaban luhur Islam melalui karya estetisnya, menjadi sumber inspirasi yang membakar jiwa para pecinta di segenap penjuru dunia.

Seperti gelombang di atas putaran kepalaku,
maka dalam tarian suci Kau dan aku pun berputar
Menarilah, Oh Pujaan Hati,
jadilah lingkaran putaran
Terbakarlah dalam nyala api-bukan dalam nyala lilin-Nya

Rumi

Dengan berputarnya tubuh yang berlawanan dengan arah jarum jam, para penari merangkul kemanusiaan dengan cinta.
Bahwa Tuhan menciptakan dan memberikan Cinta itu menjadi sebuah inti dari semua cinta, yang dapat menghilangkan semua batasan (batasan baik itu agama, budaya, ataupun ras). Di antara semua makhlukNya. Sehingga mereka dapat mencintai semua mahkluk manusia, dan mencintai mahkluk yang lain. Dan itu dapat menjadi sebuah obat untuk menyembuhkan penyakit individualis dan egoism dalam diri manusia.


Lukisan whirling dervishes di tekke di Konstantinopel pada abad 18

Dan Rumi telah menterjemahkan itu semua dalam kesempurnaan bentuk, baik secara ucapan dalam bentuk puisi dan tarian Sema dalam putaran jasad. Untuk dirinya merasakan cinta itu, dan membagikan cinta itu kepada makhluknya.
Perlu disampaikan, bahwa penjelasan ini tidak bermaksud mengajak pembaca untuk menari di hadapan Tuhan, apalagi menganggapnya sebagai ritual yang sejajar dengan shalat, puasa, haji, dan sebagainya. Cerita Cinta ini sekadar untuk memperkenalkan khazanah keislaman yang dibawa oleh seorang Mawlana Jalaluddin Rumi, yang masyhur bukan saja di Timur, tapi juga di Barat.
Terlepas dari keberatan sebagian ulama fikih yang memandang musik dan tarian sebagai sesuatu yang diharamkan secara syariat, jalan spiritual melalui tasawuf –yang notabene sering menggunakan musik dan tarian sebagai media– telah memberikan sumbangan yang sangat berarti bagi peradaban Islam. Terlebih, dalam prakteknya tasawuf mampu memainkan peranan sebagai obat bagi penyakit spiritual yang dilanda manusia modern yang semakin teralienasi dari poros eksistensi.

Amalan Yang Sia-sia

Bismillaahirrohmaanirrohiim,Harus kita akui bahwa kita ini hanya pandai menjalankan ibadah tapi sekali-kali tidak pernah mau ambil perduli terhadap kwalitas ibadah kita.Apakah sudah diterima Allah ataukah tertolak dan dianggap sia-sia.Justru yang paling kita perhatikan adalah mengusahakan semaksimal mungkin hasil yang optimal dari pekerjaan atau karya-karya kita.Karena pekerjaan atau hasil karya yang tidak maksimal dan tidak berkwalitas, jelas tidak akan dibeli orang atau tidak akan dihargai orang lain.Dari sini saja sudah sangat jelas bahwa keimanan kita terhadap hari akhirat (rukun Iman ke 5), masih kalah dengan keyakinan kita kepada dunia.Oleh sebab itu sangat pantas jika setelah mengerjakan sholat atau ibadah ritual lainnya, kita tidak merasakan hasil apapun.Jika tidak membawa manfaat atau tidak merubah sikap kita menjadi lebih baik, maka inilah tanda-tanda amal perbuatan yang sia-sia.Rasulullah saw bersabda : “ Jika didepan rumahmu ada sungai yang airnya mengalir jernih lalu kamu mandi didalamnya 5 kali sehari, apakah badanmu masih kotor ? “Para sahabat menjawab : “ Tidak ya Rasul “Nabi saw. melanjutkan : “ Demikian juga dengan sholat “.Jika seseorang mandi lima kali sehari tapi badannya masih kotor, berarti mandinya seperti bebek.Jika seseorang sholat lima kali sehari tapi hatinya masih kotor dan berpenyakit, berarti sholatnya belum memenuhi standar kwalitas yang baik.Sholat adalah pembersih diri (jiwa), bukan pekerjaan yang mengharapkan imbalan.Dengan demikian, sholat harus ditegakkan diatas kehinaan dan kotornya diri dihadapan Kemuliaan dan Kesucian Allah.Jika sholat ditegakkan diatas kebesaran dan kesucian diri, merasa sudah patuh, menyangka sudah mengabdi dsb, maka sholat seperti ini akan membuahkan tuntutan kepada Allah berupa balas jasa, yaitu mengharap rejeki atau balasan pahala dan surga.Diibaratkan seseorang yang merasa mempunyai keahlian dibidang computer.Maka ketika dia diminta bekerja di sebuah perusahaan, pasti dia akan menuntut gaji yang sesuai dengan kemampuannya.Jika tidak sesuai, dia pasti menolak. Berbeda dengan orang yang tidak punya keahlian apapun selain hanya mengandalkan kekuatannya, maka gaji dengan standar terendahpun dia mau.Nah, contoh seperti ini memang wajar dan sangat layak.Tetapi yang sangat tidak wajar adalah meminta (menuntut) balasan surga atas ketaatannya dalam memenuhi Seruan Allah.Padahal dia tidak mempunyai keahlian dalam hal ketaatan.Kalaupun dia memiliki sikap taat dan patuh, kalaupun dia memiliki kemampuan atau kekuatan dalam menjalankan seruan Allah, semuanya itu adalah ‘Pemberian’ Allah.Karena manusia hakikatnya tidak mempunyai daya dan kemampuan apapun (Laa haula walaquwwata illabillaah).Rasulullah saw. bersabda : “ Kalian tidak akan masuk surga karena amalmu “Para sahabat bertanya : “ Apakah engkau demikian juga wahai Rasul ? “Rasul saw. menjawab : “ Benar, kecuali karena Allah telah memberikan Rahmat Nya kepadaku “.Surga bukan ‘haknya’ orang-orang yang taat, tetapi Hak Nya Allah yang diberikan kepada orang yang taat dan di Kehendaki Nya.Dengan demikian, ketaatan seseorang kepada Tuhannya adalah tanda-tanda orang itu akan masuk surga, bukan sebagai jaminan yang pasti.Hal ini dimaksudkan agar orang-orang yang taat tidak merasa bangga karena amalnya.Apalagi sampai memfonis orang yang tidak taat sebagai ahli neraka.Allah lah yang berhak memfonis dan memutuskan karena Dia ber Sifat Al Hakim.Kita bukalah tuhan yang berhak memutuskan, kita hanyalah sekedar diberi peringatan dan pelajaran bahwa itulah tanda-tanda orang yang akan masuk neraka.Nah jadi, jika sholat ditegakkan diatas kehinaan diri dan banyaknya dosa, maka dia tidak mengharapkan balasan apapun kecuali kemuliaan akhlak dan bersihnya diri dari dosa-dosa.Inilah batas wajar yang diminta seorang abdi yang tidak berdaya kepada Tuhannya.Oleh sebab itu sebagai hamba yang baik, kita tidak cukup hanya sekedar ‘merasa’ banyak dosa, tetapi yang lebih utama adalah mengetahui dan menyadari bahwa kita benar-benar banyak sekali dosanya dihadapan Allah, lalu berusaha untuk membersihkannya.Dengan demikian kita tidak hanya ‘fasih’ mengucap ‘ Istighfar ‘ dimulut saja yang tidak menghasilkan penyesalan sedikitpun, tetapi benar-benar penyesalan yang menyentuh hati.Disinilah ‘maknanya’ ber wudlu’ (bersuci), yaitu membersihkan diri dari najis atau kotoran-kotoran yang melekat didalam hati.Nah, jadi sholat tidak hanya sekedar dikerjakan, tetapi harus membuahkan hasil.Jika sholat tidak bisa menjauhkan kita dari perbuatan keji dan munkar, jika sholat masih tidak mampu membersihkan hati kita, ucapan dan perbuatan kita, maka itulah amal perbuatan yang merugi.“ Katakanlah: "Apakah akan Kami beritahukan kepadamu tentang orang-orang yang paling merugi perbuatannya?". Yaitu orang-orang yang telah sia-sia perbuatannya dalam kehidupan dunia ini, sedangkan mereka menyangka bahwa mereka berbuat sebaik-baiknya. Mereka itu orang-orang yang kufur terhadap ayat-ayat Tuhan mereka dan (kufur terhadap) perjumpaan dengan Dia. Maka hapuslah amalan-amalan mereka, dan Kami tidak mengadakan suatu penilaian bagi (amalan) mereka pada hari kiamat “ S. Al Kahfi 103-105.Salah satu bahaya yang tidak disadari umat Muslim adalah sudah merasa cukup dengan ibadahnya, sudah merasa cukup dengan sholat yang dikerjakannya.Orang yang sudah merasa cukup dengan ibadahnya, maka dia cenderung berpuas diri dan tidak ada upaya untuk meningkatkan kwalitas ibadahnya.“…sedangkan mereka menyangka bahwa mereka berbuat sebaik-baiknya…”Amal ibadah yang hanya ‘disangka’ baik, sesungguhnya adalah bisikan-bisikan setan yang memperdaya kita.“ Dan ketika syaitan menjadikan mereka memandang baik pekerjaan mereka…” S. Al Anfaal 48.Jangan dikira kalau kita sudah sholat, sudah berzakat, sudah berpuasa atau bahkan berhaji maka kita tidak akan digoda setan.Pekerjaannya setan justru menggoda orang-orang yang taat beribadah.Pekerjaannya setan malah memancing emosi orang-orang yang sabar.Sedangkan orang yang tidak taat kepada Allah, mereka adalah pengikut setia setan sehingga setan tidak perlu menggodanya lagi.Jadi amal ibadah yang ikhlas tidak cukup hanya disangka, tidak cukup hanya dikira-kira, tetapi harus dibuktikan kebaikannya melalui hasil yang dapat kita rasakan.Salah satu tanda bukti bahwa amal ibadah itu dikatakan baik adalah : senang menjauhkan diri dari perbuatan yang keji dan munkar, serta dengan senang hati menolong kaum yang lemah, dengan senang hati menerangi sesamanya yang kegelapan.Diibaratkan seperti bulan purnama, maka terangnya bulan itu tidak hanya bermanfaat untuk menerangi dirinya (sang bulan) saja, tapi juga mampu menerangi bumi yang kegelapan.Asalkan belahan bumi yang gelap itu menghadap kepadanya.Tapi bagi belahan bumi yang membelakanginya (ingkar), tetap saja dia dalam kegelapan.Seorang mukmin yang amal ibadahnya ikhlas karena Allah (mukhlis),… terangnya hati, tenangnya jiwa dan lapangnya dada, tidak hanya dia nikmati seorang diri, tetapi amal shalehnya itu memancar keluar sehingga mampu menerangi saudaranya yang kegelapan.Asalkan orang-orang disekitarnya mau percaya kepadanya.Bagi orang-orang yang ingkar kepadanya, tetap saja hatinya gelap karena iri dan dengki.Itulah para ulama’ (terutama ulama’ salaf) dan orang-orang saleh yang tidak menampakkan diri didepan umum.Mereka itulah Al Qur’an (ayat-ayat Allah) yang bisa berjalan.Mereka itulah bulan purnama yang patut kita teladani dan kita mintai fatwa-fatwanya.Mengapa (sebagian dari) mereka tidak menonjolkan diri dimuka umum ?Diantaranya karena mereka takut riya’ yang berbuah pada sikap ujub dan takabur.Rasulullah saw. bersabda : “ Sesungguhnya yang sangat aku takutkan pada kalian semua adalah ‘syrkul asyqor’ (syrik halus) “.Para sahabat bertanya : “ Apa itu ya Rasul “Rasul saw. menjawab : “ Itulah riya’ “.Walaupun para sahabat Nabi saw. adalah pribadi-pribadi yang dapat diandalkan, tetapi selagi masih berpredikat sebagai manusia, tidak ada jaminan bahwa mereka akan bebas dari tipu daya setan yang sangat halus, salah satunya adalah riya’.Secara umum, pengertian riya’ adalah : memamerkan kebaikan kepada orang lain.Apa tujuannya ?Tidak lain adalah untuk mendapat pengakuan dari orang lain atau mengharapkan pujian.Jika seseorang mengharap pengakuan atau pujian dari orang lain atas amal perbuatannya, maka dibalik itu dia menyimpan hasrat yang tersembunyi.Yaitu agar eksistensinya diakui orang lain, agar dipercaya dan dianggap penting, serta agar orang yang mendengarkannya, mau menjadi pengikut setianya.Dengan kata lain, dia mempromosikan diri untuk menjadi orang yang terpercaya atau menjadi penguasa yang menguasai orang-orang yang mendengarkan promosinya.Jika sudah berhasil, akan muncul sikap bangga diri (ujub), yaitu kesombongan yang halus. Tanpa sadar orang-orang seperti ini telah meng-klaim dirinya sebagaimana Sifat-Sifat Nya Allah Yang Maha Besar dan Maha Kuasa.Inilah cirri khas manusia yang ingin dianggap besar dan penting serta ingin dihormati oleh orang lain.Sangat berbeda dengan orang-orang mukmin sejati yang menganggap dirinya hina dan tidak berarti apa-apa tanpa adanya daya dan kemampuan dari Allah.Sebagaimana bulan purnama yang tidak mampu bersinar terang tanpa adanya pancaran sinar matahari.Pada hakikatnya yang bersinar adalah matahari.Bulan hanyalah sekedar memantulkan cahaya matahari.Pada hakikatnya yang memiliki Sifat-Sifat Kebaikan hanyalah Allah, manusia hanyalah sekedar pantulan cahaya kebaikan dari Allah.“ Dan dikatakan kepada orang-orang yang bertakwa: "Apakah yang telah diturunkan oleh Tuhanmu?" Mereka menjawab: "(Allah telah menurunkan) kebaikan". Orang-orang yang berbuat baik di dunia ini mendapat (pembalasan) yang baik. Dan sesungguhnya kampung akhirat adalah lebih baik dan itulah sebaik-baik tempat bagi orang yang bertakwa, “ S. An Nahl 30.Yang dimaksud Orang-orang yang berbuat baik adalah orang yang beramal saleh, yaitu orang yang mengetahui dan melanjutkan ‘Kebaikan’ dari Allah untuk kebaikan bersama.Inilah jenis orang-orang yang bersyukur kepada Allah.“ Sesungguhnya Kami telah menunjukinya jalan yang lurus; ada yang bersyukur dan ada pula yang kafir “ S. Al Insaan 3.Yang dimaksud ‘Petunjuk kejalan yang lurus’ adalah termasuk apapun perbuatan baik yang semata-mata hanya ditujukan kepada Allah.Bukan mengharapkan imbalan atau pujian atas kebaikan yang dilakukannya.Dari sini menjadi jelas bahwa apa yang dimaksud “…..Mereka itu orang-orang yang kufur terhadap ayat-ayat Tuhan mereka dan (kufur terhadap) perjumpaan dengan Dia….” Adalah orang yang mengakui kebaikan dari Allah sebagai kebaikannya sendiri.Inilah amal yang sia-sia dan “…Maka hapuslah amalan-amalan mereka, dan Kami tidak mengadakan suatu penilaian bagi (amalan) mereka pada hari kiamat “.Amal kebaikan apapun, adalah ayat-ayat Tuhan, adalah tanda bukti Kebesaran Tuhan yang dipantulkan melalui manusia, bukan hasil dari usaha manusia itu sendiri.Orang beriman adalah orang yang sangat yakin bahwa kebaikan apapun yang dia lakukan adalah datangnya dari Allah.Bukan karena ikhtiarnya, bukan karena ilmunya.Oleh sebab itu dia sangat malu apabila kebaikannya dipuji orang lain, apalagi sampai mendapat imbalan berupa materi duniawi.Orang awam sangat pandai menyanjung bulan yang bersinar terang padahal sesungguhnya yang bersinar terus menerus adalah matahari.Sinar bulan hanyalah pantulan sinar matahari.Mengapa orang hanya pandai menyanjung bulan yang bersinar ?Karena yang terlihat (oleh mata lahir) bersinar pada malam hari adalah bulan, sedangkan matahari tidak menampakkan diri.Orang awam amat pintar memuji dirinya (bangga diri) dan sangat pandai memuji kebaikan seseorang, karena mereka hanya melihat kebaikan dirinya dan kebaikan seseorang itu dari sisi lahiriahnya saja.Tapi hatinya tidak mengetahui siapa Yang berada dibalik itu.Oleh karena itu jangan heran jika mereka dipuji, mereka bangga bukan main.Tapi jika mereka dicaci, mereka melemparkan kesalahan kepada orang lain.Dan jika mereka mendapat kebaikan (rejeki) dari seseorang mereka memuji-muji orang itu setinggi langit.Tapi sebaliknya jika mendapat musibah yang disebabkan oleh kesalahan orang lain, mereka mencaci-maki, menghujat bahkan menuntut balas.Ini berarti, mereka tidak bersyukur atas nikmat dari Allah, dan tidak bersabar atas ujian yang hakikatnya juga datang dari Allah.“ Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar, (yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan, "Innaa lillaahi wa innaa ilaihi raaji`uun" S, Al Baqoroh 155-156.Salah satu pengertian bertauhid (meng- Esakan Allah) adalah memahami dan meyakini bahwa Perbuatan (Af ‘al) Nya Allah itu adalah satu, yaitu dalam wujud Kesempurnaan.Hanya saja setelah turun ke alam dunia (alam sebab akibat), maka dia terbagi menjadi dua, yaitu berupa kebaikan dan keburukan, berupa rejeki yang terasa nikmat dan musibah yang terasa menyakitkan.“ Sesungguhnya Kami telah menunjukinya jalan yang lurus; ada yang bersyukur dan ada pula yang kafir “Diumpamakan air hujan yang turun kebumi, ada yang bersyukur atas kedatangannya dan ada pula yang membenci.Para petani padi adalah orang-orang yang sangat senang dengan datangnya hujan.Sebaliknya para petani garam, adalah orang-orang yang sangat tidak menyukainya.Nah, orang yang benar-benar bersyukur, akan memfokuskan perhatiannya kepada Sang Pemberi nikmat, bukan terfokus pada nikmatnya.Karena itu dia tidak meluapkan kegembiraannya seperti orang-orang pada umumnya.Bahkan orang-orang seperti ini amat waspada dan berhati-hati terhadap rejeki dari Allah yang berupa materi duniawi.Karena apabila dia menerimanya dengan senang hati, maka Allah tidak memberinya rejeki ukhrowi (hidayah) sehingga membuat hatinya menjadi susah dan gelisah.Perlu disadari bahwa Allah menciptakan makhluk Nya berpasang-pasangan.Jika Allah menciptakan (memberikan) kegembiraan lahiriah pada seseorang, maka Allah pun menciptakan kesedihan kepada batiniahnya.“ Barangsiapa yang menghendaki kehidupan dunia dan perhiasannya, niscaya Kami berikan kepada mereka balasan pekerjaan mereka di dunia dengan sempurna dan mereka di dunia itu tidak akan dirugikan. Itulah orang-orang yang tidak memperoleh di akhirat, kecuali neraka dan lenyaplah di akhirat itu apa yang telah mereka usahakan didunia dan sia-sialah apa yang telah mereka kerjakan“ S. Huud 15-16.Orang yang tidak memperoleh keselamatan diakhirat adalah orang yang sewaktu didunia tidak mendapatkan hidayah (petunjuk kejalan yang lurus).Inilah bahayanya jika rejeki duniawi diterima dengan hawanafsu.Maka orang yang menerimanya cenderung membelanjakannya untuk kepuasan nafsunya.Tetapi jika orang menerima rejeki itu dengan hati nurani (qolbu) nya, maka ada dorongan yang kuat untuk membelanjakannya dijalan Allah (berkorban).Memang berkorban itu menyakitkan hati (nafsu), tetapi sesungguhnya dibalik itu dia akan dapat menentramkan qolbu.Jadi yang termasuk sia-sia amalnya adalah orang yang walaupun dia menyembah Allah, tetapi hatinya mengharapkan balasan duniawi karena kecintaannya kepada dunia.“ Barangsiapa yang menghendaki kehidupan dunia dan perhiasannya…..”. Orang yang menghendaki atau mengharapkan dunia, jelas dihatinya ada rasa senang dan kecintaan yang amat besar kepada dunia.Memang tidak dilarang manusia mencintai dunianya, tetapi jika kecintaannya itu melebihi kecintaannya kepada hari akhirat, maka jelas dia lebih mengutamakan dunianya dari pada akhiratnya.Jelas dia lebih mengutamakan jasmaninya dari pada rohaninya.“…..Kamu menghendaki harta benda duniawiyah sedangkan Allah menghendaki (pahala) akhirat (untukmu). Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana “ S. Al Anfaal 67.Nah, mengapa amal orang-orang seperti ini digolongkan amal yang sia-sia ?Karena lahiriahnya menyembah Allah tetapi hatinya cinta dan berharap selain Allah (dunia).Inilah tanda-tanda sifat munafik.Orang yang jujur dan jika hatinya menyenangi sesuatu, pasti ucapan dan perbuatannya selalu mengarah kepada apa yang disenanginya.Tetapi orang munafik, dia menyembunyikan apa yang terkandung didalam hatinya lalu dibungkus dengan ucapan yang menarik hati atau amal perbuatan yang baik.“ Sesungguhnya orang-orang munafik itu menipu Allah, dan Allah akan membalas tipuan mereka. Dan apabila mereka berdiri untuk shalat mereka berdiri dengan malas. Mereka bermaksud riya (dengan shalat) di hadapan manusia. Dan tidaklah mereka menyebut Allah kecuali sedikit sekali “ S. An Nisaa’ 142.Sifat dan perbuatan munafik, timbul dari keinginan hati terhadap hal-hal yang bersifat menyenangkan, yang enak-enak, yang mudah-mudah, ingin dipuji dsb.Orang yang selalu ingin dipuji, dia akan lari dari tanggung jawab atas kesalahan yang diperbuat nya, atau membuat dalih dan alasan-alasan (mencari kambing hitam).Mengapa demikian ?Karena dia tidak ingin disalahkan dan selalu ingin pujian.Nah, orang yang selalu ingin pujian dari makhluk, maka dia tidak mendapatkan pujian dan kemuliaan dari Allah.Inilah orang-orang yang menginginkan kebesaran diri didunia, tetapi sesungguhnya dia akan mendapatkan kehinaan diakhirat.Dan inilah orang-orang yang tampak besar dan mulia penampilan lahiriah dan ucapan-ucapannya, sedangkan batiniahnya kerdil dan penuh dengan kotoran.Wallahu ‘alam bishowaab.

AMALAN TASAWUF & SYARI’AT

Seluruh pengamal tasawuf yang mengamalkan pengamalan tarikat muktabarah sepakat bahwa landasan utama peramalan itu adalah pengamalan syariat yang kuat. Semua lembaga tarikat Muktabarah berlandaskan Ahlus Sunnah wal Jama'ah yang sangat menekankan pengamalan syariat yang sempurna, adalah satu-satunya jalan untuk berhasilnya pengamalan tarikat itu. Sementara ada sebagian orang yang berpura-pura mengaku pengamal tasawuf tapi tidak mengamalkan syariat, mengatakan mereka telah sampai ke tingkat yang tinggi, telah sampai ke tingkat musyahadah yang dibuktikan dengan beberapa kekeramatan-kekeramatan.


Pengakuan yang demikian ini adalah sesat, karena sangat bertentangan dengan Al Qur'an dan Al Hadis, dan tidak sesuai dengan aliran Ahlus Sunnah wal Jamaah dan berbeda atau sangat bertentangan dengan kenyataan yang dilaksanakan oleh para tokoh sufi pengamal tarikat Al Muktabarah. Pengakuan-pengakuan yang demikian ini umumnya datang dari orang yang berpura- pura pengamal tasawuf atau datang dari pihak-pihak yang tidak senang kepada jalan yang ditempuh oleh para sufi.

Para sufi menekankan peramalannya harus didasarkan kepada at Taslim (penyerahan diri sepenuhnya kepada Allah SWT), At Tafwidh (berserah diri sepenuhnya kepada Allah SWT), At Tabarri Minan Nafsi (Pembebasan diri dari hawa nafsu), dan At Tauhid bil Khalqi wal Masyi'ah (mengesakan hanya Allah sajalah yang Maha Pencipta dan Maha Berkehendak).

Berbeda dengan golongan Qadariah yang mendasarkan peramalannya kepada Al Fi'lu (perbuatan adalah kehendak yang bersangkutan), al Masyi'ah (semua kehendak adalah kehendak yang bersangkutan), al Khalqah (semua yang diciptakan adalah ciptaan yang bersangkutan) dan at Takdir (semua takdir itu tergantung kepada yang bersangkutan). Mereka ini semuanya, mendasarkan apa saja yang mereka lakukan tergantung kehendak mereka.

Di dalam Al Qur'an banyak sekali dalil yang menunjukkan kebenaran landasan peramalan para sufi tersebut. Hasilnya pun kelihatan dengan pengamalan yang sungguh-sungguh yang didasarkan kepada syariat yang kuat, para sufi memperoleh kesenangan, kemanisan dalam beriman dan beribadat, ketentraman dan ketenangan. Apa yang diperoleh para sufi ini merupakan buah, hasil ibadatnya yang merupakan rahmat dari Allah SWT. Apa yang diperoleh oleh para sufi ini belum tentu, atau bahkan kecil sekali kemungkinannya dapat diperoleh oleh orang lain. Letak perbedaannya menurut Al-Ghazali, para sufi lebih gigih dalam riyadlah dan mujahadah. Mereka tidak memadai dengan pengamalan-pengamalan syariat wajib saja, tetapi harus juga mengamalkan syariat-syariat sunnah. Para sufi tidak hanya meninggalkan yang haram dan makruh saja, tetapi juga meninggalkan hal-hal yang mubah (kebolehan), yang tidak berfaedah apalagi kalau hal itu dapat membawa kepada melalaikan syariat.

Ibnu Khaldun menyatakan, berkat riadlah dan mujahadah yang sungguh-sungguh, maka para wali memperoleh tanda-tanda kemenangan yang besar, memperoleh kekeramatan-kekeramatan, sebagaimana hal itu juga diperoleh para sahabat Rasulullah As Sabiqunal Awwalun. Orang tidak boleh tertipu dan terpedaya dengan adanya kekeramatan-kekeramatan ini sebelum dibuktikan kuatnya syariat yang bersangkutan. Kekeramatan ini tidak menjadi tujuan dan tidak pula menjadi ukuran. Yang menjadi tujuan adalah dekat kepada Allah, mendapat ridla-Nya dan yang menjadi ukurannya mengamalkan syariat dengan berhakikat sempurna.

Pengamal tasawuf yang telah memperoleh kesenangan, kemanisan dalam beriman dan beribadat, ketentraman dan ketenangan adalah suatu bukti bahwa dia telah menjalani atau menempuh jalan yang benar dan mengamalkan syariat yang haq.

Dalam buku "Al Munqiz Minadlalal" diuraikan tentang para sufi yang banyak memberikan pendapat atau komentar berkenaan tasawuf dihubungkan dengan syariat, ini disebutkan di dalamnya.

a. Imam Al Ghazali
Al Ghazali mengatakan, "Ketahuilah bahwa banyak orang yang mengaku, dia adalah menempuh jalan (tarikat) kepada Allah, tapi yang sesungguhnya, yang bersungguh-sungguh menempuh jalan itu adalah sedikit. Adapun tanda orang yang menempuh jalan yang sungguh-sungguh dan benar, diukur dari kesungguhannya melaksanakan syariat. Kalaupun ada orang yang mengaku bertasawuf dan bertarikat dan telah menampakkan semacam kekeramatan-kekeramatan, melalaikan atau tidak mengamalkan syariat, ketahuilah bahwa itu adalah tipu muslihat, sebab orang yang bijaksana (orang tasawuf) mengatakan,

Artinya : Jikalau kamu melihat seseorang mampu terbang di angkasa dan mampu berjalan di atas air, tetapi ia melakukan sesuatu yang bertentangan dengan syariat, maka ketahuilah bahwa sebenarnya ia itu adalah setan."

b. Abu Yazid Al Bustami, menyatakan:
Artinya : Andaikata kamu melihat seseorang yang diberi kekeramatan hingga dapat naik ke udara, maka janganlah kamu tertipu dengannya sehingga kamu dapat melihat dan meneliti bagaimana dia melaksanakan perintah dan larangan agama serta memelihara ketentuan-ketentuan hukum agama dan bagaimana dia melaksanakan syariat agama.

c. Sahl at Tasturi
At Tasturi mengungkapkan tentang pokok-pokok tasawuf yang terdiri dari tujuh pokok jalan (tarikat), yaitu berpegang kepada Al Kitab (Al Qur'an), mengikuti Sunnah Rasul, makan dari hasil yang halal, mencegah gangguan yang menyakiti, menjauhkan diri dari maksiat, selalu melazimkan tobat dan menunaikan hak-hak orang lain.

d. Junaid al Baghdadi
Al Junaidi mengomentari orang yang mengaku ahli makrifat tetapi dalam gerak geriknya meninggalkan perbuatan-perbuatan baik dan meninggalkan mendekatkan diri kepada Allah, maka beliau mengatakan "Ketahuilah bahwa dia itu adalah setan". Selanjutnya beliau mengatakan,
Artinya : Ucapan itu adalah ucapan suatu kaum yang mengatakan adanya pengguguran amalan-amalan. Bagiku hal itu merupakan suatu kejahatan yang besar, dan orang yang mencuri atau orang yang berzina adalah lebih baik daripada orang yang berpaham seperti itu.

e. Abul Hasan As Syazili
As Syazili mengatakan,
Artinya : Jika pengungkapanmu bertentangan dengan Al Quran dan Sunnah Rasul, maka hendaklah engkau berpegang kepada Al Qur'an dan Sunnah Rasul itu, sambil engkau mengatakan kepada dirimu sendiri "sesungguhnya Allah SWT telah menjamin diriku dari kekeliruan dalam Al Qur'an dan Sunnah Rasul". Allah tidak menjamin dalam segi pengungkapan, ilham, maupun musyahadah (penyaksian), kecuali setelah menyesuaikan perbandingannya dengan Al Qur'an dan Sunnah Rasul.

Sebagai kesimpulan, semua pengamalan kaum sufi harus mengikuti semua Nash Al Qur'an dan As Sunnah dan meneladani amaliah-amaliah Rasulullah, sebagai panutan tertinggi para sufi.
Sabda Rasulullah SAW,

Artinya : Nabi SAW ditanya tentang suatu kaum yang meninggalkan amalan-amalan agama, sedangkan mereka adalah orang-orang yang berbaik sangka kepada Allah SWT. Maka jawab Nabi SAW, "Mereka telah berdusta. Karena jika mereka berbaik sangka, tentu amal perbuatan mereka juga adalah baik." (Dr. Abdul Halim Mahmoud 1964: 161 - 167).

Sabtu, 28 Agustus 2010

Jalan SUfi

Jalan Sufi

Menurut jalan kaum sufi, orang yang telah mencapai keadaan sadar lahir batin, dan yang telah berhasil mencapai suatu titik keseimbangan dan sentralitas, dapat menolong orang lain dan menggambarkan kepada mereka keadaan kemajuannya.
Karena itu kita dapati bahwa sepanjang zaman kaum sufi tetap saling berdekatan. Para syekh sufi menyertai muridnya dalam semua tahap kemajuan.
Kita harus membedakan antara istilah "keadaan" (hal) dan "kedudukan" (maqam). Yakni perbedaan antara bagaimana dan di mana. Keadaan (hal) berarti sesuatu yang dapat diraba atau dirasakan. Kadang-kadang orang dapat merasakan keadaan rohani yang sangat murah hati atau peningkatan kesadaran yang hebat. Namun keadaan ini mungkin tidak langgeng. Yang sesungguhnya diinginkan oleh si pencari (salik) ialah mencapai suatu kedudukan (maqam) yang hanya dapat terjadi bila didirikan sebagaimana mestinya dan kokoh. Kedudukan tidak bersifat sementara dan selalu dapat diandalkan dan diingat. Kebanyakan penempuh jalan Allah (salik) akan merasakan keadaan-keadaan yang berbeda dengan berbagai macam tingkat kelanggengan yang tidak permanen, yang tidak memuaskan dan tak cukup. Karena itulah maka pertolongan diperlukan untuk menjamin agar seorang pencari menjadi tetap dalam kedudukan (maqam) yang diinginkan. Maka mendampingi dan berhubungan dengan orang-orang yang berada pada jalan itu adalah suatu faktor penting dalam kemajuan seorang pencari. Alasan penting lain untuk mendapatkan pendampingan yang tepat ialah bahwa kita selalu merupakan produk dari saat yang terakhir, dan karena saat itu dilahirkan dari saat sebelumnya, dan begitu seterusnya, ada suatu kesinambungan. Seseorang yang berdiri sendiri tak dapat menyadari seberapa jauh ia telah menyimpang dari jalan pengetahuan-diri atau penyadaran-diri. Dengan demikian, seorang pencari memerlukan teman untuk menggambarkan kepadanya, seperti cermin, tentang keadaan atau kedudukannya
Sebagaimana dalam kasus ilmu fisika atau ilmu alam, di mana tak pelak lagi kita akan cenderung mengikuti seseorang yang mempunyai pengalaman dan kualifikasi yang lebih banyak dalam ilmu-ilmu tersebut, maka prinsip ini pun berlaku pada ilmu tentang diri (nafs). Pada tingkat fisik, kita secara konstan berusaha ke arah keselarasan dan tindakan yang benar, dan kita mengikuti orang yang ahli dalam bidang ini. Demikian pula bagi keselarasan batin, orang yang paling memenuhi syarat adalah syekh spriritual sufi yang sejati. Namun, ada suatu perbedaan antara ilmu lahir dan ilmu batin. Dalam ilmu lahir, segala cacat dan kekurangsempurnaan dapat dideteksi dengan mudah. Tidak demikian halnya dengan ilmu batin, misalnya, dimana seseorang dapat tersenyum padahal sebenarnya ia sangat resah. Pengetahuan tentang ilmu batin memerlukan spesialisasi yang lebih dalam. Yang diperlukan adalah obat "hati", yang tidak mudah diperoleh atau diberikan, sedang penyembuhan fisik dapat ditentukan, dianalisis dan logis, sehingga lebih mudah dicapai.
Adapun terhadap pertanyaan apakah yang terbaik itu hanya mengikuti satu guru rohani saja, ataukah banyak. Diantara orang-orang besar yang telah saya baca riwayatnya dan pernah saya temui, sebagian telah mengikuti banyak syekh sufi. Namun pada hakikatnya penempuh sejati jalan pencerahan hanya melihat satu syekh sufi. Para syekh sufi itu mungkin berbeda dalam bentuk dan ciri lahiriahnya, tetapi hakikat batinnya adalah satu dan sama. Seorang syekh sufi mungkin sangat tua dan sangat pendiam, syekh lainnya mungkin masih muda dan dinamis. Yang satu mungkin telah berperan-aktif secara politik, sedang yang lainnya tidak demikian. Seseorang mungkin produktif secara ekonomi dan bekerja di pertanian. Yang lainnya menjadi ilmuwan. Yang satu mungkin sangat akrab bermasyarakat sedang yang lainnya menjauhi masyarakat dan lebih menyendiri, dan sebagainya. Penampilan lahiriah dan kecenderungan mereka, seperti sidik jari, berbeda-beda, tetapi seorang pencari yang tulus tidak memusingkan yang lahiriah. Seorang pencari yang mentaati batas-batas yang ditetapkan oleh syari'at sangat memperhatikan perkembangan batin.
Hakikat batin berhubungan dengan esensi dan sumber. Bilamana hakikat batin mendatangi sumber, maka terjadilah kesatuan. Bilamana orang bergerak menjauhi sumber cahaya, maka ia membeda-bedakan dan melihat berbagai bayangan-bayangan yang berbeda dan sama serta profil yang berbeda-beda. Makin dekat orang meridatangi sumber cahaya, makin sedikit ia melihat perbedaan, sampai ia silau dan tenggelam serta terliputi oleh cahaya itu sendiri. Dengan kata lain, apabila seseorang telah mengambil seorang guru sufi sejati secara benar maka pada hakikatnya ia telah mengambil semua guru sufi. Adalah keliru mengira bahwa orang dapat membuang satu guru sufi lalu pergi kepada guru lainnya, kecuali apabila yang pertama tidak becus atau penipu.
Ketika si pencari berkembang dan bergerak maju, ia dapat melihat dirinya diawasi oleh guru rohaninya dan para guru rohani yang ditemuinya karena rasa hormat guru rohaninya sendiri. Pencari yang cerdas akan selalu hidup dan berperilaku seakan-akan semua syekh sufi yang telah ditemui sedang mengawasinya, sedang benar-benar ada bersama dia dan menjadi pembimbing, pemberi peringatan, dan sahabatnya.
Lantas timbul pertanyaan besar, bagaimana cara si pencari mendapatkan syekh sufi yang sejati? Atau, bagaimana dapat meyakini kualitas syekh tersebut? Para pengikut tradisi esoterik dan kebatinan percaya bahwa rahmat Allah menembus dan meliputi setiap situasi dan segala sesuatu. Guru yang tepat muncul pada saat yang tepat apabila seseorang mempunyai kesungguhan hati dan akhlak yang benar. Akhlak yang benar itu adalah kesabaran dan pengenalan terhadap kebutuhan. Dan dengan rahmat Allah inilah datang jawaban yang tepat pada waktu yang tepat bagi si pencari.
Seorang guru spiritual sejati harus mempunyai kualitas-kualitas dasar yang layak, sebagaimana seorang dokter harus memenuhi persyaratan dasar yang primer sebelum ia melakukan praktik kedokteran. Sebagai permulaan, seorang pemandu spiritual, yakni syekh sufi, harus mengetahui segala aspek lahiriah dari jalan Islam yang asli dan jalan hidup Islam. Ia harus sepenuhnya mengenal pengetahuan dan amalan Islam. Ia harus menerapkan apa yang ada dalam Al-Qur'an dan sunnah Nabi. Apabila ia tidak mengamalkan hukum-hukum lahiriah, bagaimana mungkin ia mempraktikkan aspek-aspek batin dari jalan hidup ini, apalagi menganjurkan orang lain untuk mengamalkannya? Maka guru spiritual yang sejati harus menghayati sendiri dengan sepenuhnya peraturan-peraturan lahir dan batin dalam Islam.
Syarat lain bagi seorang syekh sufi sebagai guru sejati adalah bahwa ia harus telah mencapai pencerahan yang sesungguhnya dengan mencapai pengetahuan yang sempurna tentang diri. Syekh harus mengetahui cakrawala diri (nafs) yang luar biasa luasnya. Barangsiapa mengenal dirinya, sesungguhnya ia mengenal Tuhannya.
Seorang syekh sufi sejati juga harus sudah mendapat izin secara ikrar untuk pergi dan membimbing orang lain pada jalan pengetahuan-diri, oleh seorang guru yang telah mencapai pencerahan dan berpengalaman serta telah diizinkan untuk mengajar, dan seterusnya, sampai kepada Nabi Muhammad SAW. Karena, ada orang-orang yang tetap mentaati batas lahiriah syariat Islam, ada yang telah mencapai pengetahuan-diri, ada pula yang telah mencapai makrifat dan pengetahuan tentang diri, namun mereka tak mampu membimbing orang lain. Sebagaimana tidak cukup bagi seorang dokter hanya dengan sekedar mengkaji dan lulus ujian, serta mengamati dan menjadi asisten dokter lain, sebelum ia dapat membuka praktik sendiri. Ia juga harus diberi izin atau lisensi untuk praktik dokter oleh seorang dokter berkualifikasi yang puas dengan kemampuannya untuk berpraktik.
Syarat lainnya ialah bahwa harus ada seorang pencari yang menerima pengetahuan dari syekh sufi, sebagaimana harus ada pasien sebelum dokter dapat mempraktikkan kedokterannya. Akhirnya, sebagaimana tak ada gunanya bagi seorang dokter untuk mengurus orang sakit apabila si pasien tidak mampu atau tidak mau menerima obat atas penyakitnya, maka tak ada gunanya syekh sufi apabila si pencari tidak sungguh-sungguh mengikutinya.
Sekarang kita sampai pada hubungan antara pencari dan guru. Sejauh mana orang sakit mengambil maslahat dari dokter tergantung pada sejauh mana kepercayaannya terhadap obat yang diresepkan dan kerajinannya mengikuti resep itu. Prinsip yang sama, hanya diperbesar, berlaku pada ilmu pengetahuan-diri dan tasawuf. Akhirnya, yang penting adalah ketajaman dan kehalusan pemahaman antara si syekh sufi dan si murid. Jarak hubungan mereka yang hakiki akan menentukan kecepatan si pencari dalam mengambil dan menyerap warna dan pengertian si guru. Guru itu bagaikan sebuah garputala, dan apabila si murid membiarkan dirinya secara total bergetar dalam gaungnya, yakni sepenuhnya mengikuti gurunya, maka ia akan segera menyanyikan lagu yang sama dengan guru spiritualnya. Ini tidak terjadi dengan serta-merta, tapi dapat berkembang dan berevolusi dengan menanyakan, menguji dan menyesuaikan, sampai si pencari mempercayai gurunya sepenuhnya. Akan datang suatu waktu ketika komitmen total harus dibuat. Si pencari akan memasuki suatu perjanjian yang disebut inisiasi (pelantikan).
Upacara inisiasi telah menjadi suatu peristiwa penting di kalangan banyak tarekat sufi. Banyak sufi semu telah menirunya dan telah membumbuinya lebih jauh serta menempelkan nilai-nilai mistik kepadanya. Satu contoh ialah praktik-praktik rahasia kaum Freemason. Dalam kelompok ini, bila seorang anggota mencapai level tertentu di dalam "tarekat" itu, ia dikubur hidup-hidup untuk sementara dalam sebuah peti mati, yang secara simbolis menyiratkan pengalaman pribadi tentang kematian, sementara masih berada dalam kehidupan dunia ini. Setelah beberapa saat ia dikeluarkan dari peti mati dan "dikembalikan" kepada kehidupan ini. Nabi Muhammad SAW bersabda: "Matilah sebelum kamu mati," yang artinya melakukan pelepasan dan kebebasan sebelum terjadi peristiwa pelepasan dari jasad Anda.
Fondasi inisiasi adalah suatu ikatan atau perjanjian yang mempersatukan guru dan murid. Perjanjian tersebut tidak tertulis dan karena itu mengambil bentuk baiat (sumpah setia). Si pencari setuju untuk mentaati si guru, dan si guru setuju untuk mengurus kemajuan si murid serta membimbingnya.
Kebalikan dari inisiasi, yakni pengusiran, kadang-kadang juga terjadi ketika si guru dan murid mencapai suatu keadaan di mana ikatan antara keduanya menjadi tak berlaku dan hubungan itu mati. Ada kalanya pencari meninggalkan gurunya dan menyoroti segala yang nampak tidak menyenangkan pada si guru. Kemarahan si pencari menyebabkan ia melihat semua aspek negatif dari hubungan itu, dan menurut penglihatannya sia-sialah segala pengorbanan yang telah dilakukannya. Bagi si guru, si pencari yang minggat dengan kemarahan itu adalah seorang korban baru dari nafsu yang rendah dalam diri manusia.
Derajat kecanggihan dan kompleksnya peraturan inisiasi nampaknya banyak tergantung pada kecenderungan syekh sendiri, dan pada lingkungannya. Beberapa syekh tertarik pada upacara-upacara, pada hierarki, dan pada pemberian nama-nama kepada orang sesuai dengan kedudukan (maqam) dan kapasitasnya, seperti, misalnya, para syekh Sanusi di Libya yang secara spiritual, sosial, politik, dan ekonomi memimpin dan menguasai jaringan desa dan kota yang sangat luas selama hampir satu abad. Di sisi lain. beberapa syekh tidak menggunakan bentuk formal atau seremonial dalam inisiasi, entah karena watak dari kedudukan mereka dalam masyarakat atau karena mereka tidak memandangnya perlu. Jadi, lingkungan sosio-kultural dan pembawaan para syekh itu sendiri merupakan dua faktor utama yang menentukan derajat formalitas dalam setiap tarekat sufi.
Tujuan terakhir dari syekh sufi ialah membantu muridnya untuk menemukan kebenaran dalam diri dan untuk dicerahi tentang hakikat. Agar terpenuhi setiap waktu, pentinglah menemukan sebab-sebab ketidakbahagiaan. Sebab hakiki dari semua ketidakpuasan berakar pada pelanggaran batas-batas, pembangkangan, pengharapan, hasrat, ketakutan, kecemasan dan aspek-aspek lain seperti kurangnya pemahaman tentang alam hakikat. Dari sisi pandang kaum sufi, amal ibadah dasar yang ditetapkan oleh syari'at, seperti shalat, puasa di bulan Ramadlan, zakat, naik haji ke Makkah, dan seterusnya, walaupun wajib, tidaklah cukup bagi kebanyakan manusia yang sakit dalam rumah sakit besar bernama dunia ini. Dunia adalah rumah sakit Tuhan, dan para rasul, nabi, serta para wali atau syekh sufi adalah dokter jiwanya. Karena ada berbagai jenis penyakit, maka bangsal rumah sakit pun berbeda-beda. Ada klinik di mana pasien tidak tinggal lama ada kamar di mana pasien tinggal beberapa minggu atau bulan; dan ada kamar bedah di mana dokter, atau syekh sufi, terus sibuk "mengoperasi" pasien-pasiennya. Kita dapati pula "obat-obat" diresepkan sesuai dengan keperluan khusus si pasien, dengan mempertimbangkan lingkungan seluruhnya dan semua keadaan sekitar.
Fungsi terakhir dari seorang guru sufi ialah memindahkan si pencari secara berangsur-angsur, sesuai dengan kecepatan langkahnya, sampai ke tingkat di mana ia mampu membaca "kitab" yang ada di dalam "hati"-nya. Apabila si pencari mempelajari seni ini dan menjadi kuat serta bertindak sesuai kehendak, maka jelaslah ia sedang maju dan berkembang. Tujuan si syekh ialah melepaskan dan menyampaikan kepada orang lain apa yang telah dicapainya sendiri. Proses ini, sebagaimana dinyatakan sebelumnya, dapat ditingkatkan apabila lingkungan maupun pendampingannya tepat, dan bilamana si murid berniat untuk belajar dan berkemauan untuk bertindak, dan bertindak dengan semestinya. Guru tidak bisa berbuat banyak bila si pencari atau murid tidak ingin maju. Si penempuh jalan (salik) bisa menyerah pada suatu tahap perjalanan (suluk), sekalipun tinggal selangkah lagi. Namun, kadang-kadang, sekalipun si murid ingin maju, tidak ada jaminan bahwa tujuannya akan terpenuhi sesuai dengan harapan. Syekh al-Faituri (m. 1979) berkata sebagai berikut tentang dilema guru dalam salah satu syairnya:
Betapapun besar si guru berusaha. Betapapun besar si murid menghendaki. Betapapun khusyuknya dia (beribadat) siang dan malam, Akhirnya pencerahan adalah anugerah Allah.
Tugas guru ialah membimbing si pencari sepanjang jalan yang sudah ditertibkan sampai ke titik di mana ia mampu duduk dalam kejagaan mutlak tanpa menjaga sesuatu. Ini puncak terakhir yang murni dan sederhana dari kondisi meditasi (khalwat). Sejak itu seterusnya, hanya Allah yang dapat menolong dia. Jadi, si pencari harus melengkapi sendiri setengah lingkaran, tetapi setengah lingkaran lagi tidak berada dalam kekuasaannya. Anda naik setinggi Anda dapat memanjat, lalu berserah diri!
Menurut pengalaman para sufi, tingkat kemajuan sepanjang perjalanan spiritual (suluk) tidak menurut garis lurus. Menurut studi mekanistis, seperti mempelajari bahasa, kemajuan itu berjalan agak lurus. Makin banyak waktu yang Anda curahkan untuk mempraktikkan bahasa, makin cakap Anda dalam berbahasa, karena hal itu dapat diprogram sehingga dapat diukur, dan oleh karena itu lebih mudah diperoleh. Di sisi lain, ilmu kebatinan, dapat diukur tetapi sukar. Apabila seseorang sanggup melenyapkan sama sekali segala keterikatan sekarang ini juga, maka kebangunan akan segera tercapai. Apabila tidak demikian, ia harus melewati tumpukan disiplin, peringatan yang terus-menerus, dan penderitaan yang tak henti-henti untuk dapat sampai pada kesadaran yang sempurna. Kemajuan spiritual tidak diukur seperti mengukur usaha-usaha lain. Orang mungkin menghabiskan waktu bertahun-tahun tanpa nampak terjadi sesuatu, dan kemudian tiba-tiba saja dalam dua hari segala sesuatu terjadi. Orang mungkin menghabiskan waktu bertahun-tahun mentaati gurunya, dan merasa bahwa tak terjadi banyak kemajuan, padahal dalam kenyataannya mungkin amat banyak "karat" spiritual telah disingkirkan selama waktu itu. Seperti menyingkirkan karat setebal beberapa inci, dan masih belum dapat melihat dasar logam di bawahnya, padahal logam itu mungkin sebenarnya hanya tinggal satu milimeter karat lagi. Kita tak mampu mengukur kemajuan spiritual secara lahiriah, karena ia berdasar pada kesucian "hati" dan kemauan untuk menanggalkan keterikatan. Itu tergantung pada derajat ketundukan si pencari kepada nabi. Mula-mula ia tunduk dengan menggunakan penalaran dan akalnya, dan dengan mempelajari seluruh hubungan sebab-akibat. Kemudian, kemajuan spiritual mengambil momentumnya sendiri. Sesudah itu, ketundukan yang sederhana membawanya kepada ketundukan yang lebih manis dan lebih spontan tanpa mengandung keraguan. Sebelum keadaan ini tercapai, tak banyak yang dapat terjadi. Jadi, waktu yang diperlukan untuk terjadinya pembukaan-pembukaan tertentu tidak dapat diukur semudah itu. Hubungan yang patut antara pencari dan guru spiritual diperlukan agar dapat dicapai kemajuan yang berkelanjutan. Murid terdekat Syekh Sufi Imam Junaid bernama Syibli. Imam Junaid (m. 910) sangat mencintainya. Pernah, dalam suatu pertemuan, salah seorang anggotanya mulai mengagumi dan memuji Syibli di hadapannya dan banyak orang lain. Imam Junaid menyela lalu mulai menceritakan segala kesalahan dan kekurangan Syibli. Syibli merasa malu dan diam-diam mengundurkan diri dari pertemuan itu. Ketika ia telah pergi, Imam Junaid berkata, "Saya melindunginya dengan perisai penghinaan dari panah berbisa pujian yang berlebihan." Karena, Imam Junaid tahu bahwa Syibli hampir mencapai suatu maqam spiritual, dan apabila pujian-pujian itu tidak dipotong, mungkin akan melambungkan egonya dan menciptakan rintangan. Rintangan terbesar terhadap kebangunan batin ialah menghargai diri sendiri.
Seluruh jalan hidup sufi berkisar pada menghilangkan keterikatan, dan keterikatan yang terbesar dan terburuk kebetulan adalah ilmu pengetahuan. Ada anekdot tentang Imam Abu Hamid al-Ghazzali (m. 1111) sehubungan dengan ini. Ketika Imam Ghazzali meninggalkan Baghdad untuk mencari syekh sufi, ia telah memperoleh semua pengetahuan lahiriah dari ilmu-ilmu Islam, tetapi batinnya yang terdalam belum terbangun. Ia membawa dua ekor keledai yang dimuati buku. Di tengah jalan ia dihentikan oleh seorang perampok yang hendak mengambil buku-bukunya. Imam Ghazzali menawarkan apa pun kepada perampok itu kecuali buku, tetapi si perampok hanya menghendaki buku, lalu mengambilnya. Tujuh atau delapan tahun kemudian, ketika Imam Ghazzali telah memenuhi pencarian sufinya, seseorang datang ke hadapannya di Makkah. Rupanya ia Nabi Khidr, yang memberitahukan kepada Imam Ghazzali bahwa jika bukan karena perampokan buku-bukunya, maka ia akan tetap mejadi budak buku-buku itu dan tidak akan menemukan "Buku" pengetahuan sesungguhnya yang berada di dalam hati setiap orang. Imam 'Ali berkata dalam hal ini, "Anda adalah 'Buku' [asli] yang terang."
Buku diperlukan pada awalnya sebagai alat bantu untuk penemuan batin, tetapi bila seseorang menjadi lebih kuat dengan pengetahuan batin, ia kurang memerlukan bantuan dari luar. Buku adalah seperti kursi dorong yang diperlukan seorang anak hanya pada awal kehidupannya. Namun sayangnya, banyak orang yang disebut ulama mempertahankan kursi dorongnya sepanjang sisa hidupnya. Di sisi lain, banyak sufi semu cenderung untuk membuang bukan saja buku tetapi juga bacaan hafalan sebagai barang yang sama sekali tidak diperlukan. Sikap meremehkan ini tak lain adalah bentuk pengangkatan diri, yang merupakan pemutarbalikan dan penyimpangan dari jalan spiritual yang sesungguhnya. Kitab-kitab dan bacaan merupakan alat bantu yang penting untuk membantu kebangunan batin, yang tak dapat diandalkan sepenuhnya dan tak boleh diabaikan sama sekali.
Pencari pengetahuan dan gnosis (makrifat) harus mengikuti jalan di bawah bimbingan seorang guru, sampai datang suatu saat di mana ia harus dibiarkan sendiri. Guru itu ibarat tongkat yang tidak perlu digunakan lagi setelah si pencari dapat berjalan sendiri. Saat itu tiba bila si murid tidak lagi memerlukan guru jasmaniah karena kini ia telah terisi langsung ke dalam sumber kekuatan sejati. Apabila seseorang mengatakan bahwa ia memerlukan guru lahiriah sepanjang hidupnya, maka ia telah salah membatasi ukuran sebenarnya dari potensi manusia dan kerahiman Ilahi. Apabila seseorang mengatakan bahwa ia sama sekali tidak memerlukan seorang guru maka ia sombong (takabbur) dan angkuh dan akan hidup di bawah kezaliman nafsu yang rendah. Namun, bagi setiap aturan ada kekecualian. Kekecualian tersebut dalam kasus orang yang tidak memerlukan guru lahiriah, atau yang tidak kelihatan memiliki guru jasmaniah yang nyata, untuk mengarahkan dan membimbingya. Dalam tradisi sufi, orang semacam itu disebut uwaisi. Istilah ini berasal dari nama seorang lelaki, Uwais al-Qarani, yang tinggal di Yaman di masa Nabi Muhammad SAW. Walaupun ia belum pernah bertemu secara fisik dengan Nabi, namun ia telah melihat beliau dalam mimpi-mimpinya, kabarnya Nabi SAW menyebutkan wali besar ini dengan mengatakan, "Nafas Yang Maha Pengasih datang kepada saya dari Yaman." Ketika orang mengetahui tentang tingkat spiritualnya, Uwais berusaha menyembunyikan diri di balik kehidupan biasa seorang gembala unta dan kambing, dan khalwat menjadi jalan hidupnya. Ketika ia ditanyai tentang hal ini, ia berkata, "Mendoakan manusia dalam ketidakhadiran orang yang didoakan adalah lebih baik daripada mengunjunginya, karena aspek-aspek ego mereka, seperti pakaian atau citra diri, dapat mengalihkan perhatian saya." Ia juga biasa mengatakan, "Menyuruh orang berbuat baik tidak menyampaikan saya pada seorang sahabat," dan "Saya memohon kepada setiap orang yang lapar untuk memaafkan saya, karena saya tak mempunyai apa-apa dalam dunia ini selain apa yang ada dalam perut saya." Bagi kaum sufi yang belakangan, Uwais menjadi prototipe orang sufi yang bersemangat yang tidak memihakkan dirinya kepada suatu tarekat sufi. Para sufi semacam itu menerima inisiasi atau cahaya mereka langsung dari cahaya (nur) Nabi, tanpa kehadiran secara fisik atau bimbingan dari seseorang guru spiritual yang hidup.
Segelintir sufi semu yang tidak mengikuti, dan tidak ingin mengikuti, seorang guru spiritual sejati untuk membimbingnya pada jalan spiritual, memanfaatkan situasi itu dan dengan tidak benar menamakan dirinya Uwaisi. Ini adalah salah satu taktik dan penipuan dari nafsu rendah yang tidak ingin diurus atau tunduk kepada Allah. Uwaisi sejati yang sebenarnya adalah langka. Orang yang sungguh-sungguh tertarik pada tasawuf mengikuti suatu jalan perbaikan-diri, kesadaran-diri, dan kebangunan-diri, dengan mengikuti petunjuk yang diberikan oleh syekh sufi.

Wasiat Syekh Abdul Qadir Al Jaylani

Wasiat Sultan Auliya Abdul Qodir Jilani Qsa dalam Kitabnya Futuh Al- Gaib
Bismilahir Rahmanir rahiim
Satu

Melaksanakan perintah Allah, menjauhi larangan-Nya, dan ridho atas ketentuan-Nya
Tiga hal yang harus dimiliki dan diamalkan oleh setiap mukmin dalam segala ruang dan waktu yaitu:
1. Menjaga dan melaksanakan perintah-perintah Allah dengan tulus dan ikhlas;
2. Menghindari diri dari segala yang haram baik nyata maupun samara;
3. rida menerima takdir Allah Yang Mahakuasa.
Dengan demikian, minimal seseorang yang beriman harus memiliki tiga hal sebagaimana tersebut di atas dan harus diusahakan untuk dapat mendarah daging dalam tubuhnya. Ia harus mengikta diri kepada tiga hal ke mana dan di mana dia berada serta dalam keadaan bagaimanapun juga.
Dua

Mengikuti sunnah Rasul SAW, menjauhi bida’ah, dan bersikap istiqamah
1. Seorang muslim harus mengikuti sunnah Rasul SAW dengan penuh keyakinan (keimanan).
2. Seorang muslim tidak sekali-kali melakukan perbuatan bid’ah
3. Seorang muslim harus mematuhi segala yang diperintahkan dan dilarang Allah SWT serta rasul-Nya
4. Seorang muslim harus menjunjung tinggi tauhid, jangan sekali-kali menyekutukan Dia (Allah SWT)
5. Seorang muslim harus menyucikan Dia (Allah) senantiasa, dan jangan sekali-kali menisbahkan suatu keburukan pun kepada-Nya
6. Seorang muslim harus mempertahankan kebenaran-Nya dan hendaklah jangan meragukan sedikitpun atas kebenaran tersebut.
7. Seorang muslim harus bersabar selalu, dalam setiap keadaan dan jangan sekali-kali menunjukan sifat ketidaksabaran.
8. Seorang muslim hendaknya mempunyai sifat isqtiqamah
9. Seorang muslim harus mempunyai pengharapan kepada Allah dengan sabar dan jangan kesal
10. Seorang muslim harus bekerja sama dengan sesame muslim dalam menjalankan amal dan ketaatan, jangan berpecah-pecah, saling mencintai, dan jangan mendendam
11. Seorang muslim harus menjauhi kejahatan dan jangan sekali-kali ternoda oleh kejahatan tersebut
12. Seorang muslim harus menghiasi dirinya dengan ketaatan kepada Tuhanmu.
13. Seorang muslim jangan sekali-kali menjauhi pintu-pintu Tuhan.
14. Seorang muslim jangan sekali-kali berpaling dari-Nya.
15. Seorang muslim hendaknya menyegerakan bertobat atas dosa yang telah dilakukan, jangan ditunda-tunda.
16. Seorang muslim tidak bosan-bosan untuk memohon ampunan kepada Allah siang dan malam.
Apabila seorang muslim telah berlaku demikian, ia akan mendapatkan rahmat dari Nya dan dijauhkan dari api neraka. Hidup bahagia di surga yang kekal. Kelak di akhirat, ia akan bertemu Allah, menikmati rahmat-Nya.
Di surga, ia bersama bidadari, mengendarai kuda-kuda yang berwarna putih. Bersuka ria dengan hurhur bermata putih, menghirup aneka aroma, dan diiringi melodi-melodi para hamba sahaya wanita yang cantik. Ia akan dimuliakan bersama Nabi, para siddiqin, para syahiddin, dan para salihin lainnya di surga yang tertinggi.
Tiga

Memohon pertolongan kepada Allah Azza wa Jalla
Seandainya seorang hamba Allah mendapatkan kesulitan dalam hidupnya, pertama sekali ia harus berusaha mengatasinya dengan daya dan upayanya sendiri. Jika tak mampu mengatasi kesulitanya sendiri, hendaknya ia meminta pertolongan kepada sesamanya, misalnya kepada pejabat, hartawan, dan penguasa lainnya, atau tetangganya. Jika ia sakit hendaknya pergi ke tabib (dokter). Apabila masih juga tak berhasil, pertolongan terakhir yang diharapkan hendaknya kepada Khaliq-nya (Allah swt), Tuhan Yang Mahabesar lagi Mahakuasa. Caranya ialah dengan memanjatkan doa dengan diiringi kerendahan hati serta pujian-pujian untuk-Nya.
Apabila pertolongan itu tiada kunjung data dari Allah, jangan berputus asa. Ia harus menyerahkan diri sepenuhnya kepada Allah, memuji dan memohon dengan penuh harap dan cemas. Apabila Allah tidak kunjung mengabulkan permohonannya dan doanya, ia harus meninggalkan segala yang berurusan dengan duniawi. Kemudian ia mencurahkan segala-galanya untuk kepentingan rohaninya (kepentingan akhirat).
Pada tingkatan ini, ia akan merasakan atau melihat dengan mata batinya atas kehendak Allah. Dan, sampailah ia kepada keesaan-Nya dan kekuasaan-Nya.
Pada tahap ini ia akan menduduki haqqul yaqin (keyakinan yang hak/tinggi). Keyakinan tentang apakah itu?
Keyakinan yang dimaksudkan ialah tentang hakikat bahwa segala sesuatu itu tiada yang menggerakannya, kecuali Allah, tiada yang menghentikan, kecuali Allah Swt. Tiada kekayaan dan kemiskinan, kecuali Allah yang menghendakinya. Di hadapan Allah, seseorang bagaikan bayi di tangan dukun beranak atau mayat yang dimandikan, atau bola di kaki pemainnya. Tak kuasa apapun, kecuali kehendak Allah Swt. Dengan demikian, ia tak akan melihat, kecuali hanya kepada Allah. Tak akan mendengar, kecuali hanya dari Allah; jika mendapat sesuatu – menyenangkan atau menyedihkan – diyakini semata karena Allah belaka. Jika mendengarkan sesuatu, yang didengar adalah firman Allah melalui ilmu-Nya. Ia akan mendapatkan karunia-Nya dan mendapatkan keberuntungan karena mampu mendekatkan diri kepada-Nya. Ia menjadi mulia, rida atas segala yang dijumpainya. Ia merasa puas atas segala yang menimpanya, baik yang menyenangkan maupun yang menyakitkan .
Akhirnya, ia rindu selalu kepada Allah, ingin terus memuji dan berzikir. Segala sesuatu dalam hidupnya bertumpu kepada Allah semata. Ia mendapatkan nur dari Allah karena ilmu Allah itu sendiri. Ia dimuliakan karena ilmu Allah juga. Dengan begitu, senantiasa puji dan syukur tercurahkan kepada Allah Yang Mahakuasa saja.
Empat

Mengharap rahmat Allah Azza wa Jalla
Jika engkau abaikan ciptaan, semoga Allah merahmatimu . Semoga Allah membunuh kehendakmu (yang tak baik) dan Dia menempatkanmu dalam kehidupan yang baru dan mulia.
Sekarang dirimu mendapatkan karunia berupa kehidupan yang abadi, mendapat kekayaan dan kebahagian yang abadi, dan mendapat rahmat dan ilmu sehingga tak mengenal kebodohan.
Engkau dilindungi Allah dari rasa takut. Engka dimuliakan sehingga tidak hina lagi dan selalu dekat kepada Allah sehingga menjadi tumpuan harapan bagi orang2 yang memohon kepada Allah melalui dirimu.
Kau menjadi pengganti rasul, para nabi dan shadiqqin. Kau adalah puncak wilayat dan para wali yang masih hidup mengerumunimu. Segala masalah dapat engkau selesaikan dan kau temukan jalan keluarnya. Sawah ladang berpanen melimpah ruah berkat doamu. Lenyapnya penderitaan umat juga melalui doamu. Orang-orang banyak yang datang dan bergegas menemuimu membawa bingkisan dan hadiah serta mengabdi kepadamu. Pengabdian dalam segala hal kehidupan. Semua itu karena ijin Sang Pencipta. Mereka senantiasa mendoakanmu. Tak ada dua mukmim yang memperselisihkan engkau. Inilah rahmat Allah SWT, wahai manusia. Dan Allah Pemilik segala rahmat.
Lima

Menghindari dunia
Jika engkau melihat dunia ini berada di tangan orang lain, janganlah takjub Dunia itu memang penuh dengan hiasan, tetapi di sisi lain penuh dengan racun yang mematikan. Tampaknya lembut, tetapi membahayakan bagi yang merabanya. Dunia pada hakikatnya mengecoh dan membuat manusia menyepelekan keburukan dari tipu daya dan janji-janji palsunya.
Apabila melihat yang demikian itu, hendaknya kau berlaku seakan-akan menghadapi orang yang sombong, sewenang-wenang, dan berbau busuk. Ibaratkanlah dunia itu seperti demikian. Jika melihat situasi yang demikian, berpalinglah dari kebusukannya. Tutuplah hidungmu agar tak menghirup bau amisnya. Tutuplah hidung dan telingamu dari bau dan suara hawa nafsu walaupun segala kenikmatan yang tersimpan di dalamnya menghampirimu. Allah SWT telah berfirman kepada nabi pilihannya (Muhammad saw)
وَلا ŘŞَمُŘŻَّنَّ Řšَيْنَيْكَ ŘĽِلَى مَا مَŘŞَّŘšْنَا بِهِ ŘŁَزْوَا؏ًا مِنْهُمْ زَهْŘąَŘŠَ الْŘ­َيَا؊ِ الدُّنْيَا لِنَفْŘŞِنَهُمْ فِيهِ وَŘąِزْقُ Řąَبِّكَ ŘŽَيْŘąٌ وَŘŁَبْقَى
Janganlah engkau tujukan kedua matamu kepada (perhiasan) yang kami berikan kepada bermacam-macam orang di antara mereka, sebagai bunga kehidupan di dunia, supaya mereka Kami cobai denganya. Dan rezeki Tuhanmu (dalam surga) lebih baik dan lebih kekal (QS 20:131)
Enam
Beribadah hanya karena Allah SWT
Apabila melaksanakan perintah Allah, tanggalkan pandangan manusia yang tertuju kepadamu dan tanggalkan kepentingan pribadimu dan hendaknya engkau tujukan kepada Allah saja.
Untuk menghindari pandangan manusia – yang memuji – atas amalanmu dalam melaksanakan perintah Allah, menghindarlah dari mereka, asingkan diri sepenuhnya dan bebaskan jiwamu dari segala harapan mereka. Lenyapkanlah segala nafsumu. Adapun tanda lenyapnya nafus ialah:
1. meninggalkan kesibukan mengejar duniawi;
2. berhubungan dengan mereka hanya untuk mendapatkan manfaat;
3. cenderung menghindarkan diri dara kemudaratan;
4. tidak menggantunkan diri sendiri dalam masalah pribadi.
5. tidak membantu melindungi diri sendiri, tetapi memasrahkan diri sepenuhnya kepada Allah SWT, karena Dia-lah Yang Mahakuasa.
Kemauan itu dapat lenyap dari jiwamu. Kemauan yang dimaksud ialah yang didorong oleh hawa nafsu. Adapun lenyapnya kemauan atas kehendak Allah itu ditandai sebagai berikut:
1. tidak pernah menurutkan keinginan, tak merasa butuh, tidak mempunyai tujuan, kecuali hanya satu tujuan dan satu kebutuhan, yakni kepada Allah SWT belaka;
2. kehendak Allah akan berwujud pada dirimu, sehingga jika kehendaknya bereaksi, tubuhmu menjadi pasif, namun hatimu tenang, pikiranmu jernih, nurani dan rohanimu menjadi berseri. Dengan demikian, kebutuhanmu tentang kebendaan kau pasrahkan dan engkau bergantung kepada Allah SWT saja;
3. gerakanmu digerakan oleh kekuasaan-Nya, lidah keabadian memberi hiasan kepadamu berupa nur-Nya yang menempatkan kedududukanmu sejajar dengan ulama hikmah yang telah mendahuluimu.
Jika mampu seperti demikian, niscaya engkah berhasil menaklukan diri sendiri, sehingga dalam ragamu tidak ada “kedirianmu”, laksana bejana yang hancur, bersih dari air dan endapan.
Engkau akan terpisahkan dari segala gerak manusiawi karena rohanimu menolak segala sesuatu. Rohmu hanya menerima kehendak Allah saja. Pada peringkat dan kedudukan seperti ini, engkau akan mendapatkan suatu keajaiban. Hal ini seolah-olah hanya usahamu dalam melatih diri dan rohmu, padahal sebenarnya adalah kehendak Allah belaka.
Pada kedudukan ini, engkau mampu menjadi orang yang dapat menundukan hati sendiri, sifat hewanimu telah musnah. Dengan demikian, engkau akan mendapat ilham atas kehendak Ilahi dan dambaan-dambaan baru dalam kenyataan sehari-hari.
Allah Yang Mahatinggi tak akan bersamamu, jika kedirianmu (nafsu duniawi, hewani, sifat yang merusakan/membutakan hati) belum sirna. Jika kedirianmu telah sirna, lalu kau menganggap sesuatu di dunia ini tak ada artinya kecuali Allah, Dia akan memberikan kebugaran dan kesegaran rohani. Allah akan memberi kekuatan rohani dan dengan rohani tersebut, engkau berkehendak.
Jika di dalam dirimu masih juga terdapat noda meskipun sekecil biji dzarah, Allah akan menolakmu agar engkau terus berusaha untuk diterima Allah. Allah pun terus menciptakan kemauan baru dalam dirimu agar engkau tidak merasa puas dengan amal dan ibadah yang kau lakukan, hal ini sampai pada akhir hayatmu.
Dalam sebuah hadis Qudsi, Allah SWT berfirman,
“Hamba-Ku yang beriman senantiasa mendekatkan diri kepada-Ku, yaitu dengan mengerjakan shalat-shalat sunnah yang diutamakan sehingga Aku mencintainya, maka Aku menjadi telinganya, dengannya ia mendengar, dan menjadi matanya, dengannya ia melihat, dan menjadi tangannya, dengannya ia bekerja, dan menjadi kakinya, dengannya ia berjalan. Tak diragukan lagi, demikianlah keadaan fana.”
Oleh sebab itu, Dia menyelamatkanmu dari kejahatan para mahluk-Nya, kemudian mendorongmu dalam kebaikan-Nya. Dengan begitu, engkau akan menjadi pusat kebaikan, sumber rahmat, kebahagian, kenikmatan, semangat, damai dan sentosa.
Para wali terdahulu pun menunaikan ibadah untuk mendekatkan dirinya sedekat mungkin kepada Allah SWT. Itulah yang menjadi tujuannya, tujuan terakhir. Mereka senantiasa beralih dari kehendak yang timbul dari pribadinya sendiri, mengubahnya menjadi kehendak dari Allah. Itulah sebabnya, mereka kemudian disebut “badal” (berubah).
Bagi mereka ini, menggabungkan kehendak dirinya sendiri dengan kehendak Allah adalah dosa.
Apabila mereka terbawa tipuan perasaan2nya sendiri sehingga lalai atau takut, Allah menolong mereka dengan kasih sayang – Nya. Allah akan mengingatkan mereka dan akhirnya mereka sadar dan berlindung kepada Tuhannya. Merekea berlindung dari kemauan pribadinya karena menyadari bahwa mereka tak akan mampu membersihkan dirinya sampai sebersih mungkin dari nafsu dan kemauan, kecuali malaikat. Para malaikat memang suci dari nafsu dan kehendak, para nabi terbebas dari kedirian, sedangkan jin dan manusia tak terlepaskan dari nafsu yang kelak menuntut pertanggungjawaban moral. Akan tetapi, meskipun manusia itu tak dapat terbebas dari nafsu, para wali mampu melemahkan nafsunya sehingga dengan, bantuan Allah, mereka mendapatkan rahmat yang menguatkan akalnya.
Tujuh

Terlepas dari Ketertarikan Dunia
Perbaiki dirimu dan tinggalkan olehmu kegelisahan dunia sesuai kemampuanmu. Nabi Muhammad saw bersabda,” Lepaskan dirimu dari bingungnya urusan dunia, sejauh kemampuanmu “
Kalau kau mengetahui apa yang kau cari, kalau dunia kau peroleh, engkau akan menjumpai kelelahan. Kalau kau menaruh perhatian yang berlebihan pada dunia niscaya kau akan merugi. Bebaskan diri dari urusan dunia, lepaskan perhiasan dunia, lucuti pakaian hawa nafsu. Karena kesungguhan diri beribadah pada Allah adalah sebuah hidayah.
Kalau ingin bahagia, engkau harus memiliki ketenangan lahir dan batin. Bersabarlah atas pemberian Allah, hindari prasangka buruk atasNya, karena Dia menyayangimu. “ Boleh jadi engkau membenci sesuatu, padahal itu amat baik bagimu, dan boleh jadi pula engkau menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu” (Al Baqarah 216)
Barangsiapa menginginkan jalan menuju keridhaan Allah , maka didiklah hawa nafsumu sebelum mendidik perbuatanmu. Bersungguh2lah sampai engkau mendapat ketenangan. Jangan turuti nafsu kecuali engkau telah melatih nafsumu dengan pelajaran dan perilaku baik. Dengan bersungguh2 mata akan terbuka dan kebodohan tak akan menghampiri kita. Hal ini membutuhkan pengikat dan waktu yang panjang, tidak dating begitu saja.
Pukullah nafsumu dengan cambuk lapar, cegahlah kehendaknya. Engkau harus bisa bertahan, karena nafsu hanya bisa berdusta dan tak pernah benar. Janjinya bohong dan Iblis adalah pentolannya. Dia tak punya kekuatan untuk memusuhi orang yang beriman.
Allah tidak memberi cobaan kepadamu kecuali disana ada hikmah dan faedah.
Kalau kau didera musibah, ingatlah dosa2mu. Mohonlah kesabaran padaNYA, perbanyak istigfar dan bertaubat lah segera. Bergaulah dengan para kekasih Allah, alim ulama dan teman yang bila kau melihatnya, mengingatkanmu akan Allah.
Wahai para pelanglang buana, Wahai para pelancong dunia, Peganglah erat-erat petunjukKu, Hingga sampai ditujuan, jangan kau keluar dari petunjuk, maka kau akan Kuberi petunjuk.
Bagaimana kau akan berperilaku baik, kalau tak berteman dengan Kawan yang berperilaku sopan santun
Bagaimana kau akan menimba ilmu, kalau kau tak senang dengan gurumu.
Syekh Abdul Qadir Jailani,
"Dudukkanlah dirimu bersama kehidupan duniawi, sedangkan kalbumu bersama kehidupan akhirat, dan rasamu bersama Rabbmu."
delapan

Lepas dari kemaksiatan
Wahai orang muda, janganlah engkau berputus asa daripada Rahmat Allah ‘Azza wa Jall kerana kemaksiatan yang telah engkau lakukan. Bersihkanlah kotoran dari pakaian agamamu dengan air taubat, dengan taubat yang istiqomah dan ikhlas. Kemudian, harumkanlah pakaian agamamu itu dengan (air wangi) ma‘rifah. Berhati-hatilah engkau dengan kedudukanmu sekarang kerana ke arah mana pun engkau toleh, terdapat hewan-hewan yang buas sedang berada di sekeliling dirimu, dan pengaruh-pengaruh jahat yang merusak pula sedang bertindak ke atas dirimu. Lepaskanlah dirimu daripadanya dan kembalikanlah hatimu kepada al-Haqq ‘Azza wa Jall.
Ada seorang insan yang telah berkata: “Aku ingin menjadi salah seorang daripada orang-orang yang mencari WajahNya. Hatiku telah terpandang Pintu Kedekatan (Bab al-Qurb) dan aku telah melihat para kekasih memasukinya dan kemudian telah keluar memakai pakaian-pakaian yang telah dianugerahkan oleh al-Malik (Raja, yakni Allah Ta‘la.) Apakah balasan untuk memasukinya?”
Kepadanya, aku telah menjawab: “Hendaklah engkau korbankan seluruh dirimu. Tinggalkan segala kehendak syahwat dan segala rasa kelazatan. Lenyapkan dirimu di dalamNya. Ucapkan selamat tinggal kepada segala taman syurga dan segala isi kandungannya, dan tinggalkanlah ia. Ucapkan selamat jalan kepada nafsu, hawa dan tabiat-tabiat. Ucapkan selamat jalan kepada segala keinginan, sama ada yang berbentuk keduniaan ataupun keakhiratan. Ucapkan selamat tinggal kepada setiap sesuatu dan engkau tinggalkannya di belakang hatimu. Setelah itu, masuklah. Engkau akan melihat apa yang tidak pernah dilihat oleh mata, yang tidak pernah didengar oleh telinga, dan yang tidak pernah terlintas di hati manusia.”
Sufi ialah seorang manusia yang telah bersih batinnya dan juga zahirnya, dengan mengikuti kitab Allah ‘Azza wa Jall dan sunnah rasulNya. Dan jika kebersihannya sudah bertambah, dia akan keluar dari lautan kewujudannya, dan meninggalkan segala kehendak, ikhtiar dan keinginannya, kerana kebersihan hatinya.
Asas kebaikan ialah dengan menuruti an-NabÏ SallAllahu ‘alaihi wa sallam pada (seluruh) perkataannya dan perbuatannya.
Apabila hati si hamba (qalb al-‘abd) telah bersih, dia akan dapat melihat an-Nabi SallAllahu ‘alaihi wa sallam di dalam tidurnya, yang akan memberitahunya tentang apa yang harus dilakukan dan apa yang harus dijauhkan.
Seluruh dirinya akan menjadi sekeping hati, dan terpisah dengan niatnya. Dia akan menjadi sebuah rahsia tanpa penyataan, satu kebersihan tanpa kekeruhan. Kulit zahirnya akan tertanggal dari dirinya, sehingga yang tinggal adalah isi (lubb) tanpa kulit.
Dia akan bersama an-Nabiyullah Sallallahu ‘alaihi wa sallam dari segi maknawi, yang akan melatih hatinya dan berada di hadapannya. Tangannya berada di dalam tangan baginda Sallallahu ‘alaihi wa sallam. Dan an-Nabi Sallallahu ‘alaihi wa sallam akan menjadi penasihat mengenaiNya, dan penjaga pintuNya.
Di dalam sebuah mimpi, seorang lelaki tua telah bertanya kepada diriku , “Apakah yang dapat membawa seorang hamba itu dekat dengan Allah ‘Azza wa Jalla?”
Maka aku telah menjawab, “Baginya satu permulaan dan satu kesudahan. Permulaannya ialah wara’ dan kesudahannya ialah penerimaan, penyerahan (at-taslim) dan persandaraan (at-tawakkul).”
Apabila seseorang itu bersikap benar dan ikhlas dengan Tuhan, dia tidak lagi mempedulikan setiap sesuatu selain daripadaNya, pada siang atau malam hari.
Wahai manusia, janganlah mengaku apa yang bukan milikmu. Esakanlah Allah dan janganlah mempersekutukanNya. Demi Allah (dengan melakukan yang demikian), apabila sampai panah takdir kepadamu, ia hanya akan mencalar dan tidak pula membunuhmu.
Siapa saja yang menginginkan kejayaan (al-falah), hendaklah dia menjadi sekeping tanah di bawah tapak kaki para masyaikh (para Mursyid).
Apakah ciri-ciri para masyaikh itu? Mereka adalah orang-orang yang telah menceraikan dunia dan segala makhluk, dan telah mengucapkan selamat tinggal kepada kedua-duanya (yakni dunia dan segala makhluk). Mereka juga telah mengucapkan selamat tinggal kepada setiap sesuatu, dari bawah al-‘arsy hinggalah ke dasar bumi . Mereka telah meninggalkan setiap sesuatu itu di belakang mereka, dan telah mengucapkan selamat tinggal sebagai seorang yang tidak akan kembali lagi. Mereka telah mengucapkan selamat tinggal kepada seluruh makhluk, termasuk diri mereka sendiri. Wujud mereka adalah bersama-sama Allah, pada setiap keadaan.
Siapa yang menuntut kecintaan Allah (namun masih) disertai dengan kewujudan nafsunya, maka dia sedang berkhayal dan berangan-angan.
Kebanyakan daripada mereka dari golongan al-mutazahhidin al-muta‘abbidin (orang-orang yang cuba menyerupai kaum Zuhud dan ahli ibadah), pada hakikatnya, adalah hamba-hamba para makhluk, yang telah mereka syirikkan (yakni menjadikannya sekutu bagi Allah).
Berdirilah engkau sekelian di hadapanNya di atas tapak-tapak kaki (aqdam) yang telah muflis daripada akal-akal fikiranmu dan ilmu-ilmumu, agar engkau sekalian dapat mengambil ilmu daripadaNya.
Janganlah merasa sangsi terhadapNya apabila Dia menunda Ijabah. Janganlah berputus asa dalam berdoa kepadaNya. Jika engkau tidak menerima apa-apa keuntungan, maka tidak pula engkau menanggung apa-apa kerugian. Jika Dia tidak memperkenankannya dengan serta-merta, maka Dia akan memberikan engkau gantinya di Hari Kemudian.
Selagi kecintaan kepada dunia kekal di hatimu, tiada akan melihat engkau sesuatu daripada ahwal as-Salihin. Selagi engkau meminta-minta dari makhluk dan mempersekutukan (Allah) dengan mereka, tiada akan terbuka mata hatimu. Tiadalah kata-kata itu sehingga engkau berzuhud dari dunia dan makhluk. Bersungguh-sungguhlah engkau. Engkau akan melihat apa yang tidak dilihat oleh orang lain, dan akan terlepas bagimu adat.
Jika engkau tinggalkan apa yang di dalam hitunganmu (hisab) akan datang kepadamu apa yang bukan di dalam hitunganmu. Apabila engkau bergantung penuh kepada al-Haqq ‘Azza wa Jall, dan bertaqwa di dalam khalwah dan di khalayak ramai, Dia akan mengaruniakanmu rezeki yang tidak disangka-sangka (la yahtasib). Engkau tinggalkan, Dia berikan. Engkau berzuhud, Dia temukan hajatmu.
Di peringkat permulaan, (ialah) meninggalkan. Di peringkat akhir, (ialah) pengambilan. Di awal urusan ini, ialah pemberatan kalbu dengan meninggalkan segala syahwat dan dunia, dan di akhirnya ialah pengambilannya. Yang pertama ialah bagi al-Muttaqin, dan yang kedua ialah bagi al-Abdal, yang telah sampai (al-wasilinn) kepada ketaatan (kepada) Allah ‘Azza wa Jall.
Kata-kata itu tidak sesuai untuk diucapkan sehingga segala tuhan-tuhanmu menjadi Tuhan yang satu, sehingga segala keinginanmu menjadi satu, dan sehingga segala tumpuan cintamu menjadi satu.
Hatimu hendaklah dijadikan satu. Bilakah kedekatan kepada al-Haqq dapat mendirikan kemahnya di dalam hatimu? Kapan hatimu akan menjadi majdhub (tertarik) dan sirr-mu menjadi muqarrab (didekatkan)? Dan kapankah segera engkau dapat menemui Tuhanmu, setelah engkau mengucapkan selamat tinggal kepada segala makhluk?
"Di dalam sebuah Mimpi seorang lelaki tua telah bertanya kepadaku. . ..
Wahai WaliulLah apakah yg dapat membawa seorang hamba itu dekat dengan
Allah SWT . . . . ?!
lalu aku telah menjawab kepadamu wahai Mubarok !
baginya ada 2 perkara yaitu . . .
1.PERMULAAN
yaitu jadi lah kamu org yg Wara’
(senantiasa menjauhkan diri dr segala macam Dosa)
2.KESUDAHAN
jadilah Org Yg Qona’ah !
Mendengar jawaban yg singkat dan padat tersebut . . .
Lelaki tua itupun Pergi dgn hati yg damai !
dan nampak Bersinar wajah yg sudah dimakan usia tersebut "
Mudah2 kisah diatas dapat menjadikan kita yang di Tarekat Qodiriyah ini di berikan kekuatan Islam,Iman Dan Ikhsan dan di Anugerahkan oleh
Al-Haqq Allah azza wa jalla . Amin.

Jumat, 20 Agustus 2010

Kisah Singkat Syaikh Abuya Dimyati

Alangkah ruginya orang Indonesia kalau tidak mengenal ulama satu ini. Orang bulang Mbah Dim, Banten atau Abuya Dimyati bin Syaikh Muhammad Amin. Beliau adalah tokoh kharismatik dunia kepesantrenan, penganjur ajaran Ahlusunah Wal Jama’ah dari pondok pesantren, Cidahu, Pandeglang, Banten. Beliau ulama yang sangat konsen terhadap akhirat, bersahaja, selalu menjauhi keduniawian. Wirangi (hati-hati dalam bicara, konsisten dalam perkataan dan perbuatan). Ahli sodakoh, puasa, makan seperlunya, ala kadarnya seperti dicontohkan Kanjeng Nabi, humanis, penuh kasih sesama umat manusia. Kegiatan kesehariannya hanya mulang ngaji (mengajar ilmu), salat serta menjalankan kesunatan lainnya.

Beliau lahir sekitar tahun 1925 anak pasangan dari H.Amin dan Hj.Ruqayah. Sejak kecil Abuya Dimyathi sudah menampakan kecerdasannya dan keshalihannya, beliau belajar dari satu pesantren ke pesantren lainnya mulai dari Pesantren Cadasari, kadupeseng Pandeglang, ke Plamunan hingga ke Pleret Cirebon. Semasa hidupnya, Abuya Dimyathi dikenal sebagai gurunya dari para guru dan kiainya dari para kiai, sehingga tak berlebihan kalau disebut sebagai tipe ulama Khas al-Khas. Masyarakat Banten menjuluki beliau juga sebagai pakunya daerah Banten, di samping sebagai pakunya negara Indonesia . Di balik kemasyhuran nama Abuya, beliau adalah orang yang sederhana dan bersahaja. Kalau melihat wajah beliau terasa ada perasaan ‘adem’ dan tenteram di hati orang yang melihatnya.



Abuya Dimyati, begitu panggilan hormat masyarakat kepadanya, terlahir tahun 1925 di tanah Banten, salah satu bumi terberkahi. Tepatnya di Kabupaten Pandeglang. Abuya Dimyathi dikenal sosok ulama yang cukup sempurna dalam menjalankan perintah agama, beliau bukan saja mengajarkan dalam ilmu syari’ah tetapi juga menjalankan kehidupan dengan pendekatan tasawuf, tarekat yang dianutnya tarekat Naqsabandiyyah Qodiriyyah. Maka wajar jika dalam perilaku sehari-hari beliau penuh tawadhu’, istiqamah, zuhud, dan ikhlas. Abuya adalah seorang qurra’ dengan lidah yang fasih. Wiridan al-Qur’an sudah istiqamah lebih dari 40 tahun. Kalau shalat tarawih di bulan puasa, tidak turun untuk sahur kecuali setelah mengkhatamkan al-Qur’an dalam shalat.. Oleh karenanya, tidak salah jika kemudian kita mengategorikan Abuya sebagai Ulama multidimensi.



Dibanding dengan ulama kebanyakan, Abuya Dimyathi ini menempuh jalan spiritual yang unik. Beliau secara tegas menyeru: “Thariqah aing mah ngaji!” (Jalan saya adalah ngaji). Sebab, tinggi rendahnya derajat keualamaan seseorang bisa dilihat dari bagaimana ia memberi penghargaan terhadap ilmu. Sebagaimana yang termaktub dalam surat al-Mujadilah ayat 11, bahwa Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan. Dipertegas lagi dalam hadis nabi, al-Ulama’u waratsatul anbiya’, para ulama adalah pewaris para nabi. Ngaji sebagai sarana pewarisan ilmu. Melalui ngaji, sunnah dan keteladanan nabi diajarkan. Melalui ngaji, tradisi para sahabat dan tabi’in diwariskan. Ahmad Munir berpendapat bahwa ilmu adalah suatu keistimewaan yang menjadikan manusia unggul atas makhluk lain guna menjalankan fungsi kekhalifahannya.



Saking pentingnya ngaji dan belajar, satu hal yang sering disampaikan dan diingatkan Mbah Dim adalah: “Jangan sampai ngaji ditinggalkan karena kesibukan lain atau karena umur”. Pesan ini sering diulang-ulang, seolah-olah Mbah Dim ingin memberikan tekanan khusus; jangan sampai ngaji ditinggal meskipun dunia runtuh seribu kali! Apalagi demi sekedar hajatan partai. Urusan ngaji ini juga wajib ain hukumnya bagi putra-putri Mbah Dim untuk mengikutinya. Bahkan, ngaji tidak akan dimulai, fasal-fasal tidak akan dibuka, kecuali semua putra-putrinya hadir di dalam majlis. Itulah sekelumit keteladanan Mbah Dimyati dan putra-putrinya, yang sejalan dengan pesan al-Qur’an dalam surat al-Tahrim ayat 6, Qu anfusakum wa ahlikum naran.



Dahaga akan ilmu tiada habis, satu hal yang mungkin tidak masuk akal bila seorang yang sudah menikah dan punya putra berangkat mondok lagi, bahkan bersama putranya. Tapi itulah Abuya Dimyati, ketulusannya dalam menimba ilmu agama dan mensyiarkannya membawa beliau pada satu tingkat di atas khalayak biasa.

Abuya berguru pada ulama-ulama sepuh di tanah Jawa. Di antaranya Abuya Abdul Chalim, Abuya Muqri Abdul Chamid, Mama Achmad Bakri (Mama Sempur), Mbah Dalhar Watucongol, Mbah Nawawi Jejeran Jogja, Mbah Khozin Bendo Pare, Mbah Baidlowi Lasem, Mbah Rukyat Kaliwungu dan masih banyak lagi. Kesemua guru-guru beliau bermuara pada Syech Nawawi al Bantany. Kata Abuya, para kiai sepuh tersebut adalah memiliki kriteria kekhilafahan atau mursyid sempurna, setelah Abuya berguru, tak lama kemudian para kiai sepuh wafat.(hal 396).

Ketika mondok di Watucongol, Abuya sudah diminta untuk mengajar oleh Mbah Dalhar. Satu kisah unik ketika Abuya datang pertama ke Watucongol, Mbah Dalhar memberi kabar kepada santri-santri besok akan datang ‘kitab banyak’. Dan hal ini terbukti mulai saat masih mondok di Watucongol sampai di tempat beliau mondok lainya, hingga sampai Abuya menetap, beliau banyak mengajar dan mengorek kitab-kitab. Di pondok Bendo, Pare, Abuya lebih di kenal dengan sebutan ‘Mbah Dim Banten’ dan mendapat laqob ‘Sulthon Aulia’, karena Abuya memang wira’i dan topo dunyo. Pada tiap Pondok yang Abuya singgahi, selalu ada peningkatan santri mengaji dan ini satu bukti tersendiri di tiap daerah yang Abuya singgahi jadi terberkahi



Namun, Kini, waliyullah itu telah pergi meninggalkan kita semua. Abuya Dimyathi tak akan tergantikan lagi. Malam Jumat pahing, 3 Oktober 2003 M/07 Sya’ban 1424 H, sekitar pukul 03:00 wib umat Muslim, khususnya warga Nahdlatul Ulama telah kehilangan salah seorang ulamanya, KH. Muhammad Dimyati bin KH. Muhammad Amin Al-Bantani, di Cidahu, Cadasari, Pandeglang, Banten dalam usia 78 tahun. Padahal, pada hari itu juga, dilangsungkan acara resepsi pernikahan putranya. Sehingga, Banten ramai akan pengunjung yang ingin mengikuti acara resepsi pernikahan, sementara tidak sedikit masyarakat –pelayat- yang datang ke kediaman Abuya. Inilah merupakan kekuasaan Allah yang maha mengatur, menjalankan dua agenda besar, “pernikahan” dan “pemakaman”. (tor/abu-abu/Dari berbagai sumber)

Kamis, 22 Juli 2010

Bahasa Jiwa

Biasa disebut “bahasa jiwa bangsa” yang tidak jelas menunjukkan kaitannya
bahasa dengan ilmu; walaupun penentuan bangsa terutamanya jika bangsa itu
bermaksud negara, iaitu negara-bangsa atau janapada (nasion/nation), maka adalah hubungan bangsa dengan ilmu dan lebih am lagi tamadun. Ahli bahasa
memang membezakan bahasa nasional dengan bahasa janapada nasion. Bahasa
nasion ialah bahasa lingua franca, bahasa identiti bangsa, bahasa perpaduan,
bahasa rasmi, bahasa politik, dan sebagainya bagi sesebuah negara; sedangkan
bahasa nasional (yang diterjemah ke dalam bahasa Melayu Malaysia sebagai
bahasa kebangsaan) ialah bahasa yang digunakan pemerintah dan kebanyakan
rakyat sesebuah negara untuk semua situasi penting, terutamanya sebagai bahasa
pembangunan, bahasa pendidikan, bahasa ilmu negara tersebut. Teori “bahasa
kebangsaan” (bahasa nasional) dan “bahasa janapada” (bahasa nasion) ini
terkenal diutarakan Fishman (1973). Contoh negara yang mengamalkan
perbezaan bahasa ini cukup banyak berlaku di Negara Membangun atau Negara
Ketiga, dan kini termasuk Malaysia. Kajian atau pandangan tentang hubungan
bahasa dengan ilmu yang terawalnya diminati ahli falsafah Eropah abad ke-17
ketika mereka mulai mahu meninggalkan bahasa Latin sebagai bahasa ilmu.
Antara yang terkenal adalah ahli matematik-falsafah Jerman, Leibniz, yang
berhujah tentang pentingnya Jerman menjadikan bahasanya sendiri sebagai
bahasa ilmu dan pandangan ini diartikulasikan dengan lebih baik lagi pada abad
ke-19 oleh ahli falsafah bahasa bangsa Jerman, Herder dan Humboldt, dengan
menegaskan bahawa pengucapan sesuatu bangsa dalam bahasanya sendiri itu
adalah setara dengan rohani bangsa itu (Hashim 1994); dan oleh itu perbezaan
bahasa membawa kepada perbezaan intuisi, fahaman dan tafsiran tentang perkara
yang diminatinya. Heidegger, ahli falsafah besar Jerman pada pertengahan abad
ke-20 itu terkenal dengan falsafah Sein und Zeit ini berhujah bahawa bahasa
itulah pembentuk dan tuan manusia, dan bukannya “alat” pemikiran (Gregory
2004). Beberapa orang ahli statistik sosial sejak 1960-an lagi menunjukkan
korelasi positif antara perkembangan sains negara-bangsa dengan penggunaan
bahasa sendiri negara berkenaan seperti kajian Ferguson (1962), Halliday (1979)
dan Davies (1991). Ahli sosiologi ilmu pengetahuan abad ke-20 juga banyak
menyumbang kepada kajian tentang hubungan bahasa dengan ilmu dan yang
tidak lekang dirujuki orang adalah Ravetz (1971) yang menegaskan peranan
positif bahasa terhadap pembanguanan ilmu pengetahuan. Ahli daya pengaryaan
juga membicarakan hubungan bahasa dengan penciptaan ilmu. Ahli yang
terkenal di bidang ini de Bono (1991) tidak terkecuali membicarakan hal ini
sehingga mencetuskan kontroversi kerana katanya bahasa Inggeris bukannya
bahasa yang berdaya karya yang hebat. Teori daya pengaryaan yang dikaitkan
dengan situasi sistem dinamik dalam minda seseorang apabila dia menggunakan
bahasanya sendiri sebagai tambahan kepada bahasa ilmu yang sedia ada dalam
mindanya itu juga telah dibicarakan Shaharir (2005a) dalam konteks Teori
Dwicabangan dan Teori Malapetaka (2005a). Perbincangan tentang hubungan
bahasa dengan ilmu secara amnya daripada segi pengiktirafan dunia dan
penamaan pemilik ilmu atas nama negara-bangsa juga telah dilakukan Shaharir
(2005b) dan diperincikannya lagi kemudiannya (Shaharir 2008). Berdasarkan
kajian tersebut, layak dipopularkan diktum baru “bahasa jiwa ilmu” dan di sini
Bahasa Jiwa Ilmu: Kes Teori Kenisbian dalam Fizik Teori
juga kami membuktikan benarnya diktum ini dalam bidang sains yang amat
berpengaruh dan berprestij, iaitu “Teori Kenisbian Einstein,” “Teori Relativiti
Einstein” atau “Teori Relativitas Einstein.”

INTIPATI TEORI KENISBIAN EINSTEIN YANG SARAT NILAI
Teori Kenisbian Einstein (TKnE), atau yang asalnya diistilahkan Einstein (1919)
sebagai Relativitatstheorie itu diasaskan pada penghayatan konsep dan falsafah
baru terhadap tabii masa dan ruang. Sebelum Einstein, masa dan ruang dianggap
dua kuantiti yang terpisah dan kedua-duanya juga dianggap sebagai perkara
yang manusia mengetahuinya secara a priori (asalnya Jerman: Merkmal(s))
dan bukannya yang diperoleh secara pengalaman atau emipiris (Jerman:
empiriche) atau a posteriori (Jerman: Hinterteil). Ruang (space atau asalnya
Jerman: Raum bukannya Abstand, Leartaste, Leerzeichn, Lucke, Platz) adalah
a priori 3-matra yang sifat-sifatnya termanifestasi pada bangunan sehebat ahram/
piramid itu, bahkan rumah limas di Alam Melayu. Ribuan tahun selepas
pembinaan piramid (iaitu abad ke-4M) barulah sifat-sifat asasi ruang (biasa
disebut geometri) itu diformalkan ‘Uqlides/Euklid, seorang sarjana di
Iskandariah/Alexandria (biasa disebut sebagai sarjana Yunani/Grik Purba sahaja
kerana bahasa karya ini adalah dalam bahasa Yunani, bukan bahasa Mesir),
dalam bentuk 5 aksiom (asalnya dinamai postulat) yang dianggap swa-dalil
dan betul a priori semuanya. Contoh aksiom atau postulat itu adalah “setiap
dua titik dapat disambung menjadi satu garis”, dan “setiap garis hanya selari
dengan satu garis yang lain sahaja” yang tiada siapa mempersoalkannya, kecuali
zaman Tamadun Islam yang terhenti dengan runtuhnya tamadun itu pada abad
ke-14M. Tradisi mengkritik ruang/geometri 3-matra a priori ini dihidupkan
kembali sarjana Eropah abad ke-17 dan membuahkan ruang/geometri bukan
‘Uqlides/Euklid pada abad ke-19, terutamanya ruang/geometri Riemann yang
menjadi inspirasi dan sandaran Einstein. Konsep masa pun demikian juga.
“Masa” pada zaman pra-Einstein dianggap hanya kuantiti yang wujud bebas
daripada adanya perubahan atau tidak dan bebas daripada ruang. Tegasnya masa
itu adalah mutlak. Fahaman masa yang beginilah yang diutarakan Zeno dan
Parmenides (sarjana Yunani abad ke-5SM) dan dihayati dalam fizik klasik,
khususnya oleh Newton. Khususnya, konsep kenisbian dalam fizik Newton
tiada hubungan dengan masa: tempoh masa tidak berubah dan keserentakan
atau tidak, kekal sepanjang masa. Kant (meninggal 1804) adalah ahli falsafah
Jerman yang bertanggungjawab mengukuhkan konsep masa dan ruang klasik
ini menerusi karya agungnya Kritik der Reinen Vernunft yang telah diterjemah
ke dalam bahasa Inggeris dengan judul Critique of Pure Reason yang sorotan
terbarunya dapat ditelaah dalam Gardner (1999). Antara istilah dalam bahasa
Jerman berhubung dengan konsep masa (zeit dalam bahasa Jerman dan time
dalm bahasa Inggeris) diterjemah kepada Inggeris yang mungkin hilang hakikat
asalnya adalah Bewu²tsein yang diterjemah sebagai conciousness (menjadi
kesedaran atau keinsafan dalam bahasa Melayu), wahrnehmung pula diterjemah
sebagai perceptions (menjadi persepsi dalam bahasa Melayu), erscheinungen
diterjemah sebagai appearances (menjadi wajah atau kemunculan dalam bahasa
Melayu) dan anschauung sebagai intuition (menjadi intuisi atau gerak hati dalam
bahasa Melayu). Maklumat tentang Kant ini diperoleh daripada internet K, Hsieh
(2004) dan Faye (t.t).
Konsep dan falsafah Kant itu tidak disenangi seorang sarjana (ahli falsafah)
Jerman yang tidak kurang masyurnya, Hegel (meninggal pada 1831) dan beliau
sering dikaitkan dengan pengasas falsafah kebendaanisme dan dialektisme yang
menjadi asas Marxisme dan komunisme. Padanya konsep dan falsafah Kant itu
tidak menghayati falsafah masa oleh sebarisan sarjana besar Yunani bermula
dengan Hiraklitus disusuli Plato dan Aristoteles tentang nyatanya masa yang
tertakrif menerusi perubahan: adanya perubahan itulah masa dan sebaliknya.
Hagel mengembangkan falsafah masa ini dengan menegaskan mustahaknya
perubahan, sejarah dan fluks, apabila membicarakan masa. Hegel mengaitkan
masa dengan Geist (bahasa Jerman) yang diterjemahkan oleh setengah sarjana
Inggeris sebagai Motion (menjadi Gerakan dalam bahasa Melayu), tetapi yang
lain memadankannya dengan istilah keagamaan Kristian, Anima. Mengikut
kamus Wikipedia di Internet, Anima adalah bahasa Latin yang bermaksud asyik-
maasyuk, rohani dan pati kehidupan; tetapi dalam konteks tradisi Kristian ia
dipadankan dengan perkataan Yunani, psykhe yang diInggeriskan sebagai psyche
dan diMelayukan sebagai psike yang cukup akrab dengan “jiwa.” Hegel harap
dengan istilah Geist itu, semuanya dapat dijelaskan dalam sebutan hubungan
masa dengan apa juga yang berhubung dengan masa, termasuk Anima dan psike.
Mengikut Internet Hegel dikatakannya orang yang meletakkan masa di tempat
yang sama dengan ruang sehingga ruang itulah masa dan masa adalah kebenaran
ruang. Fahaman Hegel juga menjadikan masa bertaraf konsep yang dihubungkan
dengan keinsafan yang belum pernah diutarakan sebelumnya. Hegel mempra-
andaikan “sekarang” sebagai kondisi peletakan diri sendiri satu takat/titik, dan
bukannya “sekarang” sebagai kejadian/makhluk masa (Berman, 1998).
Fahaman Hegel tentang masa tentunya hanya dapat dihayati sepenuhnya
oleh sarjana berbudaya Jerman. Oleh itu, tidak hairan betapa besarnya
kemungkinan Einstein, sebagai sarjana Jerman, terpanggil untuk menghayatinya
dengan tidak memisahkan masa dengan ruang, tetapi mengekalkan perbezaan-
nya, malah mengaitkan masa dengan kelajuan dalam Teori Kenisbiannnya 1905.
Kemudiaan Einstein menjadi begitu tertarik kepada pandangan seorang sarjana
bangsanya, bernama Mach (sarjana Austria; meninggal dunia pada 1916) yang
mengembangkan falsafah Hegel itu dengan mengetengahkan konsep jisim dan
jirim yang dianggapnya menjadi penentu segalanya. Mach banyak menyerang
pandangan Newton dan penegak Newton tentang ruang/geometri sebagai ilmu
a priori itu seperti Kant yang terkenal itu. Falsafah Mach yang cuba diterapkan
ke dalam perluasan Teori Kenisbian Einstein 1905 kepada Teori Kenisbian Am
147
Bahasa Jiwa Ilmu: Kes Teori Kenisbian dalam Fizik Teori
Einstein 1917 sehingga masa bukan sahaja tidak bebas kelajuan, tetapi juga
bergantung pada taburan jisim (Inggeris: mass; Jerman: Masse) atau jirim
(Inggeris: matter; Jerman: Materie) di alam semesta ini. Einstein biasanya tidak
pernah mengaku yang beliau terhutang budi/ilmu atau dipengaruhi sarjana
sebelum atau sezamannya kecuali Mach. Selain itu, dia mengatakan Mach adalah
“penunjuk jalan Teori Kenisbian” dan menamakan satu daripada prinsip dalam
Teori Kenisbiannya itu sempena nama Mach, Prinsip Mach (Machprinzip),
walau pun ada sarjana yang berpandangan Prinsip Mach ciptaan Einstein ini
tidak menepati pandangan Mach yang asal. Oleh sebab pandangan Mach tentang
sains begitu positifis (memenuhi falsafah yang dikenali sebagai positifisme
mantik (logical positivism atau asalnya, Jerman: logish positivismus)dan
kebendaanisme (materialism atau asalnya, Jerman: materialismus), maka
falsafah Mach amat berpengaruh dalam Golongan Vienna yang membina
mazhab positifisme sebagai falsafah sains; dan juga mempengaruhi golongan
komunis Marxis. “Prinsip Mach” Einstein itu ialah “inersia sesuatu jasad
ditentukan semua jasad lain di alam semesta ini.” Sikap Einstein yang tidak
mahu/suka mengaku-hormat sumbangan orang lain, memang semakin terdedah
dengan tuduhan sebagai plagiaris/penciplak, termasuklah terhadap karya
isterinya sendiri (seorang ahli matematik) dan beberapa orang sarjana yang
besar (kebanyakannya bangsanya sendiri, Jerman). Pertamanya, dia tidak pernah
mengaku-hormat kepada Michelson dan Morley 1887 yang membuktikan
kemutlakan kelajuan cahaya menerusi ujikaji mereka yang masyhur; sebaliknya
dia membuat andaian tabii cahaya itu dalam teorinya pada 1905 (dalam ucapan
balasungkawanya kepada Michelson puluhan tahun kemudian sahaja barulah
dia membayangkan pengaruh karya Michelson dalam karyanya). Keduanya,
dia juga melakukan perkara yang sama kepada ahli matematik besar Perancis,
Poincare, yang sebenarnya mengutarakan Teori Kenisbian yang serupa
dengannya setahun lebih awal daripadanya, walaupun dia bertemu beberapa
kali dengan Poincare dan oleh itu dipercayai mengetahui karya Poincare itu
kerana “semua orang” lain di Eropah tahu. Malah Teori Kenibian Khas Einstein
(TKnEK) 1905 itu pernah dikenali sebagai Teori Kenisbian Poincare-Einstein
hingga 1920-an sekurang-kurangnya. Ketiganya, dia melakukan perkara yang
serupa terhadap Hilbert, ahli matematik Jerman sezamannya, yang memang
pernah membicarakan bersama keperluan pembinaan Teori Kenisbian Am itu,
dan Hilbert berjaya melakukannya setahun-dua lebih awal daripadanya yang
dikatakan diketahui Einstein. Kisah negatif Einstein ini dan lain-lain itu dapat
dilihat dalam Bjerkness (2002), Moody (2004), Pavlovic (2000) dan Shaharir
(2004a & 2009).
Dengan andaian masa dan ruang berkait dan kontinum, dan ditambah pula
dengan satu lagi andaian Poincare atau Einstein, iaitu laju cahaya ialah laju
yang terpantas dan mutlak, maka mereka berdua ini secara berasingan berjaya
mengutarakan hukum gerakan baru yang menjuzuki teori baru dalam astronomi
moden walaupun matematik asal Einstein tentang perkara ini masih dipersoalkan
ketepatannya kerana hujah-hujah yang lemahnya seperti yang dipaparkan dalam
buku Shaharir (2004a) itu.
Bagi membenarkan kemutlakan cahaya itu, kononnya Einstein terpaksa
mengandaikan tiadanya unsur medium cahaya yang diwarisi berabad lamanya
yang dikenali sebagai “akasa” dalam bahasa Sanskrit (menjadi “angkasa” dalam
bahasa Melayu sekarang dengan makna yang agak berbeza), al-athir dalam
bahasa Arab yang diLatinkan kepada aether dan diambil oleh Inggeris dalam
bentuk itu (Jerman mengambil Ather), dan seterusnya diMelayukan sebagai
eter (tanpa kesedaran asal-usulnya). Andaian Einstein itu boleh dianggap
ciplakan kerana cerita hubungan beliau dengan Michelson itu. Michelson (dan
Morley) memang dianggap orang pertama yang membuktikan tiadanya eter
dan kemutlakan cahaya, walaupun kini ujikaji ini pun dipersoalkan keesahannya
(Shaharir 2004a). Walau apa pun, TKnEK ini mampu menjelaskan dengan lebih
hebat lagi apa-apa yang dapat dijelaskan dengan teori Newton dahulu, tetapi
dengan lebih bermatematik lagi (suatu yang dikehendaki dalam sains) di samping
memberi beberapa implikasi baru yang merubah pemikiran ahli sains terhadap
masa, ruang, sukatan (panjang, jisim dan tenaga misalnya), keserentakan dan
sebab-musabab yang bertentangan dengan fahaman lama.
TKnE Teori Kenisbian/Kerelatifan/Relativiti/Relativitas Einstein TKnE
menjadi terkenal kerana teori ini mampu menjelaskan secara kualitatif tabii
pergerakan planet Utarid (Mercury daripada bahasa Latin, Merkurius dan bahasa
Jerman, Merkur) yang jelas terbukti menerusi cerapan berabad-abad bahawa
orbitnya bukan elips, dan ini tidak dapat dijelaskan menerusi teori Newton itu.
Ini adalah kerana mengikut teori TKnE ini, orbit setiap planet mengelilingi
matahari tidak lagi berada atas satu satah, tetapi meliuk mengelilingi pusat jisim
Matahari seperti yang berlaku dengan planet Utarid itu sehingga planet itu
tidaklah pernah melalui tempat yang sama lebih daripada sekali. Orbit sebegini
biasanya pula diambil oleh “orang awam” bagi mewakili pergerakan elektron
mengelilingi sebiji nukleus, suatu langkah pemakaian ilmu yang tidak betul.
Malah, inilah satu daripada kelemahan TKnE, iaitu tidak mampu menjelaskan
tabii dunia atom. Ini dianggap sebagai kelemahan TKnE, selain kelemahan lain
yang ditonjolkan Whitehead dan Iqbal yang menunjukkan benarnya “bahasa
jiwa ilmu” yang dibincangkan secara berasingan seterusnya ini.