Senin, 22 Februari 2010

Merobohkan Dinding Nafsu


Nurita Mohammed (41 Th) - President Director PT. Oxygen Communications (Branding and Advertising Agency)
Kata hikmah sudah jamak diketahui berkaitan dengan musibah atau apapun yang menimpa seseorang tapi belakangan justru dirasakan membawa berkah tersembunyi dibalik kejadian itu. Nurita Mohammed

beruntung, karena dibalik gonjang-ganjing rumahtangganya ia menemukan blessing indisguise (hikmah tersembunyi); suluk; menjadi penempuh jalan ruhani; dan bertarekat pada Thoriqoh Qodiriyyah wan Naqsabandiyyah Suryalaya Jawa Barat dibawah bimbingan Mursyid Abah Anom. “Sepuluh bulan saya disana (Pon-Pes Suryalaya;red), Mas,” tutur Nurita Mohammed, yang oleh kerabat-kerabat dekatnya dipanggil Itha, mengenang.

Praktis tak ada kegiatan lain selama Itha di Suryalaya selain menjalankan latihan-latihan ruhani seperti yang dikenal dalam Dunia Sufi pada umumnya; proses pengosongan jiwa dari sifat-sifat tercela (takhalli); pengisiannya dengan sifat-sifat terpuji (tahalli); memanifestasikan sifat-sifat Allah dalam kehidupan (tajalli) dengan metode baku ala tarekat Qodariyyah wan Naqsabandiyyah Suryalaya Jawa-Barat.

Sudah menjadi kata sepakat para Ulama Sufi bahwa jiwa yang sudah terdidik akan dapat menguasai fisik. Hasil lainnya adalah Allah bakal menganugerahi pengetahuan yang menggunakan sarana hati atau pengetahuan emosional yang nilainya terletak pada rasa (dzauq) dan out-put nya adalah keyakinan (al-yaqin) yang berbuah syuhud atau kasyf (penyingkapan/vision).

“Ah. Saya merasa betapa setiap kita tak dapat luput dari liputan kekuasaan dan pengetahuan-Nya, Dalam susah, dalam senang saya senantiasa bahagia dan tenang sebab saya yakin ketika Allah hendak menguatkan setiap hamba-Nya dalam menerima sesuatu yang telah Dia tetapkan, Allah akan menyelimuti hamba-Nya itu dengan cahaya Sifat-Nya,” begitu kata Itha ketika ditanyakan pengalaman kali pertama tak lama sesudah ber-suluk dan kembali ke Jakarta. “Nah ini yang tidak bisa di-compar dengan apapun,” tambah Itha yang punya hobi masak dan baca buku ini .

Dalam kondisi seperti ini Itha semakin dapat berinteraksi dengan orang lain dengan lebih baik, open minded, lentur, mudah beradaptasi dan mampu memahami serta dapat merasakan perasaan orang lain. Allah pun memberinya kemudahan dalam urusan pekerjaan.

Kini setelah kurang lebih 15 tahun malang-melintang di berbagai Advertising Agency, Itha menduduki jabatan di beberapa perusahaan yang dirintisnya; President Director PT Oxygen Communications Network (Branding and Advertising Agency), President Director PT O2 Media Network (Media Specialist) dan President Director PT Spirit Communications (Brand and Event Management).
“Alhamdulillah, melalui keberkahan jalan ruhani yang saya titi, Allah menganugerahi saya kemudahan dalam kerja dan karier,” ucap ibu dari Jason Mohammed (18 thn; pelajar tingkat 6th form di George Dixon International Birmingham, United Kingdom), Dhea Mohamed (10 thn; Pelajar Grade 5 Elementary di Edgbaston High School for Girl, Birmingham, United Kingdom) dan Rene’ Mohammed (10 thn; Pelajar TK Dorrington School, Birmingham, United Kingdom), singkat.

Meski terkesan singkat, ucapan perempuan yang bersuamikan warga negara Inggris itu jika dikulik lebih jauh, didalamnya bukan tanpa proses. Itha telah melampaui tahapan meluruhkan dan menyerahkan semua hasrat, harapan, ketakutan dan angan-angan kepada Allah Swt tanpa terkecuali sehingga yang tersisa adalah rasa diri yang hakiki. Pendek kata, ada peperangan yang sudah dilancarkan Itha dengan merobohkan dinding hawa nafsu, egoisme dan godaan syetan yang mengepung dan menyelimuti hatinya. Karenanya terlihat jelas korelasi kuat antara perjalanan ruhani dengan prestasi karier yang sudah diraih Itha sementara ini.

Perlu ditegaskan disini, bahwa jalan ruhani yang dilalui Itha bukan dari jenisnya yang romantic naturalis yang karena telah (di) berhasil (kan) dalam perjuangan abadi untuk menemukan jalan menembus materi, lalu memilih jalan lain dan berusaha untuk merengkuh yang tak terbatas, masuk kedalam diri sendiri dan menciptakan dunia baru. Dunia Sufi yang dimasuki Itha bukan Dunia Sufi yang membawanya pada sikap individualis; merebut cinta dengan tidak peduli pada nasib sesama. Pemahaman tasawuf yang diterimanya bukan tasawuf yang tak melibatkan akal, atau bahkan menyingkirkan. Tidak. Tidak samasekali.
Karena yang demikian itu jelas bukan Jalan Ruhani, jelas bukan Dunia Sufi sebab Jalan Ruhani dan Dunia Sufi yang sesungguhnya adalah membangun peradaban profetika dengan berupaya menghidupkan potensi-potensi spiritual penempuh atau penghuninya, tanpa harus meninggalkan dunia dan meng-asingkan diri dari pergumulan sosial. Sufi sejati senantiasa memegang erat teladan Rasulullah terutama pada peristiwa mi’raj dimana setelah beliau mencapai Sidratul Muntaha dan kemudian bertemu Allah, Kanjeng Nabi Muhammad Saw kembali lagi ke bumi membangun peradaban umat manusia dengan mengajak manusia secara bersama-sama untuk “mengunjungi” Allah.
Pemahaman Jalan Ruhani dan Dunia Sufi demikian inilah yang di implementasikan Itha di perusahaannya ditengah persaingan keras “memenangkan” pertempuran dalam suatu bisnis moderen.

“Saya termasuk pekerja keras; keras dalam memeras keringat; keras dalam menajamkan pisau analisa. Tapi jauh sebelum itu hati sudah bertawakkal dan memohon ridla kepada Allah Swt. Sebelum berangkat bekerja baik untuk menemui karyawan atau pun klien hati sudah saya tawakkalkan lebih awal sambil memohon ridla-Nya,” terang Itha. “Buat saya bukan lagi goal atau tidak goalnya sebuah tender, tapi bagaimana proses pengajuan tender itu berlangsung, diridlai Allah apa tidak, ini yang terpenting. Memiliki uang itu perlu, tapi yang lebih diperlukan lagi adalah bagaimana agar proses mendapatkan uang itu diridlai Allah. Dan yang tak kalah pentingnya lagi bagaimana uang yang sudah didapatkan itu dapat mengalir dijalan yang diridlai Allah,” papar Itha yang juga anggota Kadin dan Iwapi ini.
Itha tidak hanya pandai mengambil hikmah dari setiap peristiwa dan kejadian, ia pun rajin menularkan nilai-nilai sufisme kepada keluarga dan karyawan-karyawannya agar mereka tidak hanya sekedar menjadi sumber daya manusia yang melulu memiliki kemampuan fisik dan akal, lebih dari itu juga hati dan kemauan (ikhlash). Itha juga menanamkan spirit sufisme dimana nilai-nilai, tujuan hidup, dan kesadaran bahwa diri mereka adalah bagian kecil dari sesuatu yang jauh lebih besar sebagai ciptaan Tuhan.

Itha berharap semoga spirit of sufisme yang ditularkannya dapat dijadikan dasar dari pengembangan kepribadian yang sangat menentukan hidup lahir dan batin mereka di tengah dinamika global milenia sebab ia sangat haqqulyaqin kalau Dunia Sufi tak bakal pernah ternafikan dalam sejarah, tak dapat terelakkan di masa sekarang dan mendatang.

Siapapun yang menyimak Itha dengan hati dan fikiran jernih, akan melihat jelas dalam dirinya karikatur sosok sufi kontemporer yang tidak asing berdzikir dan berfikir tentang Tuhan, sekalipun di hotel luxurious dan datang dengan kendaraan yang luxurious pula.

Hanya Allah Saja Yang Terlihat


Rosnalisa Setya.Psi / 40 Th - Consuler Trust Psichologi Indonesia
Bila shalat disebut Nabi Muhammad Saw sebagai tiang agama, maka tampaknya doa lebih dari itu. ”Doa adalah senjata kaum beriman, tiang agama sekaligus cahaya langit dan bumi,” begitu Sabda Rasulillah Saw dalam sebuah haditsnya.

Perjalanan spiritual Rosnalisa Setya, perempuan yang kerap disapa Lisa ini, dihantarkan oleh sebuah doa yang tidak sekedar bentuk ekspresi lambang kefakiran spiritual, lebih dari itu sebagai cahaya yang menerangi perjalanannya lebih dekat kepada Allah Swt.

Dalam keadaan duduk, dengan kepala tertunduk dan kedua belah tangan menengadah, beberapa bait munajat mengalir dari kedua belah bibir Lisa, “Ya, Rob. Beri hamba kwalitas ibadah sebagaimana telah Kau berikan itu kepada kekasih-Mu, Kanjeng Muhammad Saw yang menjadi penghulu para nabi-Mu,” begitu kira-kira yang terucap.
Suasana yang melingkupi Lisa saat itu bisa diibaratkan seperti seorang yang sudah berhari-hari sakit perut, tak bisa makan, tak bisa tidur, malah obat hasil rujukan resep dokter ahli pun tak berfungsi meredakan penyakitnya. Perempuan kelahiran Banjarmasin ini benar-benar dihantui perasaan galau dan cemas saat itu. Ia juga mengalami kurang percaya diri dan mudah putus asa, dua hal yang seharusnya tak terjadi pada seorang consuler yang sehari-hari akrab dengan ilmu psichologi.

Dalam soal ibadah, alih-alih membuatnya rendah hati, hati beku dan kepala batu masih menggelayuti keseharian dosen psikologi kesehatan komunikasi di beberapa Sekolah Tinggi di Jakarta ini. “Ibadah yang saya jalani masih saya rasakan pada tataran kulit luar semata. Saya menginginkan sebuah ibadah yang benar-benar bernilai. Saya merindukan suasana yang benar-benar berdimensi ilahiah disetiap ibadah dan saya bermohon kepada Allah agar dianugerahi kwalitas ibadah seperti yang di anugerahi Allah kepada Nabi Muhammad atau setidaknya mendekat kearah sana,” ujar Lisa.

Hingga tiba masanya, di satu malam, dimana ketika Lisa baru saja usai menyampaikan munajatnya agar diberikan kwalitas ibadah yang lebih bermutu, ada sesuatu yang menghenyakkan dan menyentakkan sukmanya. Akan tetapi sesuatu itu benar-benar menebar keindahan dan kebahagiaan yang belum pernah Lisa temukan sepanjang hayatnya. “Tak ada kata yang bisa mengurai sesuatu itu, Mas. Meski hanya dalam hitungan detik, keindahan dan kebahagiaan saat itu masih saya rasakan dalam waktu yang cukup panjang. Dan hanya Allah saja yang terlihat,” tutur isteri Iwan Setyawan, dengan mata berbinar.

Pengalaman yang dialami Lisa itu sepertinya serupa dengan pengalaman yang umumnya ditemukan oleh para pecinta Allah yang tak sanggup lagi menyaksikan lebih jauh hakikat keagungan Sang Dicinta (Allah; red) ketika penyaksiannya mencapai puncak keindahan, hingga membuat hatinya cemas, berkobar, dan bergerak bangkit untuk terus “memburu” Allah Swt.

Itulah pengalaman Lisa yang sesaat kemudian mirip dengan penjelasan Allah dalam Al-Quran bahwa ketika Allah Swt berkenan memberi petunjuk kepada hamba-Nya, Allah lapangkan dadanya menerima Islam (Q.S. Al-An’am (6):125). Betapa kuatnya dorongan hati ibu dari Alvin Faridzi ini untuk bertarekat sesudah menemukan pengalaman unique itu.“Hasil istikharah menyimpulkan saya harus bertarekat,” ujar alumni fakultas psikologi Universitas Daarul Ulum Jombang Jawa Timur ini. Lisa pun melabuhkan jiwanya pada aliran tarekat yang bersilsilah pada Sulthaanul Awliya’ Syeikh Imam Abul Hasan Asy-Syaadziliy. Suaminya, Iwan Setyawan, yang muallaf pun turut bertarekat mengikuti jejak Lisa.

Bahagia dan gembira mengisi hari-hari Lisa setelah memutuskan diri untuk total berada di Dunia Ruhani, Dunia (para) Sufi. Bahagia dan gembira itu bukan terstimulasi oleh menambahnya materi, melainkan limpahan rahmat Allah dalam bentuk Nur Ilahi yang membuatnya mampu mencandra hakikat (rahasia) sesuatu baik rahasia taat maupun maksiat, entah itu rahasia sedih maupun senang, apakah itu rahasia nikmat maupun musibah, dan seterusnya dan sebagainya. “Saat, sesudah bertarekat, tingkat kepercayaan diri dan kepasrahan saya pada Allah Swt jauh lebih baik,” kata Lisa mengungkap side effect Dunia Ruhani pada dirinya.

Kebahagiaan dan kegembiraan yang dialami Lisa, dalam ilmu tasauf diistilahkan dengan uns atau keintiman spiritual. Ia menjadi hal yang niscaya dari tersingkapnya tabir yang ada diantara sang hamba dengan Allah Swt. Pandangannya menjadi terfokus hanya kepada-Nya tanpa menoleh kepada sesuatu yang lain kecuali Ia. Uns merupakan keadaan spiritual ketika hati dipenuhi dengan cinta dan keindahan, kelembutan dan belas kasih, serta pengampunan Allah ‘Azza Wajalla. Keindahan uns yang tak dapat terlukiskan membuat seseorang mengalami kedekatan dengan Allah, bahkan ketika Allah menjaga jarak dengan dirinya.

Psikiater yang sedang melakukan penelitian Korelasi Kecerdasan Spiritual Terhadap Dunia Kerja ini sepertinya sudah sampai pada keadaan uns yang demikian itu hingga apapun keadaan yang dihadapinya, semuanya menjadi tak memiliki pengaruh dalam dirinya. “Susah-senang bagi saya sama saja, ada Allah disana,” begitu tutur Lisa. “Saya tak akan pernah mencari tempat pelarian yang lain lagi sebab saya kini tahu dimana tempat satu-satunya harus dipijak,” tutur Lisa lagi.

Begitu pula dengan doa. Berdoa bagi Lisa saat ini jauh melampaui dari persoalan meminta dan ia tak ambil pusing dengan persoalan dikabulkan atau tidak.Yang penting buat Lisa sekarang ini adalah Allah bersama keintiman-Nya. Ini bukan berarti Lisa kini tak pernah lagi berdoa. Doa bagi Lisa tak lebih dari sekedar pemenuhan terhadap apa yang diminta Sang Kekasih (Allah;red) kepadanya. Tidak lebih dari itu.
Lisa seperti nya sudah dianugerahi doa pada tingkatan yang sekaligus menjadi cahaya langit dan bumi sebagaimana terisyaratkan dalam sabda Nabi Muhammad Saw dimuka. Semoga. Wallaahu A’lam!

Akhirnya Aku Buang Ilmu Hikmah dan Kanuragan


Badrul Munir / 34 Th - Mantan Guru Kedigdayaan
Jika Anda memiliki pertanyaan, “apa bedanya antara Sufi dan dukun? ”Sodorkan saja pertanyaan itu ke Badrul Munir. Pasalnya lelaki lajang kelahiran Bogor, yang akrab disapa Munir itu, sebelum bertarekat, ia lama berjibaku di dunia

paranormal, kadigdayan atau ilmu hikmah.
Ilmu Supranatural yang dimiliki Munir sebenarnya effect dari kesungguhannya mendalami Silat Cimande, satu dari empat aliran pencak silat tanah Pasundan. Tiga aliran lainnya adalah Cikalong, Sabandar dan Sera. Kemampuannya memperagakan jurus-jurus pencak silat yang sudah dikenalkan oleh seorang pendekar bernama Kahir sejak tahun 1760 ini membuatnya merasa perlu mendalami ilmu kebal dan ilmu kehadiran atau ilmu hikmah.

Berbagai guru dari berbagai daerah seperti Sukabumi, Cianjur dan Banten, dengan berbagai keahlian, didatanginya. Aneka ragam amalan dari yang berbahasa Jawa, Sunda sampai Arab ia dawam-kan dengan tujuan disegani kawan dan tak dapat dijatuhkan lawan.

Kesohoran Munir sebagai guru silat dan hikmah yang “digdaya” mulai menggema gaungnya, setidaknya dilihat dari jumlah muridnya yang mencapai hingga ratusan orang, atau tamu yang sowan kepadanya mulai dari yang minta penglaris, pengasih sampai calon Bupati yang minta dukungan kadigdayan agar dapat memenangkan pemilihan. Terlebih, guru muda ini selalu tampil terdepan disetiap penggerebegan tempat-tempat judi dan maksiat di daerahnya.

Hanya bermodalkan bacaan-bacaan sejenis, Yaahuu jabardas-jabardis yartatas keris Soleman, den kaya keris mengkana landhepe tangan ingsun, lalu tangan menggebrak meja, musuh akan menjadi ciut dan gagu, atau hanya dengan menggebrak tangan kanan diatas tanah, puluhan lawan yang menyerang akan terpelanting, kocar-kacir, tidak keruan.“Praktis. Setiap malam saya tidur hanya dua jam cuma untuk meladeni tamu yang terus berdatangan,” kata Munir mengenang.
Diantara amalan dan wiridan yang dimiliki, Munir lebih tertarik untuk mengamalkan Hizb Khofiy, Hizb Bahr dan Hizb Nashor karya Imam Abul Hasan Asy-Syadziliy. Mungkin karena alasan “kedahsyatan kekuatan” didalamnya, ketiga hizb itu mendapat tempat istimewa dihati Munir. Tidak hanya itu, dalam diri Munir ada dorongan kuat untuk mengenal siapa Imam Abul Hasan Asy-Syadziliy. “Ada sejenis invisible hand yang mendorong saya untuk mengenal lebih jauh sosok Abul Hasan Asy-Syadziliy, penulis ketiga hizb yang sering saya wiridkan tersebut” tutur Munir.

Pucuk dicita ulam tiba. Dari Majalah Cahaya Sufi, Munir menemukan runtutan silsilah Imam Abul Hasan Asy-Syadziliy pada seorang Mursyid Pengasuh Pesulukun Tarekat Agung (PETA) di Tulung Agung Jawa Timur. Tanpa pikir panjang, mantan mahasiswa IAIN Jakarta ini langsung pergi ke Tulung Agung, dengan satu harapan ia dapat mengasah dan mempertajam lagi ketiga hizib yang sudah rutin diwiridkannya. Sepanjang perjalanan menuju Tulung Agung, Munir memimpikan ketiga hizibnya itu, ibarat sebuah sebuah keris, akan dapat lebih memancarkan pamornya, kelak sekembalinya dari Tulung Agung.
Apa yang didapatinya setibanya di pondok PETA ? Munir dianjurkan untuk suluk, berbai-at dan diminta membuang semua ilmu hikmah atau kanuragan yang pernah dipelajarinya. Sebagai gantinya, ia hanya diberitahu tiga hal yang harus dimohonkannya kepada Allah Swt; Terang hati; Tetap Iman; Selamat didunia dan akhirat, termasuk ketika mewiridkan tiga hizb favoritnya itu. “Ach, apa iya ?,” Munir membatin waktu itu.

Tak mudah awalnya bagi Munir menerima anjuran tersebut, terutama ketika dirinya diminta untuk membuang ilmu kanuragan nya. Ia merasa eman sebab ilmu-ilmu itu didapati nya melalui proses yang panjang, berkeringat dan berdarah-darah. Ia malah lebih memilih memperdalam kedigdayaan ketimbang menyelesaikan studi S1 nya. Apalagi jika dilihat dari sisi materi dan status sosial, mantan aktivis Ikatan Mahasiswa Muhammadiyyah ini telah mendapatkan semuanya dan merasa nyaman dengan ilmu-ilmu beraroma wingit-mistik dan silat Cimandenya, yang bersilsilah dari Kahir, Rangga, Ace Naseha, H. Abdul Shamad, H. Idris, H. Adjid, H. Zarkasih, H. Niftah dan H. R.A. Sutisna, yang dipunyai itu. [pagebreak]

Mendapat penjelasan bahwa lelaku yang dijalaninya selama ini telah melesat jauh dari hal-hal yang diridlai oleh Allah Swt; berpuasa, tapi tujuannya agar dikunjungi banyak tamu; dapat membuat tubuhnya kebal dari timah panas dan benda-benda tajam. Munir hanya bisa diam, tersipu.

Sesaat kemudian, Munir pun menyadari bahwa ilmu kehadiran yang dipunyainya lebih banyak dibantu oleh kekuatan gaib terutama yang datang dari bangsa jin. Hal ini bisa dilihat ketika ilmu kehadiran nya bekerja, betapa orang yang “dihadiri” (baca; dirasuki), suaranya tiba-tiba berubah menjadi datar tanpa intonasi; kekuatan fisiknya melebihi kekuatan yang sebenarnya; tatapan matanya pun tajam, kosong lurus kedepan; pada tingkatan tertentu orang yang kerasukan mampu berbuat sesuatu yang tak lazim seperti terbang atau melempar benda yang beratnya hingga mencapai ton-tonan hanya dengan sebelah tangan dengan sekali gerakan saja; matanya mendelik hingga hanya terlihat kelopak putihnya saja dan seterusnya. Munir kembali terdiam, tersipu.

Sejak suluk kali pertamanya itulah, ia buang seluruh amalan, semua wiridan yang pernah dipunyainya sebelumnya.
Kini, setelah beberapa kali suluk, Munir mulai memahami pelajaran pertama yang didapatinya ketika baru menapaki Dunia Sufi yakni: Terang hati; Tetap Iman; Selamat didunia dan akhirat. “Tiga hal itu, saya rasa modal pertama dan paling utama untuk setiap manusia yang hidup didunia,” tuturnya. “Tanpa itu semua, manusia akan selalu terjerembab pada jurang-jurang kekonyolan,” tambahnya.

Sesudah beberapa kali mendapat ijazah amalan-amalan tarekat syadziliyyah ia semakin merasakan dirinya bukan apa-apa selain seorang hamba yang lemah, penuh hina dan dina. Ia semakin merasa malu jika ada dorongan halus yang mendorongnya untuk bertanya apakah hatinya sudah bersih dan suci atau sudah di maqom manakah ia kini berada.

Munir juga sangat ketat mewaspadai dirinya dari setiap vested interest yang tanpa disadari bisa merasuki siapa saja termasuk pengamal tarekat sekalipun. Ia tak ingin terperosok pada kekeliruan yang pernah dialaminya, menggunakan “jurus zikir” kepada setiap orang yang datang meminta bantuan batinnya. “Saya geli bercampur sedih ketika melihat ada diantara jamaah tarekat syadziliyyah yang masih sok bergaya dukun, memberi jaminan bahwa kalau dzikir tertentu dibaca sekian kali, maka maksudnya (seperti naik pangkat, ngusir jin, banyak murid atau ramai pembeli) akan tercapai,” ungkap Munir yang kalau saja muak kepada sesama dibolehkan agama ia akan muak (terutama) kepada para pengamal tarekat yang selalu disibukkan oleh urusan-urusan wirid dengan perasaan seolah-olah tengah melakukan kebaikan padahal semua yang dilakukannya itu (sebenarnya merupakan lakulampah dunia para dukun yang) selalu digantungkan pada khasiat, mujarab, bisa begini dan bisa begitu.

Ketika Cahaya Sufi menanyakan kenapa Munir masih mengajarkan Silat Cimande, alasan utama yang disampaikannya karena Guru Ruhaninya, Syeikh Sholahuddin, memintanya untuk terus menularkan kepada orang lain, disamping Silat Cimande yang ada saat ini sudah dibersihkan dari ritual mistik. “Silat Cimande yang saya tularkan sekarang ini tidak lebih dari sebuah amanat dalam membangun dan mengembangkan kepribadian dan karakter mulia anak-anak muda dikampung ini, Mas. Silat itu cuma sebagai sarana mengajak teman-teman (muda) untuk secara bersama-sama “mengunjungi” Allah, Mas,” beber Munir.

Meski sudah lebih dari enam kali bersuluk, sikapnya secara syar’i masih tetap terbilang wajar. Hanya saja memang, ia semakin tegas menjaga jiwa dan nuraninya agar tidak terkotori oleh pengaruh keindahan dan hiruk pikuk dunia. Ia juga selalu menjaga agar tidak berlebihan baik dalam ucapan, tindakan, hasrat dan keinginan.
Yang pasti. berlama-lama bersama Badrul Munir akan membawa kita untuk merenungkan sebuah hadist Nabi Saw: “Betapa banyak amal ibadah yang tampak bersifat ukhrawi tapi sebenarnya duniawi....”

Dalamnya Hati Menjadi Terukur


Hj. Asih T. Harley / 44 Th - Stockist PT. Media Natura Indonesia
Kalau bukan lantaran beratnya beban kehidupan yang dihadapi, perempuan pekerja keras Hj. Asih T. Harley (44 Thn) mungkin tak akan pernah mengenal bagaimana rasanya nyantri, mondok di sebuah pesantren. Asih memang pernah

mondok, tapi jangan dibayangkan seperti mondoknya seorang anak yang baru lulus Sekolah Dasar lalu untuk melanjutkan jenjang studi sambil memperdalam ilmu fiqh, alat, manthiq balaghah atau yang lainnya.

Waktu itu Asih sudah bekerja di PT Gapura Prima setelah sebelumnya ia pernah bekerja di Bank Internasional Indonesia, Surat Kabar Harian PRIORITAS, Krama Yudha Tiga Berlian Motor Warung Buncit dan sempat mendirikan PT. Lectura Advertising. Asih nyantri karena di dorong oleh kegelisahan hidup yang menghantuinya. Karenanya ketika di satu pesantren tak di temukan penawar gelisah, ia akan pergi ke pesantren lainnya. Begitu seterusnya hingga kebiasaannya berpetualang berhenti ketika Asih mantap bertarekat di Dunia Sufi.

”Sebetulnya saking terlalu banyaknya benturan hidup yang saya hadapi, membuat saya gelisah. Beberapa kali saya keluar masuk pesantren tapi masih saja tak saya temukan ketenangan batin. Hingga pada akhirnya Allah membimbing saya dapat bertarekat pada Tarekat Qadariyyah Naqsabandiyyah (TQN) asuhan Abah Anom Suryalaya dan terhampar semua jawaban persoalan kehidupan saya. Kini hanya Allah dan sifat jamaliyyah-Nya saja yang saya temukan. Karenanya meski setelah bertarekat ujian hidup masih selalu menghampiri, tapi saya damai bersama-Nya,” tutur perempuan kelahiran Bandung, 23 Oktober 1964 ini.
Sebatas itukah pengalaman ruhani yang Anda dapat di Dunia Sufi ? “Dari kemarin-kemarin pun sebenarnya saya ogah Anda wawancarai. Apalagi harus mengungkap pengalaman ruhani. Enggak janji dech ?!. Tapi karena Anda sudah saya anggap se-ikhwan (sebutan jamaah TQN untuk saudara sekandung secara ruhani; red) makanya saya bersedia membeberkan pengalaman ruhani saya. Tapi Anda janji enggak ditulis semua kan ?

Iya. Tapi apa dong pengalaman lain yang Anda temukan dari Dunia Sufi ?

“Dengan bertarekat sesuatu yang tadinya gaib menjadi tidak gaib. Kalau ada peribahasa dalamnya laut bisa diukur dalam nya hati tak bisa diukur. Nah, dengan bertarekat dalamnya hati menjadi terukur.”

Tidak percaya? Bertarekat saja

Memperbaiki Metabolisme Dan Regenerasi Sel Ruhani


Zainal Arifin / 28 Th -Imam Masjid Al-Hijrah, Pondok Labu
Seseorang yang ingin menempuh menjadi jamaah suatu tarekat tertentu, biasanya, tidak dapat langsung di terima begitu saja. Ada tarekat tertentu yang mensyaratkan kepada calon murid untuk melakukan tindakan tertentu.

Tidak sedikit para Mursyid yang Kamil Mukammil melihat-lihat terlebih dahulu “kondisi” calon muridnya, apakah ia patut menjadi muridnya atau menunggu beberapa waktu atau langsung di tolak. Lho, apa pasal ?
Itulah yang dialami Zainal Arifin (28) yang akrab disapa Ustadz Arif, alumnus Pondok Pesantren Huffadzhul Quran Tebu Ireng Jombang Jawa Timur, sebelum akhirnya berbaiat pada Tarekat Naqsabandi Haqqani Rabbani. “Meski sudah memegang Asyfa’ dan mampir ke PETA Tulung Agung, saya tak mendapat bai-at dari Romo Kyai Abdul Jalil Mustaqim. Pengalaman yang serupa juga saya dapatkan dari Abuya Dimyati, meski saya cicit dari salah seorang guru ruhani Abuya Dimyati dan saya sudah mendapatkan ijazah Hizb Nashor yang sanadnya bersambung kepada Abuya Dimyati dan Syeikh Yasin al-Fadangi, saya tidak mendapat bai-at dari Abuya,” tutur Arif.

Kecewakah Arif ? Tidak. Sebab Arif memang terlahir dari keluarga bertarekat dan telah lama ia memahami bahwa status ketarekatan individu menjadi hak perogrative Allah. Setiap Mursyid (yang Kamil Mukammil tentunya) telah memilki daftar nama siapa saja yang menjadi muridnya. Rupanya suratan taqdir tertulis Arif berbaiat kepada Grand Syeik Muhammad Hisham Kabbani Ar-Rabbani As-Sayyid.

Lalu, pelajaran apa yang didapat Arif ketika dan sesudah berbaiat? Arif merasa dikunjungi guru-guru ngajinya di desa saat ia kecil. Begitu juga dengan sosok KH Yusuf Makhsar dan Kiyai Adlan Ali, dua orang Kiyai yang dikaguminya saat ia nyantri di Tebu Ireng beberapa tahun yang lalu. Mereka hadir sekan memberi restu padanya berbaiat pada Tarekat Naqsabandi Haqqani Rabbani. Sesudah itu tak ada kata yang pernah bisa menjadi cermin yang pas untuk menjelaskan pengalaman ruhaninya usai berbabaiat, yang membuat penjelasan yang disampaikannya pun menjadi serba sedikit: “Habis sudah jiwa….., eksistensi……, sa…..yy….a. Tak punya lagi keinginan…… kecuali yang diinginkan Allah Swt atas saya,” ungkap Arif yang terbata ketika menyampaikan proses perbaikan system metabolisme dan regenerasi sel-sel ruhaninya. Allâhu Allâhu Allâhu Haqq !

Jangan Remehkan Barang Bekas!


Ista’in / 44 Th-Pengusaha
Kata-kata ini seharusnya menjadi perhatian kita semua ditengah Global Warming yang sudah sampai pada titik nadir mengkhawatirkan masyarakat dunia. Tak ada salahnya botol selai bekas, Anda manfaatkan untuk

dijadikan tempat pensil warna atau tempat tasbih setelah diberi hiasan pada badan atau tutup botolnya dengan warna dan gambar yang Anda sukai.

Banyak hal yang tanpa disadari bahwa barang (sampah) bekas ternyata dapat lebih praktis, ekonomis, sehat dan menyenangkan.
Ista’in memiliki pengalaman lain dari majalah bekas. Seusai salat Jum’at, ia tadinya tidak peduli dengan majalah Cahaya Sufi bekas yang di jajakan seorang pedagang buku di halaman Masjid di bilangan Pulo Gadung Jakarta Timur. Entah apa yang membuatnya kembali lagi untuk mendatangi penjaja buku yang sudah dilewatinya sepanjang lima meter perjalanan.

Ia hampiri lalu ia ambil majalah Cahaya Sufi terbitan tiga tahun lalu. Isinya memuat jawaban persoalan hidup yang saat itu tengah ia hadapi. Apa itu ? Seputar bahwa orang harus menerima fakta-fakta kehidupan; enak-tidak enak; sedikit-banyak; tangis-tawa; menderita-bahagia dan seterusnya dan sebagainya.

Karena majalah bekas itu pula Ista’in melabuhkan jiwanya pada tarekat syadziliyyah dan mulai memahami “bekas” fakta-fakta kehidupan kemarin sejak ia bersekolah dan harus mengayuh becak untuk membiayai kelanjutan sekolahnya, lulus dan bekerja di perusahaan konveksi. Keluar dari konveksi Ista’in nguli di petikemas pelabuhan Tanjung Priouk Jakarta Utara, di PHK, membuka usaha catering lalu bangkrut terkena dampak krisis moneter. Dengan sisa tabungan yang dimiliki, kini Ista’in membuka warung nasi dan melayani jasa jemputan sekolah untuk anak-anak berkebangsaan India di ABC School Jakarta Utara.

Ista’in bersyukur sekali dapat bertarekat ditengah ia menghadapi mati-matian kecamuk kehidupan. “Setelah bertarekat Allah mengurai hikmah dibalik fakta kehidupan masa lalu saya, Mas,” ungkap Ista’in di Masjid Baitul Ihsan Bank Indonesia beberapa Rabu yang lalu, kepada Cahaya Sufi.

“Dengan memasuki Dunia Sufi saya menjadi faham bahwa kemarin-kemarin ketika menghadapi ujian hidup, dimana selalu terpikir dalam otak saya bagaimana caranya mengakhiri satu masalah, ternyata sikap yang demikian ini salah. Sebenarnya yang Allah nilai adalah pada sikap sabar kita ketika menghadapi ujian itu, bukan pada berakhirnya masalah yang tengah kita hadapi.,” tambah Ista’in datar.

Bagaimana dengan hari ini dan esok ?”Kapan saja, dimana saja, ujian hidup harus disadari dan diyakini sebagai cara Allah untuk mengangkat derajat seseorang dihadapan-Nya. Jika sudah demikian, sebesar apapun ujian, maka tidak ada ujian besar yang disebut besar, maka tidak ada lagi namanya nikmat dan bencana,” jelas Ista’in mengutip icon iklan minuman ringan coca cola.

Apa yang dikatakan Ista’in mengingatkan kita pada untaian hikmah Imam Ibnu ‘Atha’illah As-Sakandari: “Siapa yang tidak suka (sadar) dzikir kepada Allah ketika sehat dan lapang rizki, maka akan dipaksa agar berdzikir ingat kepada Allah dengan tibanya bala bencana. Maka dalam kedua hal itu Allah Swt berkenan menuangkan nikmat kurnia yang sebesar-besarnya kepada hamba-Nya..”

Nah ! Mulai saat ini jangan siakan bekas-bekas langkah masa lalu kehidupan Anda.

Aku Adalah Musuhku


Danu Indra Satya / 22 Th-Ex Trainer Super Memory Amaul Husna
Dia dihadapkan pada terlampau banyaknya sajian spiritual. Memilih, telah menjadi kemestiannya jika tidak ingin terus diguncang oleh kagalauan batinnya. Itu pun harus tepat. Sebab sesuatu yang dikecam banyak orang belum

tentu sesat dan tidak mesti sesuatu yang dipuja oleh massa adalah yang terbaik. Ia kumpulkan beragam hidangan spiritual dari yang beraksentuase meditasi, ISQ, supranatural, metafisika, hipnotis hingga NLP (Neuro Linguistic Programing).

Setelah semua dicicipi, akhirnya semua ditinggalkan yang dipilihnya adalah Dunia Sufi. kenapa Dunia Sufi ? karena disana ia temukan kebenaran Islam dan pencerahannya sekaligus. Sesudah berbai’at pada tarekat Syadziliyyah tuntutan yang lebih bersifat akademik untuk menjelaskan manusia dan kemanusiaan, hidup dan kehidupan tak lagi menjadi penting, sebab baginya kini yang terpenting bagaimana menginternalisasikan warisan teladan Nabi Muhammad Saw dan ajaran-ajaran besar para Sufi Besar kedalam jiwa serta mewujudkannya dalam ranah kehidupan sehari-hari. “Ternyata dalam Dunia Sufi semua masalah ada jawabannya,” begitu pengakuannya, beberapa kali ditegaskan pada Majalah Cahaya Sufi.

>Mencari Islam dan Allah swt
Danu Indra Satya (22) satu dari ribuan remaja perkotaan yang beruntung. Beruntung karena ia masih memiliki kesetiaan; dalam berkomitmen, dalam religi dan kiblat nilai. Namun semua itu dilaluinya bukan dengan mudah. Ia tersulut oleh kehampaan batin yang mendorongnya jauh berjalan, memasuki lorong panjang yang senyap, sunyi dan sesekali terasa gersang, diamuk gelisah. Ia sempat menolak Islam; sebagai agama “turunan” kedua orang tuanya; sebagai perangkat ajaran dari langit dan final dalam memberi jawaban atas persoalan hidup. Ia baru melihat jawaban Islam atas persoalan baru sebatas tingkatan ideal dan terasa mentah, terutama, ketika ditarik ke bumi dalam tataran sosiologis dan psichologis.

“Dimasa-masa SMA saya mengidap kehampaan batin.
Saya mencari penawarnya dalam Islam tapi tidak ditemukan. Disamping mencari islam, pada saat yang sama, saya mempertanyakan kesempurnaan Islam sebagai agama yang paling benar. Kalau Islam agama paling benar dan sempurna pasti tak ada cacat didalamnya. Saya tergelitik untuk mencari dan menemukan kesempurnaan itu,” tutur Danu mengawali pembicaraan yang sebelumnya sempat melakukan aksi tutup mulut, menolak diwawancarai Cahaya Sufi. Ia ditemui, tengah malam, usai mengikuti dzikir dikediaman salah seorang Imam khushushiyyah dibilangan Kebayoran Lama Jakarta Selatan beberapa waktu lalu. Sepertinya Danu masih menganggap sopan orang yang meragukan keagamaannnya sendiri. “Keraguan tanda kedalaman iman dan kesejatian cinta,” begitu perasaan sebenarnya yang ada dalam diri Danu terhadap Islam. Kecintaannya terhadap Islam terbukti ketika ia menolak keras pernyataan Anand Krishna yang menyamakan Islam dengan agama dan aliran kepercayaan yang ada.

Meski Anand dikenal dengan pernyataan-pernyataannya yang sejuk dan mendamaikan seperti, “Saya tidak berusaha untuk mengumpulkan anggota-anggota atau pengikut. Saya tidak tertarik pada domba, saya tidak mencari kepada Allah swt. Saya berusaha untuk membina para gembala. Sesungguhnya, saya tidak dapat berbuat lain, selain meletakkan cermin dihadapan Anda. Ketika Anda melihat saya, Anda melihat diri Anda sendiri. keadaan Anda sekarang mungkin mencerminkan masa lalu saya. Keadaan saya sekarang dapat menjadi masa depan Anda. Masa depan saya masih merupakan sebuah misteri. Jadi, jangan mencoba untuk menjual saya. Jangan jadikan saya sebagai seorang mesias lainnya, saya hadir di sini bukan untuk memenuhi standar-standar Anda, dan saya juga tidak mengharapkan hal yang demikian dari Anda. Datanglah dan mari kita berbagi. Saya akan berbagi dengan Anda apa yang saya miliki dan Anda dapat berbagi dengan saya apa yang Anda miliki. Kita semua adalah para sahabat,”

Danu tak bergeming, masih tetap dengan sikapnya, lakum diinukum wa liya diin, itu jalanmu dan aku memiliki jalanku sendiri, demikian kira-kira prinsip yang di pegang Danu.
Pengalaman itu malah semakin membuat Danu bergairah mencari Islam. Ia tak ragu mempelajari Islam ke berbagai kelompok spiritualitas yang berbeda nama dengan aturan main yang tidak sama pula. Ia juga menjalankan praktik-praktik mistik dari yang berpola meditasi hingga zikir dan tantra. Kundalini pun pernah ia dalami.

Keterlibatannya diberagam ajaran spiritual dari berbagai kelompok mistik itu, mengubah pergumulan pemikirannya yang semula sebatas pada Islam, beralih pada tema tentang Allah swt. Ia dihantui pertanyaan-pertanyaan tentang Allah swt yang ditemukannya ketika bermeditasi dan melampaui pengalaman trance masuk ke alam non dualitas. “Saya bertanya, itu benar-benar Allah swt atau alam khayal saya saja? Lantas apa bedanya Allah swt dengan imajinasi? Apa bedanya imajinasi bawah sadar dengan wujud Allah swt yang hakiki,” ungkap Danu mengenang.

Cukup sampai disini ? Tidak. Untuk menguji “temuan-temuan” nya Danu melakukan anti tesa dengan mengikuti pelatihan ESQ yang dipimpin Ari Ginandjar. Oleh Ari ia dipercaya untuk mengelola Fosmagz, majalah terbitan ESQ. Di sela-sela itu ia pun mendalami psikologi terapi hypnosis pada dua psikiater yang mumpuni dalam model pikiran ilmiah alam bawah sadar dan hypnoterapi, Ananta dan dokter Arya. Puncaknya, Danu belajar kepada seorang master hypnoterapi dari Amerika, Julie Griffin. “Saya memang pencari yang liberal, Mas” aku Danu.

Hingga ada satu kejadian dimana batinnya terperanjat dalam sebuah tugas jurnalisme. Nara sumber, seorang Guru Tasawuf, yang akan diwawancara tiba-tiba berkata pada Danu bahwa semua yang didapat dan dipelajari nya dari ESQ, tak pernah menghantarnya pada Allah swt. Danu hanya bisa tergagap mendapat pernyataan itu. Bagaimana tidak, proses wawancara saja belum dimulai, Guru Tasawuf yang dalam ceramah-ceramah dan kesehariannya berpenampilan low profile seketika saja, dengan tegas, melontarkan kata-kata yang tidak di duga Danu sebelumnya.

“Sebenarnya saya hanya ingin mewawancarai beliau. Eh malah saya mendapat pernyataan yang sangat nyelekit dan membuat saya sock. ESQ tidak bikin kamu sampai pada Allah !. ESQ hanya memberi kamu peta, tapi tidak memandumu !,” cerita Danu, mengutip ucapan guru Tasawuf yang Sufiolog itu.
Alih-alih berita yang didapat, kata-kata “O, iya ?” menelusup ke hati Danu, mengendap lalu menjadi pertanyaan besar.
Pertanyaan besar itu seperti obor yang apinya terbuat dari bahan bakar keabadian, terus menyala dan menggelorakan rasa ingin tahu Danu atas kebenaran kata-kata yang sempat membuat batinnya terperanjat. Danu selalu memikirkan kata-kata itu selama berbulan-bulan sebab Danu memang tak ingin pengetahuan yang didapatnya setelah melawati perjuangan panjang hanya serupa bunga plastik, indah tapi palsu, indah namun mudah membosankan.

Pertanyaan besar yang lahir dari pernyataan tandas, tegas dan tak terduga itu mendorong Danu untuk mempelajari tasawuf, terutama fikiran-fikiran Imam Ibnu ‘Atha’illah yang tertuang dalam kitab al-hikam. Walau demikian bukan berarti Danu membiarkan begitu saja pertanyaan-pertanyaan seputar Islam dan Allah swt yang bertahun-tahun menggelayuti pikirannya hilang ditelan udara hampa. Jawaban atas pertanyaan-pertanyaan itu terus di carinya, bahkan ia masih selau melakukan antitesa terhadap setiap tesa yang ia temukan.

Menyimpan isu kesesatan tasawuf. Sejak itu Danu selalu aktif mendatangi majelis-majelis dimana Guru Tasawuf itu menggelar pengajiannya, mulai dari majelis yang memanfaatkan kediaman salah seorang pengamal tarekat Syadziliyyah, H. Syahrir, persis dibelakang ITC Permata Hijau, Jln. Masjid An-Nur Kebon Nanas No.13 Kebayoran Lama Jakarta Selatan, sampai Hotel Maha Rani dan Kampus Biru (keduanya ada dibilangan Mampang Jakarta Selatan) serta Masjid Baitul Ihsan Bank Indonesia yang letaknya tak jauh dari Monas (Monumen Nasional) dan Istana Negara. Bukankah jika tasawuf itu begitu penting dalam Islam, sudah pasti Allah dan Rasul-Nya akan memerintahkan manusia (setidaknya umat Islam) untuk belajar tasawuf ? Bukankah Allah berfirman: “…Pada hari ini telah Aku (Allah) sempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Aku cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Aku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu….” (Al Maa-idah:3).

Bukankah Rasulullah Saw bersabda: “Sesungguhnya perkataan yang paling baik adalah kitab Allah dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Rasulullah Saw, dan perkara yang paling buruk adalah perkara yang baru (bid’ah) dan setiap bid’ah adalah tersesat” ( H.R Muslim ).

Danu sepertinya terpana pada firman Allah dan Sabda Rasul yang hanya dilihat pada letterlijk nya saja. Wajar jika ia kemudian pernah menganggap tasawuf sebagai sesuatu yang bid’ah, ganjil dan menyimpang. Itulah kenapa hatinya meragu pada tasawuf. Danu benar-benar tidak ingin meletakkan harapan berakhirnya kegelisahan akal dan batinya pada tasawuf. Lalu akhir yang ditunggu-tunggu itu pun tak benar-benar sanggup membawanya menuju titik akhir.[pagebreak]
>Terjawab semua
Betapa manusia adalah makhluk yang gemar mencari, gemar berjalan jauh cuma untuk menuai kebingungan karena yang gelap dan yang terang itu sama-sama bisa dicari baik diawal maupun diakhir. Dan akhir yang tak pernah berakhir itu akhirnya menggoda Danu untuk terus mencari penerang yang terakhir.
Seiring berjalannya waktu. Kesertaan Danu di pengajian Al-Hikam membuahkan titik cerah. Dalam peta Allah swt. itu Danu masih memiliki tempat untuk mengakhiri pencarian dan kegelisanmya. Dari sana Danu mulai memahami Islam yang ilmunya bernama syari’at, iman yang ilmunya bernama akidah atau tauhid dan ihsan yang ilmunya bernama tasawuf dan pelaksanaan amaliyahnya bernama thoriqoh.

Danu amat menyadari bahwa dirinya hidup di era multipolar, penuh keberagaman. Ia sadar kini dirinya ada pada sebuah era
(abad 21) dimana (dimungkinkan) ragam pusat-pusat kecil keluar berjejaring dengan eksperimentasinya sendiri. Ia tak ingin masuk (terjaring) dalam aliran thoriqoh yang model kegiatannya mirip dalam sekte-sekte spiritulitas yang memiliki kasus tragis seperti kejadian David Koresh yang mengajak anggota sektenya masuk surga dengan cara mencabut nyawanya sendiri. Karenanya wajar jika Danu, yang cenderung berpikir rasional, amat berhati-hati sebelum melangkah masuk dalam thoriqoh.

Ternyata Dunia Sufi yang hakiki bukan Dunia Spiritualitas biasa, ia memiliki hukumnya sendiri. Hukum itu menyebutkan bahwa rahmat Allah meliputi segala sesuatu dan dapat menembus setiap situasi. Guru yang tepat muncul pada saat yang tepat apabila seseorang mempunyai kesungguhan hati dan akhlak yang benar. Akhlak yang benar itu adalah kesabaran dan kenal terhadap kebutuhannya sendiri.

Akhirnya, melalui rahmat Allah inilah datang jawaban yang tepat pada waktu yang tepat bagi Danu hingga tiba satu masa dimana komitmen total harus dipilih, dibulatkannya. Danu pun akhirnya ber-baiat. Setelah tiga tahun melihat dan memperhatikan, Danu pun berbaiat pada Thoriqoh Syadziliyyah.

Pengalaman apa yang Anda temukan sejak bertarekat pada Thoriqoh Syaadziliyyah ?
Banyak hal yang saya temukan terutama jawaban tentang Islam dan Allah swt. Tanda tanya besar seputar Islam dan Allah swt yang menggelayuti pikiran saya selama puluhan tahun terjawab sudah.

Semudah itukah ?
Tidak. Al-hikam menjadi pengantar sebelum saya memilih tarekat syaadziliyyah. Dari Al-Hikam saya mendapat arahan untuk mengaca diri sebelum bicara jauh mencari Allah swt. Al-Hikam menata hati saya pada persoalan yang kelihatannya seolah remeh temeh, padahal ia menjadi pintu gerbang mengenal diri sebelum mengenal Allah swt, seperti hati yang sabar dan bersyukur, tidak bergantung pada makhluk dan sebagainya. Ia membangkitkan kesadaran moral dan lebih bernilai dari semua yang bersifat materiil dan duniawi. Setelah bertarekat saya lebih memahami organ struktur tubuh batin dan serat optic batin yang tidak pernah saya temukan sebelumnya.

Seperti apa serat optic batin itu ?
Terutama di seputar latha-if, hawathif, nafsu dan mahabbah saya temukan hanya dalam tasawuf. Ilmu pengetahuan Barat hanya mengenal conscious dan unconscious atau alam sadar dan alam bawah sadar yang jabarannya sangat minim sekali. Dunia Barat meyakini bisikan intuitif bersumber dari otak, bawah sadar atau emosi yang terpendam. Sedang dalam tasawuf intuitif itu dimungkinkan berasal dari beberapa sumber; nafsu, jin, malaikat dan Allah swt.

Anda bisa sedikit kisahkan secuil sejarah kemunculan NLP (Neuro Linguistic Programming)?
Sekitar tahun 70-an ada seorang pemuda yang bernama Richard Bandler, mahasiswa jurusan matematika dan computer science, yang mengagumi seorang hypnotist bernama Milton Erickson (father of modern hypnosis). Bandler mengamati rekaman-kekaman video sesi terapi Erickson bersama klien-kliennya. Bandler rupanya gatal, ingin mencoba teknik ericksonian hypnosis dengan membuka praktek gelap dan ternyata sebagian besar hasil prakteknya berhasil. Ketika muncul satu pertanyaan dalam benaknya, apakah yang paling dicari manusia dalam hidup ini ? Jawabannya adalah perubahan (CHANGE). Semua orang ingin berubah lebih kaya, lebih bijaksana, lebih baik, lebih spiritualis, dan lain-lain. Kemudian dia mengamati dua terapis populer saat itu yaitu; Virginia Satier (family therapy) & Frilt Perls (gestalt therapy). Kemudian Bandler bekerjasama dengan Prof. John Grinder dari University of California, tepatnya di Santa Cruz, untuk membuat kodifikasi pola pengamatannya agar dapat diajarkan kepada orang lain.[pagebreak]

Hebat bukan ?
Hebat bagi orang-orang yg mengagumi computer yg paling canggih didunia yaitu sebongkah daging yang bernama otak manusia.
Secara factual Bill Clinton, Andre Agassi, Lady Di dan Nelson Mandela dapat meraih kesuksesannya dengan menggunakan NLP, lah Anda ini malah membuangnya. Kenapa? Karena saya merasakan materi tidak dapat menjadikan saya bahagia.

Yang Anda tahu, apa sich Program Pembentukan Manusia Sempurna dalam NLP itu ?
Dalam NLP biasa disebut dengan Modeling Of Human Excellence. Bandler dan Grinder mengamati mengapa seseorang bisa sukses dan gagal? Mengapa ada pedagang laku dan tidak laku? Mengapa ada dokter yang ramai dan sepi pasien? Apa yang beda dan membuatnya berbeda? (what different than make different?) dan mereka menemukan ternyata ada perilaku orang-orang sukes yang tidak diketahui orang gagal. Inilah yang disebut modeling dalam perspektif NLP bagaimana kita memodel pola-pola neuro orang sukses dan kemudian di install kedalam syaraf otak (neuro) kita.

Apakah karena dalam NLP dikenal konsep mind to body atau mind to muscle, hal yang menyangkut pada upaya meningkatkan keterampilan fisik, untuk itu Anda tinggalkan NLP lalu masuk dalam

Dunia Sufi ?
Kurang lebih seperti itulah !Karena hypnotherapy dan NLP menguatkan “aku” sedang dalam dunia sufi “aku” adalah hijab sedangkan hijab adalah ‘adzab.

Kebutuhan batin atau spiritualitas Anda, tantra dan yoga yang pernah Anda pelajari menjawab kebutuhan itu,
bukan ?
Yoga juga hampir sama dengan hypnosis menguatkan “aku”.

Bukankah Yoga dan Tantra juga pada akhirnya juga
ber-ending pada Allah swt, sama seperti ending dalam Dunia Sufi ?
Sepintas memang mirip tapi mirip itu bukan berarti sama, bisa berbeda. Dalam Yoga ada konsep penyatuan wujud antara manusia dengan Allah swt yang sangat bertentangan dengan konsep sufisme.

Anda menemukan Allah swt yang beda pada NLP, Hypnotherapy, Yoga,Tantra dan Dunia Sufi ?
Dalam dunia sufi Allah swt adalah “ALLAH SWT”. Dalam hypnosis dan NLP apa saja bisa dijadikan Tuhan, uang bisa jadi Tuhan, karir bisa jadi Tuhan, kehendak kita bisa dijadikan Tuhan. Sedang dalam dunia yoga saya belum menemukan Allah swt.

Anda percaya dengan sufi healing sebagai bagian ajaran para Sufi ?
Sangat sulit menjelaskan apakah sufi healing yang berkembang saat ini sama seperti yang para sufi sejati lakukan? Karena sufi healing kini terpecah menjadi dua. Yang pertama dikalangan konvensional.

Sufi Healing menjadi praktek penyembuhan mistis melalui ilmu hikmah yang berbau perdukunan Islam. Yang kedua dikalangan cosmopolitan. Disini banyak sufi-sufi palsu yang menjadikan Sufi Healing sebagai komoditas bisnis therapy dan training dengan menggunakan prinsip ketika seseorang sakit maka ada yang tidak seimbang dalam kehidupan personalnya.

Bertasawuf bukan untuk penyembuhan; Sembuh dari penyakit; Sembuh dari kemiskinan; Sembuh dari penderitaan hidup dan seterusnya dan sebagainya.

Danu tertawa terbahak-bahak ketika ditanya tentang gambaran Sufi di era millennium, “Ha ha ha lucu juga ini…..,” katanya. “Zaman boleh berkembang ke era apapun, mutu hidup manusia silakan saja menuju kecanggihan macam manapun, dan jika kelak manusia dapat menduduki bintang-bintang di Galaxi Bima Sakti, seorang Sufi ya tetap berdzikir dan berdzikir,“ tambahnya. “Dan….ternyata dalam Dunia Sufi semua masalah ada jawabannya,” tutup Danu.

Dulu, Saya Raja Tega


Basir
Kekerasan. Itulah satu-satunya cara yang dipilih Basir dalam melumpuhkan korbannya, tak peduli pria, wanita, anak-anak atau orang tua renta. Di dalam seluruh aksinya, mantan bajing loncat, perampok dan pejambret ini

tidak selalu dengan tangan kosong. Tak jarang senjata tajam dan timah panas menemani Bashir dalam menaklukkan sang korban sebelum menguras habis harta benda si korban.
“Saya ngerampok terang-terangan dimana korban dalam kondisi terjaga, Mas. Ada pistol, ya pakai pistol. Ada clurit, ya pakai clurit. Ada parang, ya pakai parang,” cerita Basir, mengenang. “Notok ditengah jalan, jambret pakai motor dan bacok orang sudah menjadi keseharian saya sebelum bertarekat,” tambahnya.

Itulah kehidupan lelaki kelahiran Indramayu ini, yang dengan teganya memperagakan kekerasan dengan memenggal hak hidup sesamanya sambil membiarkan sasarannya bersimbah darah hanya demi memenuhi kebutuhan sandang, pangan dan papan diri dan keluarganya.
Tetapi dari manakah datangnya ketegaan itu ? Ia memang datang dengan dua alasan, yakni bisa sebagai sebab, bisa sebagai akibat. Bisa sebagai pelaku, bisa pula sebagai korban. Tapi mari kita mempercayai hukum kaedah sufi yang menyebutkan:”Kesungguhan mu untuk mendapatkan sesuatu yang telah terjamin untukmu, yang diiringi dengan sikap lalaimu atas sesuatu yang telah dituntut untukmu, kenyataan yang sedemikian merupakan bukti atas butanya matahati yang engkau miliki.”

Itulah mozaik kehidupan Basir yang telah dipenuhi oleh kepekatan nafsu dan akal dengan menjadikan matahati sebagai tumbalnya. Dan itulah sebenarnya bencana.

Kejadian yang membuatnya hampir saja di teteli dan di bakar massa, menghantarkannya pada pintu taubat. Tekadnya “sebelum taubat berpantang mati !” benar-benar dipegangnya kuat-kuat hingga selesai menjalani hukuman di Rumah Tahanan Cipinang Jakarta Timur. Lalu ia pun berbaiat pada Tarikat Qadiriyyah wan Naqsabandiyyah, sebuah aliran tarikat yang substansi ajarannya merupakan gabungan dari dua tarikat yaitu tarikat Qadiriyyah dan Naqsabandiyyah.

Dari situlah Basir benar-benar merasakan indahnya taubat. Ia benar-benar merasakan bahwa dengan taubat sebuah persoalan yang sudah beranak pinak, beranting dan bercabang dapat terpangkas hingga menyentuh akar persoalannya dan hidup seperti baru terlahir kembali. “Saya merasa tak ubahnya bayi yang baru terlahir. Ringan menjalani kehidupan meski aneka ragam persoalan mengepungnya,” tutur Basir.
Hijab pekat terangkat melalui cahaya taubat yang memancarkan pembersihan atas kegelapan-kegelapan yang pernah menyelimuti hati dan pikiran lelaki yang tak pernah mengenyam pendidikan formal ini. Dan ia pun menemukan butiran hikmah bahwa taubat itu penuh cinta. “Dulu, saya bengis dan raja tega. Sekarang saya mudah memaafkan. Dulu, kesenggol dikit saja langsung saya bacok orang yang menyenggol saya itu. Tapi sekarang ketika dilempar batu saya membalasnya dengan memberi buah,” jelas Basir yang kini berdagang di tempat pelelangan ikan.

Apa yang terjadi sesudah hijab yang menutup diri seseorang mulai tersingkap ? Ia mengenali diri dan sekaligus mengenali Tuhannya. Seperti yang diungkapkan Basir ia malu dan merasa berdosa jika sesaat saja dirinya lupa mengingat Allah.

Tak peduli dari mana pun datangnya, seteguk air adalah barang yang amat berharga bagi pihak yang sedang dahaga. Basir beruntung telah mendapat seteguk air dari sumber yang benar yakni oase para sufi. Dan Basir telah mengingatkan kita pada petuah penuh berkah Imam Ibnu ‘Atha’illah: “Terkadang Allah mentaqdirkan hamba-Nya berbuat dosa, agar si hamba lebih dekat kepada-Nya.” Kaaf Haa Yaa’ ‘Aiin Shaad ! .

Cermin Keberanian Seorang Sufi


Abdul Bashir (35 thn)-Korban Selamat Tenggelamnya KM Senopati Nusantara
Bagi Abdul Bashir, warga Demak, yang bekerja di perusahaan meubel di Kalimantan Tengah, peristiwa tenggelamnya KM Senopati Nusantara di penghujung tahun 2006 lalu sungguh menjadi peristiwa Desember kelabu yang tidak

bisa terlupakan sepanjang hayatnya. Bashir, begitu ia biasa disapa, adalah satu dari 500 orang penumpang, yang selamat saat KM Senopati Nusantara yang berlabuh dari pelabuhan Kumai Kalimantan Tengah menuju Pelabuhan Tanjung Mas Semarang Jawa Tengah tenggelam ditengah lautan.

“Saat kapal mulai oleng, hampir seluruh penumpang terlihat panik. Suara tangis, jeritan dan gema takbir penumpang bertalu-talu menjadi satu,” kenang Bashir. “Kepanikan itu semakin menjadi, tengah malam, menjelang tenggelam dan kapal sudah kehilangan kendali, para penumpang histeris berlari tak menentu arah. Ditambah lagi lampu mati, hujan turun dengan derasnya di iringi gelegar petir yang seakan saling bersahutan dan akhirnya menyambar salah satu sisi kapal yang sudah mulai digenangi air laut dan air hujan,” tambah Bashir.

Namun bagi setiap penempuh jalan spiritual, utamanya Bashir, tawakal atau berpegang teguh pada Allah, menjadi modal pertama dan utama dalam menghadapi berbagai kehidupan. Bashir merasa beruntung saat musibah itu menimpanya ia sudah bertarekat. Ia telah berbaiat memilih tarekat syaadziliyyah pada mursyid kaamil mukammil di Tulung Agung, Jawa Timur.

Laku lampah yang di dapat dari tarekat syaadziliyyah menghantarkan Bashir dapat bertawakkal, menjaga kesantunan nya kepada Allah meski dalam suasana yang sangat genting dan mencekam. Saat itulah Bashir “melihat” bahwa tawakkal bisa jadi dirasa tidak memuaskan sebab ia menuntut kesabaran. Ia seolah ingin mengatakan bahwa banyak orang yang tak mampu bertawakkal karena hawa nafsunya menolak untuk bersabar. Tapi bagi Bashir di dalam kesabaran itulah memang letak ujiannya. Itulah yang membuatnya rela mendahulukan orang lain berebut jalan dan mengambil pelampung demi keselamatan mereka. Itulah yang menjadikan Bashir pasrah disaat tubuhnya akan tenggelam bersamaan dengan tenggelamnya kapal dengan puluhan sepeda motor, kendaraan roda empat dan truk didalamnya.

Musibah atau bencana memang tak bisa di biarkan, tetapi ia harus diperjuangkan dengan cara-cara yang telah disediakan Allah, yakni tawakkal dan sabar. Bashir tak membiarkan kepasrahan hatinya lepas dari Allah. Ia pasrah sepasrah-pasrahnya. Ia sabar sesabar-sabarnya dan tak mengizinkan nafsunya liar mencari alat penyelamat selain Allah. Bagi Bashir, apalah artinya pelampung yang membungkus dada, jika Allah tak bersemayam di dalam dada; Apalah arti sebuah keselamatan jika keselamatan itu di dapat dari hasil nafsu yang meronta-ronta. “Na’udzubillah !,” tukasnya, singkat.

Air laut sudah menggenangi hingga batas dadanya, kedua tapak kakinya telah berpisah dari lantai dek kapal yang dipijak sebelumnya. Kapal itu pun semakin jauh tenggelam menuju dasar permukaan laut bersama berbagai puluhan kendaraan dan barang-barang bawaan penumpang. Namun Bashir sedikit pun tak bergeming dalam tawakal dan sabar. Ia benar-benar telah sampai pada fatwa Imam Abul Hasan Asy-Syadziliy yang mengatakan, ‘’Apa yang menjadi urusanmu, tak perlu kau turut mengaturnya. Apabila kalian harus mengatur diri juga, maka lebih baik aturlah agar kalian tidak mengatur. Keberpalingan mu (untuk tidak mengatur) dan semua urusanmu, serahkan saja kepada Allah Swt.”

Di luar tugas menafsirkan dan meyakini hukum kemanusiaan bahwa manusia harus berikhtiar, ada tugas yang sangat jelas di mata Bashir saat itu yakni kewajiban menerima taqdir Allah dengan tawakkal dan sabar hingga tubuh dan seluruh organ batinnya secara utuh merasakan makna hakiki firman Allah yang berbunyi, “Dan Tuhanmu menciptakan apa yang dikehendaki dan dipilih-Nya. Mereka tidak dapat memilih. Maha Suci Allah dan Maha Tinggi dari apa yang mereka sekutukan.” (Q.S. al-Qhashas (28) : 68)”

Ia terima semua yang datang dari Allah tidak karena ukuran selamat atau celaka, tetapi dengan ukuran iman yang menghiasi hati sanubarinya sendiri. Lalu Allah-pun memberinya kesanggupan mengibarkan tawakkal dan sabar dalam dirinya, hingga pada akhirnya tawakkal dan sabar yang terkibar itu menjadi “energi” tersendiri.

Di tengah lautan yang gelap gulita dan badai ombak yang mencapai ketinggian enam meter, Allah mengapungkan tubuhnya (tanpa sekoci dan pelampung) hingga tidak turut tenggelam seperti yang dialami puluhan penumpang lainnya. “Alhamdulillah, Mas. Saya tidak turut tenggelam. Allah mengapungkan saya meski tanpa pelampung,” tutur Basir yang sejurus kemudian mengatakan, “Saya yakin ini rahmat Allah yang Allah salurkan lewat aurod (jamak dari wird; red) syadziliyyah dan berkah doa mursyid !,” jelas Basir penuh semangat.
Meski demikian, ia terus berjuang. Berjuang bukan untuk agar dapat secepatnya ke tepi lautan. Ia berjuang agar hatinya tetap menjadi baitullah, rumah Allah. Dan dzikir
Allah…Allah..Allah…pun terus di gemakan nya hingga (kira-kira lima menit kemudian) ia melihat sekoci yang semula dianggapnya sebagai onggokan sampah menghampirinya. Ia menghindari sekoci itu. Namun uniknya, semakin ia menghindari, semakin cepat sekoci itu mendekat dan menghampiri Basir. Ia tak sanggup menghindari dan diraihnya pula sekoci yang ternyata sudah ada tiga orang penumpang dalam keadaan lunglai di dalam sekoci yang hanya muat untuk ditumpangi empat orang penumpang itu.
Empat hari tiga malam, ia terombang-ambing tak menentu arah ditengah lautan, hingga sebelum terdampar ditepian pantai ia berpapasan dengan sekoci yang lebih besar lagi yang sudah ditumpangi sembilan orang korban naas lainnya. Bashir bersama ketiga korban lainnya berinisiatif untuk pindah ke sekoci yang memang muat untuk ditumpangi oleh lima belas orang itu.

Bersama ke dua belas rekan senasibnya itu, akhirnya Bashir terdampar di anjungan pengeboran minyak di kepulauan Bawean dan tepat tanggal 1 Januari 2007 pukul setengah satu siang Bashir mendapat pertolongan medis dari pegawai pengeboran minyak disana. Bashir dan ketiga belas rekannya pun diantar ke kepulauan Surabaya untuk mendapat pertolongan medis lanjutan.
Bala’ yang tidak indah, pedih dan tragis telah memancing Bashir menjadi pemberani sejati dalam mewujudkan sumpah yang senantiasa diucapkan disetiap shalatnya; inna sholatiy wa nusukiy wa mahyaaya wa mamatiy lillaahi robbil ‘aalamiin; sesungguhnya shalatku, jalanku, hidup dan matiku hanya untuk Allah Tuhan semesta alam. Pemberani dalam pengertian sebenarnya. Ia benar-benar telah membuktikan Allah sebagai satu-satunya tujuan dan cita-cita mulai dari dalam hatinya. Inilah keberanian yang sesungguhnya dituntut dari setiap penempuh jalan spiritual.
Maka, patut bagi setiap penempuh Dunia Ruhani yang masih bernyali kecil dan bergantung pada makhluk untuk merenungkan sabda Nabi: “Jika Allah Swt mencintai seorang hamba-Nya maka ia akan di uji dengan bala. Jika dia sabar, maka Allah akan memilihnya. Jika ia ridla, maka Allah akan mengistimewakannya.”

Alah ! Apa itu Tasawuf ?


Edwar S.N (31 Th) - Pemilik CV Tiga Warna
Jalan Sufi yang dilalui Edwar membuatnya melihat dengan jelas kenyataan hidup yang sesungguhnya ia hadapi. Pemahaman yang keliru dari sebuah pengamalan ibadah dan keelokan glamour Ibu Kota hampir saja membuatnya

terpesona. Kalau bukan lantaran jalan Sufi yang ditempuhnya, aqidah dan kefitrahan dirinya nyaris menjadi korban. Maklum, sejak kecil hingga remaja, Edwar tumbuh dan besar dilingkungan yang meski taat beribadah tapi sangat anti terhadap sufisme. Ia terlahir dan menamatkan Sekolah Dasar nya di Padang Sumatera Barat. Setelah itu SMP-SMA nya di Pekan Baru, Riau. Di Pekan Baru, Edwar bisa dibilang anak surau atau anak masjid. Ia tak bisa melepas salat lima waktunya tanpa masjid dan kebiasaan ini terus terbawa ketika hijrah ke Jakarta.

Sangat disayangkan, kedekatan Edwar pada masjid malah melahirkan ghurur yang membutakan mata hatinya. Ghurur ini semula hanya perasaan lebih, namun lambat laun terbentuk menjadi nyata pada sifat dan perilaku. Perasaan merasa masjid banget terbentuk menjadi kesombongan tersendiri dalam diri lelaki kelahiran Sumatera Barat ini.

Kebutaan hati itu semakin menjadi ketika Edwar, sesampainya di Jakarta, aktif dikegiatan pengajian yang menstimulus penggunaan nalar dan akal dalam ber-islam. Edward merasa seakan melebihi dari orang lain dalam banyak hal, terutama kesalehan dan pemahaman pengetahuan ke-islaman.

Ia tak memiliki respek sedikitpun ketika salah seorang karib kerabatnya mengenalkan sisi esoteris Islam. Malah dalam satu kesempatan pengajian tasawuf, ia tak mampu menahan kesinisannya pada ilmu tasawuf. “Alah ! Apa itu tasawuf !!!?,” gusar suami Lala Sumiati ini.

Bahkan pada satu moment dimana setiap jamaah diminta untuk menirukan kalimat tahlil yang dilafalkan oleh seorang guru yang mumpuni di bidang ilmu thareqat, Edwar menolak keras menirukan oleh karena sepengetahuannya Rasulullah Saw tak pernah mengajarkan bacaan tahlil seperti yang dicontohkan guru itu. “Enggak ada greget karena saya menganggap Rasulullah tidak pernah mengajarkan irama bacaan tahlil seperti itu, Mas,” jelas Edwar.

Ah, Edwar tengah tertipu oleh penglihatan mata lahir dan membiarkan diri dibohongi oleh perasaan merasa “cukup saleh” yang bersemayam dalam dirinya sendiri.

Lantas sejak kapan ia menyadari seberapa jauh ia telah tertipu oleh ghurur? Ketika rahmat Allah yang meliputi setiap situasi dan segala sesuatu menembus di kedalaman relung kalbunya. Tepatnya, Pada pengajian tasawuf yang mengambil tema Jalan Panjang Menuju Allah, yang rutin di selenggarakan Masjid Sunda Kelapa Jakarta Pusat. Batinnya bergetar. Getaran batin itu melahirkan titik cerah pada kesempatan lain ketika ia mengikuti kajian yang meninjau tasawuf dari sudut pandang ilmu nuklir.
Disitu ia mendapatkan paparan penjelasan tentang halusinatif dunia, sebuah pandangan yang dimiliki oleh para mistikus dan idealis. “Saya mulai menemukan landasan ilmiah sufisme waktu itu,” aku ayah dari Ghevir Azzahra dan Alyandra Khairani ini.
Dari sana Edwar mulai dapat menerima bahwa Agama (Islam) bukan sekumpulan aturan dengan ganjarannya. Lebih dari itu agama merupakan wilayah pengungkapan Ilahi melalui Kalam-Nya dengan menggunakan bahasa perumpamaan (tamtsil) dan symbol (ayat) yang bisa dicerna oleh pikiran manusia. Simbol dan perumpamaan itu digunakan Sang Khaliq ketika Ia memperkenalkan dan menyingkapkan Diri-Nya kepada makhluk-Nya.

Sejak itulah, ia mulai dapat merasakan betapa batinnya meradang haus. Haus itu hilang setiap kali ia hadir di majelis dzikir yang diselenggarakan oleh aliran thareqat tertentu. Namun ketajaman dan kehalusan pemahaman hakikat sufisme menjadi landasan batiniahnya setelah rutin mengikuti kajian kitab al-hikam dan berbaiat pada thareqat Syadziliyah.

Langkahnya kini mantap dalam menemukan kebenaran sejati yang dicerahi hakikat melalui tahapan perbaikan-diri, kesadaran-diri, dan kebangunan diri, dengan mengikuti petunjuk al-quran, sunnah Rasulillah dan arahan mursyid yang kaamilmukammil.

Begitulah memang. Kecakapan ibadah lahiriah tidak sertamerta melahirkan keelokan batiniah jika tidak diikuti oleh usaha yang keras ke arah keselarasan dan tindakan batin yang benar, dan mengikuti orang yang ahli dibidang ruhani.

Gara-gara Ditulung Menthung


Zaleha Fitrat (56 th) - Pemilik Galeri Baju Muslimah Rumah Ayu
Zaleha Fitrat satu dari sekian banyak orang yang mengerti bahwa kekayaan adalah ujian Allah kepada keimanannya. Bersama suaminya ia menempuh jalan ruhani, berbaiat pada tarekat naqsabandi haqqani rabbani. Hanya satu hal yang

memotivasinya, ia tak ingin tergoda oleh harta hingga membuatnya lupa pada Tuhan. “Apa sich yang diharapkan dari hidup ini kalau bukan untuk mengabdi dan mengabdi kepada Allah, Mas ?,” kata Zaleha yang kerap di sapa Ibu Narto ini, mengawali pembicaraan. “Rasanya Allah sudah mencukupi kebutuhan hidup saya di dunia ini, Mas. ” sambungnya.
Setelah bertarekat, menempuh jalan ruhani, perempuan kelahiran Singapore ini semakin menyadari bahwa kehidupan di dunia ini di mulai dari Allah, saat ini bersama Allah dan menuju Allah setelah kehidupan dunia ini berlalu. Kesadaran inilah yang kemudian menghantarkannya pada satu konstruksi pengalaman, “Orang yang mengaku beriman tetapi tidak beramal menurut apa yang diimaninya adalah pembohong, sementara orang yang melakukan amal saleh sedang hatinya tidak beriman adalah munafiq.”

Bagi seorang penempuh jalan ruhani yang sejati, untuk mendapatkan pengalaman yang demikian bukan tanpa waktu dan proses yang menyayat-nyayat hati. Ada fakta yang jika nafsu tak dikendalikan, akan membuatnya geram, kecewa dan apatis. Zaleha pun harus melalui ujian dimana ia ditipu milyaran rupiah bukan oleh orang lain tapi oleh orang yang pernah ditolongnya. Tidak sekali, tapi beberapakali Mrs. Narto ini mengalami pengalaman “ditulung, mentung” (dibantu malah balik memukul; red).

Zaleha sepertinya faham seluruh syarat yang dibutuhkan untuk sampai kepada Allah itu. Ia tenang meski beberapa kali di tipu dan “di pentung”. “Saya terima taqdir getir itu dengan damai. Saya kembalikan kepada Allah karena memang diri saya dan apa yang ada pada saya semua milik Allah, Mas,” tutur Zaleha.

Ia tetap istiqamah menjalankan pelajaran dan nasehat mursyid. Ia tidak malah semakin apatis atau tambah semangat menjalani kehidupan. Sikapnya seperti seorang ‘arif yang telah sampai pada maqam Al-baqaa’ ba’dal fanaa’; menetap dalam Allah, tapi pergi kembali kepada makhluk dengan cinta, kemurahan, kehormatan, dan kemuliaan.

Kini, disamping Zaleha tetap mengawal nafsu dan dzikrullah, ia sibuk mengelola kecuran limpahan materi yang lebih dari sebelumnya. Ia membangun pesantren (Daarusy Syifa’ Al-Fitrat) yang didalamnya terdapat lembaga pendidikan formal dan informal di Kadudampit Cisaat Sukabumi Jawa Barat. Di dalam pesantren itu ia bangun juga satu sudut ruangan sejenis zawiyyah tempat ia (bersama keluarga dan kerabat) mewiridkan beberapa awrad yang didapat dari mursyid nya. Ditengah kesibukannya mengelola bisnis, ibu lima anak ini juga terlibat membantu pengembangan beberapa lembaga pendidikan anak-anak kurang beruntung yang berada dikolong-kolong jembatan dan rel kereta api di beberapa wilayah Jakarta.

Yang patut disimak dari uraian pengalaman ruhani Zaleha Fitrat selama bertarekat adalah ucapannya yang menyebutkan bahwa hakikat rizqi itu bukan pada materi yang Allah titipkan ditangan kita lalu kemana kita menyalurkannya. “Rizqi yang sejati sebenarnya adalah rasa lapang dalam taat kepada Allah dan menjadikan Allah sebagai satu-satunya cita-cita,” tuturnya.

Penuturan ini mengingatkan kita pada petuah berkah Imam Ibnu ‘Atah’illah, “Apabila Allah telah memberi rizqi kepadamu berupa perasaan puas melakukan taat (ibadat) pada lahirmu, dan merasa cukup kaya dengan Allah dalam hatimu, sehingga benar-benar tidak ada sandaran bagimu kecuali Allah. Maka ketahuilah bahwa Allah telah melimpahkan kepadamu nikmat lahir dan batin.”

Senin, 15 Februari 2010

Urgensi Mursyid Dalam Thoriqoh


Allah Swt. berfirman:
“Barangsiapa mendapatkan kesesatan, maka ia tidak akan menemukan (dalah hidupnya) seorang wali yang mursyid” (Al-Qur’an).

Dalam tradisi tasawuf, peran seorang
Mursyid (pembimbing atau guru ruhani) merupakan syarat mutlak untuk mencapai tahapan-tahapan puncak spiritual. Eksistensi dan fungsi Mursyid atau wilayah kemursyidan ini ditolak oleh sebagaian ulama yang anti tasawuf atau mereka yang memahami tasawuf dengan cara-cara individual. Mereka merasa mampu menembus jalan ruhani yang penuh dengan rahasia menurut metode dan cara mereka sendiri, bahkan dengan mengandalkan pengetahuan yang selama ini mereka dapatkan dari ajaran Al-Qur’an dan Sunnah. Namun karena pemahaman terhadap kedua sumber ajaran tersebut terbatas, mereka mengklaim bahwa dunia tasawuf bisa ditempuh tanpa bimbingan seorang Mursyid.

Pandangan demikian hanya layak secara teoritis belaka. Tetapi daslam praktek sufisme, hampir bisa dipastikan, bahwa mereka hanya meraih kegagalan spiritual. Bukti-bukti historis akan kegagalan spoiritual tersebut telah dibuktikan oleh para ulama sendiri yang mencoba menempuh jalan sufi tanpa menggunakan bimbingan Mursyid. Para ulama besar sufi, yang semula menolak tasawuf, seperti Ibnu Athaillah as-Sakandari, Sulthanul Ulama Izzuddin Ibnu Abdis Salam, Syeikh Abdul Wahab asy-Sya’rani, dan Hujjatul Islam Abu Hamid Al-Ghazali akhirnya harus menyerah pada pengembaraannya sendiri, bahwa dalam proses menuju kepada Allah tetap membutuhkan seorang Mursyid.

Masing-masing ulama besar tersebut memberikan kesaksian, bahwa seorang dengan kehebatan ilmu agamanya, tidak akan mampu menempuh jalan sufi, kecuali atas bimbingan seorang Syekh atau Mursyid. Sebab dunia pengetahuan agama, seluas apa pun, hanyalah “dunia ilmu”, yang hakikatnya lahir dari amaliah. Sementara, yang dicerap dari ilmu adalah produk dari amaliah ulama yang telah dibukakan jalan ma’rifat itu sendiri.

Jalan ma’rifat itu tidak bisa begitu saja ditempuh begitu saja dengan mengandalkan pengetahuan akal rasional, kecuali hanya akan meraih Ilmul Yaqin belaka, belum sampai pada tahap Haqqul Yaqin. Alhasil mereka yang merasa sudah sampai kepada Allah (wushul) tanpa bimbingan seorang Mursyid, wushul-nya bisa dikategorikan sebagai wushul yang penuh dengan tipudaya. Sebab, dalam alam metafisika sufisme, mereka yang menempuh jalan sufi tanpa bimbingan ruhani seorang Mursyid, tidak akan mampu membedakan mana hawathif-hawathif (bisikan-bisikan lembut) yang datang dari Allah, dari malaikat atau dari syetan dan bahkan dari jin. Di sinilah jebakan-jebakan dan tipudaya penempuh jalan sufi muncul. Oleh sebab itu ada kalam sufi yang sangat terkenal: “Barangsiapa menempuh jalan Allah tanpa disertai seorang guru, maka gurunya adalah syetan”.

Oleh sebab itu, seorang ulama sendiri, tetap membutuhkan seorang pembimbing ruhani, walaupun secara lahiriah pengetahuan yang dimiliki oleh sang ulama tadi lebih tinggi dibanding sang Mursyid. Tetapi, tentu saja, dalam soal-soal Ketuhanan, soal-soal bathiniyah, sang ulama tentu tidak menguasainya.

Sebagaimana ayat al-Qur’an di atas, seorang Syekh atau Mursyid Sufi, mesti memiliki prasyarat yang tidak ringan. Dari konteks ayat di atas menunjukkan bahwa kebutuhan akan bimbingan ruhani bagi mereka yang menempuh jalan sufi, seorang pembimbing ruhani mesti memiliki predikat seorang yang wali, dan seorang yang Mursyid. Dengan kata lain, seorang Mursyid yang bisa diandalkan adalah seorang Mursyid yang Kamil Mukammil, yaitu seorang yang telah mencapai keparipurnaan ma’rifatullah sebagai Insan yang Kamil, sekaligus bisa memberikan bimbingan jalan keparipurnaan bagi para pengikut thariqatnya.

Tentu saja, untuk mencari model manusia paripurna setelah wafatnya Rasulullah saw. terutama hari ini, sangatlah sulit. Sebab ukuran-ukuran atau standarnya bukan lagi dengan menggunakan standar rasional-intelektual, atau standar-standar empirisme, seperti kemasyhuran, kehebatan-kehebatan atau pengetahuan-pengetahuan ensiklopedis misalnya. Bukan demikian. Tetapi, adalah penguasaan wilayah spiritual yang sangat luhur, dimana, logika-logikanya, hanya bisa dicapai dengan mukasyafah kalbu atau akal hati.

Karenanya, pada zaman ini, tidak jarang Mursyid Tarekat yang bermunculan, dengan mudah untuk menarik simpati massa, tetapi hakikatnya tidak memiliki standar sebagai seorang Mursyid yang wali sebagaimana di atas. Sehingga saat ini banyak Mursyid yang tidak memiliki derajat kewalian, lalu menyebarkan ajaran tarekatnya. Dalam banyak hal, akhirnya, proses tarekatnya banyak mengalami kendala yang luar biasa, dan akhirnya banyak yang berhenti di tengah jalan persimpangan.

Lalu siapakah Wali itu? Wali adalah kekasih Allah Swt. Mereka adalah para kekasih Allah yang senanatiasa total dalam tha’at ubudiyahnya, dan tidak berkubang dalam kemaksiatan. Dalam al-Qur’an disebutkan:

“Ingatlah, bahwa wali-wali Allah itu tidak pernah takut, juga tidak pernah susah.”
Sebagian tanda dari kewalian adalah tidak adanya rasa takut sedikit pun yang terpancar dalam dirinya, tetapi juga tidak sedikit pun merasa gelisah atau susah. Para Wali ini pun memiliki hirarki spiritual yang cukup banyak, sesuai dengan tahap atau maqam dimana, mereka ditempatkan dalam Wilayah Ilahi di sana. Paduan antara kewalian dan kemursyidan inilah yang menjadi prasyarat bagi munculnya seorang Mursyid yang Kamil dan Mukammil di atas.

Dalam kitab Al-Mafaakhirul ‘Aliyah, karya Ahmad bin Muhammad bin ‘Ayyad, ditegaskan, -- dengan mengutip ungkapan Sulthanul Auliya’ Syekh Abul Hasan asy-Syadzily ra, -- bahwa syarat-syarat seorang Syekh atau Mursyid yang layak – minimal –ada lima:

1. Memiliki sentuhan rasa ruhani yang jelas dan tegas.
2. Memiliki pengetahuan yang benar.
3. Memiliki cita (himmah) yang luhur.
4. Memiliki perilaku ruhani yang diridhai.
5. Memiliki matahati yang tajam untuk menunjukkan jalan Ilahi.

Sebaliknya kemursyidan seseorang gugur manakala melakukan salah satu tindakan berikut:

1. Bodoh terhadap ajaran agama.
2. Mengabaikan kehormatan ummat Islam.
3. Melakukan hal-hal yang tidak berguna.
4. Mengikuti selera hawa nafsu dalam segala tindakan.
5. Berakhal buruk tanpa peduli dengan perilakunya.

Syekh Abu Madyan – ra- menyatakan, siapa pun yang mengaku dirinya mencapai tahap ruhani dalam perilakunya di hadapan Allah Swt. lalu muncul salah satu dari lima karakter di bawah ini, maka, orang ini adalah seorang pendusta ruhani:

1. Membiarkan dirinya dalam kemaksiatan.
2. Mempermainkan thaat kepada Allah.
3. Tamak terhadap sesama makhuk.
4. Kontra terhadap Ahlullah
5. Tidak menghormati sesama ummat Islam sebagaimana diperintahkan Allah Swt.

Syekh Abul Hasan Asy-Syadzili mengatakan, “Siapa yang menunjukkan dirimu kepada dunia, maka ia akan menghancurkan dirimu. Siapa yang menunjukkan dirimu pada amal, ia akan memayahkan dirimu. Dan barangsiapa menunjukkan dirimu kepada Allah Swt. maka, ia pasti menjadi penasehatmu.”

Ibnu Athaillah as-Sakandari dalam kitab Al-Hikam mengatakan, “Janganlah berguru pada seseorang yang yang tidak membangkitkan dirimu untuk menuju kepada Allah dan tidak pula menunjukkan wacananya kepadamu, jalan menuju Allah”.

Seorang Mursyid yang hakiki, menurut Asy-Syadzili adalah seorang Mursyid yang tidak memberikan beban berat kepada para muridnya.

Dari kalimat ini menunjukkan bahwa banyak para guru sufi yang tidak mengetahui kadar bathin para muridnya, tidak pula mengetahui masa depan kalbu para muridnya, tidak pula mengetahui rahasia Ilahi di balik nurani para muridnya, sehingga guru ini, dengan mudahnya dan gegabahnya memberikan amaliyah atau tugas-tugas yang sangat membebani fisik dan jiwa muridnya. Jika seperti demikian, guru ini bukanlah guru yang hakiki dalam dunia sufi.

Jika secara khusus, karakteristik para Mursyid sedemikian rupa itu, maka secara umum, mereka pun berpijak pada lima (5) prinsip thariqat itu sendiri:

1. Taqwa kepada Allah swt. lahir dan batin.
2. Mengikuti Sunnah Nabi Saw. baik dalam ucapan maupun tindakan.
3. Berpaling dari makhluk (berkonsentrasi kepada Allah) ketika mereka datang dan pergi.
4. Ridha kepada Allah, atas anugerah-Nya, baik sedikit maupun banyak.
5. Dan kembali kepada Allah dalam suka maupun duka.

Manifestasi Taqwa, melalaui sikap wara’ dan istiqamah.
Perwujudan atas Ittiba’ sunnah Nabi melalui pemeliharaan dan budi pekerti yang baik. Sedangkan perwujudan berpaling dari makhluk melalui kesabaran dan tawakal. Sementara perwujudan ridha kepada Allah, melalui sikap qana’ah dan pasrah total. Dan perwujudan terhadap sikap kembali kepada Allah adalah dengan pujian dan rasa syukur dalam keadaan suka, dan mengembalikan kepada-Nya ketika mendapatkan bencana.

Secara keseluruhan, prinsip yang mendasari di atas adalah:
1) Himmah yang tinggi,
2) Menjaga kehormatan,
3) Bakti yang baik,
4) Melaksanakan prinsip utama; dan
5) Mengagungkan nikmat Allah Swt.

Dari sejumlah ilusttrasi di atas, maka bagi para penempuh jalan sufi hendaknya memilih seorang Mursyid yang benar-benar memenuhi standar di atas, sehingga mampu menghantar dirinya dalam penempuhan menuju kepada Allah Swt.

Rasulullah saw. adalah teladan paling paripurna. Ketika hendak menuju kepada Allah dalam Isra’ dan Mi’raj, Rasulullah Saw. senantiasa dibimbing oleh Malaikat Jibril as. Fungsi Jibril di sini identik dengan Mursyid di mata kaum sufi. Hal yang sama, ketika Nabiyullah Musa as, yang merasa telah sampai kepada-Nya, ternyata harus diuji melalui bimbingan ruhani seorang Nabi Khidir as. Hubungan Musa dan Khidir adalah hubungan spiritual antara Murid dan Syekh. Maka dalam soal-soal rasional Musa as sangat progresif, tetapi beliau tidak sehebat Khidir dalam soal batiniyah.

Karena itu lebih penting lagi, tentu menyangkut soal etika hubungan antara Murid dengan Mursyidnya, atau antara pelaku sufi dengan Syekhnya. Syekh Abdul Wahhab asy-Sya’rani, (W. 973 H) secara khusus menulis kitab yang berkaitan dengan etika hubungan antara Murid dengan Mursyid tersebut, dalam “Lawaqihul Anwaar al-Qudsiyah fi Ma’rifati Qawa’idus Shufiyah”.

***

Allah Swt. berfirman:

“Barangsiapa mendapatkan kesesatan, maka ia tidak akan menemukan (dalah hidupnya) seorang wali yang mursyid” (Al-Qur’an).

Dalam tradisi tasawuf, peran seorang Mursyid (pembimbing atau guru ruhani) merupakan syarat mutlak untuk mencapai tahapan-tahapan puncak spiritual. Eksistensi dan fungsi Mursyid atau wilayah kemursyidan ini ditolak oleh sebagaian ulama yang anti tasawuf atau mereka yang memahami tasawuf dengan cara-cara individual. Mereka merasa mampu menembus jalan ruhani yang penuh dengan rahasia menurut metode dan cara mereka sendiri, bahkan dengan mengandalkan pengetahuan yang selama ini mereka dapatkan dari ajaran Al-Qur’an dan Sunnah. Namun karena pemahaman terhadap kedua sumber ajaran tersebut terbatas, mereka mengklaim bahwa dunia tasawuf bisa ditempuh tanpa bimbingan seorang Mursyid.

Pandangan demikian hanya layak secara teoritis belaka. Tetapi daslam praktek sufisme, hampir bisa dipastikan, bahwa mereka hanya meraih kegagalan spiritual. Bukti-bukti historis akan kegagalan spoiritual tersebut telah dibuktikan oleh para ulama sendiri yang mencoba menempuh jalan sufi tanpa menggunakan bimbingan Mursyid. Para ulama besar sufi, yang semula menolak tasawuf, seperti Ibnu Athaillah as-Sakandari, Sulthanul Ulama Izzuddin Ibnu Abdis Salam, Syeikh Abdul Wahab asy-Sya’rani, dan Hujjatul Islam Abu Hamid Al-Ghazali akhirnya harus menyerah pada pengembaraannya sendiri, bahwa dalam proses menuju kepada Allah tetap membutuhkan seorang Mursyid.

Masing-masing ulama besar tersebut memberikan kesaksian, bahwa seorang dengan kehebatan ilmu agamanya, tidak akan mampu menempuh jalan sufi, kecuali atas bimbingan seorang Syekh atau Mursyid. Sebab dunia pengetahuan agama, seluas apa pun, hanyalah “dunia ilmu”, yang hakikatnya lahir dari amaliah. Sementara, yang dicerap dari ilmu adalah produk dari amaliah ulama yang telah dibukakan jalan ma’rifat itu sendiri.

Jalan ma’rifat itu tidak bisa begitu saja ditempuh begitu saja dengan mengandalkan pengetahuan akal rasional, kecuali hanya akan meraih Ilmul Yaqin belaka, belum sampai pada tahap Haqqul Yaqin. Alhasil mereka yang merasa sudah sampai kepada Allah (wushul) tanpa bimbingan seorang Mursyid, wushul-nya bisa dikategorikan sebagai wushul yang penuh dengan tipudaya. Sebab, dalam alam metafisika sufisme, mereka yang menempuh jalan sufi tanpa bimbingan ruhani seorang Mursyid, tidak akan mampu membedakan mana hawathif-hawathif (bisikan-bisikan lembut) yang datang dari Allah, dari malaikat atau dari syetan dan bahkan dari jin. Di sinilah jebakan-jebakan dan tipudaya penempuh jalan sufi muncul. Oleh sebab itu ada kalam sufi yang sangat terkenal: “Barangsiapa menempuh jalan Allah tanpa disertai seorang guru, maka gurunya adalah syetan”.

Oleh sebab itu, seorang ulama sendiri, tetap membutuhkan seorang pembimbing ruhani, walaupun secara lahiriah pengetahuan yang dimiliki oleh sang ulama tadi lebih tinggi dibanding sang Mursyid. Tetapi, tentu saja, dalam soal-soal Ketuhanan, soal-soal bathiniyah, sang ulama tentu tidak menguasainya.

Sebagaimana ayat al-Qur’an di atas, seorang Syekh atau Mursyid Sufi, mesti memiliki prasyarat yang tidak ringan. Dari konteks ayat di atas menunjukkan bahwa kebutuhan akan bimbingan ruhani bagi mereka yang menempuh jalan sufi, seorang pembimbing ruhani mesti memiliki predikat seorang yang wali, dan seorang yang Mursyid. Dengan kata lain, seorang Mursyid yang bisa diandalkan adalah seorang Mursyid yang Kamil Mukammil, yaitu seorang yang telah mencapai keparipurnaan ma’rifatullah sebagai Insan yang Kamil, sekaligus bisa memberikan bimbingan jalan keparipurnaan bagi para pengikut thariqatnya.

Tentu saja, untuk mencari model manusia paripurna setelah wafatnya Rasulullah saw. terutama hari ini, sangatlah sulit. Sebab ukuran-ukuran atau standarnya bukan lagi dengan menggunakan standar rasional-intelektual, atau standar-standar empirisme, seperti kemasyhuran, kehebatan-kehebatan atau pengetahuan-pengetahuan ensiklopedis misalnya. Bukan demikian. Tetapi, adalah penguasaan wilayah spiritual yang sangat luhur, dimana, logika-logikanya, hanya bisa dicapai dengan mukasyafah kalbu atau akal hati.

Karenanya, pada zaman ini, tidak jarang Mursyid Tarekat yang bermunculan, dengan mudah untuk menarik simpati massa, tetapi hakikatnya tidak memiliki standar sebagai seorang Mursyid yang wali sebagaimana di atas. Sehingga saat ini banyak Mursyid yang tidak memiliki derajat kewalian, lalu menyebarkan ajaran tarekatnya. Dalam banyak hal, akhirnya, proses tarekatnya banyak mengalami kendala yang luar biasa, dan akhirnya banyak yang berhenti di tengah jalan persimpangan.

Lalu siapakah Wali itu? Wali adalah kekasih Allah Swt. Mereka adalah para kekasih Allah yang senanatiasa total dalam tha’at ubudiyahnya, dan tidak berkubang dalam kemaksiatan. Dalam al-Qur’an disebutkan:

“Ingatlah, bahwa wali-wali Allah itu tidak pernah takut, juga tidak pernah susah.”
Sebagian tanda dari kewalian adalah tidak adanya rasa takut sedikit pun yang terpancar dalam dirinya, tetapi juga tidak sedikit pun merasa gelisah atau susah. Para Wali ini pun memiliki hirarki spiritual yang cukup banyak, sesuai dengan tahap atau maqam dimana, mereka ditempatkan dalam Wilayah Ilahi di sana. Paduan antara kewalian dan kemursyidan inilah yang menjadi prasyarat bagi munculnya seorang Mursyid yang Kamil dan Mukammil di atas.

Dalam kitab Al-Mafaakhirul ‘Aliyah, karya Ahmad bin Muhammad bin ‘Ayyad, ditegaskan, -- dengan mengutip ungkapan Sulthanul Auliya’ Syekh Abul Hasan asy-Syadzily ra, -- bahwa syarat-syarat seorang Syekh atau Mursyid yang layak – minimal –ada lima:

1. Memiliki sentuhan rasa ruhani yang jelas dan tegas.
2. Memiliki pengetahuan yang benar.
3. Memiliki cita (himmah) yang luhur.
4. Memiliki perilaku ruhani yang diridhai.
5. Memiliki matahati yang tajam untuk menunjukkan jalan Ilahi.

Sebaliknya kemursyidan seseorang gugur manakala melakukan salah satu tindakan berikut:

1. Bodoh terhadap ajaran agama.
2. Mengabaikan kehormatan ummat Islam.
3. Melakukan hal-hal yang tidak berguna.
4. Mengikuti selera hawa nafsu dalam segala tindakan.
5. Berakhal buruk tanpa peduli dengan perilakunya.

Syekh Abu Madyan – ra- menyatakan, siapa pun yang mengaku dirinya mencapai tahap ruhani dalam perilakunya di hadapan Allah Swt. lalu muncul salah satu dari lima karakter di bawah ini, maka, orang ini adalah seorang pendusta ruhani:

1. Membiarkan dirinya dalam kemaksiatan.
2. Mempermainkan thaat kepada Allah.
3. Tamak terhadap sesama makhuk.
4. Kontra terhadap Ahlullah
5. Tidak menghormati sesama ummat Islam sebagaimana diperintahkan Allah Swt.

Syekh Abul Hasan Asy-Syadzili mengatakan, “Siapa yang menunjukkan dirimu kepada dunia, maka ia akan menghancurkan dirimu. Siapa yang menunjukkan dirimu pada amal, ia akan memayahkan dirimu. Dan barangsiapa menunjukkan dirimu kepada Allah Swt. maka, ia pasti menjadi penasehatmu.”

Ibnu Athaillah as-Sakandari dalam kitab Al-Hikam mengatakan, “Janganlah berguru pada seseorang yang yang tidak membangkitkan dirimu untuk menuju kepada Allah dan tidak pula menunjukkan wacananya kepadamu, jalan menuju Allah”.

Seorang Mursyid yang hakiki, menurut Asy-Syadzili adalah seorang Mursyid yang tidak memberikan beban berat kepada para muridnya.

Dari kalimat ini menunjukkan bahwa banyak para guru sufi yang tidak mengetahui kadar bathin para muridnya, tidak pula mengetahui masa depan kalbu para muridnya, tidak pula mengetahui rahasia Ilahi di balik nurani para muridnya, sehingga guru ini, dengan mudahnya dan gegabahnya memberikan amaliyah atau tugas-tugas yang sangat membebani fisik dan jiwa muridnya. Jika seperti demikian, guru ini bukanlah guru yang hakiki dalam dunia sufi.

Jika secara khusus, karakteristik para Mursyid sedemikian rupa itu, maka secara umum, mereka pun berpijak pada lima (5) prinsip thariqat itu sendiri:

1. Taqwa kepada Allah swt. lahir dan batin.
2. Mengikuti Sunnah Nabi Saw. baik dalam ucapan maupun tindakan.
3. Berpaling dari makhluk (berkonsentrasi kepada Allah) ketika mereka datang dan pergi.
4. Ridha kepada Allah, atas anugerah-Nya, baik sedikit maupun banyak.
5. Dan kembali kepada Allah dalam suka maupun duka.

Manifestasi Taqwa, melalaui sikap wara’ dan istiqamah.
Perwujudan atas Ittiba’ sunnah Nabi melalui pemeliharaan dan budi pekerti yang baik. Sedangkan perwujudan berpaling dari makhluk melalui kesabaran dan tawakal. Sementara perwujudan ridha kepada Allah, melalui sikap qana’ah dan pasrah total. Dan perwujudan terhadap sikap kembali kepada Allah adalah dengan pujian dan rasa syukur dalam keadaan suka, dan mengembalikan kepada-Nya ketika mendapatkan bencana.

Secara keseluruhan, prinsip yang mendasari di atas adalah:
1) Himmah yang tinggi,
2) Menjaga kehormatan,
3) Bakti yang baik,
4) Melaksanakan prinsip utama; dan
5) Mengagungkan nikmat Allah Swt.

Dari sejumlah ilusttrasi di atas, maka bagi para penempuh jalan sufi hendaknya memilih seorang Mursyid yang benar-benar memenuhi standar di atas, sehingga mampu menghantar dirinya dalam penempuhan menuju kepada Allah Swt.

Rasulullah saw. adalah teladan paling paripurna. Ketika hendak menuju kepada Allah dalam Isra’ dan Mi’raj, Rasulullah Saw. senantiasa dibimbing oleh Malaikat Jibril as. Fungsi Jibril di sini identik dengan Mursyid di mata kaum sufi. Hal yang sama, ketika Nabiyullah Musa as, yang merasa telah sampai kepada-Nya, ternyata harus diuji melalui bimbingan ruhani seorang Nabi Khidir as. Hubungan Musa dan Khidir adalah hubungan spiritual antara Murid dan Syekh. Maka dalam soal-soal rasional Musa as sangat progresif, tetapi beliau tidak sehebat Khidir dalam soal batiniyah.

Karena itu lebih penting lagi, tentu menyangkut soal etika hubungan antara Murid dengan Mursyidnya, atau antara pelaku sufi dengan Syekhnya. Syekh Abdul Wahhab asy-Sya’rani, (W. 973 H) secara khusus menulis kitab yang berkaitan dengan etika hubungan antara Murid dengan Mursyid tersebut, dalam “Lawaqihul Anwaar al-Qudsiyah fi Ma’rifati Qawa’idus Shufiyah”.

Eksistensi Seorang Mursyid


Dalam setiap aktivitas rintangan itu akan selalu ada. Hal ini dikarenakan Tuhan menciptakan syetan tidak lain hanya untuk menggoda dan menghalangi setiap aktivitas manusia. Tidak hanya terhadap aktivitas yang mengarah kepada kebaikan, bahkan terhadap aktivitas yang sudah jelas mengarah menuju kejahatan pun, syetan masih juga ingin lebih menyesatkan.

Pada dasarnya kita diciptakan oleh Tuhan hanya untuk beribadah dan mencari ridla dari-Nya. Karena itu kita harus berusaha untuk berjalan sesuai dengan kehendak atau syari’at yang telah ditentukan. Hanya saja keberadaan syetan yang selalu memusuhi kita, membuat pengertian dan pelaksanaan kita terkadang tidak sesuai dengan kebenaran.

Dengan demikian, kebutuhan kita untuk mencari seorang pembimbing merupakan hal yang essensial. Karena dengan bimbingan orang tersebut, kita harapkan akan bisa menetralisir setiap perbuatan yang mengarah kepada kesesatan sehingga bisa mengantar kita pada tujuan.

Thariqah
Thariqah adalah jalan. Maksudnya, salah satu jalan menuju ridla Allah atau salah satu jalan menuju wushul (sampai pada Tuhan). Dalam istilah lain orang sering juga menyebutnya dengan ilmu haqiqat. Jadi, thariqah merupakan sebuah aliran ajaran dalam pendekatan terhadap Tuhan. Rutinitas yang ditekankan dalam ajaran ini adalah memperbanyak dzikir terhadap Allah.

Dalam thariqat, kebanyakan orang yang terjun ke sana adalah orang-orang yang bisa dibilang sudah mencapai usia tua. Itu dikarenakan tuntutan atau pelajaran yang disampaikan adalah pengetahuan pokok atau inti yang berkaitan langsung dengan Tuhan dan aktifitas hati yang tidak banyak membutuhkan pengembangan analisa. Hal ini sesuai dengan keadaan seorang yang sudah berusia tua yang biasanya kurang ada respon dalam pengembangan analisa. Meskipun demikian, tidak berarti thariqah hanya boleh dijalankan oleh orang-orang tua saja.

Lewat thariqah ini orang berharap bisa selalu mendapat ridla dari Allah, atau bahkan bisa sampai derajat wushul. Meskipun sebenarnya thariqah bukanlah jalan satu-satunya.

Wushul
Wushul adalah derajat tertinggi atau tujuan utama dalam ber-thariqah. Untuk mencapai derajat wushul (sampai pada Tuhan), orang bisa mencoba lewat bermacam-macam jalan. Jadi, orang bisa sampai ke derajat tersebut tidak hanya lewat satu jalan. Hanya saja kebanyakan orang menganggap thariqah adalah satu-satunya jalan atau bahkan jalan pintas menuju wushul.

Seperti halnya thariqah, ibadah lain juga bisa mengantar sampai ke derajat wushul. Ada dua ibadah yang syetan sangat sungguh-sungguh dalam usaha menggagalkan atau menggoda, yaitu shalat dan dzikir. Hal ini dikarenakan shalat dan dzikir merupkan dua ibadah yang besar kemungkinannya bisa diharapkan akan membawa keselamatan atau bahkan mencapai derajat wushul. Sehingga didalam shalat dan dzikir orang akan merasakan kesulitan untuk dapat selalu mengingat Tuhan.

Dalam sebuah cerita, Imam Hanafi didatangi seorang yang sedang kehilangan barang. Oleh Imam Hanafi orang tersebut disuruh shalat sepanjang malam sehingga akan menemukan barangnya. Namun ketika baru setengah malam menjalankan shalat, syetan mengingatkan/mengembalikan barangnya yang hilang sambil membisikkan agar tidak melanjutkan shalatnya. Namun oleh Imam Hanafi orang tersebut tetap disuruh untuk melanjutkan shalatnya.

Seperti halnya shalat, dzikir adalah salah satu ibadah yang untuk mencapai hasil maksimal harus melewati jalur yang penuh godaan syetan. Dzikir dalam ilmu haqiqat atau thariqat, adalah mengingat atau menghadirkan Tuhan dalam hati. Sementara Tuhan adalah dzat yang tidak bisa diindera dan juga tiak ada yang menyerupai. Sehingga tidak boleh bagi kita untuk membayangkan keberadaan Tuhan dengan disamakan sesuatu. Maka dalam hal ini besar kemungkinan kita terpengaruh dan tergoda oleh syetan, mengingat kita adalah orang yang awam dalam bidang ini (ilmu haqiqat) dan masih jauh dari standar.

Karena itu, untuk selalu bisa berjalan sesuai ajaran agama, menjaga kebenaran maupun terhindar dari kesalahan pengertian, kita harus mempunyai seorang guru. Karena tanpa seorang guru, syetanlah yang akan membimbing kita. Yang paling dikhawatirkan adalah kesalahan yang berdampak pada aqidah.

Mursyid
Mursyid adalah seorang guru pembimbing dalam ilmu haqiqat atau ilmu thariqat. Mengingat pembahasan dalam ilmu haqiqat atau ilmu thariqat adalah tentang Tuhan yang merupakan dzat yang tidak bisa diindera, dan rutinitas thariqah adalah dzikir yang sangat dibenci syetan. Maka untuk menjaga kebenaran, kita perlu bimbingan seorang mursyid untuk mengarahkannya. Sebab penerapan Asma’ Allah atau pelaksanaan dzikir yang tidak sesuai bisa membahayakan secara ruhani maupun mental, baik terhadap pribadi yang bersangkutan maupun terhadap masyarakat sekitar. Bahkan bisa dikhawatirkan salah dalam beraqidah.

Seorang mursyid inilah yang akan membimbing kita untuk mengarahkannya pada bentuk pelaksanaan yang benar. Hanya saja bentuk ajaran dari masing-masing mursyid yang disampaikan pada kita berbeda-beda, tergantung aliran thariqah-nya. Namun pada dasarnya pelajaran dan tujuan yang diajarkannya adalah sama, yaitu al-wushul ila-Allah.

Melihat begitu pentingnya peranan mursyid, maka tidak diragukan lagi tinggi derajat maupun kemampuan dan pengetahuan yang telah dicapai oleh mursyid tersebut. Karena ketika seorang mursyid memberi jalan keluar kepada muridnya dalam menghadapi kemungkinan godaan syetan, berarti beliau telah lolos dari perangkap syetan. Dan ketika beliau membina muridnya untuk mencapai derajat wushul, berarti beliau telah mencapai derajat tersebut. Paling tidak, seorang mursyid adalah orang yang tidak diragukan lagi kemampuan maupuan pengetahuannya.

(Penulis adalah pengasuh Ponpes al-Ma’ruf, Bandungsari, Ngaringan, Grobogan, Jateng; juga sebagai wakil Syuriyah NU wilayah Jateng dan sebagai anggota lajnah tashhih NU Pusat dan di persatuan thariqat se-Indonesia).

Hierraki Wali


Syaikhul Akbar Ibnu Araby dalam kitab Futuhatul Makkiyah membuat klasifikasi tingkatan wali dan kedudukannya. Jumlah mereka sangat banyak, ada yang terbatas dan yang tidak terbatas. Sedikitnya terdapat 9 tingkatan, secara
garis besar dapat diringkas sebagai berikut :

1. Wali Aqthab atau Wali Quthub
Wali yang sangat paripurna. Ia memimpin dan menguasai wali diseluruh alam semesta. Jumlahnya hanya seorang setiap masa. Jika wali ini wafat, maka Wali Quthub lainnya yang menggantikan.
2. Wali Aimmah
Pembantu Wali Quthub. Posisi mereka menggantikan Wali Quthub jika wafat. Jumlahnya dua orang dalam setiap masa. Seorang bernama Abdur Robbi, bertugas menyaksikan alam malakut. Dan lainnya bernama Abdul Malik, bertugas menyaksikan alam malaikat.
3. Wali Autad
Jumlahnya empat orang. Berada di empat wilayah penjuru mata angin, yang masing-masing menguasai wilayahnya. Pusat wilayah berada di Kakbah. Kadang dalam Wali Autad terdapat juga wanita. Mereka bergelar Abdul Haiyi, Abdul Alim, Abdul Qadir dan Abdu Murid.
4. Wali Abdal
Abdal berarti pengganti. Dinamakan demikian karena jika meninggal di suatu tempat, mereka menunjuk penggantinya. Jumlah Wali Abdal sebanyak tujuh orang, yang menguasai ketujuh iklim. Pengarang kitab Futuhatul Makkiyah dan Fushus Hikam yang terkenal itu, mengaku pernah melihat dan bergaul baik dengan ke tujuh Wali Abdal di Makkatul Mukarramah.
Pada tahun 586 di Spanyol, Ibnu Arabi bertemu Wali Abdal bernama Musa al-Baidarani. Abdul Madjid bin Salamah sahabat Ibnu Arabi pernah bertemu Wali Abdal bernama Mu’az bin al-Asyrash. Beliau kemudian menanyakan bagaimana cara mencapai kedudukan Wali Abdal. Ia menjawab dengan lapar, tidak tidur dimalam hari, banyak diam dan mengasingkan diri dari keramaian.
5. Wali Nuqoba’
Jumlah mereka sebanyak 12 orang dalam setiap masa. Allah memahamkan mereka tentang hukum syariat. Dengan demikian mereka akan segera menyadari terhadap semua tipuan hawa nafsu dan iblis. Jika Wali Nuqoba’ melihat bekas telapak kaki seseorang diatas tanah, mereka mengetahui apakah jejak orang alim atau bodoh, orang baik atau tidak.
6. Wali Nujaba’
Jumlahnya mereka sebanyak 8 orang dalam setiap masa.
7. Wali Hawariyyun
Berasal dari kata hawari, yang berarti pembela. Ia adalah orang yang membela agama Allah, baik dengan argumen maupun senjata. Pada zaman nabi Muhammad sebagai Hawari adalah Zubair bin Awam. Allah menganugerahkan kepada Wali Hawariyyun ilmu pengetahuan, keberanian dan ketekunan dalam beribadah.
8. Wali Rajabiyyun
Dinamakan demikian, karena karomahnya muncul selalu dalam bulan Rajab. Jumlah mereka sebanyak 40 orang. Terdapat di berbagai negara dan antara mereka saling mengenal. Wali Rajabiyyun dapat mengetahui batin seseorang. Wali ini setiap awal bulan Rajab, badannya terasa berat bagaikan terhimpit langit. Mereka berbaring diatas ranjang dengan tubuh kaku tak bergerak. Bahkan, akan terlihat kedua pelupuk matanya tidak berkedip hingga sore hari. Keesokan harinya perasaan seperti itu baru berkurang. Pada hari ketiga, mereka menyaksikan peristiwa ghaib.

Berbagai rahasia kebesaran Allah tersingkap, padahal mereka masih tetap berbaring diatas ranjang. Keadaan Wali Rajabiyyun tetap demikian, sesudah 3 hari baru bisa berbicara.

Apabila bulan Rajab berakhir, bagaikan terlepas dari ikatan lalu bangun. Ia akan kembali ke posisinya semula. Jika mereka seorang pedagang, maka akan kembali ke pekerjaannya sehari-hari sebagai pedagang.
9. Wali Khatam
Khatam berarti penutup. Jumlahnya hanya seorang dalam setiap masa. Wali Khatam bertugas menguasai dan mengurus wilayah kekuasaan ummat nabi Muhammd,saw.

Wai Allah Menurut Hakim At-Tirmidzi


Hakim at-Tirmidzi lahir di Tirmidz, Uzbekistan, Asia Tengah pada tahun 205 H/820 M. Nama lengkapnya adalah Abu Abd Allah Muhammad bin Ali bin Hasan al-Hakim at-Tirmidzi. Ia berasal dari keluarga ilmuwan ahli fiqih
dan hadits. Memasuki puncak ketasawufan setelah mengalami goncangan batin sebagaimana yang di kemudian hari dialami al-Ghazali. Ia mendefinisikan Wali Allah adalah seorang yang demikian kokoh di dalam peringkat kedekatannya kepada Allah (fi martabtih), memenuhi persyaratan-persyaratan tertentu seperti bersikap shidq (jujur dan benar) dalam perilakunya, sabar dalam ketaatan kepada Allah, menunaikan segala kewajiban, menjaga hukum dan perundang-undangan (al-hudud) Allah, mempertahankan posisi (al-) kedekatannya kepada Allah. Dalam keadaan ini, menurut at-Tirmidzi, seorang wali mengalami kenaikan peringkat sehingga berada pada posisi yang demikian dekat dengan Allah, kemudian ia berada di hadapan-Nya, dan menyibukkan diri dengan Allah sehingga lupa dari segala sesuatu selain Allah.

Karena kedekatannya dengan Allah, seorang wali memperoleh ‘ishmah (pemeliharaan) dan karamah (kemuliaan) dari Allah. menurutnya, ada tiga jenis ‘ishmah dalam Islam. Pertama, ‘ishmah al-anbiya’ (ishmah para Nabi) merupakan sesuatu yang wajib; baik berdasarkan argumentasi ‘aqliyyah seperti dikemukakan Mu’tazilah maupun berdasarkan argumentasi sam‘iyyah. Kedua, ‘ishmah al-awliya’ (merupakan sesuatu yang mungkin); tidak ada keharusan untuk menetapkan ‘ishmah bagi para wali dan tidak berdosa untuk menafikannya dari diri mereka, tidak juga termasuk ke dalam keyakinan agama (‘aqa’id al-din); melainkan merupakan karamah dari Allah kepada mereka. Allah melimpahkan ‘ishmah ke dalam hati siapa saja yang dikehendaki-Nya di antara mereka. Ketiga, ‘ishmah al-‘ammah, ‘ishmah secara umum , melalui jalan al-asbab, sebab-sebab tertentu yang menjadikan seseorang terpelihara dari perbuatan maksiat.

‘Ishmah yang dimiliki para wali dan orang-orang beriman, menurut at-Tirmidzi, bertingkat-tingkat. Bagi umumnya orang-orang yang beriman, ‘ishmah berarti terpelihara dari kekufuran dan dari terus menerus berbuat dosa; sedangkan bagi para wali ‘ishmah berarti terjaga (mahfuzh) dari kesalahan sesuai dengan derajat, jenjang, dan maqamat mereka. Masing-masing mereka mendapatkan ‘ishmah sesuai dengan peringkat kewaliannya. Inti pengertian ‘ishmah al-awliya’ terletak pada makna al-hirasah (pengawasan), berupa cahaya ‘ishmah (anwar al-ishmah) yang menyinari relung jiwa (hanaya al-nafs) dan berbagai gejala yang muncul dari kedalaman al-nafs, tempat persembunyian al-nafs (makamin al-nafs), sehingga al-nafs tidak menemukan jalan untuk mengambil bagian dalam aktivitas seorang wali. Ia dalam keadaan suci dan tidak tercemari berbagai kotoran al-nafs ( adnas al-nafs ).

Adapun yang dimaksud karamah al-awliya’ tiada lain, kemuliaan, kehormatan,(al-ikram); penghargaan (al-taqdir); dan persahabatan (al-wala) yang dimiliki para wali Allah berkat penghargaan, kecintaan dan pertolongan Allah kepada mereka. Karamah al-awliya itu, dalam pandangan Hakim at-Tirmidzi, merupakan salah satu ciri para wali secara lahiriah (‘alamat al-awliya’ fi al-zhahir) yang juga dinamakannya al-ayat atau tanda-tanda.

Hakim at-Tirmidzi membagi karamat al-awliya ke dalam dua bagian. Pertama, karamah yang bersifat ma‘nawi atau al-karamat al-ma‘nawiyyah. Karamah yang pertama merupakan sesuatu yang bertentangan dengan adat kebiasaan secara fisik-inderawi, seperti kemampuan seseorang unrtuk berjalan di atas air atau berjalan di udara. Sedangkan karamah yang kedua merupakan ke-istiqamah-an seorang hamba di dalam menjalin hubungan dengan Allah, baik secara lahiriah maupun secara batiniah yang menyebabkan hijab tersingkap dari kalbunya hingga ia mengenal kekasihnya, serta merasa ketentraman dengan Allah. At-Tirmidzi memaparkan karamah yang kedua sebagai yang berikut:

Kemudian Tuhan memandang wali Allah dengan pandangan rahmat. Maka Tuhan pun dari perbendaharaan rububiyyah menaburkan karamah yang bersifat khusus kepadanya sehingga ia (wali Allah) itu berada pada maqam hakikat kehambaan (al-haqiqah al-ubudiyyah). Kemudian Tuhan pun mendekatkan kepada-Nya, memanggilnya, menghormati dan meninggikannya. Menyayanginya dan menyerunya. Maka wali pun menghampiri Tuhan ketika ia mendengar seru-Nya. Mengokohkan (posisi)-nya dan menguatkannya; memelihara dan menolongnya; sehingga ia meresponi dan menyambut seruan-Nya. Dalam kesunyian ia memanggil-Nya. Setiap saat ia munajat kepada-Nya. Ia pun memanggil kekasihnya. Ia tidak mengenal Tuhan selain Allah.

Orang yang menolak karamah al-awliya’, menurut at-Tirmidzi, disebabkan mereka tidak mengetahui persoalan ini kecuali kulitnya saja. Mereka tidak mengetahui perlakuan Allah terhadap para wali. Sekiranya orang tersebut mengetahui hal-ihwal para wali dan perlakuan Allah terhadap mereka; niscaya mereka tidak akan menolaknya. Penolakan mereka terhadap karamah al-awliya’, menurut at-Tirmidzi, disebabkan oleh kadar akses mereka terhadap Allah hanya sebatas menegaskan-Nya; bersungguh-sungguh di dalam mewujudkan kejujuran (al-shidq); bersikap benar dalam mewujudkan kesungguhan sehingga meraih posisi al-qurbah (dekat dengan Allah). Sementara mereka buta terhadap karunia dan akses Allah kepada hamba-hamba pilihan-Nya. Demikian juga buta terhadap cinta (mahabbah) dan kelembutan (ra’fah) Allah kepada para wali. Apabila mereka mendengar sedikit tentang hal ini, mereka bingung dan menolaknya.

Adapun derajat kewalian, dalam pandangan al-Tirmidzi, dapat diraih dengan terpadunya dua aspek penting, yakni karsa Allah kepada seorang hamba dan kesungguhan pengabdian seorang kepada Allah. Aspek pertama merupakan wewenang Allah secara mutlak; sedangkan aspek kedua merupakan perjuangan seorang hamba dalam mendekatkan diri kepada Allah. Menurut at-Tirmidzi, ada dua jalur yang biasa ditempuh oleh seorang sufi guna meraih derajat kewalian. Jalur pertama disebut thariqah al-minnah (jalan golongan yang mendapat anugerah) sedangkan jalur kedua disebut thariq ashhab al-shidq (jalan golongan yang benar dalam beribadah). Melalui jalur pertama, seorang sufi meraih derajat kewalian di hadapan Allah semata-mata karena karunia Allah yang diberikan kepada siapa saja yang dikendaki Allah di antara hamba-hamba-Nya. Sedangkan melalui jalur kedua, seorang sufi meraih derajat kewalian berkat keikhlasan dan kesungguhannya di dalam beribadah kepada Allah. Seseorang yang meraih derajat kewalian melalui jalur kedua disebut wali haqq Allah atau awliya’ huquq Allah dalam bentuk jamak.

Menurut at-Tirmidzi derajat kewalian yang diraih melalui jalur kedua diperoleh setelah seorang sufi bertaubat dari segala dosa dan bertekad bulat untuk membuktikan sesungguhan taubatnya dengan konsisten di dalam menunaikan segala yang diwajibkan; menjaga al-hudud (hukum dan perundang-undangan Allah) dan mengurangi al-mubahat (hal-hal yang dibolehkan); kemudian memperhatikan aspek batin dan menjaga kesuciannya dengan seksama.
Seorang sufi yang meraih derajat kewalian (al-walayah) melalui jalur kedua desebut wali haqq Allah, karena sufi itu telah mencurahkan seluruh perhatian dan usahanya untuk menjaga hak Allah. Perjuangan yang demikian berat ini telah menambah kesucian hati sufi tersebut. Hatinya menjadi terformat sedemikian rupa dengan sifat Allah al-Haqq sehingga al-Haqq menjadi salah satu sifatnya yang mendominasi perasaannya yang terdalam (al-wujdan) dan membimbing seluruh perilakunya. Tidaklah seorang sufi itu mengucapkan sesuatu kecuali melalui Allah al-Haqq; tidaklah melakukan sesuatu kecuali menuju Allah al-Haqq; dan tidaklah dia diam kecuali bersama Allah al-Haqq. Maka al-Haqq senantiasa bersama-Nya dalam berbagai keadaan. Para wali yang memiliki kualifikasi ini disebut juga al-awliya al-shadiqin.

Sementara itu, memperoleh derajat al-walayah melalui jalur pertama, thariqah al-Minnah, terbagi kedalam dua proses. Pertama, anugerah kewalian itu diperoleh dengan tanpa usaha sebelumnya. Melalui proses ini orang yang menerima anugerah al-walayah merasakan adanya kekuatan yang menarik dirinya kepada kualitas al-walayah tersebut. Para sufi yang meraih derajat kewalian melalui proses ini disebut al-mujtabun (yang diangkat) atau al-mujzubun (yang ditarik). Kedua, anugerah kewalian itu diperoleh karena ada prakondisi sebelumnya. Derajat al-walayah yang diberikan melalui proses kedua ini mengandung pengertian bahwa anugerah al-walayah itu diberikan oleh Allah kepada seseorang yang telah berada di dalam maqam al-shidq, suatu kedudukan terhormat di hadapan Allah yang hanya bisa ditempati oleh para sufi yang telah memiliki kualifikasi wali di antara al-awliya al-shadiqin. Hal ini terjadi semata-mata karena kasih sayang Allah kepadanya.

Derajat kewalian dan kenabian, menurut at-Tirmidzi, merupakan anugerah Allah. Allah telah memilih di antara hamba-hamba-Nya menjadi al-anbiya (Nabi-Nabi) dan awliya (para wali). Kemudian Allah melebihkan derajat sebagian al-anbiya atas sebagian yang lain. Sebagaimana Allah melebihkan sebagian derajat al-awliya atas sebagian yang lain. Kelebihan Nabi Muhammad SAW. atas para Nabi yang lain adalah kedudukannya sebagai khatam al-nubuwwah yang merupakan hujjat Allah bagi makhluk-Nya pada hari kiamat, karena tiada seorang pun di antara al-anbiya yang mendapat kedudukan setinggi ini.

Hujjat Allah yang menjadi inti khatam al-nubuwwah tersebut tiada lain, qadam shidq, yakni kesaksian Allah bahwa Nabi Muhammad SAW. memiliki shidq al-‘ubudiyyah (kesungguhan dalam kehambaan). Dengan qadam shidq tersebut Nabi Muhammad SAW. mendahului barisan para Nabi dan Rasul. Kemudian Allah menyambutnya dan menempatkannya di dalam al-maqam al-mahmud pada al-kursi. Dengan demikian para Nabi mengetahui bahwa Nabi Muhammad SAW. adalah orang yamg paling mengenal Allah. Beliau diberi bendera pujian (liwa al-hamd) dan kunci kemulian (mafatih al-karam). Oleh sebab itu, khatam al-anbiyyin, menurut at-Tirmidzi, bukan karena Nabi Muhammad SAW. paling akhir diutus; melainkan karena al-nubuwwah telah sempurna secara total pada diri Nabi Muhammad SAW. sehingga dia menjadi jantung kenabian (qalb al-nubuwwah) karena kesempurnaannya; kemudian al-nubuwwah ditutup (pada diri beliau).

Bertitik tolak dari pandangannya tentang al-anbiya dan al-awliya, at-Tirmidzi memandang bahwa khatam al-awliya (pamungkas para wali) adalah al-wali al-majdzub yang memegang kepemimpinan (al-imamah) atas para wali. Di tangannya terdapat bendera kewalian (liwa al-walayah). Para wali seluruhnya membutuhkan syafa’at dari padanya; sebagaimana para Nabi membutuhkan syafa’at dari Nabi Muhammad SAW. Ia memperoleh bagian kenabian yang paling sempurna; sehingga ia dekat dengan al-anbiya; bahkan hampir mendahuluinya; sebagaimana tergambar pada hadits yang berikut:

Sesungguhnya di antara hamba-hamba Allah, ada orang yang bukan Nabi dan bukan syuhada; namun, banyak Nabi dan syuhada yang ingin seperti mereka, karena derajat mereka disisi Allah ‘Azza wa jalla.” Mereka bertanya, “Wahai Rasulullah, siapakah mereka? Beliau bersabda: “Mereka adalah suatu kaum yang saling mencintai dengan motivasi karena Allah; padahal bukan di antara kerabat mereka, juga bukan karena harta yang saling mereka berikan. Demi Allah, wajah mereka niscaya laksana cahaya, mereka berada di atas cahaya. Mereka tidak merasa sedih, ketika orang-orang bersedih. Kemudian beliau membacakan satu ayat:

(Q.S. Yunus: 62).
Maqam-nya (dihadapan Allah) berada pada peringkat tertinggi para wali (fi a‘ala manazil al-awliya). Ia adalah pengikut Nabi Muhammad SAW. Maka sebagaimana Nabi Muhammad SAW. menjadi hujjah bagi para Nabi; wali ini pun menjadi hujjah bagi para wali (al-awliya). Kecuali itu, al-Hakim at-Tirmidzi menghubungkan konsep khatam al-awliya dengan konsep manusia sempurna. Menurutnya, khatam al-awliya ialah manusia yang telah mencapai ma‘rifah yang sempurna tentang Tuhan. Dengan demikian, ia pun mendapatkan cahaya dari Tuhan, bahkan mendapatkan quwwah ilahiyyah (daya Ilahi). Menurut at-Tirmidzi, ada empat puluh orang dari kalangan umat Nabi Muhammad SAW. yang mendapat kedudukan sebagai wali, satu di antara empat puluh itu disebut khatam al-awliya sebagaimana Nabi Muhammad SAW. menjadi khatam al-anbiya.

Sementara itu, Abu Yazid al-Busthami (w.264H/877M.) memperkenalkan konsep al-wali al-kamil (wali yang sempurna). Menurutnya, wali yang sempurna ialah orang yang telah mencapai ma‘rifah yang sempurna tentang Tuhan, ia telah terbakar oleh api Tuhannya. Ma‘rifah yang sempurna akan membawa seorang wali fana’ dalam sifat-sifat ketuhanan. Wali yang fana’ dalam nama Allah, al-zhahir (yang nyata), akan dapat menyaksikan qudrah Tuhan; wali yang fana’ dalam nama-Nya, al-bathin (yang tersembunyi) akan dapat menyaksikan rahasia-rahasia alam; wali yang fana’ dalam nama-Nya, al-akhir (yang akhir), akan menyaksikan masa depan.

Kedudukan khatam al-awliya merupakan anugerah Allah. Allah memberikan al-khatm (penutupan [kewalian]) kepadanya agar pada hari kiamat hati Nabi Muhammad SAW. merasa tenteram. Para wali pun mengakui kelebihan wali ini atas mereka. Ia muncul menjelang terjadinya kiamat dan menjadi hujjat Allah bagi seluruh penganut paham monoteisme (al-muwahhidin) yang datang sesudahnya.

Pemikiran al-Hikam at-Tirmidzi tentang khatm al-walayah lebih jauh dikembangkan oleh Ibnu Arabi. Menurut Ibnu Arabi, konsep al-khatm (penutupan) mengandung dua pengertian. Pertama, al-khatm berarti Allah telah menutup kewalian secara umum (al-walayah al-ammah). Kedua, al-khatm dalam pengertian Allah telah menutup kewalian umat Nabi Muhammad SAW. (al-walayah al-muhammadiyah).

Khatm al-walayah dalam pengertian yang pertama berada pada diri Nabi Isa as. Beliau adalah wali dengan kenabian mutlak (al-nubuwwah al-muthlaqah) yang muncul pada zaman ummat (Nabi Muhammad) ini. Kewalian Nabi Isa terputus dari nubuwwat al-tasyri’, yakni kenabian khusus dengan kewenangan menetapkan syari’at agama dan kerasulannya. Nabi Isa turun di akhir zaman sebagai pewaris (Nabi Muhammad SAW.). Dan khatam [al-walayah] (pamungkas kewalian). Tidak ada wali sesudahnya dengan kenabian mutlak sekalipun, sebagaimana Nabi Muhammad SAW. sebagai khatam al-nubuwwah (pamungkas kenabian) tidak ada Nabi sesudah beliau dengan nubuwwat al-tasyri’. Sedangkan khatam al-walayah dalam pengertian yang kedua berada pada diri seorang laki-laki bangsa Arab dari kalangan orang-orang terhormat.

Pengetahuan tentang syari’at (al-ilm al-syari’i) – yang menjadi dasar nubuwwat al-tasyri’ diwahyukan kepada seorang Rasul melalui malaikat. Sedangkan pengetahuan batin (al-‘ilm al-bathini) yang dimiliki wali, baik dalam kapasitasnya sebagai Rasul, Nabi, maupun wali saja; bersifat pancaran dari seorang khatam al-awliya. Adapun khatam al-awliya mendapatkan secara menyeluruh dari sumber pancaran ruhaniah (manba‘al-faydl al-ruhi); yakni ruh Muhammad atau al-haqiqah al-Muhammadiyah.

Ibnu Arabi menghubungkan konsepsi khatam al-awliya dengan kemampuan menangkap al-‘athaya (pemberian dan anugerah) Allah. Menurut Ibnu Arabi, ada dua jenis al-‘athaya (pemberian) yakni yang bersifat dzatiyyah dan yang bersifat asma’iyyah. Adapun al-‘athaya al-dzatiyyah tidak terjadi kecuali melalui tajalli ilahi; sedangkan tajalli merupakan pengetahuan tertinggi tentang Tuhan. Pengetahuan ini tidak diberikan kecuali kepada khatam al-rusul (pamungkas para utusan) dan khatam al-awliya (pamungkas para wali).

Tiada seorang pun di antara al-anbiya dan al-rusul dapat mengalami tajalli al-dzat kecuali melalui misykah, teropong, khatam al-rusul; dan tiada seorang pun al-awliya mengalami tajalli al-dzat kecuali melalui misykah, teropong, khatam al-awliya bahkan al-anbiya dan al-rusul pun tidak dapat mengalami tajalli al-dzat kecuali melalui misykat al-khatam al-awliya’; meskipun khatam al-awliya merupakan pengikut khatam al-rusul dalam syari’at yang dibawanya.

Dalam pandangan Ibnu Arabi, khatam al-anbiya mempunyai kedudukan yang sebanding dengan khatam al-awliya. Menurutnya setiap Nabi sejak zaman Nabi Adam hingga Nabi terakhir; tiada seorang pun di antara mereka, kecuali mengambil dari misykat (teropong) khatam al-nabiyyin; meskipun khatam al-nabiyyin tersebut secara historis muncul terakhir. Hal ini sejalan dengan sabda Nabi Muhammad SAW.: Aku sudah menjadi Nabi; sedangkan Adam di antara air dan tanah. Sedangkan para Nabi selain Nabi Muhammad SAW. menjadi Nabi setelah mereka diutus (ke dunia).

emikian juga khatam al-awliya telah menjadi wali, ketika Adam masih berada di antara air dan tanah; sedangkan para wali yang lain menjadi wali setelah mereka memperoleh syarat-syarat kewalian (al-walayah), yakni setelah diri mereka tersifati oleh al-akhlaq al-ilahiyyah atau akhlak Tuhan, terutama berkenaan dengan pernyataan Allah sendiri yang menyebut diri-Nya al-wali al-hamid (Wali yang Maha Terpuji).