Minggu, 30 Mei 2010

Hirarki Kewalian

Syaikh Abu Hasan Ali Hujwiri dalam kitabnya yang berjudul Kasyf Al-Mahjub, mengatakan bahwa wali Akhyar sebanyak 300orang, wali Abdal sebanyak 40orang, wali Abrar sebanyak 7orang, wali Autad sebanyak 4orang, wali Nuqaba sebanyak 3orang dan wali Quthub atau Ghauts sebanyak 1 orang. Sedangkan menurut Syaikhul Akbar Muhyiddin ibnu Ab,¬Al Arabi dalam kitabnya al-Futuhat al-Makkiyyah membuat pembagian tingkatan wali dan kedudukannya. Jumlah mereka sangat banyak, ada yang terbatas dan yang tidak terbatas. Sedikitnya terdapat 9 tingkatan, secara garis besar dapat diringkas sebagai berikut:

1. Wali Quthub al-Aqthab atau Wali Quthub al-Ghauts
Wali yang sangat paripurna. Ia memimpin dan menguasai wali diseluruh alam semesta. Jumlahnya hanya seorang setiap masa. Jika wali ini wafat, maka Wali Quthub lainnya yang menggantikan.

2. Wali Aimmah
Pembantu Wali Quthub. Posisi mereka menggantikan Wali Quthub jika wafat. Jumlahnya dua orang dalam setiap masa. Seorang bergelar Abdur Robbi, bertugas menyaksikan alam malakut. Dan lainnya bergelar Abdul Malik, bertugas menyaksikan alam malaikat.

3. Wali Autad
Jumlahnya empat orang. Berada di empat wilayah penjuru mata angin, yang masing-masing menguasai wilayahnya. Pusat wilayah berada di Ka`bah. Kadang dalam Wali Autad terdapat juga wanita. Mereka bergelar Abdul Hayyi, Abdul Alim, Abdul Qadir dan Abdul Murid.

4. Wali Abdal
Abdal berarti pengganti. Dinamakan demikian karena jika meninggal di suatu tempat, mereka menunjuk penggantinya. Jumlah Wali Abdal sebanyak tujuh orang, yang menguasai ketujuh iklim. Pengarang kitab al-Futuhatul Makkiyyah dan Fushus Hikam yang terkenal itu (Muhyiddin ibnu 'Arabi) mengaku pernah melihat dan bergaul baik dengan ke tujuh Wali Abdal di Makkatul Mukarramah.
Pada tahun 586 di Spanyol, Muhyiddin ibnu 'Arabi bertemu Wali Abdal bernama Musa al-Baidarani. Sahabat Muhyiddin ibnu 'Arabi yang bernama Abdul Majid bin Salamah mengaku pernah juga bertemu Wali Abdal bernama Mua'az bin al-Asyrash. Beliau kemudian menanyakan bagaimana cara mencapai kedudukan Wali Abdal. Ia menjawab dengan lapar, tidak tidur dimalam hari, banyak diam dan mengasingkan diri dari keramaian.

5. Wali Nuqobaa
Jumlah mereka sebanyak 12 orang dalam setiap masa. Allah memahamkan mereka tentang hukum syariat. Dengan demikian mereka akan segera menyadari terhadap semua tipuan hawa nafsu dan iblis. Jika Wali Nuqobaa melihat bekas telapak kaki seseorang diatas tanah, mereka mengetahui apakah jejak orang alim atau bodoh, orang baik atau tidak.

6. Wali Nujabaa
Jumlahnya mereka sebanyak 8 orang dalam setiap masa.

7. Wali Hawariyyun
Berasal dari kata hawari, yang berarti pembela. Ia adalah orang yang membela agama Allah, baik dengan argumen maupun senjata. Pada zaman nabi Muhammad sebagai Hawari adalah Zubair ibnu Awam. Allah menganugerahkan kepada Wali Hawariyyun ilmu pengetahuan, keberanian dan ketekunan dalam beribadah.

8. Wali Rajabiyyun
Dinamakan demikian, karena karomahnya muncul selalu dalam bulan Rajab. Jumlah mereka sebanyak 40 orang. Terdapat di berbagai negara dan antara mereka saling mengenal. Wali Rajabiyyun dapat mengetahui batin seseorang. Wali ini setiap awal bulan Rajab, badannya terasa berat bagaikan terhimpit langit. Mereka berbaring diatas ranjang dengan tubuh kaku tak bergerak. Bahkan, akan terlihat kedua pelupuk matanya tidak berkedip hingga sore hari. Keesokan harinya perasaan seperti itu baru berkurang. Pada hari ketiga, mereka menyaksikan peristiwa ghaib.
Berbagai rahasia kebesaran Allah tersingkap, padahal mereka masih tetap berbaring diatas ranjang. Keadaan Wali Rajabiyyun tetap demikian, sesudah 3 hari baru bisa berbicara.
Apabila bulan Rajab berakhir, bagaikan terlepas dari ikatan lalu bangun. Ia akan kembali ke posisinya semula. Jika mereka seorang pedagang, maka akan kembali ke pekerjaannya sehari-hari sebagai pedagang.

9. Wali Khatam
Khatam berarti penutup. Jumlahnya hanya seorang dalam setiap masa. Wali Khatam bertugas menguasai dan mengurus wilayah kekuasaan ummat nabi Muhammd saw.
Jumlah para Auliya yang berada dalam manzilah-manzilah ada 356 sosok, yang mereka itu ada dalam kalbu Adam, Nuh, Ibrahim, Jibril, Mikail, dan Israfil. Dan ada 300, 40, 7, 5, 3 dan 1. Sehingga jumlah kerseluruhan 356 tokoh. Hal ini menurut kalangan Sufi karena adanya hadits yang menyebut demikian.
Sedangkan menurut Syaikh al-Akbar Muhyiddin ibnu 'Arabi (menurut beliau muncul dari mukasyafah) maka jumlah keseluruhan Auliya yang telah disebut diatas, sampai berjumlah 589 orang. Diantara mereka ada satu orang yang tidak mesti muncul setiap zaman, yang disebut sebagai al-Khatamul Muhammadi, sedangkan yang lain senantiasa ada di setiap zaman tidak berkurang dan tidak bertambah. Al-Khatamul Muhammadi pada zaman ini (zaman Muhyiddin ibnu 'Arabi), kami telah melihatnya dan mengenalnya (semoga Allah menyempurnakan kebahagiaannya), saya tahu ia ada di Fes (Marokko) tahun 595 H. Sementara yang disepakati kalangan Sufi, ada 6 lapisan para Auliyaââ,¬(tm), yaitu para Wali: Ummahat, Aqthab, A'immah, Autad, Abdal, Nuqaba dan Nujaba.
Pada pertanyaan lain : Siapa yang berhak menyandang Khatamul Auliya sebagaimana gelar Khatamun Nubuwwah yang disandang oleh Nabi Muhammad saw?.
Ibnu Araby menjawab :

"al-Khatam itu ada dua: Allah menutup Kewalian (mutlak), dan Allah menutup Kewalian Muhammadiyah. Penutup Kewalian mutlak adalah Nabi Isa Alaihissalaam. Dia adalah Wali dengan Nubuwwah Mutlak, yang kelak turun di era ummat ini, dimana turunnya di akhir zaman, sebagai pewaris dan penutup, dimana tidak ada Wali dengan Nubuwwah Mutlak setelah itu. Ia disela oleh Nubuwwah Syari'at dan Nubuwwah Risalah. Sebagaimana Nabi Muhammad saw sebagai Penutup Kenabian, dimana tidak ada lagi Kenabian Syariat setelah itu, walau pun setelah itu masih turun seperti Nabi Isa, sebagai salah satu dari Ulul 'Azmi dari para Rasul dan Nabi mulia. Maka turunnya Nabi Isa sebagai Wali dengan Nubuwwah mutlaknya, tetapi aturannya mengikuti aturan Nabi Muhammad saw, bergabung dengan para Wali dari ummat Nabi Muhammad lainnya. Ia termasuk golongan kita dan pemuka kita.
Pada mulanya, ada Nabi, yaitu Adam as. Dan akhirnya juga ada Nabi, yaitu Nabi Isa, sebagai Nabi Ikhtishah (kekhususan), sehingga Nabi Isa kekal di hari mahsyar ikut terhampar dalam dua hamparan mahsyar. Satu Mahsyar bersama kita, dan satu mahsyar bersama para Rasul dan para Nabi.
Adapun Penutup Kewalian Muhammadiyah, saat ini (zaman Muhyiddin ibnu 'Arabi) ada pada seorang dari bangsa Arab yang memiliki kemuliaan sejati. Saya kenal di tahun 595 H. Saya melihat tanda rahasia yang diperlihatkan oleh Allah Ta'ala pada saya dari kenyataan ubudiyahnya, dan saya lihat itu di kota Fes, sehingga saya melihatnya sebagai Penutup Kewalian Muhammadiyah darinya. Dan Allah telah mengujinya dengan keingkaran berbagai kalangan padanya, mengenai hakikat Allah dalam sirr-nya.
Sebagaimana Allah menutup Nubuwwah Syariat dengan Nabi Muhammad SAW, begitu juga Allah menutup Kewalian Muhammadi, yang berhasil mewarisi Al-Muhammadiyah, bukan diwarisi dari para Nabi. Sebab para Wali itu ada yang mewarisi Ibrahim, Musa, dan Nabi Isa, maka mereka itu masih kita dapatkan setelah munculnya Khatamul Auliya' Muhammadi, dan setelah itu tidak ada lagi Wali pada Kalbu Muhammad saw. Inilah arti dari Khatamul Wilayah al-Muhammadiyah. Sedangkan Khatamul Wilayah Umum, dimana tidak ada lagi Wali setelah itu, ada pada Nabi Isa Alaissalam. Dan kami menemukan sejumlah kalangan sebagai Wali pada Kalbu Nabi Isa As, dan sejumlah Wali yang berada dalam Kalbu para Rasul lainnyaÂť.
Dilain tempat, Ibnu 'Arabi mengatakan bahwa dirinyalah yang menjadi Segel (Penutup) Kewalian Muhammad.
Beberapa wali yang pernah mencapai derajat
wali Quthub al-Aqthab (Quthub al-Ghaus) pada masanya
Sayyid Hasan ibnu Ali ibnu Abi Thalib
Khalifah Umar ibnu Abdul Aziz
Syaikh Yusuf al-Hamadani
Syaikh Abdul Qadir al-Jilani
Syaikh Ahmad al-Rifa'i
Syaikh Abdus Salam ibnu Masyisy
Syaikh Ahmad Badawi
Syaikh Abu Hasan asy-Syazili
Syaikh Muhyiddin ibnu Arabi
Syaikh Muhammad Bahauddin an-Naqsabandi
Syaikh Ibrahim Addusuqi
Syaikh Jalaluddin Rumi
Syaikh Abdul Qadir al-Jilani

Beliau pernah berkata "Kakiku ada diatas kepala seluruh wali. Menurut Abdul Rahman Jami dalam kitabnya yang berjudul Nafahat Al-Uns, bahwa beberapa wali terkemuka diberbagai abad sungguh-sungguh meletakkan kepala mereka dibawah kaki Syaikh Abdul Qadir al-Jilani.
Syaikh Ahmad al-Rifa'i
Sewaktu beliau pergi Haji, ketika berziarah ke Maqam Nabi Muhammad Saw, maka nampak tangan dari dalam kubur Nabi bersalaman dengan beliau dan beliau pun terus mencium tangan Nabi SAW yang mulia itu. Kejadian itu dapat disaksikan oleh orang ramai yang juga berziarah ke Maqam Nabi Saw tersebut. Salah seorang muridnya berkata :
"Ya Sayyidi! Tuan Guru adalah Quthub". Jawabnya; "Sucikan olehmu syak mu daripada Quthubiyah". Kata murid: "Tuan Guru adalah Ghaus!". Jawabnya: "Sucikan syakmu daripada Ghausiyah".
Al-Imam Sya'roni mengatakan bahwa yang demikian itu adalah dalil bahwa Syaikh Ahmad al-Rifa'i telah melampaui "Maqamat" dan "Athwar" karena Qutub dan Ghauts itu adalah Maqam yang maklum (diketahui umum).

Sebelum wafat beliau telah menceritakan kapan waktunya akan meninggal dan sifat-sifat hal ihwalnya beliau. Beliau akan menjalani sakit yang sangat parah untuk menangung bilahinya para makhluk. Sabdanya, "Aku telah di janji oleh Allah, agar nyawaku tidak melewati semua dagingku (daging harus musnah terlebih dahulu). Ketika Sayyidi Ahmad Al-Rifa'i sakit yang mengakibatkan kewafatannya, beliau berkata, "Sisa umurku akan kugunakan untuk menanggung bilahi agungnya para makhluk. Kemudian beliau menggosok-ngosokkan wajah dan uban rambut beliau dengan debu sambil menangis dan beristighfar. Yang dideritai oleh Sayyidi Ahmad Al-Rifa'i ialah sakit "Muntah Berak". Setiap hari tak terhitung banyaknya kotoran yang keluar dari dalam perutnya. Sakit itu dialaminya selama sebulan. Hingga ada yang tanya, "Kok, bisa sampai begitu banyaknya yang keluar, dari mana ya kanjeng syaikh. Padahal sudah dua puluh hari tuan tidak makan dan minum. Beliau menjawab,"Karena ini semua dagingku telah habis, tinggal otakku, dan pada hari ini nanti juga akan keluar dan besok aku akan menghadap Sang Maha Kuasa. Setelah itu ketika wafatnya, keluarlah benda yang putih kira-kira dua tiga kali terus berhenti dan tidak ada lagi yang keluar dari perutnya. Demikian mulia dan besarnya pengorbanan Aulia Allah ini sehingga sanggup menderita sakit menanggung bala yang sepatutnya tersebar ke atas manusia lain. Wafatlah Wali Allah yang berbudi pekerti yang halus lagi mulia ini pada hari Kamis waktu duhur 12 Jumadil Awal tahun 570 Hijrah. Riwayat yang lain mengatakan tahun 578 Hijrah.
Syaikh Ahmad Badawi
Setiap hari, dari pagi hingga sore, beliau menatap matahari, sehingga kornea matanya merah membara. Apa yang dilihatnya bisa terbakar, khawatir terjadinya hal itu, saat berjalan ia lebih sering menatap langit, bagaikan orang yang sombong. Sejak masa kanak kanak, ia suka berkhalwat dan riyadhoh, pernah empat puluh hari lebih perutnya tak terisi makanan dan minuman. Ia lebih memilih diam dan berbicara dengan bahasa isyarat, bila ingin berkomunikasi dengan seseorang. Ia tak sedetikpun lepas dari kalimat toyyibah, berdzikir dan bersholawat.

Pada usia dini beliau telah hafal Al-Quran, untuk memperdalam ilmu agama ia berguru kepada syaikh Abdul Qadir al-Jailani dan syaikh Ahmad Rifai. Suatu hari, ketika beliau telah sampai ketingkatannya, Syaikh Abdul Qadir al-Jailani, menawarkan kepadanya: ÂťManakah yang kau inginkan ya Ahmad Badawi, kunci Masyriq atau Maghrib, akan kuberikan untukmu, hal yang sama juga diucapkan oleh gurunya Syaikh Ahmad Rifai, dengan lembut, dan karna menjaga tatakrama murid kepada gurunya, ia menjawab; Aku tak mengambil kunci kecuali dari al-Fattah (Allah ).
Peninggalan syaikh Ahmad Badawi yang sangat utama, yaitu bacaan shalawat badawiyah sughro dan shalawat badawiyah kubro.

Syaikh Abu Hasan asy-Syazili
Keramat itu tidak diberikan kepada orang yang mencarinya dan menuruti keinginan nafsunya dan tidak pula diberikan kepada orang yang badannya digunakan untuk mencari keramat. Yang diberi keramat hanya orang yang tidak merasa diri dan amalnya, akan tetapi dia selalu tersibukkan dengan pekerjaan-pekerjaan yang disenangi Allah dan merasa mendapat anugerah (fadhal) dari Allah semata, tidak menaruh harapan dari kebiasaan diri dan amalnya.
Di antara keramatnya para Shiddiqin ialah :
1. Selalu taat dan ingat pada Allah swt. secara istiqamah.
2. Zuhud (meninggalkan hal-hal yang bersifat duniawi).
3. Bisa menjalankan perkara yang luar bisa, seperti melipat bumi, berjalan di atas air dan sebagainya.
Diantara keramatnya Wali Qutub ialah :
1. Mampu memberi bantuan berupa rahmat dan pemeliharaan yang khusus dari Allah swt.
2. Mampu menggantikan Wali Qutub yang lain.
3. Mampu membantu malaikat memikul Arsy.
4. Hatinya terbuka dari haqiqat dzatnya Allah swt. dengan disertai sifat-sifat-Nya.
Beliau pernah dimintai penjelasan tentang siapa saja yang menjadi gurunya. Kemudian beliau menjawab, Guruku adalah Syaikh Abdus Salam ibnu Masyisy, akan tetapi sekarang aku sudah menyelami dan minum sepuluh lautan ilmu. Lima dari bumi yaitu dari Rasululah saw, Abu Bakar r.a, Umar bin Khattab r.a, Usman bin Affan r.a dan Ali bin Abi Thalib r.a, dan lima dari langit yaitu dari malaikat Jibril, Mika'il, Isrofil, Izro'il dan ruh yang agung. Beliau pernah berkata, Aku diberi tahu catatan muridku dan muridnya muridku, semua sampai hari kiamat, yang lebarnya sejauh mata memandang, semua itu mereka bebas dari neraka. Jikalau lisanku tak terkendalikan oleh syariat, aku pasti bisa memberi tahu tentang kejadian apa saja yang akan terjadi besok sampai hari kiamat. Syekh Abu Abdillah Asy-Syathibi berkata, Aku setiap malam banyak membaca Radiyallahu'an Asy-Syekh Abul Hasan dan dengan ini aku berwasilah meminta kepada Allah swt apa yang menjadi hajatku, maka terkabulkanlah apa saja permintaanku. Lalu aku bermimpi bertemu dengan Nabi Muhammad saw. dan aku bertanya, Ya Rasulallah, kalau seusai shalat lalu berwasilah membaca Radiya Allahu , Asy-Syaikh Abu Hasan dan aku meminta apa saja kepada Allah swt, apa yang menjadi kebutuhanku lalu dikabulkan, seperti hal tersebut apakah diperbolehkan atau tidak?. Lalu Nabi saw menjawab, Abu Hasan itu anakku lahir batin, anak itu bagian yang tak terpisahkan dari orang tuanya, maka barang siapa bertawassul kepada Abu Hasan, maka berarti dia sama saja bertawassul kepadaku.
Peninggalan syaikh Abu Hasan asy-Syazili yang sangat utama, yaitu Hizib Nashr dan Hizib Bahar. Orang yang mengamalkan Hizib Bahar dengan istiqomah, akan mendapat perlindungan dari segala bala. Bahkan, bila ada orang yang bermaksud jahat mau menyatroni rumahnya, ia akan melihat lautan air yang sangat luas. Si penyatron akan melakukan gerak renang layaknya orang yang akan menyelamatkan diri dari daya telan samudera. Bila di waktu malam, ia akan terus melakukan gerak renang sampai pagi tiba dan pemilik rumah menegurnya. Hizib Bahar ditulis syaikh Abu Hasan asy-Syazili di Laut Merah (Laut Qulzum). Di laut yang membelah Asia dan Afrika itu syaikh Abu Hasan asy-Syazili pernah berlayar menumpang perahu. Di tengah laut tidak angin bertiup, sehingga perahu tidak bisa berlayar selama beberapa hari. Dan, beberapa saat kemudian Syaikh al-Syadzili melihat Rasulullah. Beliau datang membawa kabar gembira. Lalu, menuntun syaikh Abu Hasan asy-Syazili melafazkan doa-doa. Usai syaikh Abu Hasan asy-Syazili membaca doa, angin bertiup dan kapal kembali berlayar

Sabtu, 15 Mei 2010

SEORANG SALIK

Seorang Salik[1], yang baru memasuki jalan (Thariqat), jangan harap hendak berhubungan dengan Allah Ta’ala atau Rasulullah SAW, tanpa ada orang tengah atau perantara, yaitu Syekh Shufi atau Guru Mursyid untuk menunjuki jalan. Seorang Salik hendaklah ada kesediaan diri untuk dibimbing oleh guru yang benar-benar ahli dalam bidang keshufian ini. Antara Syekh Mursyid atau Guru hakiki itu dengan Rasulullah SAW ada suatu hubungan yang teramat dekat, yang tiada mampu dilampaui jasmani, pertalian darah, keturunan, dan sebagainya.

Sekiranya Nabi Muhammad SAW masih hidup, kita dapat mengambil ilmu langsung dari Baginda dan tidak perlu lagi perantara. Tetapi Baginda telah wafat, maka terpisahlah Baginda dengan alam dunia dan seisinya. Oleh karena itu tidaklah dapat manusia berhubung langsung dengan Baginda. Begitu jugalah dengan Syekh-syekh keshufian yang hakiki. Apabila mereka telah kembali ke Rahmatullah, maka tidaklah lagi manusia dapat belajar langsung dari mereka yang telah kembali menemui Tuhannya.

Guru yang masih hidup itu mestilah ada hubungan keruhanian dengan Rasulullah SAW, yaitu orang yang benar-benar mewarisi ilmu dan keadaannya Rasulullah SAW itu. Dalam ajarannya guru itu menerima panduan dari Nabi dan ia hendaklah seorang Mukmin yang hakiki. Sang guru itu adalah alat atau wasilah untuk meneruskan kesinambungan jalan keruhaniannya itu. Selanjutnya adalah rahasia. Hanya orang yang layak memahaminya akan faham atas yang demikian itu.

Allah berfirman dalam Surat Al Kahfi ayat 17:

“Barangsiapa yang dihidayahkan Allah maka ia termasuk orang-orang yang diberi petunjuk. Dan bagi siapa yang Allah sesatkan (jalan)nya, maka sekali-sekali tidaklah akan mendapatkan Wali yang Mursyid.”

Dan dikatakan pula oleh seorang Wali Besar dari negeri Mesir, Syaikh Ibrahim ad-Dasuki Rahimahullah:

“Mencari Guru dalam thariqah sebagai jalan menuju kepada Allah itu wajib bagi setiap murid, meskipun ia merupakan seorang ulama besar.” [2]

Imam al Ghazali Rahimahullahu Ta’ala berkata: “Bermula pendinding antara murid dengan Haq (Allah Ta’ala) ada 4 macam: harta, kedudukan (kebanggaan), taqlid (ikutan/ tradisi), dan maksiat. Adapun hijab (dinding penyekat) harta keduniaan hanyalah dapat dihilangkan dengan melepaskan segala apa yang dimilikinya, sehingga tiada yang tersisa kecuali hanya sekedar mempertahankan hidupnya dan selagi masih ada tersisa kelebihan walaupun satu dirham, niscaya akan memalingkan hatinya dan menghijab hatinya dari Allah ‘Azza wa Jalla. Adapun hijab kebanggaan, bisa dihilangkan dengan menjauhi segala bentuk kedudukan (pangkat)….Adapun rintangan taqlid bisa dihilangkan dengan melenyapkan jiwa ta’asshub (fanatik) terhadap berbagai madzhab (ikutan)nya dan hanya berpegang pada kebenaran. Laa ilaaha illallaah Muhammadur Rasulullah adalah pembenaran Iman yang jernih, dan melenyapkan segala bentuk yang disembah selain Allah Ta’ala…..Adapun hijab maksiat adalah perintang yang hanya bisa dihilangkan dengan bertaubat dan meninggalkan daripada segala kezaliman serta memperteguh niat untuk tidak mengulang berbuat dosa dan menyesali segala dosa yang telah lalu…..Maka apabila telah terpenuhi syarat yang empat ini, telah terbebas daripada jeratan harta, kedudukan, laksana orang yang telah bersuci dan telah mengambil wudhu, dan telah siap untuk melakukan shalat. Maka perlulah seorang Imam untuk memimpin shalatnya sebagaimana seorang murid yang membutuhkan Syaikh atau Guru yang membimbingnya untuk menuntun ke jalan yang benar, lantaran jalan agama itu gelap/ rumit, sedang jalan syetan itu banyak dan terang. Maka siapapun yang tiada punya Guru yang membimbing, niscaya dituntun syetan ke jalan mereka yang sesat…….Maka pengawal keselamatan murid sesudah memenuhi persyaratan tersebut adalah Gurunya, maka harus mempercayakan diri atas Gurunya bulat-bulat laksana si buta yang berserah pada penuntunnya di tepi sungai, yakni pasrah kepada Guru dan tiada menyalahinya bagi tercapainya tempat yang ditujunya. Hendaklah diketahuinya bahwa manfaat kesalahan petunjuk Guru itu seandainya salah, jauh lebih bermanfaat daripada kebenaran usahanya sendiri seandainya ia benar”.[3]

Ketahuilah olehmu, wahai saudaraku yang menghendaki kebahagiaan di dalam dunia dan akhirat, yang menghendaki jauh daripada terpedaya dalam ilmu dan amalnya, mengambil thariqah itu kepada ahlinya. Itulah sebagai jalan para Nabi, Awliya, Muqarabin, orang yang Muttaqin dan jalan orang-orang yang Abrar. Maka barang siapa tiada menjalani jalan ahli Shufi dan tiada berthariqah kepadanya, niscaya ia terpedaya, meskipun ia membaca/ mempelajari 1.000 kitab selainnya, dikarenakan tiada terlepas daripada maksiat, seperti riya’, ‘ujub, takabbur, hubbud dunia dan sebagainya. Hal ini sebagaimana yang dikatakan Al ‘Arif billah Syaikh Abdul Wahhab as Sya’rani Rhm:

“Dan telah dimaklumi bahwasanya setiap orang tiada mendapatkan syaikh yang menunjukinya jalan untuk mengeluarkannya dari sifat-sifat tercela (seperti riya’, ‘ujub, takabbur, hasad, bakhil dan hubbud dunia), maka ia telah bermaksiat (melawan perintah) Allah dan Rasulullah SAW, karena ia tidak bisa mendapatkan petunjuk menuju jalan kebahagiaan/ kemenangan tanpa bimbingan seorang Syaikh meskipun ia telah hafal 1.000 kitab ilmu. Maka carilah seorang Guru wahai saudaraku dan ambillah nasehatku ini. Dan siapa-siapa yang berkata bahwa Thariqah shufi itu tiada memiliki dasar Al Quran dan Sunnah maka ia telah kafir (keluar daripada iman). Dikarenakan seluruh apa-apa yang telah diuraikan dalam akhlak (perangai) Shufi itu semuanya adalah akhlaknya Rasulullah SAW, baik dasar-dasarnya (ketauhidan) maupun aturan-aturannya (Fiqih, Thariqat dan Haqiqat)”.[4]

Demikian pula berkata Syaikh Yusuf Tajul Khalwati al Makassari dalam risalahnya[5]: “Kemudian wajib pula atasmu, jika engkau seorang salik yang bersungguh-sungguh lagi ikhlas dalam tuntutanmu dan dalam sulukmu sesudah menyucikan I’tikad semuanya seperti yang telah disebutkan, maka carilah seorang Syaikh yang shaleh lagi ‘Arif (makrifat) serta tahu memberi akan nasihat yang menunjukkan aib pribadimu dan dikeluarkan kamu dari mengikuti aib itu, dan mengajarimu memusuhinya. Walau sekiranya engkau mengembara ke tempat jauh dari kampung halaman dan keluargamu untuk mencari Syaikh mursyid. Sesungguhnya Syaikh itulah yang dikatakan: siapa yang mencari thariqah tanpa petunjuk dan tanpa ‘Arif (orang yang makrifat), sungguh ia mencari sesuatu yang mustahil. Mengapa tidak, sedang ia adalah pembuka pintu hatimu dan dialah ayah bagi ruhmu. Dia adalah membimbing engkau baik lahir maupun batin kepada Allah ‘Azza wa Jalla. Hal demikian itu dikatakan, karena siapa yang tidak mempunyai seorang Syaikh, maka syetanlah Syaikhnya[6][6]. Bersabda Nabi SAW bahwa Syaikh yang ada pada zamannya seperti Nabi pada zamannya. Bersabda lagi Nabi SAW: “Ulamanya umatku, laksana Nabi-nabi Bani Israil”, yang dimaksudkan ulama disini adalah mereka yang memiliki ilmu dan yang mengamalkannya, menunjuki orang ke jalan Allah Ta’ala, memberi nasihat agar beribadah kepada Allah, seperti yang telah dikatakan oleh mereka, para sahabat Radhiallahu’anhum. Wallahu a’lam

Diriwayatkan dari Nabi SAW beliau bersabda: “Siapa yang mati sedang ia tak pernah ada bai’at pada dirinya, sungguh ia mati seperti kematian orang jahiliyyah”. Berdasarkan hal ini, sebagian ulama menunjukkan dengan katanya: barangsiapa berpegang teguh pada pendapatnya saja dan merasa cukup pengetahuan yang ada padanya, maka ia terjerumus godaan syetan. Oleh karena itu pahamilah dan renungkanlah baik-baik.

Apabila telah memperoleh Syaikh seperti yang telah disifatkan di atas serahkanlah urusanmu kepadanya, sambil berada di antara kedua belah tangannya, guna memilih cara suluk, laksana seperti mayat yang berada di hadapan orang yang memandikan mayat itu, ia boleh membolak-balikkan menurut kehendaknya.

Sekali-sekali saya peringatkan dengan hati-hati, peliharalah baik-baik jangan sampai timbul kekhawatiran dan keraguan untuk mengikuti Syaikhmu itu, walaupun engkau melihatnya ia berbuat sesuatu pekerjaan yang bukan mengarah pada taqarrub kepada Allah SWT. Akhirnya, dalam hal ini dikatakan oleh Syaikh Besar dan Imam yang terkenal Muhyiddin ‘Ibnu ‘Arabi Rahimahullahu’anhu: “Andaikata engkau telah menyaksikan Syaikhmu bahwa ia berbuat yang bertentangan dengan hukum syari’at, maka jelas manusia sesudah Nabi-nabi tidak ada yang sunyi dari dosa. Adapun berdosa itu tidak menjadi syarat dan fungsi Syaikh dan tidak pula menjadi syarat bagi orang-orang ‘Arif (makrifat) terhadap Allah Ta’ala”. Telah diriwayatkan bahwa Nabi SAW bersabda:”Barangsiapa mengaku dirinya ma’shum (merasa bebas akan dosa) setelahku bukanlah ia dari umatku”.

Syaikh Zainal Abidin bin Muhammad al Fathani Rhm dalam kitabnya ‘Aqidatun Najin fii Ilmi Ushuliddin mengatakan: “Hendaklah setiap muslim mempelajari akidah yang benar, baik yang berhubungan dengan Allah maupun RasulNya agar jangan terjerumus ke dalam perkara yang menyesatkan, bid’ah dan kekufuran sehingga binasalah segala amal kita, dikarenakan amal ibadah tidak sah melainkan dengan aqidah yang benar. Maka belajarlah aqidah dari orang yang dikenal akan kedalaman ilmunya, orang yang ‘alim yang diakui oleh para ulama tentang kebenaran ilmunya. Juga ilmu yang dipelajari itu diambil dari guru, bukan hanya sekedar membaca kitab-kitab, karena ilmu Thariqat ini tidak boleh diambil melainkan dari guru yang mursyid. Dan juga kitab-kitab yang kita baca itu ditulis oleh orang-orang yang dikenal kedalaman ilmunya sehingga tiada orang yang menyalahkan ilmunya dan kalau di daerah kita tidak ada orang yang dapat mengajarnya, hendaklah kita pergi ke negeri yang lain yang ada ulamanya sekalipun ke tempat yang jauh, misalnya Mekkah dan Madinah atau negeri lainnya. Dalam mencari guru hendaknya kita bertanya kepada para Ulama dan kalau mereka mengatakannya apa yang diajarkannya itu benar maka janganlah kita berubah lagi. Tetapi kalau apa yang kita pelajari itu oleh para Ulama dinyatakan salah, wajiblah kita bertanya kepada ulama yang lain dengan membandingkan pelajaran yang kita terima sekalipun kita terpaksa pergi ke negeri lain. Karena urusan agama itu sangat besar teristimewa yang menyangkut aqidah.

Selanjutnya dikatakan: “Mujahadah di bawah bimbingan syaikh yang ‘Arif (telah Makrifatullah) tentunya lebih baik, dikarenakan orang-orang Shufi mengatakan bahwa ucapan seorang ‘Arif lebih baik dan lebih bermanfaat daripada nasehat 1.000 orang. Karena itu seyogyanya selalu mendampingi syaikh yang ‘Arif terhadap al Quran dan Sunnah, namun selalu diteliti lebih dahulu sebelum mengambil pelajaran itu dari syaikh tadi. Maka kalau bimbingannnya sesuai dengan ajaran al Quran dan Sunnah ambillah dan beradablah dengan Syaikh yang memberi bimbingan. Mudah-mudahan usaha orang yang suci batinnya itu berhasil dan Allah melimpahkan hidayahnya kepada engkau.

Syaikh Akbar Muhyiddin Ibnu ‘Arabi Rhm telah menulis: “Seumur hidupmu, kamu tidak akan dapat menjauhkan diri dari kekuasaan hawa nafsu dan kemungkaran selama keinginan-keinginanmu tidak disalurkan menurut perintah Allah dan Sunnah Nabi SAW. Maka jika kamu bertemu dengan seorang kekasih Allah, tumbuhkanlah rasa hormat dalam hatimu, layanilah dia dengan baik dan ikutilah ajaran-ajarannya, jadilah kamu seperti mayat di hadapannya, hendaklah kamu tidak memiliki keinginan apa-apa di hatimu, jika mereka memerintahmu cepat-cepatlah laksanakan, jika ada yang menghalanginya cepat-cepatlah singkirkan, jika diperintah duduk maka duduklah, apa-apa perintahnya anggaplah sebagai tugas kita, bermusyawarahlah dengannya mengenai segala masalah agama dan ruhani, agar dia dapat membimbingmu dan membawamu lebih dekat kepada Allah SWT …” . Oleh karena itu, berusahalah mencari kekasih-kekasih Allah[7].

Dan lagi berkata Syaikh Abu Ali ad Daqqaq Rhm: “Jika bahwasanya ada seseorang mengaku diwahyukan pengetahuan-pengetahuan yang datang kepadanya, sedang ia tiada memiliki Guru (yang membimbing), maka tiadalah datang datang daripadanya itu sesuatu rahasiapun (dari rahasia-rahasia Allah Ta’ala)”.[8]

Syaikh Musthafa al Bakri Rhm. berkata:

“Barang siapa menjalani Thariqat, yakni berdalil tanpa seorang Guru Mursyid yang menunjukkan akan dia, niscaya ia menjadi bingung dan sesat serta termasuk orang-orang yang celaka (binasa)”.[9]

Seorang Guru Mursyid apalagi yang disebut sebagai Khalifah zamannya yang disinggung dalam Surat Al Kahfi ayat 17 wajib dicari oleh setiap pribadi yang mukmin, karena Ulama yang dikatakan Pewaris Nabi bagi suatu kaum adalah bagaikan seorang Nabi di tengah umatnya, yang membimbing dan menuntut arah ibadah dan makrifatnya kepada Allah Ta’ala. Tidak semua orang bisa dijumpai dan ditunjuki oleh Allah Al Haadi kepada Khalifah pilihan pada masanya, karena bukanlah sembarang orang boleh mengaku-ngaku, melainkan harus mempunyai beberapa kriteria, antara lain :

1. Diangkat secara ruhaniyah, yaitu menerima istikhlaf dari Rasulullah SAW. Minimal melalui penunjukkan Guru Mursyid Sulthan Awliya sebelumnya atas petunjuk dari Rasulullah SAW.

2. Secara lahiriyyah memiliki hubungan keturunan (nasab) dari Rasulullah SAW.

3. Bersifat Murobbi Ruh, mempunyai hubungan kontak batin kepada muridnya, sehingga mampu membimbing ruhani dan jasmani muridnya kapanpun dan di manapun mereka berada.

4. Melaksanakan/mencontohkan tuntunan ajaran Allah dan RasulNya secara zhahir maupun batin.

Hampir setiap Thariqat mempunyai Syekh Mursyid yang dianggap memiliki ciri dan persyaratan sebagai seorang pembimbing (Mursyid). Prinsip ajarannya memiliki banyak kesamaan, yang masing-masing punya perangkat metode yang khas dalam menempa penganutnya menuju kepada tujuan. Yang membedakan hanyalah masalah istikhlaf (diangkat) atau tidaknya oleh Rasulullah SAW, sebagai bukti keabsahan pewaris Nabi (Waratsatul Anbiya’