Sabtu, 28 Agustus 2010

Jalan SUfi

Jalan Sufi

Menurut jalan kaum sufi, orang yang telah mencapai keadaan sadar lahir batin, dan yang telah berhasil mencapai suatu titik keseimbangan dan sentralitas, dapat menolong orang lain dan menggambarkan kepada mereka keadaan kemajuannya.
Karena itu kita dapati bahwa sepanjang zaman kaum sufi tetap saling berdekatan. Para syekh sufi menyertai muridnya dalam semua tahap kemajuan.
Kita harus membedakan antara istilah "keadaan" (hal) dan "kedudukan" (maqam). Yakni perbedaan antara bagaimana dan di mana. Keadaan (hal) berarti sesuatu yang dapat diraba atau dirasakan. Kadang-kadang orang dapat merasakan keadaan rohani yang sangat murah hati atau peningkatan kesadaran yang hebat. Namun keadaan ini mungkin tidak langgeng. Yang sesungguhnya diinginkan oleh si pencari (salik) ialah mencapai suatu kedudukan (maqam) yang hanya dapat terjadi bila didirikan sebagaimana mestinya dan kokoh. Kedudukan tidak bersifat sementara dan selalu dapat diandalkan dan diingat. Kebanyakan penempuh jalan Allah (salik) akan merasakan keadaan-keadaan yang berbeda dengan berbagai macam tingkat kelanggengan yang tidak permanen, yang tidak memuaskan dan tak cukup. Karena itulah maka pertolongan diperlukan untuk menjamin agar seorang pencari menjadi tetap dalam kedudukan (maqam) yang diinginkan. Maka mendampingi dan berhubungan dengan orang-orang yang berada pada jalan itu adalah suatu faktor penting dalam kemajuan seorang pencari. Alasan penting lain untuk mendapatkan pendampingan yang tepat ialah bahwa kita selalu merupakan produk dari saat yang terakhir, dan karena saat itu dilahirkan dari saat sebelumnya, dan begitu seterusnya, ada suatu kesinambungan. Seseorang yang berdiri sendiri tak dapat menyadari seberapa jauh ia telah menyimpang dari jalan pengetahuan-diri atau penyadaran-diri. Dengan demikian, seorang pencari memerlukan teman untuk menggambarkan kepadanya, seperti cermin, tentang keadaan atau kedudukannya
Sebagaimana dalam kasus ilmu fisika atau ilmu alam, di mana tak pelak lagi kita akan cenderung mengikuti seseorang yang mempunyai pengalaman dan kualifikasi yang lebih banyak dalam ilmu-ilmu tersebut, maka prinsip ini pun berlaku pada ilmu tentang diri (nafs). Pada tingkat fisik, kita secara konstan berusaha ke arah keselarasan dan tindakan yang benar, dan kita mengikuti orang yang ahli dalam bidang ini. Demikian pula bagi keselarasan batin, orang yang paling memenuhi syarat adalah syekh spriritual sufi yang sejati. Namun, ada suatu perbedaan antara ilmu lahir dan ilmu batin. Dalam ilmu lahir, segala cacat dan kekurangsempurnaan dapat dideteksi dengan mudah. Tidak demikian halnya dengan ilmu batin, misalnya, dimana seseorang dapat tersenyum padahal sebenarnya ia sangat resah. Pengetahuan tentang ilmu batin memerlukan spesialisasi yang lebih dalam. Yang diperlukan adalah obat "hati", yang tidak mudah diperoleh atau diberikan, sedang penyembuhan fisik dapat ditentukan, dianalisis dan logis, sehingga lebih mudah dicapai.
Adapun terhadap pertanyaan apakah yang terbaik itu hanya mengikuti satu guru rohani saja, ataukah banyak. Diantara orang-orang besar yang telah saya baca riwayatnya dan pernah saya temui, sebagian telah mengikuti banyak syekh sufi. Namun pada hakikatnya penempuh sejati jalan pencerahan hanya melihat satu syekh sufi. Para syekh sufi itu mungkin berbeda dalam bentuk dan ciri lahiriahnya, tetapi hakikat batinnya adalah satu dan sama. Seorang syekh sufi mungkin sangat tua dan sangat pendiam, syekh lainnya mungkin masih muda dan dinamis. Yang satu mungkin telah berperan-aktif secara politik, sedang yang lainnya tidak demikian. Seseorang mungkin produktif secara ekonomi dan bekerja di pertanian. Yang lainnya menjadi ilmuwan. Yang satu mungkin sangat akrab bermasyarakat sedang yang lainnya menjauhi masyarakat dan lebih menyendiri, dan sebagainya. Penampilan lahiriah dan kecenderungan mereka, seperti sidik jari, berbeda-beda, tetapi seorang pencari yang tulus tidak memusingkan yang lahiriah. Seorang pencari yang mentaati batas-batas yang ditetapkan oleh syari'at sangat memperhatikan perkembangan batin.
Hakikat batin berhubungan dengan esensi dan sumber. Bilamana hakikat batin mendatangi sumber, maka terjadilah kesatuan. Bilamana orang bergerak menjauhi sumber cahaya, maka ia membeda-bedakan dan melihat berbagai bayangan-bayangan yang berbeda dan sama serta profil yang berbeda-beda. Makin dekat orang meridatangi sumber cahaya, makin sedikit ia melihat perbedaan, sampai ia silau dan tenggelam serta terliputi oleh cahaya itu sendiri. Dengan kata lain, apabila seseorang telah mengambil seorang guru sufi sejati secara benar maka pada hakikatnya ia telah mengambil semua guru sufi. Adalah keliru mengira bahwa orang dapat membuang satu guru sufi lalu pergi kepada guru lainnya, kecuali apabila yang pertama tidak becus atau penipu.
Ketika si pencari berkembang dan bergerak maju, ia dapat melihat dirinya diawasi oleh guru rohaninya dan para guru rohani yang ditemuinya karena rasa hormat guru rohaninya sendiri. Pencari yang cerdas akan selalu hidup dan berperilaku seakan-akan semua syekh sufi yang telah ditemui sedang mengawasinya, sedang benar-benar ada bersama dia dan menjadi pembimbing, pemberi peringatan, dan sahabatnya.
Lantas timbul pertanyaan besar, bagaimana cara si pencari mendapatkan syekh sufi yang sejati? Atau, bagaimana dapat meyakini kualitas syekh tersebut? Para pengikut tradisi esoterik dan kebatinan percaya bahwa rahmat Allah menembus dan meliputi setiap situasi dan segala sesuatu. Guru yang tepat muncul pada saat yang tepat apabila seseorang mempunyai kesungguhan hati dan akhlak yang benar. Akhlak yang benar itu adalah kesabaran dan pengenalan terhadap kebutuhan. Dan dengan rahmat Allah inilah datang jawaban yang tepat pada waktu yang tepat bagi si pencari.
Seorang guru spiritual sejati harus mempunyai kualitas-kualitas dasar yang layak, sebagaimana seorang dokter harus memenuhi persyaratan dasar yang primer sebelum ia melakukan praktik kedokteran. Sebagai permulaan, seorang pemandu spiritual, yakni syekh sufi, harus mengetahui segala aspek lahiriah dari jalan Islam yang asli dan jalan hidup Islam. Ia harus sepenuhnya mengenal pengetahuan dan amalan Islam. Ia harus menerapkan apa yang ada dalam Al-Qur'an dan sunnah Nabi. Apabila ia tidak mengamalkan hukum-hukum lahiriah, bagaimana mungkin ia mempraktikkan aspek-aspek batin dari jalan hidup ini, apalagi menganjurkan orang lain untuk mengamalkannya? Maka guru spiritual yang sejati harus menghayati sendiri dengan sepenuhnya peraturan-peraturan lahir dan batin dalam Islam.
Syarat lain bagi seorang syekh sufi sebagai guru sejati adalah bahwa ia harus telah mencapai pencerahan yang sesungguhnya dengan mencapai pengetahuan yang sempurna tentang diri. Syekh harus mengetahui cakrawala diri (nafs) yang luar biasa luasnya. Barangsiapa mengenal dirinya, sesungguhnya ia mengenal Tuhannya.
Seorang syekh sufi sejati juga harus sudah mendapat izin secara ikrar untuk pergi dan membimbing orang lain pada jalan pengetahuan-diri, oleh seorang guru yang telah mencapai pencerahan dan berpengalaman serta telah diizinkan untuk mengajar, dan seterusnya, sampai kepada Nabi Muhammad SAW. Karena, ada orang-orang yang tetap mentaati batas lahiriah syariat Islam, ada yang telah mencapai pengetahuan-diri, ada pula yang telah mencapai makrifat dan pengetahuan tentang diri, namun mereka tak mampu membimbing orang lain. Sebagaimana tidak cukup bagi seorang dokter hanya dengan sekedar mengkaji dan lulus ujian, serta mengamati dan menjadi asisten dokter lain, sebelum ia dapat membuka praktik sendiri. Ia juga harus diberi izin atau lisensi untuk praktik dokter oleh seorang dokter berkualifikasi yang puas dengan kemampuannya untuk berpraktik.
Syarat lainnya ialah bahwa harus ada seorang pencari yang menerima pengetahuan dari syekh sufi, sebagaimana harus ada pasien sebelum dokter dapat mempraktikkan kedokterannya. Akhirnya, sebagaimana tak ada gunanya bagi seorang dokter untuk mengurus orang sakit apabila si pasien tidak mampu atau tidak mau menerima obat atas penyakitnya, maka tak ada gunanya syekh sufi apabila si pencari tidak sungguh-sungguh mengikutinya.
Sekarang kita sampai pada hubungan antara pencari dan guru. Sejauh mana orang sakit mengambil maslahat dari dokter tergantung pada sejauh mana kepercayaannya terhadap obat yang diresepkan dan kerajinannya mengikuti resep itu. Prinsip yang sama, hanya diperbesar, berlaku pada ilmu pengetahuan-diri dan tasawuf. Akhirnya, yang penting adalah ketajaman dan kehalusan pemahaman antara si syekh sufi dan si murid. Jarak hubungan mereka yang hakiki akan menentukan kecepatan si pencari dalam mengambil dan menyerap warna dan pengertian si guru. Guru itu bagaikan sebuah garputala, dan apabila si murid membiarkan dirinya secara total bergetar dalam gaungnya, yakni sepenuhnya mengikuti gurunya, maka ia akan segera menyanyikan lagu yang sama dengan guru spiritualnya. Ini tidak terjadi dengan serta-merta, tapi dapat berkembang dan berevolusi dengan menanyakan, menguji dan menyesuaikan, sampai si pencari mempercayai gurunya sepenuhnya. Akan datang suatu waktu ketika komitmen total harus dibuat. Si pencari akan memasuki suatu perjanjian yang disebut inisiasi (pelantikan).
Upacara inisiasi telah menjadi suatu peristiwa penting di kalangan banyak tarekat sufi. Banyak sufi semu telah menirunya dan telah membumbuinya lebih jauh serta menempelkan nilai-nilai mistik kepadanya. Satu contoh ialah praktik-praktik rahasia kaum Freemason. Dalam kelompok ini, bila seorang anggota mencapai level tertentu di dalam "tarekat" itu, ia dikubur hidup-hidup untuk sementara dalam sebuah peti mati, yang secara simbolis menyiratkan pengalaman pribadi tentang kematian, sementara masih berada dalam kehidupan dunia ini. Setelah beberapa saat ia dikeluarkan dari peti mati dan "dikembalikan" kepada kehidupan ini. Nabi Muhammad SAW bersabda: "Matilah sebelum kamu mati," yang artinya melakukan pelepasan dan kebebasan sebelum terjadi peristiwa pelepasan dari jasad Anda.
Fondasi inisiasi adalah suatu ikatan atau perjanjian yang mempersatukan guru dan murid. Perjanjian tersebut tidak tertulis dan karena itu mengambil bentuk baiat (sumpah setia). Si pencari setuju untuk mentaati si guru, dan si guru setuju untuk mengurus kemajuan si murid serta membimbingnya.
Kebalikan dari inisiasi, yakni pengusiran, kadang-kadang juga terjadi ketika si guru dan murid mencapai suatu keadaan di mana ikatan antara keduanya menjadi tak berlaku dan hubungan itu mati. Ada kalanya pencari meninggalkan gurunya dan menyoroti segala yang nampak tidak menyenangkan pada si guru. Kemarahan si pencari menyebabkan ia melihat semua aspek negatif dari hubungan itu, dan menurut penglihatannya sia-sialah segala pengorbanan yang telah dilakukannya. Bagi si guru, si pencari yang minggat dengan kemarahan itu adalah seorang korban baru dari nafsu yang rendah dalam diri manusia.
Derajat kecanggihan dan kompleksnya peraturan inisiasi nampaknya banyak tergantung pada kecenderungan syekh sendiri, dan pada lingkungannya. Beberapa syekh tertarik pada upacara-upacara, pada hierarki, dan pada pemberian nama-nama kepada orang sesuai dengan kedudukan (maqam) dan kapasitasnya, seperti, misalnya, para syekh Sanusi di Libya yang secara spiritual, sosial, politik, dan ekonomi memimpin dan menguasai jaringan desa dan kota yang sangat luas selama hampir satu abad. Di sisi lain. beberapa syekh tidak menggunakan bentuk formal atau seremonial dalam inisiasi, entah karena watak dari kedudukan mereka dalam masyarakat atau karena mereka tidak memandangnya perlu. Jadi, lingkungan sosio-kultural dan pembawaan para syekh itu sendiri merupakan dua faktor utama yang menentukan derajat formalitas dalam setiap tarekat sufi.
Tujuan terakhir dari syekh sufi ialah membantu muridnya untuk menemukan kebenaran dalam diri dan untuk dicerahi tentang hakikat. Agar terpenuhi setiap waktu, pentinglah menemukan sebab-sebab ketidakbahagiaan. Sebab hakiki dari semua ketidakpuasan berakar pada pelanggaran batas-batas, pembangkangan, pengharapan, hasrat, ketakutan, kecemasan dan aspek-aspek lain seperti kurangnya pemahaman tentang alam hakikat. Dari sisi pandang kaum sufi, amal ibadah dasar yang ditetapkan oleh syari'at, seperti shalat, puasa di bulan Ramadlan, zakat, naik haji ke Makkah, dan seterusnya, walaupun wajib, tidaklah cukup bagi kebanyakan manusia yang sakit dalam rumah sakit besar bernama dunia ini. Dunia adalah rumah sakit Tuhan, dan para rasul, nabi, serta para wali atau syekh sufi adalah dokter jiwanya. Karena ada berbagai jenis penyakit, maka bangsal rumah sakit pun berbeda-beda. Ada klinik di mana pasien tidak tinggal lama ada kamar di mana pasien tinggal beberapa minggu atau bulan; dan ada kamar bedah di mana dokter, atau syekh sufi, terus sibuk "mengoperasi" pasien-pasiennya. Kita dapati pula "obat-obat" diresepkan sesuai dengan keperluan khusus si pasien, dengan mempertimbangkan lingkungan seluruhnya dan semua keadaan sekitar.
Fungsi terakhir dari seorang guru sufi ialah memindahkan si pencari secara berangsur-angsur, sesuai dengan kecepatan langkahnya, sampai ke tingkat di mana ia mampu membaca "kitab" yang ada di dalam "hati"-nya. Apabila si pencari mempelajari seni ini dan menjadi kuat serta bertindak sesuai kehendak, maka jelaslah ia sedang maju dan berkembang. Tujuan si syekh ialah melepaskan dan menyampaikan kepada orang lain apa yang telah dicapainya sendiri. Proses ini, sebagaimana dinyatakan sebelumnya, dapat ditingkatkan apabila lingkungan maupun pendampingannya tepat, dan bilamana si murid berniat untuk belajar dan berkemauan untuk bertindak, dan bertindak dengan semestinya. Guru tidak bisa berbuat banyak bila si pencari atau murid tidak ingin maju. Si penempuh jalan (salik) bisa menyerah pada suatu tahap perjalanan (suluk), sekalipun tinggal selangkah lagi. Namun, kadang-kadang, sekalipun si murid ingin maju, tidak ada jaminan bahwa tujuannya akan terpenuhi sesuai dengan harapan. Syekh al-Faituri (m. 1979) berkata sebagai berikut tentang dilema guru dalam salah satu syairnya:
Betapapun besar si guru berusaha. Betapapun besar si murid menghendaki. Betapapun khusyuknya dia (beribadat) siang dan malam, Akhirnya pencerahan adalah anugerah Allah.
Tugas guru ialah membimbing si pencari sepanjang jalan yang sudah ditertibkan sampai ke titik di mana ia mampu duduk dalam kejagaan mutlak tanpa menjaga sesuatu. Ini puncak terakhir yang murni dan sederhana dari kondisi meditasi (khalwat). Sejak itu seterusnya, hanya Allah yang dapat menolong dia. Jadi, si pencari harus melengkapi sendiri setengah lingkaran, tetapi setengah lingkaran lagi tidak berada dalam kekuasaannya. Anda naik setinggi Anda dapat memanjat, lalu berserah diri!
Menurut pengalaman para sufi, tingkat kemajuan sepanjang perjalanan spiritual (suluk) tidak menurut garis lurus. Menurut studi mekanistis, seperti mempelajari bahasa, kemajuan itu berjalan agak lurus. Makin banyak waktu yang Anda curahkan untuk mempraktikkan bahasa, makin cakap Anda dalam berbahasa, karena hal itu dapat diprogram sehingga dapat diukur, dan oleh karena itu lebih mudah diperoleh. Di sisi lain, ilmu kebatinan, dapat diukur tetapi sukar. Apabila seseorang sanggup melenyapkan sama sekali segala keterikatan sekarang ini juga, maka kebangunan akan segera tercapai. Apabila tidak demikian, ia harus melewati tumpukan disiplin, peringatan yang terus-menerus, dan penderitaan yang tak henti-henti untuk dapat sampai pada kesadaran yang sempurna. Kemajuan spiritual tidak diukur seperti mengukur usaha-usaha lain. Orang mungkin menghabiskan waktu bertahun-tahun tanpa nampak terjadi sesuatu, dan kemudian tiba-tiba saja dalam dua hari segala sesuatu terjadi. Orang mungkin menghabiskan waktu bertahun-tahun mentaati gurunya, dan merasa bahwa tak terjadi banyak kemajuan, padahal dalam kenyataannya mungkin amat banyak "karat" spiritual telah disingkirkan selama waktu itu. Seperti menyingkirkan karat setebal beberapa inci, dan masih belum dapat melihat dasar logam di bawahnya, padahal logam itu mungkin sebenarnya hanya tinggal satu milimeter karat lagi. Kita tak mampu mengukur kemajuan spiritual secara lahiriah, karena ia berdasar pada kesucian "hati" dan kemauan untuk menanggalkan keterikatan. Itu tergantung pada derajat ketundukan si pencari kepada nabi. Mula-mula ia tunduk dengan menggunakan penalaran dan akalnya, dan dengan mempelajari seluruh hubungan sebab-akibat. Kemudian, kemajuan spiritual mengambil momentumnya sendiri. Sesudah itu, ketundukan yang sederhana membawanya kepada ketundukan yang lebih manis dan lebih spontan tanpa mengandung keraguan. Sebelum keadaan ini tercapai, tak banyak yang dapat terjadi. Jadi, waktu yang diperlukan untuk terjadinya pembukaan-pembukaan tertentu tidak dapat diukur semudah itu. Hubungan yang patut antara pencari dan guru spiritual diperlukan agar dapat dicapai kemajuan yang berkelanjutan. Murid terdekat Syekh Sufi Imam Junaid bernama Syibli. Imam Junaid (m. 910) sangat mencintainya. Pernah, dalam suatu pertemuan, salah seorang anggotanya mulai mengagumi dan memuji Syibli di hadapannya dan banyak orang lain. Imam Junaid menyela lalu mulai menceritakan segala kesalahan dan kekurangan Syibli. Syibli merasa malu dan diam-diam mengundurkan diri dari pertemuan itu. Ketika ia telah pergi, Imam Junaid berkata, "Saya melindunginya dengan perisai penghinaan dari panah berbisa pujian yang berlebihan." Karena, Imam Junaid tahu bahwa Syibli hampir mencapai suatu maqam spiritual, dan apabila pujian-pujian itu tidak dipotong, mungkin akan melambungkan egonya dan menciptakan rintangan. Rintangan terbesar terhadap kebangunan batin ialah menghargai diri sendiri.
Seluruh jalan hidup sufi berkisar pada menghilangkan keterikatan, dan keterikatan yang terbesar dan terburuk kebetulan adalah ilmu pengetahuan. Ada anekdot tentang Imam Abu Hamid al-Ghazzali (m. 1111) sehubungan dengan ini. Ketika Imam Ghazzali meninggalkan Baghdad untuk mencari syekh sufi, ia telah memperoleh semua pengetahuan lahiriah dari ilmu-ilmu Islam, tetapi batinnya yang terdalam belum terbangun. Ia membawa dua ekor keledai yang dimuati buku. Di tengah jalan ia dihentikan oleh seorang perampok yang hendak mengambil buku-bukunya. Imam Ghazzali menawarkan apa pun kepada perampok itu kecuali buku, tetapi si perampok hanya menghendaki buku, lalu mengambilnya. Tujuh atau delapan tahun kemudian, ketika Imam Ghazzali telah memenuhi pencarian sufinya, seseorang datang ke hadapannya di Makkah. Rupanya ia Nabi Khidr, yang memberitahukan kepada Imam Ghazzali bahwa jika bukan karena perampokan buku-bukunya, maka ia akan tetap mejadi budak buku-buku itu dan tidak akan menemukan "Buku" pengetahuan sesungguhnya yang berada di dalam hati setiap orang. Imam 'Ali berkata dalam hal ini, "Anda adalah 'Buku' [asli] yang terang."
Buku diperlukan pada awalnya sebagai alat bantu untuk penemuan batin, tetapi bila seseorang menjadi lebih kuat dengan pengetahuan batin, ia kurang memerlukan bantuan dari luar. Buku adalah seperti kursi dorong yang diperlukan seorang anak hanya pada awal kehidupannya. Namun sayangnya, banyak orang yang disebut ulama mempertahankan kursi dorongnya sepanjang sisa hidupnya. Di sisi lain, banyak sufi semu cenderung untuk membuang bukan saja buku tetapi juga bacaan hafalan sebagai barang yang sama sekali tidak diperlukan. Sikap meremehkan ini tak lain adalah bentuk pengangkatan diri, yang merupakan pemutarbalikan dan penyimpangan dari jalan spiritual yang sesungguhnya. Kitab-kitab dan bacaan merupakan alat bantu yang penting untuk membantu kebangunan batin, yang tak dapat diandalkan sepenuhnya dan tak boleh diabaikan sama sekali.
Pencari pengetahuan dan gnosis (makrifat) harus mengikuti jalan di bawah bimbingan seorang guru, sampai datang suatu saat di mana ia harus dibiarkan sendiri. Guru itu ibarat tongkat yang tidak perlu digunakan lagi setelah si pencari dapat berjalan sendiri. Saat itu tiba bila si murid tidak lagi memerlukan guru jasmaniah karena kini ia telah terisi langsung ke dalam sumber kekuatan sejati. Apabila seseorang mengatakan bahwa ia memerlukan guru lahiriah sepanjang hidupnya, maka ia telah salah membatasi ukuran sebenarnya dari potensi manusia dan kerahiman Ilahi. Apabila seseorang mengatakan bahwa ia sama sekali tidak memerlukan seorang guru maka ia sombong (takabbur) dan angkuh dan akan hidup di bawah kezaliman nafsu yang rendah. Namun, bagi setiap aturan ada kekecualian. Kekecualian tersebut dalam kasus orang yang tidak memerlukan guru lahiriah, atau yang tidak kelihatan memiliki guru jasmaniah yang nyata, untuk mengarahkan dan membimbingya. Dalam tradisi sufi, orang semacam itu disebut uwaisi. Istilah ini berasal dari nama seorang lelaki, Uwais al-Qarani, yang tinggal di Yaman di masa Nabi Muhammad SAW. Walaupun ia belum pernah bertemu secara fisik dengan Nabi, namun ia telah melihat beliau dalam mimpi-mimpinya, kabarnya Nabi SAW menyebutkan wali besar ini dengan mengatakan, "Nafas Yang Maha Pengasih datang kepada saya dari Yaman." Ketika orang mengetahui tentang tingkat spiritualnya, Uwais berusaha menyembunyikan diri di balik kehidupan biasa seorang gembala unta dan kambing, dan khalwat menjadi jalan hidupnya. Ketika ia ditanyai tentang hal ini, ia berkata, "Mendoakan manusia dalam ketidakhadiran orang yang didoakan adalah lebih baik daripada mengunjunginya, karena aspek-aspek ego mereka, seperti pakaian atau citra diri, dapat mengalihkan perhatian saya." Ia juga biasa mengatakan, "Menyuruh orang berbuat baik tidak menyampaikan saya pada seorang sahabat," dan "Saya memohon kepada setiap orang yang lapar untuk memaafkan saya, karena saya tak mempunyai apa-apa dalam dunia ini selain apa yang ada dalam perut saya." Bagi kaum sufi yang belakangan, Uwais menjadi prototipe orang sufi yang bersemangat yang tidak memihakkan dirinya kepada suatu tarekat sufi. Para sufi semacam itu menerima inisiasi atau cahaya mereka langsung dari cahaya (nur) Nabi, tanpa kehadiran secara fisik atau bimbingan dari seseorang guru spiritual yang hidup.
Segelintir sufi semu yang tidak mengikuti, dan tidak ingin mengikuti, seorang guru spiritual sejati untuk membimbingnya pada jalan spiritual, memanfaatkan situasi itu dan dengan tidak benar menamakan dirinya Uwaisi. Ini adalah salah satu taktik dan penipuan dari nafsu rendah yang tidak ingin diurus atau tunduk kepada Allah. Uwaisi sejati yang sebenarnya adalah langka. Orang yang sungguh-sungguh tertarik pada tasawuf mengikuti suatu jalan perbaikan-diri, kesadaran-diri, dan kebangunan-diri, dengan mengikuti petunjuk yang diberikan oleh syekh sufi.

Wasiat Syekh Abdul Qadir Al Jaylani

Wasiat Sultan Auliya Abdul Qodir Jilani Qsa dalam Kitabnya Futuh Al- Gaib
Bismilahir Rahmanir rahiim
Satu

Melaksanakan perintah Allah, menjauhi larangan-Nya, dan ridho atas ketentuan-Nya
Tiga hal yang harus dimiliki dan diamalkan oleh setiap mukmin dalam segala ruang dan waktu yaitu:
1. Menjaga dan melaksanakan perintah-perintah Allah dengan tulus dan ikhlas;
2. Menghindari diri dari segala yang haram baik nyata maupun samara;
3. rida menerima takdir Allah Yang Mahakuasa.
Dengan demikian, minimal seseorang yang beriman harus memiliki tiga hal sebagaimana tersebut di atas dan harus diusahakan untuk dapat mendarah daging dalam tubuhnya. Ia harus mengikta diri kepada tiga hal ke mana dan di mana dia berada serta dalam keadaan bagaimanapun juga.
Dua

Mengikuti sunnah Rasul SAW, menjauhi bida’ah, dan bersikap istiqamah
1. Seorang muslim harus mengikuti sunnah Rasul SAW dengan penuh keyakinan (keimanan).
2. Seorang muslim tidak sekali-kali melakukan perbuatan bid’ah
3. Seorang muslim harus mematuhi segala yang diperintahkan dan dilarang Allah SWT serta rasul-Nya
4. Seorang muslim harus menjunjung tinggi tauhid, jangan sekali-kali menyekutukan Dia (Allah SWT)
5. Seorang muslim harus menyucikan Dia (Allah) senantiasa, dan jangan sekali-kali menisbahkan suatu keburukan pun kepada-Nya
6. Seorang muslim harus mempertahankan kebenaran-Nya dan hendaklah jangan meragukan sedikitpun atas kebenaran tersebut.
7. Seorang muslim harus bersabar selalu, dalam setiap keadaan dan jangan sekali-kali menunjukan sifat ketidaksabaran.
8. Seorang muslim hendaknya mempunyai sifat isqtiqamah
9. Seorang muslim harus mempunyai pengharapan kepada Allah dengan sabar dan jangan kesal
10. Seorang muslim harus bekerja sama dengan sesame muslim dalam menjalankan amal dan ketaatan, jangan berpecah-pecah, saling mencintai, dan jangan mendendam
11. Seorang muslim harus menjauhi kejahatan dan jangan sekali-kali ternoda oleh kejahatan tersebut
12. Seorang muslim harus menghiasi dirinya dengan ketaatan kepada Tuhanmu.
13. Seorang muslim jangan sekali-kali menjauhi pintu-pintu Tuhan.
14. Seorang muslim jangan sekali-kali berpaling dari-Nya.
15. Seorang muslim hendaknya menyegerakan bertobat atas dosa yang telah dilakukan, jangan ditunda-tunda.
16. Seorang muslim tidak bosan-bosan untuk memohon ampunan kepada Allah siang dan malam.
Apabila seorang muslim telah berlaku demikian, ia akan mendapatkan rahmat dari Nya dan dijauhkan dari api neraka. Hidup bahagia di surga yang kekal. Kelak di akhirat, ia akan bertemu Allah, menikmati rahmat-Nya.
Di surga, ia bersama bidadari, mengendarai kuda-kuda yang berwarna putih. Bersuka ria dengan hurhur bermata putih, menghirup aneka aroma, dan diiringi melodi-melodi para hamba sahaya wanita yang cantik. Ia akan dimuliakan bersama Nabi, para siddiqin, para syahiddin, dan para salihin lainnya di surga yang tertinggi.
Tiga

Memohon pertolongan kepada Allah Azza wa Jalla
Seandainya seorang hamba Allah mendapatkan kesulitan dalam hidupnya, pertama sekali ia harus berusaha mengatasinya dengan daya dan upayanya sendiri. Jika tak mampu mengatasi kesulitanya sendiri, hendaknya ia meminta pertolongan kepada sesamanya, misalnya kepada pejabat, hartawan, dan penguasa lainnya, atau tetangganya. Jika ia sakit hendaknya pergi ke tabib (dokter). Apabila masih juga tak berhasil, pertolongan terakhir yang diharapkan hendaknya kepada Khaliq-nya (Allah swt), Tuhan Yang Mahabesar lagi Mahakuasa. Caranya ialah dengan memanjatkan doa dengan diiringi kerendahan hati serta pujian-pujian untuk-Nya.
Apabila pertolongan itu tiada kunjung data dari Allah, jangan berputus asa. Ia harus menyerahkan diri sepenuhnya kepada Allah, memuji dan memohon dengan penuh harap dan cemas. Apabila Allah tidak kunjung mengabulkan permohonannya dan doanya, ia harus meninggalkan segala yang berurusan dengan duniawi. Kemudian ia mencurahkan segala-galanya untuk kepentingan rohaninya (kepentingan akhirat).
Pada tingkatan ini, ia akan merasakan atau melihat dengan mata batinya atas kehendak Allah. Dan, sampailah ia kepada keesaan-Nya dan kekuasaan-Nya.
Pada tahap ini ia akan menduduki haqqul yaqin (keyakinan yang hak/tinggi). Keyakinan tentang apakah itu?
Keyakinan yang dimaksudkan ialah tentang hakikat bahwa segala sesuatu itu tiada yang menggerakannya, kecuali Allah, tiada yang menghentikan, kecuali Allah Swt. Tiada kekayaan dan kemiskinan, kecuali Allah yang menghendakinya. Di hadapan Allah, seseorang bagaikan bayi di tangan dukun beranak atau mayat yang dimandikan, atau bola di kaki pemainnya. Tak kuasa apapun, kecuali kehendak Allah Swt. Dengan demikian, ia tak akan melihat, kecuali hanya kepada Allah. Tak akan mendengar, kecuali hanya dari Allah; jika mendapat sesuatu – menyenangkan atau menyedihkan – diyakini semata karena Allah belaka. Jika mendengarkan sesuatu, yang didengar adalah firman Allah melalui ilmu-Nya. Ia akan mendapatkan karunia-Nya dan mendapatkan keberuntungan karena mampu mendekatkan diri kepada-Nya. Ia menjadi mulia, rida atas segala yang dijumpainya. Ia merasa puas atas segala yang menimpanya, baik yang menyenangkan maupun yang menyakitkan .
Akhirnya, ia rindu selalu kepada Allah, ingin terus memuji dan berzikir. Segala sesuatu dalam hidupnya bertumpu kepada Allah semata. Ia mendapatkan nur dari Allah karena ilmu Allah itu sendiri. Ia dimuliakan karena ilmu Allah juga. Dengan begitu, senantiasa puji dan syukur tercurahkan kepada Allah Yang Mahakuasa saja.
Empat

Mengharap rahmat Allah Azza wa Jalla
Jika engkau abaikan ciptaan, semoga Allah merahmatimu . Semoga Allah membunuh kehendakmu (yang tak baik) dan Dia menempatkanmu dalam kehidupan yang baru dan mulia.
Sekarang dirimu mendapatkan karunia berupa kehidupan yang abadi, mendapat kekayaan dan kebahagian yang abadi, dan mendapat rahmat dan ilmu sehingga tak mengenal kebodohan.
Engkau dilindungi Allah dari rasa takut. Engka dimuliakan sehingga tidak hina lagi dan selalu dekat kepada Allah sehingga menjadi tumpuan harapan bagi orang2 yang memohon kepada Allah melalui dirimu.
Kau menjadi pengganti rasul, para nabi dan shadiqqin. Kau adalah puncak wilayat dan para wali yang masih hidup mengerumunimu. Segala masalah dapat engkau selesaikan dan kau temukan jalan keluarnya. Sawah ladang berpanen melimpah ruah berkat doamu. Lenyapnya penderitaan umat juga melalui doamu. Orang-orang banyak yang datang dan bergegas menemuimu membawa bingkisan dan hadiah serta mengabdi kepadamu. Pengabdian dalam segala hal kehidupan. Semua itu karena ijin Sang Pencipta. Mereka senantiasa mendoakanmu. Tak ada dua mukmim yang memperselisihkan engkau. Inilah rahmat Allah SWT, wahai manusia. Dan Allah Pemilik segala rahmat.
Lima

Menghindari dunia
Jika engkau melihat dunia ini berada di tangan orang lain, janganlah takjub Dunia itu memang penuh dengan hiasan, tetapi di sisi lain penuh dengan racun yang mematikan. Tampaknya lembut, tetapi membahayakan bagi yang merabanya. Dunia pada hakikatnya mengecoh dan membuat manusia menyepelekan keburukan dari tipu daya dan janji-janji palsunya.
Apabila melihat yang demikian itu, hendaknya kau berlaku seakan-akan menghadapi orang yang sombong, sewenang-wenang, dan berbau busuk. Ibaratkanlah dunia itu seperti demikian. Jika melihat situasi yang demikian, berpalinglah dari kebusukannya. Tutuplah hidungmu agar tak menghirup bau amisnya. Tutuplah hidung dan telingamu dari bau dan suara hawa nafsu walaupun segala kenikmatan yang tersimpan di dalamnya menghampirimu. Allah SWT telah berfirman kepada nabi pilihannya (Muhammad saw)
وَلا تَمُدَّنَّ عَيْنَيْكَ إِلَى مَا مَتَّعْنَا بِهِ أَزْوَاجًا مِنْهُمْ زَهْرَةَ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا لِنَفْتِنَهُمْ فِيهِ وَرِزْقُ رَبِّكَ خَيْرٌ وَأَبْقَى
Janganlah engkau tujukan kedua matamu kepada (perhiasan) yang kami berikan kepada bermacam-macam orang di antara mereka, sebagai bunga kehidupan di dunia, supaya mereka Kami cobai denganya. Dan rezeki Tuhanmu (dalam surga) lebih baik dan lebih kekal (QS 20:131)
Enam
Beribadah hanya karena Allah SWT
Apabila melaksanakan perintah Allah, tanggalkan pandangan manusia yang tertuju kepadamu dan tanggalkan kepentingan pribadimu dan hendaknya engkau tujukan kepada Allah saja.
Untuk menghindari pandangan manusia – yang memuji – atas amalanmu dalam melaksanakan perintah Allah, menghindarlah dari mereka, asingkan diri sepenuhnya dan bebaskan jiwamu dari segala harapan mereka. Lenyapkanlah segala nafsumu. Adapun tanda lenyapnya nafus ialah:
1. meninggalkan kesibukan mengejar duniawi;
2. berhubungan dengan mereka hanya untuk mendapatkan manfaat;
3. cenderung menghindarkan diri dara kemudaratan;
4. tidak menggantunkan diri sendiri dalam masalah pribadi.
5. tidak membantu melindungi diri sendiri, tetapi memasrahkan diri sepenuhnya kepada Allah SWT, karena Dia-lah Yang Mahakuasa.
Kemauan itu dapat lenyap dari jiwamu. Kemauan yang dimaksud ialah yang didorong oleh hawa nafsu. Adapun lenyapnya kemauan atas kehendak Allah itu ditandai sebagai berikut:
1. tidak pernah menurutkan keinginan, tak merasa butuh, tidak mempunyai tujuan, kecuali hanya satu tujuan dan satu kebutuhan, yakni kepada Allah SWT belaka;
2. kehendak Allah akan berwujud pada dirimu, sehingga jika kehendaknya bereaksi, tubuhmu menjadi pasif, namun hatimu tenang, pikiranmu jernih, nurani dan rohanimu menjadi berseri. Dengan demikian, kebutuhanmu tentang kebendaan kau pasrahkan dan engkau bergantung kepada Allah SWT saja;
3. gerakanmu digerakan oleh kekuasaan-Nya, lidah keabadian memberi hiasan kepadamu berupa nur-Nya yang menempatkan kedududukanmu sejajar dengan ulama hikmah yang telah mendahuluimu.
Jika mampu seperti demikian, niscaya engkah berhasil menaklukan diri sendiri, sehingga dalam ragamu tidak ada “kedirianmu”, laksana bejana yang hancur, bersih dari air dan endapan.
Engkau akan terpisahkan dari segala gerak manusiawi karena rohanimu menolak segala sesuatu. Rohmu hanya menerima kehendak Allah saja. Pada peringkat dan kedudukan seperti ini, engkau akan mendapatkan suatu keajaiban. Hal ini seolah-olah hanya usahamu dalam melatih diri dan rohmu, padahal sebenarnya adalah kehendak Allah belaka.
Pada kedudukan ini, engkau mampu menjadi orang yang dapat menundukan hati sendiri, sifat hewanimu telah musnah. Dengan demikian, engkau akan mendapat ilham atas kehendak Ilahi dan dambaan-dambaan baru dalam kenyataan sehari-hari.
Allah Yang Mahatinggi tak akan bersamamu, jika kedirianmu (nafsu duniawi, hewani, sifat yang merusakan/membutakan hati) belum sirna. Jika kedirianmu telah sirna, lalu kau menganggap sesuatu di dunia ini tak ada artinya kecuali Allah, Dia akan memberikan kebugaran dan kesegaran rohani. Allah akan memberi kekuatan rohani dan dengan rohani tersebut, engkau berkehendak.
Jika di dalam dirimu masih juga terdapat noda meskipun sekecil biji dzarah, Allah akan menolakmu agar engkau terus berusaha untuk diterima Allah. Allah pun terus menciptakan kemauan baru dalam dirimu agar engkau tidak merasa puas dengan amal dan ibadah yang kau lakukan, hal ini sampai pada akhir hayatmu.
Dalam sebuah hadis Qudsi, Allah SWT berfirman,
“Hamba-Ku yang beriman senantiasa mendekatkan diri kepada-Ku, yaitu dengan mengerjakan shalat-shalat sunnah yang diutamakan sehingga Aku mencintainya, maka Aku menjadi telinganya, dengannya ia mendengar, dan menjadi matanya, dengannya ia melihat, dan menjadi tangannya, dengannya ia bekerja, dan menjadi kakinya, dengannya ia berjalan. Tak diragukan lagi, demikianlah keadaan fana.”
Oleh sebab itu, Dia menyelamatkanmu dari kejahatan para mahluk-Nya, kemudian mendorongmu dalam kebaikan-Nya. Dengan begitu, engkau akan menjadi pusat kebaikan, sumber rahmat, kebahagian, kenikmatan, semangat, damai dan sentosa.
Para wali terdahulu pun menunaikan ibadah untuk mendekatkan dirinya sedekat mungkin kepada Allah SWT. Itulah yang menjadi tujuannya, tujuan terakhir. Mereka senantiasa beralih dari kehendak yang timbul dari pribadinya sendiri, mengubahnya menjadi kehendak dari Allah. Itulah sebabnya, mereka kemudian disebut “badal” (berubah).
Bagi mereka ini, menggabungkan kehendak dirinya sendiri dengan kehendak Allah adalah dosa.
Apabila mereka terbawa tipuan perasaan2nya sendiri sehingga lalai atau takut, Allah menolong mereka dengan kasih sayang – Nya. Allah akan mengingatkan mereka dan akhirnya mereka sadar dan berlindung kepada Tuhannya. Merekea berlindung dari kemauan pribadinya karena menyadari bahwa mereka tak akan mampu membersihkan dirinya sampai sebersih mungkin dari nafsu dan kemauan, kecuali malaikat. Para malaikat memang suci dari nafsu dan kehendak, para nabi terbebas dari kedirian, sedangkan jin dan manusia tak terlepaskan dari nafsu yang kelak menuntut pertanggungjawaban moral. Akan tetapi, meskipun manusia itu tak dapat terbebas dari nafsu, para wali mampu melemahkan nafsunya sehingga dengan, bantuan Allah, mereka mendapatkan rahmat yang menguatkan akalnya.
Tujuh

Terlepas dari Ketertarikan Dunia
Perbaiki dirimu dan tinggalkan olehmu kegelisahan dunia sesuai kemampuanmu. Nabi Muhammad saw bersabda,” Lepaskan dirimu dari bingungnya urusan dunia, sejauh kemampuanmu “
Kalau kau mengetahui apa yang kau cari, kalau dunia kau peroleh, engkau akan menjumpai kelelahan. Kalau kau menaruh perhatian yang berlebihan pada dunia niscaya kau akan merugi. Bebaskan diri dari urusan dunia, lepaskan perhiasan dunia, lucuti pakaian hawa nafsu. Karena kesungguhan diri beribadah pada Allah adalah sebuah hidayah.
Kalau ingin bahagia, engkau harus memiliki ketenangan lahir dan batin. Bersabarlah atas pemberian Allah, hindari prasangka buruk atasNya, karena Dia menyayangimu. “ Boleh jadi engkau membenci sesuatu, padahal itu amat baik bagimu, dan boleh jadi pula engkau menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu” (Al Baqarah 216)
Barangsiapa menginginkan jalan menuju keridhaan Allah , maka didiklah hawa nafsumu sebelum mendidik perbuatanmu. Bersungguh2lah sampai engkau mendapat ketenangan. Jangan turuti nafsu kecuali engkau telah melatih nafsumu dengan pelajaran dan perilaku baik. Dengan bersungguh2 mata akan terbuka dan kebodohan tak akan menghampiri kita. Hal ini membutuhkan pengikat dan waktu yang panjang, tidak dating begitu saja.
Pukullah nafsumu dengan cambuk lapar, cegahlah kehendaknya. Engkau harus bisa bertahan, karena nafsu hanya bisa berdusta dan tak pernah benar. Janjinya bohong dan Iblis adalah pentolannya. Dia tak punya kekuatan untuk memusuhi orang yang beriman.
Allah tidak memberi cobaan kepadamu kecuali disana ada hikmah dan faedah.
Kalau kau didera musibah, ingatlah dosa2mu. Mohonlah kesabaran padaNYA, perbanyak istigfar dan bertaubat lah segera. Bergaulah dengan para kekasih Allah, alim ulama dan teman yang bila kau melihatnya, mengingatkanmu akan Allah.
Wahai para pelanglang buana, Wahai para pelancong dunia, Peganglah erat-erat petunjukKu, Hingga sampai ditujuan, jangan kau keluar dari petunjuk, maka kau akan Kuberi petunjuk.
Bagaimana kau akan berperilaku baik, kalau tak berteman dengan Kawan yang berperilaku sopan santun
Bagaimana kau akan menimba ilmu, kalau kau tak senang dengan gurumu.
Syekh Abdul Qadir Jailani,
"Dudukkanlah dirimu bersama kehidupan duniawi, sedangkan kalbumu bersama kehidupan akhirat, dan rasamu bersama Rabbmu."
delapan

Lepas dari kemaksiatan
Wahai orang muda, janganlah engkau berputus asa daripada Rahmat Allah ‘Azza wa Jall kerana kemaksiatan yang telah engkau lakukan. Bersihkanlah kotoran dari pakaian agamamu dengan air taubat, dengan taubat yang istiqomah dan ikhlas. Kemudian, harumkanlah pakaian agamamu itu dengan (air wangi) ma‘rifah. Berhati-hatilah engkau dengan kedudukanmu sekarang kerana ke arah mana pun engkau toleh, terdapat hewan-hewan yang buas sedang berada di sekeliling dirimu, dan pengaruh-pengaruh jahat yang merusak pula sedang bertindak ke atas dirimu. Lepaskanlah dirimu daripadanya dan kembalikanlah hatimu kepada al-Haqq ‘Azza wa Jall.
Ada seorang insan yang telah berkata: “Aku ingin menjadi salah seorang daripada orang-orang yang mencari WajahNya. Hatiku telah terpandang Pintu Kedekatan (Bab al-Qurb) dan aku telah melihat para kekasih memasukinya dan kemudian telah keluar memakai pakaian-pakaian yang telah dianugerahkan oleh al-Malik (Raja, yakni Allah Ta‘la.) Apakah balasan untuk memasukinya?”
Kepadanya, aku telah menjawab: “Hendaklah engkau korbankan seluruh dirimu. Tinggalkan segala kehendak syahwat dan segala rasa kelazatan. Lenyapkan dirimu di dalamNya. Ucapkan selamat tinggal kepada segala taman syurga dan segala isi kandungannya, dan tinggalkanlah ia. Ucapkan selamat jalan kepada nafsu, hawa dan tabiat-tabiat. Ucapkan selamat jalan kepada segala keinginan, sama ada yang berbentuk keduniaan ataupun keakhiratan. Ucapkan selamat tinggal kepada setiap sesuatu dan engkau tinggalkannya di belakang hatimu. Setelah itu, masuklah. Engkau akan melihat apa yang tidak pernah dilihat oleh mata, yang tidak pernah didengar oleh telinga, dan yang tidak pernah terlintas di hati manusia.”
Sufi ialah seorang manusia yang telah bersih batinnya dan juga zahirnya, dengan mengikuti kitab Allah ‘Azza wa Jall dan sunnah rasulNya. Dan jika kebersihannya sudah bertambah, dia akan keluar dari lautan kewujudannya, dan meninggalkan segala kehendak, ikhtiar dan keinginannya, kerana kebersihan hatinya.
Asas kebaikan ialah dengan menuruti an-NabÏ SallAllahu ‘alaihi wa sallam pada (seluruh) perkataannya dan perbuatannya.
Apabila hati si hamba (qalb al-‘abd) telah bersih, dia akan dapat melihat an-Nabi SallAllahu ‘alaihi wa sallam di dalam tidurnya, yang akan memberitahunya tentang apa yang harus dilakukan dan apa yang harus dijauhkan.
Seluruh dirinya akan menjadi sekeping hati, dan terpisah dengan niatnya. Dia akan menjadi sebuah rahsia tanpa penyataan, satu kebersihan tanpa kekeruhan. Kulit zahirnya akan tertanggal dari dirinya, sehingga yang tinggal adalah isi (lubb) tanpa kulit.
Dia akan bersama an-Nabiyullah Sallallahu ‘alaihi wa sallam dari segi maknawi, yang akan melatih hatinya dan berada di hadapannya. Tangannya berada di dalam tangan baginda Sallallahu ‘alaihi wa sallam. Dan an-Nabi Sallallahu ‘alaihi wa sallam akan menjadi penasihat mengenaiNya, dan penjaga pintuNya.
Di dalam sebuah mimpi, seorang lelaki tua telah bertanya kepada diriku , “Apakah yang dapat membawa seorang hamba itu dekat dengan Allah ‘Azza wa Jalla?”
Maka aku telah menjawab, “Baginya satu permulaan dan satu kesudahan. Permulaannya ialah wara’ dan kesudahannya ialah penerimaan, penyerahan (at-taslim) dan persandaraan (at-tawakkul).”
Apabila seseorang itu bersikap benar dan ikhlas dengan Tuhan, dia tidak lagi mempedulikan setiap sesuatu selain daripadaNya, pada siang atau malam hari.
Wahai manusia, janganlah mengaku apa yang bukan milikmu. Esakanlah Allah dan janganlah mempersekutukanNya. Demi Allah (dengan melakukan yang demikian), apabila sampai panah takdir kepadamu, ia hanya akan mencalar dan tidak pula membunuhmu.
Siapa saja yang menginginkan kejayaan (al-falah), hendaklah dia menjadi sekeping tanah di bawah tapak kaki para masyaikh (para Mursyid).
Apakah ciri-ciri para masyaikh itu? Mereka adalah orang-orang yang telah menceraikan dunia dan segala makhluk, dan telah mengucapkan selamat tinggal kepada kedua-duanya (yakni dunia dan segala makhluk). Mereka juga telah mengucapkan selamat tinggal kepada setiap sesuatu, dari bawah al-‘arsy hinggalah ke dasar bumi . Mereka telah meninggalkan setiap sesuatu itu di belakang mereka, dan telah mengucapkan selamat tinggal sebagai seorang yang tidak akan kembali lagi. Mereka telah mengucapkan selamat tinggal kepada seluruh makhluk, termasuk diri mereka sendiri. Wujud mereka adalah bersama-sama Allah, pada setiap keadaan.
Siapa yang menuntut kecintaan Allah (namun masih) disertai dengan kewujudan nafsunya, maka dia sedang berkhayal dan berangan-angan.
Kebanyakan daripada mereka dari golongan al-mutazahhidin al-muta‘abbidin (orang-orang yang cuba menyerupai kaum Zuhud dan ahli ibadah), pada hakikatnya, adalah hamba-hamba para makhluk, yang telah mereka syirikkan (yakni menjadikannya sekutu bagi Allah).
Berdirilah engkau sekelian di hadapanNya di atas tapak-tapak kaki (aqdam) yang telah muflis daripada akal-akal fikiranmu dan ilmu-ilmumu, agar engkau sekalian dapat mengambil ilmu daripadaNya.
Janganlah merasa sangsi terhadapNya apabila Dia menunda Ijabah. Janganlah berputus asa dalam berdoa kepadaNya. Jika engkau tidak menerima apa-apa keuntungan, maka tidak pula engkau menanggung apa-apa kerugian. Jika Dia tidak memperkenankannya dengan serta-merta, maka Dia akan memberikan engkau gantinya di Hari Kemudian.
Selagi kecintaan kepada dunia kekal di hatimu, tiada akan melihat engkau sesuatu daripada ahwal as-Salihin. Selagi engkau meminta-minta dari makhluk dan mempersekutukan (Allah) dengan mereka, tiada akan terbuka mata hatimu. Tiadalah kata-kata itu sehingga engkau berzuhud dari dunia dan makhluk. Bersungguh-sungguhlah engkau. Engkau akan melihat apa yang tidak dilihat oleh orang lain, dan akan terlepas bagimu adat.
Jika engkau tinggalkan apa yang di dalam hitunganmu (hisab) akan datang kepadamu apa yang bukan di dalam hitunganmu. Apabila engkau bergantung penuh kepada al-Haqq ‘Azza wa Jall, dan bertaqwa di dalam khalwah dan di khalayak ramai, Dia akan mengaruniakanmu rezeki yang tidak disangka-sangka (la yahtasib). Engkau tinggalkan, Dia berikan. Engkau berzuhud, Dia temukan hajatmu.
Di peringkat permulaan, (ialah) meninggalkan. Di peringkat akhir, (ialah) pengambilan. Di awal urusan ini, ialah pemberatan kalbu dengan meninggalkan segala syahwat dan dunia, dan di akhirnya ialah pengambilannya. Yang pertama ialah bagi al-Muttaqin, dan yang kedua ialah bagi al-Abdal, yang telah sampai (al-wasilinn) kepada ketaatan (kepada) Allah ‘Azza wa Jall.
Kata-kata itu tidak sesuai untuk diucapkan sehingga segala tuhan-tuhanmu menjadi Tuhan yang satu, sehingga segala keinginanmu menjadi satu, dan sehingga segala tumpuan cintamu menjadi satu.
Hatimu hendaklah dijadikan satu. Bilakah kedekatan kepada al-Haqq dapat mendirikan kemahnya di dalam hatimu? Kapan hatimu akan menjadi majdhub (tertarik) dan sirr-mu menjadi muqarrab (didekatkan)? Dan kapankah segera engkau dapat menemui Tuhanmu, setelah engkau mengucapkan selamat tinggal kepada segala makhluk?
"Di dalam sebuah Mimpi seorang lelaki tua telah bertanya kepadaku. . ..
Wahai WaliulLah apakah yg dapat membawa seorang hamba itu dekat dengan
Allah SWT . . . . ?!
lalu aku telah menjawab kepadamu wahai Mubarok !
baginya ada 2 perkara yaitu . . .
1.PERMULAAN
yaitu jadi lah kamu org yg Wara’
(senantiasa menjauhkan diri dr segala macam Dosa)
2.KESUDAHAN
jadilah Org Yg Qona’ah !
Mendengar jawaban yg singkat dan padat tersebut . . .
Lelaki tua itupun Pergi dgn hati yg damai !
dan nampak Bersinar wajah yg sudah dimakan usia tersebut "
Mudah2 kisah diatas dapat menjadikan kita yang di Tarekat Qodiriyah ini di berikan kekuatan Islam,Iman Dan Ikhsan dan di Anugerahkan oleh
Al-Haqq Allah azza wa jalla . Amin.

Jumat, 20 Agustus 2010

Kisah Singkat Syaikh Abuya Dimyati

Alangkah ruginya orang Indonesia kalau tidak mengenal ulama satu ini. Orang bulang Mbah Dim, Banten atau Abuya Dimyati bin Syaikh Muhammad Amin. Beliau adalah tokoh kharismatik dunia kepesantrenan, penganjur ajaran Ahlusunah Wal Jama’ah dari pondok pesantren, Cidahu, Pandeglang, Banten. Beliau ulama yang sangat konsen terhadap akhirat, bersahaja, selalu menjauhi keduniawian. Wirangi (hati-hati dalam bicara, konsisten dalam perkataan dan perbuatan). Ahli sodakoh, puasa, makan seperlunya, ala kadarnya seperti dicontohkan Kanjeng Nabi, humanis, penuh kasih sesama umat manusia. Kegiatan kesehariannya hanya mulang ngaji (mengajar ilmu), salat serta menjalankan kesunatan lainnya.

Beliau lahir sekitar tahun 1925 anak pasangan dari H.Amin dan Hj.Ruqayah. Sejak kecil Abuya Dimyathi sudah menampakan kecerdasannya dan keshalihannya, beliau belajar dari satu pesantren ke pesantren lainnya mulai dari Pesantren Cadasari, kadupeseng Pandeglang, ke Plamunan hingga ke Pleret Cirebon. Semasa hidupnya, Abuya Dimyathi dikenal sebagai gurunya dari para guru dan kiainya dari para kiai, sehingga tak berlebihan kalau disebut sebagai tipe ulama Khas al-Khas. Masyarakat Banten menjuluki beliau juga sebagai pakunya daerah Banten, di samping sebagai pakunya negara Indonesia . Di balik kemasyhuran nama Abuya, beliau adalah orang yang sederhana dan bersahaja. Kalau melihat wajah beliau terasa ada perasaan ‘adem’ dan tenteram di hati orang yang melihatnya.



Abuya Dimyati, begitu panggilan hormat masyarakat kepadanya, terlahir tahun 1925 di tanah Banten, salah satu bumi terberkahi. Tepatnya di Kabupaten Pandeglang. Abuya Dimyathi dikenal sosok ulama yang cukup sempurna dalam menjalankan perintah agama, beliau bukan saja mengajarkan dalam ilmu syari’ah tetapi juga menjalankan kehidupan dengan pendekatan tasawuf, tarekat yang dianutnya tarekat Naqsabandiyyah Qodiriyyah. Maka wajar jika dalam perilaku sehari-hari beliau penuh tawadhu’, istiqamah, zuhud, dan ikhlas. Abuya adalah seorang qurra’ dengan lidah yang fasih. Wiridan al-Qur’an sudah istiqamah lebih dari 40 tahun. Kalau shalat tarawih di bulan puasa, tidak turun untuk sahur kecuali setelah mengkhatamkan al-Qur’an dalam shalat.. Oleh karenanya, tidak salah jika kemudian kita mengategorikan Abuya sebagai Ulama multidimensi.



Dibanding dengan ulama kebanyakan, Abuya Dimyathi ini menempuh jalan spiritual yang unik. Beliau secara tegas menyeru: “Thariqah aing mah ngaji!” (Jalan saya adalah ngaji). Sebab, tinggi rendahnya derajat keualamaan seseorang bisa dilihat dari bagaimana ia memberi penghargaan terhadap ilmu. Sebagaimana yang termaktub dalam surat al-Mujadilah ayat 11, bahwa Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan. Dipertegas lagi dalam hadis nabi, al-Ulama’u waratsatul anbiya’, para ulama adalah pewaris para nabi. Ngaji sebagai sarana pewarisan ilmu. Melalui ngaji, sunnah dan keteladanan nabi diajarkan. Melalui ngaji, tradisi para sahabat dan tabi’in diwariskan. Ahmad Munir berpendapat bahwa ilmu adalah suatu keistimewaan yang menjadikan manusia unggul atas makhluk lain guna menjalankan fungsi kekhalifahannya.



Saking pentingnya ngaji dan belajar, satu hal yang sering disampaikan dan diingatkan Mbah Dim adalah: “Jangan sampai ngaji ditinggalkan karena kesibukan lain atau karena umur”. Pesan ini sering diulang-ulang, seolah-olah Mbah Dim ingin memberikan tekanan khusus; jangan sampai ngaji ditinggal meskipun dunia runtuh seribu kali! Apalagi demi sekedar hajatan partai. Urusan ngaji ini juga wajib ain hukumnya bagi putra-putri Mbah Dim untuk mengikutinya. Bahkan, ngaji tidak akan dimulai, fasal-fasal tidak akan dibuka, kecuali semua putra-putrinya hadir di dalam majlis. Itulah sekelumit keteladanan Mbah Dimyati dan putra-putrinya, yang sejalan dengan pesan al-Qur’an dalam surat al-Tahrim ayat 6, Qu anfusakum wa ahlikum naran.



Dahaga akan ilmu tiada habis, satu hal yang mungkin tidak masuk akal bila seorang yang sudah menikah dan punya putra berangkat mondok lagi, bahkan bersama putranya. Tapi itulah Abuya Dimyati, ketulusannya dalam menimba ilmu agama dan mensyiarkannya membawa beliau pada satu tingkat di atas khalayak biasa.

Abuya berguru pada ulama-ulama sepuh di tanah Jawa. Di antaranya Abuya Abdul Chalim, Abuya Muqri Abdul Chamid, Mama Achmad Bakri (Mama Sempur), Mbah Dalhar Watucongol, Mbah Nawawi Jejeran Jogja, Mbah Khozin Bendo Pare, Mbah Baidlowi Lasem, Mbah Rukyat Kaliwungu dan masih banyak lagi. Kesemua guru-guru beliau bermuara pada Syech Nawawi al Bantany. Kata Abuya, para kiai sepuh tersebut adalah memiliki kriteria kekhilafahan atau mursyid sempurna, setelah Abuya berguru, tak lama kemudian para kiai sepuh wafat.(hal 396).

Ketika mondok di Watucongol, Abuya sudah diminta untuk mengajar oleh Mbah Dalhar. Satu kisah unik ketika Abuya datang pertama ke Watucongol, Mbah Dalhar memberi kabar kepada santri-santri besok akan datang ‘kitab banyak’. Dan hal ini terbukti mulai saat masih mondok di Watucongol sampai di tempat beliau mondok lainya, hingga sampai Abuya menetap, beliau banyak mengajar dan mengorek kitab-kitab. Di pondok Bendo, Pare, Abuya lebih di kenal dengan sebutan ‘Mbah Dim Banten’ dan mendapat laqob ‘Sulthon Aulia’, karena Abuya memang wira’i dan topo dunyo. Pada tiap Pondok yang Abuya singgahi, selalu ada peningkatan santri mengaji dan ini satu bukti tersendiri di tiap daerah yang Abuya singgahi jadi terberkahi



Namun, Kini, waliyullah itu telah pergi meninggalkan kita semua. Abuya Dimyathi tak akan tergantikan lagi. Malam Jumat pahing, 3 Oktober 2003 M/07 Sya’ban 1424 H, sekitar pukul 03:00 wib umat Muslim, khususnya warga Nahdlatul Ulama telah kehilangan salah seorang ulamanya, KH. Muhammad Dimyati bin KH. Muhammad Amin Al-Bantani, di Cidahu, Cadasari, Pandeglang, Banten dalam usia 78 tahun. Padahal, pada hari itu juga, dilangsungkan acara resepsi pernikahan putranya. Sehingga, Banten ramai akan pengunjung yang ingin mengikuti acara resepsi pernikahan, sementara tidak sedikit masyarakat –pelayat- yang datang ke kediaman Abuya. Inilah merupakan kekuasaan Allah yang maha mengatur, menjalankan dua agenda besar, “pernikahan” dan “pemakaman”. (tor/abu-abu/Dari berbagai sumber)