Jumat, 10 September 2010

Tarian Rumi

Setiap atom menari di darat atau di udara
Sadari baik-baik, seperti kita, ia berputar-putar tanpa henti di sana
Setiap atom, entah itu bahagia atau sedih,
Putaran matahari adalah ekstase yang tak terperikan

Shalawat disenandungkan, gendang mulai bertabuh, seruling ney mulai ditiup. Sekelompok darwis mengenakan atribut yang seragam. Topi yang memanjang ke atas, jubah hitam besar, baju putih yang melebar di bagian bawahnya seperti rok, serta tanpa alas kaki. Mereka membungkukkan badan tanda hormat lalu mulai melepas jubah hitamnya. Posisi tangan mereka menempel di dada, bersilang mencengkram bahu. Di tengah-tengah mereka tampak seorang Syaikh, yang berperan sebagai pemimpin. Jubah hitam tetap ia kenakan. Ia maju mengambil tempat. Kini giliran syaikh tersebut membungkukkan badannya pada darwis lainnya, mereka pun balas menghormat.
Sekelompok darwis itu kemudian membentuk barisan. Satu per satu maju. Setelah sang pemimpin memberi restu, maka ritual pun dimulai.
Tangan-tangan masih menyilang di bahu. Kaki-kaki yang telanjang mulai merapat. Lalu dimulailah gerakan berputar yang lambat, dengan tumit kaki dijadikan sebagai tumpuan secara bergantian, sementara kaki yang satunya sebagai pemutar. Perlahan-lahan tangan dilepas dari bahu dan mulai terangkat. Gerakan tangan yang anggun itu berangsur membentuk posisi horizontal. Telapak tangan kanan menghadap ke atas, yang kiri ke bawah.




Lukisan abad 17 yang menunjukan upacara dervish di India

Semakin lama gerakan semakin cepat, selaras dengan ketukan irama yang mengiringinya. Mata-mata itu nampak semakin sayu, sebagian terpejam. Kepala mereka semakin condong ke salah satu pundaknya. Semakin cepat putaran, rok-rok putih yang mereka kenakan semakin mengembang sempurna laksana payung yang terbuka. Orang-orang itu semakin larut. Suasana magis seolah tercipta.
Gendang belum berhenti bertabuh, ney(8) masih mengalun syahdu. Tanpa isyarat dari sang pemimpin ritual untuk berhenti, mereka akan terus melambung dalam keadaan ekstase.
Posisi tangan yang membentang secara simbolik menunjukkan bahwa hidayah Allah diterima oleh telapak tangan kanan yang terbuka ke atas, lalu disebarkan ke seluruh makhluk oleh tangan kiri. Ini merepresentasikan sebuah penyerahan dan penyatuan dengan Tuhan.
Atribut yang dikenakan juga merupakan metafora yang menyimpan makna. Topi Maulawi –yang biasanya berwarna merah atau abu-abu– melambangkan batu nisan ego, jubah hitam sebagai simbol alam kubur yang ketika dilepaskan melambangkan kelahiran kembali menuju kebenaran, baju putih adalah kain kafan yang membungkus ego, dan ney melambangkan jiwa yang dinafikan dari diri, digantikan dengan Jiwa Ilahi. Seruling buluh ini juga melambangkan terompet yang ditiupkan malaikat di hari kebangkitan untuk menghidupkan kembali orang yang mati. Karpet merah yang biasa diduduki oleh sang syaikh melambangkan keindahan matahari dan langit senja, yang waktu itu menghiasi kepergian Rumi untuk selamanya.
Samâ' bukanlah sembarang tarian, melainkan tarian yang memuat konsep spiritual didalamnya. Samâ' bisa dikatakan sebagai sebuah metode intuitif untuk membimbing setiap Individu untuk membuka jalan jiwanya menuju Tuhan. Ketika akal pikiran tak sanggup lagi menjangkau Tuhan, maka metode semacam ini ditempuh.
Dalam samâ', putaran tubuh mengibaratkan elektron yang bertawaf mengelilingi intinya menuju sang Maha Kuasa. Harmonisasi perputaran di alam semesta, dari sel terkecil hingga ke sistem solar, dimaknai sebagai keberadaan Sang Pencipta. Pikirkan ciptaan-Nya, bersyukur dan berdoalah. “Bertasbih kepada Allah apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi; hanya Allah lah yang mempunyai semua kerajaan dan semua pujian, dan Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu .” QS. 64:1.

Akhirnya kita saksikan sang pemimpin mulai berdiri. Tabuhan gendang terdengar dipercepat, seiring itu putaran tubuh pun semakin kencang. Kemudian syaikh itu memberikan isyarat untuk berhenti. Seketika itu musik dan para penari pun berhenti. Dan pertunjukan pun berakhir. Tanpa tepuk tangan, karena samâ' bukanlah sebuah pagelaran seni.
Dengan berputarnya tubuh yang berlawanan dengan arah jarum jam, para penari merangkul kemanusiaan dengan cinta. Manusia diciptakan dengan Cinta untuk mencinta. “Semua cinta adalah jembatan menuju Cinta. Siapa saja yang tak merasakannya tak akan tahu,” demikian kata Rumi .
Makam Rumi di Konya dikelola oleh pemerintah Turki sebagai obyek wisata. Setiap tahunnya, terutama antara tanggal 2-17 Desember, ribuan peziarah dari delapan penjuru mata angin berkunjung, menyaksikan para pengikut Maulawi berputar untuk memperingati “malam penyatuan”, malam di mana sang guru tercinta wafat.
Mausoleum Konya menyimpan kenangan. Saksi bisu sejarah tatkala ujaran sang penyair agung mengisi lembar peradaban luhur Islam melalui karya estetisnya, menjadi sumber inspirasi yang membakar jiwa para pecinta di segenap penjuru dunia.

Seperti gelombang di atas putaran kepalaku,
maka dalam tarian suci Kau dan aku pun berputar
Menarilah, Oh Pujaan Hati,
jadilah lingkaran putaran
Terbakarlah dalam nyala api-bukan dalam nyala lilin-Nya

Rumi

Dengan berputarnya tubuh yang berlawanan dengan arah jarum jam, para penari merangkul kemanusiaan dengan cinta.
Bahwa Tuhan menciptakan dan memberikan Cinta itu menjadi sebuah inti dari semua cinta, yang dapat menghilangkan semua batasan (batasan baik itu agama, budaya, ataupun ras). Di antara semua makhlukNya. Sehingga mereka dapat mencintai semua mahkluk manusia, dan mencintai mahkluk yang lain. Dan itu dapat menjadi sebuah obat untuk menyembuhkan penyakit individualis dan egoism dalam diri manusia.


Lukisan whirling dervishes di tekke di Konstantinopel pada abad 18

Dan Rumi telah menterjemahkan itu semua dalam kesempurnaan bentuk, baik secara ucapan dalam bentuk puisi dan tarian Sema dalam putaran jasad. Untuk dirinya merasakan cinta itu, dan membagikan cinta itu kepada makhluknya.
Perlu disampaikan, bahwa penjelasan ini tidak bermaksud mengajak pembaca untuk menari di hadapan Tuhan, apalagi menganggapnya sebagai ritual yang sejajar dengan shalat, puasa, haji, dan sebagainya. Cerita Cinta ini sekadar untuk memperkenalkan khazanah keislaman yang dibawa oleh seorang Mawlana Jalaluddin Rumi, yang masyhur bukan saja di Timur, tapi juga di Barat.
Terlepas dari keberatan sebagian ulama fikih yang memandang musik dan tarian sebagai sesuatu yang diharamkan secara syariat, jalan spiritual melalui tasawuf –yang notabene sering menggunakan musik dan tarian sebagai media– telah memberikan sumbangan yang sangat berarti bagi peradaban Islam. Terlebih, dalam prakteknya tasawuf mampu memainkan peranan sebagai obat bagi penyakit spiritual yang dilanda manusia modern yang semakin teralienasi dari poros eksistensi.

Amalan Yang Sia-sia

Bismillaahirrohmaanirrohiim,Harus kita akui bahwa kita ini hanya pandai menjalankan ibadah tapi sekali-kali tidak pernah mau ambil perduli terhadap kwalitas ibadah kita.Apakah sudah diterima Allah ataukah tertolak dan dianggap sia-sia.Justru yang paling kita perhatikan adalah mengusahakan semaksimal mungkin hasil yang optimal dari pekerjaan atau karya-karya kita.Karena pekerjaan atau hasil karya yang tidak maksimal dan tidak berkwalitas, jelas tidak akan dibeli orang atau tidak akan dihargai orang lain.Dari sini saja sudah sangat jelas bahwa keimanan kita terhadap hari akhirat (rukun Iman ke 5), masih kalah dengan keyakinan kita kepada dunia.Oleh sebab itu sangat pantas jika setelah mengerjakan sholat atau ibadah ritual lainnya, kita tidak merasakan hasil apapun.Jika tidak membawa manfaat atau tidak merubah sikap kita menjadi lebih baik, maka inilah tanda-tanda amal perbuatan yang sia-sia.Rasulullah saw bersabda : “ Jika didepan rumahmu ada sungai yang airnya mengalir jernih lalu kamu mandi didalamnya 5 kali sehari, apakah badanmu masih kotor ? “Para sahabat menjawab : “ Tidak ya Rasul “Nabi saw. melanjutkan : “ Demikian juga dengan sholat “.Jika seseorang mandi lima kali sehari tapi badannya masih kotor, berarti mandinya seperti bebek.Jika seseorang sholat lima kali sehari tapi hatinya masih kotor dan berpenyakit, berarti sholatnya belum memenuhi standar kwalitas yang baik.Sholat adalah pembersih diri (jiwa), bukan pekerjaan yang mengharapkan imbalan.Dengan demikian, sholat harus ditegakkan diatas kehinaan dan kotornya diri dihadapan Kemuliaan dan Kesucian Allah.Jika sholat ditegakkan diatas kebesaran dan kesucian diri, merasa sudah patuh, menyangka sudah mengabdi dsb, maka sholat seperti ini akan membuahkan tuntutan kepada Allah berupa balas jasa, yaitu mengharap rejeki atau balasan pahala dan surga.Diibaratkan seseorang yang merasa mempunyai keahlian dibidang computer.Maka ketika dia diminta bekerja di sebuah perusahaan, pasti dia akan menuntut gaji yang sesuai dengan kemampuannya.Jika tidak sesuai, dia pasti menolak. Berbeda dengan orang yang tidak punya keahlian apapun selain hanya mengandalkan kekuatannya, maka gaji dengan standar terendahpun dia mau.Nah, contoh seperti ini memang wajar dan sangat layak.Tetapi yang sangat tidak wajar adalah meminta (menuntut) balasan surga atas ketaatannya dalam memenuhi Seruan Allah.Padahal dia tidak mempunyai keahlian dalam hal ketaatan.Kalaupun dia memiliki sikap taat dan patuh, kalaupun dia memiliki kemampuan atau kekuatan dalam menjalankan seruan Allah, semuanya itu adalah ‘Pemberian’ Allah.Karena manusia hakikatnya tidak mempunyai daya dan kemampuan apapun (Laa haula walaquwwata illabillaah).Rasulullah saw. bersabda : “ Kalian tidak akan masuk surga karena amalmu “Para sahabat bertanya : “ Apakah engkau demikian juga wahai Rasul ? “Rasul saw. menjawab : “ Benar, kecuali karena Allah telah memberikan Rahmat Nya kepadaku “.Surga bukan ‘haknya’ orang-orang yang taat, tetapi Hak Nya Allah yang diberikan kepada orang yang taat dan di Kehendaki Nya.Dengan demikian, ketaatan seseorang kepada Tuhannya adalah tanda-tanda orang itu akan masuk surga, bukan sebagai jaminan yang pasti.Hal ini dimaksudkan agar orang-orang yang taat tidak merasa bangga karena amalnya.Apalagi sampai memfonis orang yang tidak taat sebagai ahli neraka.Allah lah yang berhak memfonis dan memutuskan karena Dia ber Sifat Al Hakim.Kita bukalah tuhan yang berhak memutuskan, kita hanyalah sekedar diberi peringatan dan pelajaran bahwa itulah tanda-tanda orang yang akan masuk neraka.Nah jadi, jika sholat ditegakkan diatas kehinaan diri dan banyaknya dosa, maka dia tidak mengharapkan balasan apapun kecuali kemuliaan akhlak dan bersihnya diri dari dosa-dosa.Inilah batas wajar yang diminta seorang abdi yang tidak berdaya kepada Tuhannya.Oleh sebab itu sebagai hamba yang baik, kita tidak cukup hanya sekedar ‘merasa’ banyak dosa, tetapi yang lebih utama adalah mengetahui dan menyadari bahwa kita benar-benar banyak sekali dosanya dihadapan Allah, lalu berusaha untuk membersihkannya.Dengan demikian kita tidak hanya ‘fasih’ mengucap ‘ Istighfar ‘ dimulut saja yang tidak menghasilkan penyesalan sedikitpun, tetapi benar-benar penyesalan yang menyentuh hati.Disinilah ‘maknanya’ ber wudlu’ (bersuci), yaitu membersihkan diri dari najis atau kotoran-kotoran yang melekat didalam hati.Nah, jadi sholat tidak hanya sekedar dikerjakan, tetapi harus membuahkan hasil.Jika sholat tidak bisa menjauhkan kita dari perbuatan keji dan munkar, jika sholat masih tidak mampu membersihkan hati kita, ucapan dan perbuatan kita, maka itulah amal perbuatan yang merugi.“ Katakanlah: "Apakah akan Kami beritahukan kepadamu tentang orang-orang yang paling merugi perbuatannya?". Yaitu orang-orang yang telah sia-sia perbuatannya dalam kehidupan dunia ini, sedangkan mereka menyangka bahwa mereka berbuat sebaik-baiknya. Mereka itu orang-orang yang kufur terhadap ayat-ayat Tuhan mereka dan (kufur terhadap) perjumpaan dengan Dia. Maka hapuslah amalan-amalan mereka, dan Kami tidak mengadakan suatu penilaian bagi (amalan) mereka pada hari kiamat “ S. Al Kahfi 103-105.Salah satu bahaya yang tidak disadari umat Muslim adalah sudah merasa cukup dengan ibadahnya, sudah merasa cukup dengan sholat yang dikerjakannya.Orang yang sudah merasa cukup dengan ibadahnya, maka dia cenderung berpuas diri dan tidak ada upaya untuk meningkatkan kwalitas ibadahnya.“…sedangkan mereka menyangka bahwa mereka berbuat sebaik-baiknya…”Amal ibadah yang hanya ‘disangka’ baik, sesungguhnya adalah bisikan-bisikan setan yang memperdaya kita.“ Dan ketika syaitan menjadikan mereka memandang baik pekerjaan mereka…” S. Al Anfaal 48.Jangan dikira kalau kita sudah sholat, sudah berzakat, sudah berpuasa atau bahkan berhaji maka kita tidak akan digoda setan.Pekerjaannya setan justru menggoda orang-orang yang taat beribadah.Pekerjaannya setan malah memancing emosi orang-orang yang sabar.Sedangkan orang yang tidak taat kepada Allah, mereka adalah pengikut setia setan sehingga setan tidak perlu menggodanya lagi.Jadi amal ibadah yang ikhlas tidak cukup hanya disangka, tidak cukup hanya dikira-kira, tetapi harus dibuktikan kebaikannya melalui hasil yang dapat kita rasakan.Salah satu tanda bukti bahwa amal ibadah itu dikatakan baik adalah : senang menjauhkan diri dari perbuatan yang keji dan munkar, serta dengan senang hati menolong kaum yang lemah, dengan senang hati menerangi sesamanya yang kegelapan.Diibaratkan seperti bulan purnama, maka terangnya bulan itu tidak hanya bermanfaat untuk menerangi dirinya (sang bulan) saja, tapi juga mampu menerangi bumi yang kegelapan.Asalkan belahan bumi yang gelap itu menghadap kepadanya.Tapi bagi belahan bumi yang membelakanginya (ingkar), tetap saja dia dalam kegelapan.Seorang mukmin yang amal ibadahnya ikhlas karena Allah (mukhlis),… terangnya hati, tenangnya jiwa dan lapangnya dada, tidak hanya dia nikmati seorang diri, tetapi amal shalehnya itu memancar keluar sehingga mampu menerangi saudaranya yang kegelapan.Asalkan orang-orang disekitarnya mau percaya kepadanya.Bagi orang-orang yang ingkar kepadanya, tetap saja hatinya gelap karena iri dan dengki.Itulah para ulama’ (terutama ulama’ salaf) dan orang-orang saleh yang tidak menampakkan diri didepan umum.Mereka itulah Al Qur’an (ayat-ayat Allah) yang bisa berjalan.Mereka itulah bulan purnama yang patut kita teladani dan kita mintai fatwa-fatwanya.Mengapa (sebagian dari) mereka tidak menonjolkan diri dimuka umum ?Diantaranya karena mereka takut riya’ yang berbuah pada sikap ujub dan takabur.Rasulullah saw. bersabda : “ Sesungguhnya yang sangat aku takutkan pada kalian semua adalah ‘syrkul asyqor’ (syrik halus) “.Para sahabat bertanya : “ Apa itu ya Rasul “Rasul saw. menjawab : “ Itulah riya’ “.Walaupun para sahabat Nabi saw. adalah pribadi-pribadi yang dapat diandalkan, tetapi selagi masih berpredikat sebagai manusia, tidak ada jaminan bahwa mereka akan bebas dari tipu daya setan yang sangat halus, salah satunya adalah riya’.Secara umum, pengertian riya’ adalah : memamerkan kebaikan kepada orang lain.Apa tujuannya ?Tidak lain adalah untuk mendapat pengakuan dari orang lain atau mengharapkan pujian.Jika seseorang mengharap pengakuan atau pujian dari orang lain atas amal perbuatannya, maka dibalik itu dia menyimpan hasrat yang tersembunyi.Yaitu agar eksistensinya diakui orang lain, agar dipercaya dan dianggap penting, serta agar orang yang mendengarkannya, mau menjadi pengikut setianya.Dengan kata lain, dia mempromosikan diri untuk menjadi orang yang terpercaya atau menjadi penguasa yang menguasai orang-orang yang mendengarkan promosinya.Jika sudah berhasil, akan muncul sikap bangga diri (ujub), yaitu kesombongan yang halus. Tanpa sadar orang-orang seperti ini telah meng-klaim dirinya sebagaimana Sifat-Sifat Nya Allah Yang Maha Besar dan Maha Kuasa.Inilah cirri khas manusia yang ingin dianggap besar dan penting serta ingin dihormati oleh orang lain.Sangat berbeda dengan orang-orang mukmin sejati yang menganggap dirinya hina dan tidak berarti apa-apa tanpa adanya daya dan kemampuan dari Allah.Sebagaimana bulan purnama yang tidak mampu bersinar terang tanpa adanya pancaran sinar matahari.Pada hakikatnya yang bersinar adalah matahari.Bulan hanyalah sekedar memantulkan cahaya matahari.Pada hakikatnya yang memiliki Sifat-Sifat Kebaikan hanyalah Allah, manusia hanyalah sekedar pantulan cahaya kebaikan dari Allah.“ Dan dikatakan kepada orang-orang yang bertakwa: "Apakah yang telah diturunkan oleh Tuhanmu?" Mereka menjawab: "(Allah telah menurunkan) kebaikan". Orang-orang yang berbuat baik di dunia ini mendapat (pembalasan) yang baik. Dan sesungguhnya kampung akhirat adalah lebih baik dan itulah sebaik-baik tempat bagi orang yang bertakwa, “ S. An Nahl 30.Yang dimaksud Orang-orang yang berbuat baik adalah orang yang beramal saleh, yaitu orang yang mengetahui dan melanjutkan ‘Kebaikan’ dari Allah untuk kebaikan bersama.Inilah jenis orang-orang yang bersyukur kepada Allah.“ Sesungguhnya Kami telah menunjukinya jalan yang lurus; ada yang bersyukur dan ada pula yang kafir “ S. Al Insaan 3.Yang dimaksud ‘Petunjuk kejalan yang lurus’ adalah termasuk apapun perbuatan baik yang semata-mata hanya ditujukan kepada Allah.Bukan mengharapkan imbalan atau pujian atas kebaikan yang dilakukannya.Dari sini menjadi jelas bahwa apa yang dimaksud “…..Mereka itu orang-orang yang kufur terhadap ayat-ayat Tuhan mereka dan (kufur terhadap) perjumpaan dengan Dia….” Adalah orang yang mengakui kebaikan dari Allah sebagai kebaikannya sendiri.Inilah amal yang sia-sia dan “…Maka hapuslah amalan-amalan mereka, dan Kami tidak mengadakan suatu penilaian bagi (amalan) mereka pada hari kiamat “.Amal kebaikan apapun, adalah ayat-ayat Tuhan, adalah tanda bukti Kebesaran Tuhan yang dipantulkan melalui manusia, bukan hasil dari usaha manusia itu sendiri.Orang beriman adalah orang yang sangat yakin bahwa kebaikan apapun yang dia lakukan adalah datangnya dari Allah.Bukan karena ikhtiarnya, bukan karena ilmunya.Oleh sebab itu dia sangat malu apabila kebaikannya dipuji orang lain, apalagi sampai mendapat imbalan berupa materi duniawi.Orang awam sangat pandai menyanjung bulan yang bersinar terang padahal sesungguhnya yang bersinar terus menerus adalah matahari.Sinar bulan hanyalah pantulan sinar matahari.Mengapa orang hanya pandai menyanjung bulan yang bersinar ?Karena yang terlihat (oleh mata lahir) bersinar pada malam hari adalah bulan, sedangkan matahari tidak menampakkan diri.Orang awam amat pintar memuji dirinya (bangga diri) dan sangat pandai memuji kebaikan seseorang, karena mereka hanya melihat kebaikan dirinya dan kebaikan seseorang itu dari sisi lahiriahnya saja.Tapi hatinya tidak mengetahui siapa Yang berada dibalik itu.Oleh karena itu jangan heran jika mereka dipuji, mereka bangga bukan main.Tapi jika mereka dicaci, mereka melemparkan kesalahan kepada orang lain.Dan jika mereka mendapat kebaikan (rejeki) dari seseorang mereka memuji-muji orang itu setinggi langit.Tapi sebaliknya jika mendapat musibah yang disebabkan oleh kesalahan orang lain, mereka mencaci-maki, menghujat bahkan menuntut balas.Ini berarti, mereka tidak bersyukur atas nikmat dari Allah, dan tidak bersabar atas ujian yang hakikatnya juga datang dari Allah.“ Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar, (yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan, "Innaa lillaahi wa innaa ilaihi raaji`uun" S, Al Baqoroh 155-156.Salah satu pengertian bertauhid (meng- Esakan Allah) adalah memahami dan meyakini bahwa Perbuatan (Af ‘al) Nya Allah itu adalah satu, yaitu dalam wujud Kesempurnaan.Hanya saja setelah turun ke alam dunia (alam sebab akibat), maka dia terbagi menjadi dua, yaitu berupa kebaikan dan keburukan, berupa rejeki yang terasa nikmat dan musibah yang terasa menyakitkan.“ Sesungguhnya Kami telah menunjukinya jalan yang lurus; ada yang bersyukur dan ada pula yang kafir “Diumpamakan air hujan yang turun kebumi, ada yang bersyukur atas kedatangannya dan ada pula yang membenci.Para petani padi adalah orang-orang yang sangat senang dengan datangnya hujan.Sebaliknya para petani garam, adalah orang-orang yang sangat tidak menyukainya.Nah, orang yang benar-benar bersyukur, akan memfokuskan perhatiannya kepada Sang Pemberi nikmat, bukan terfokus pada nikmatnya.Karena itu dia tidak meluapkan kegembiraannya seperti orang-orang pada umumnya.Bahkan orang-orang seperti ini amat waspada dan berhati-hati terhadap rejeki dari Allah yang berupa materi duniawi.Karena apabila dia menerimanya dengan senang hati, maka Allah tidak memberinya rejeki ukhrowi (hidayah) sehingga membuat hatinya menjadi susah dan gelisah.Perlu disadari bahwa Allah menciptakan makhluk Nya berpasang-pasangan.Jika Allah menciptakan (memberikan) kegembiraan lahiriah pada seseorang, maka Allah pun menciptakan kesedihan kepada batiniahnya.“ Barangsiapa yang menghendaki kehidupan dunia dan perhiasannya, niscaya Kami berikan kepada mereka balasan pekerjaan mereka di dunia dengan sempurna dan mereka di dunia itu tidak akan dirugikan. Itulah orang-orang yang tidak memperoleh di akhirat, kecuali neraka dan lenyaplah di akhirat itu apa yang telah mereka usahakan didunia dan sia-sialah apa yang telah mereka kerjakan“ S. Huud 15-16.Orang yang tidak memperoleh keselamatan diakhirat adalah orang yang sewaktu didunia tidak mendapatkan hidayah (petunjuk kejalan yang lurus).Inilah bahayanya jika rejeki duniawi diterima dengan hawanafsu.Maka orang yang menerimanya cenderung membelanjakannya untuk kepuasan nafsunya.Tetapi jika orang menerima rejeki itu dengan hati nurani (qolbu) nya, maka ada dorongan yang kuat untuk membelanjakannya dijalan Allah (berkorban).Memang berkorban itu menyakitkan hati (nafsu), tetapi sesungguhnya dibalik itu dia akan dapat menentramkan qolbu.Jadi yang termasuk sia-sia amalnya adalah orang yang walaupun dia menyembah Allah, tetapi hatinya mengharapkan balasan duniawi karena kecintaannya kepada dunia.“ Barangsiapa yang menghendaki kehidupan dunia dan perhiasannya…..”. Orang yang menghendaki atau mengharapkan dunia, jelas dihatinya ada rasa senang dan kecintaan yang amat besar kepada dunia.Memang tidak dilarang manusia mencintai dunianya, tetapi jika kecintaannya itu melebihi kecintaannya kepada hari akhirat, maka jelas dia lebih mengutamakan dunianya dari pada akhiratnya.Jelas dia lebih mengutamakan jasmaninya dari pada rohaninya.“…..Kamu menghendaki harta benda duniawiyah sedangkan Allah menghendaki (pahala) akhirat (untukmu). Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana “ S. Al Anfaal 67.Nah, mengapa amal orang-orang seperti ini digolongkan amal yang sia-sia ?Karena lahiriahnya menyembah Allah tetapi hatinya cinta dan berharap selain Allah (dunia).Inilah tanda-tanda sifat munafik.Orang yang jujur dan jika hatinya menyenangi sesuatu, pasti ucapan dan perbuatannya selalu mengarah kepada apa yang disenanginya.Tetapi orang munafik, dia menyembunyikan apa yang terkandung didalam hatinya lalu dibungkus dengan ucapan yang menarik hati atau amal perbuatan yang baik.“ Sesungguhnya orang-orang munafik itu menipu Allah, dan Allah akan membalas tipuan mereka. Dan apabila mereka berdiri untuk shalat mereka berdiri dengan malas. Mereka bermaksud riya (dengan shalat) di hadapan manusia. Dan tidaklah mereka menyebut Allah kecuali sedikit sekali “ S. An Nisaa’ 142.Sifat dan perbuatan munafik, timbul dari keinginan hati terhadap hal-hal yang bersifat menyenangkan, yang enak-enak, yang mudah-mudah, ingin dipuji dsb.Orang yang selalu ingin dipuji, dia akan lari dari tanggung jawab atas kesalahan yang diperbuat nya, atau membuat dalih dan alasan-alasan (mencari kambing hitam).Mengapa demikian ?Karena dia tidak ingin disalahkan dan selalu ingin pujian.Nah, orang yang selalu ingin pujian dari makhluk, maka dia tidak mendapatkan pujian dan kemuliaan dari Allah.Inilah orang-orang yang menginginkan kebesaran diri didunia, tetapi sesungguhnya dia akan mendapatkan kehinaan diakhirat.Dan inilah orang-orang yang tampak besar dan mulia penampilan lahiriah dan ucapan-ucapannya, sedangkan batiniahnya kerdil dan penuh dengan kotoran.Wallahu ‘alam bishowaab.

AMALAN TASAWUF & SYARI’AT

Seluruh pengamal tasawuf yang mengamalkan pengamalan tarikat muktabarah sepakat bahwa landasan utama peramalan itu adalah pengamalan syariat yang kuat. Semua lembaga tarikat Muktabarah berlandaskan Ahlus Sunnah wal Jama'ah yang sangat menekankan pengamalan syariat yang sempurna, adalah satu-satunya jalan untuk berhasilnya pengamalan tarikat itu. Sementara ada sebagian orang yang berpura-pura mengaku pengamal tasawuf tapi tidak mengamalkan syariat, mengatakan mereka telah sampai ke tingkat yang tinggi, telah sampai ke tingkat musyahadah yang dibuktikan dengan beberapa kekeramatan-kekeramatan.


Pengakuan yang demikian ini adalah sesat, karena sangat bertentangan dengan Al Qur'an dan Al Hadis, dan tidak sesuai dengan aliran Ahlus Sunnah wal Jamaah dan berbeda atau sangat bertentangan dengan kenyataan yang dilaksanakan oleh para tokoh sufi pengamal tarikat Al Muktabarah. Pengakuan-pengakuan yang demikian ini umumnya datang dari orang yang berpura- pura pengamal tasawuf atau datang dari pihak-pihak yang tidak senang kepada jalan yang ditempuh oleh para sufi.

Para sufi menekankan peramalannya harus didasarkan kepada at Taslim (penyerahan diri sepenuhnya kepada Allah SWT), At Tafwidh (berserah diri sepenuhnya kepada Allah SWT), At Tabarri Minan Nafsi (Pembebasan diri dari hawa nafsu), dan At Tauhid bil Khalqi wal Masyi'ah (mengesakan hanya Allah sajalah yang Maha Pencipta dan Maha Berkehendak).

Berbeda dengan golongan Qadariah yang mendasarkan peramalannya kepada Al Fi'lu (perbuatan adalah kehendak yang bersangkutan), al Masyi'ah (semua kehendak adalah kehendak yang bersangkutan), al Khalqah (semua yang diciptakan adalah ciptaan yang bersangkutan) dan at Takdir (semua takdir itu tergantung kepada yang bersangkutan). Mereka ini semuanya, mendasarkan apa saja yang mereka lakukan tergantung kehendak mereka.

Di dalam Al Qur'an banyak sekali dalil yang menunjukkan kebenaran landasan peramalan para sufi tersebut. Hasilnya pun kelihatan dengan pengamalan yang sungguh-sungguh yang didasarkan kepada syariat yang kuat, para sufi memperoleh kesenangan, kemanisan dalam beriman dan beribadat, ketentraman dan ketenangan. Apa yang diperoleh para sufi ini merupakan buah, hasil ibadatnya yang merupakan rahmat dari Allah SWT. Apa yang diperoleh oleh para sufi ini belum tentu, atau bahkan kecil sekali kemungkinannya dapat diperoleh oleh orang lain. Letak perbedaannya menurut Al-Ghazali, para sufi lebih gigih dalam riyadlah dan mujahadah. Mereka tidak memadai dengan pengamalan-pengamalan syariat wajib saja, tetapi harus juga mengamalkan syariat-syariat sunnah. Para sufi tidak hanya meninggalkan yang haram dan makruh saja, tetapi juga meninggalkan hal-hal yang mubah (kebolehan), yang tidak berfaedah apalagi kalau hal itu dapat membawa kepada melalaikan syariat.

Ibnu Khaldun menyatakan, berkat riadlah dan mujahadah yang sungguh-sungguh, maka para wali memperoleh tanda-tanda kemenangan yang besar, memperoleh kekeramatan-kekeramatan, sebagaimana hal itu juga diperoleh para sahabat Rasulullah As Sabiqunal Awwalun. Orang tidak boleh tertipu dan terpedaya dengan adanya kekeramatan-kekeramatan ini sebelum dibuktikan kuatnya syariat yang bersangkutan. Kekeramatan ini tidak menjadi tujuan dan tidak pula menjadi ukuran. Yang menjadi tujuan adalah dekat kepada Allah, mendapat ridla-Nya dan yang menjadi ukurannya mengamalkan syariat dengan berhakikat sempurna.

Pengamal tasawuf yang telah memperoleh kesenangan, kemanisan dalam beriman dan beribadat, ketentraman dan ketenangan adalah suatu bukti bahwa dia telah menjalani atau menempuh jalan yang benar dan mengamalkan syariat yang haq.

Dalam buku "Al Munqiz Minadlalal" diuraikan tentang para sufi yang banyak memberikan pendapat atau komentar berkenaan tasawuf dihubungkan dengan syariat, ini disebutkan di dalamnya.

a. Imam Al Ghazali
Al Ghazali mengatakan, "Ketahuilah bahwa banyak orang yang mengaku, dia adalah menempuh jalan (tarikat) kepada Allah, tapi yang sesungguhnya, yang bersungguh-sungguh menempuh jalan itu adalah sedikit. Adapun tanda orang yang menempuh jalan yang sungguh-sungguh dan benar, diukur dari kesungguhannya melaksanakan syariat. Kalaupun ada orang yang mengaku bertasawuf dan bertarikat dan telah menampakkan semacam kekeramatan-kekeramatan, melalaikan atau tidak mengamalkan syariat, ketahuilah bahwa itu adalah tipu muslihat, sebab orang yang bijaksana (orang tasawuf) mengatakan,

Artinya : Jikalau kamu melihat seseorang mampu terbang di angkasa dan mampu berjalan di atas air, tetapi ia melakukan sesuatu yang bertentangan dengan syariat, maka ketahuilah bahwa sebenarnya ia itu adalah setan."

b. Abu Yazid Al Bustami, menyatakan:
Artinya : Andaikata kamu melihat seseorang yang diberi kekeramatan hingga dapat naik ke udara, maka janganlah kamu tertipu dengannya sehingga kamu dapat melihat dan meneliti bagaimana dia melaksanakan perintah dan larangan agama serta memelihara ketentuan-ketentuan hukum agama dan bagaimana dia melaksanakan syariat agama.

c. Sahl at Tasturi
At Tasturi mengungkapkan tentang pokok-pokok tasawuf yang terdiri dari tujuh pokok jalan (tarikat), yaitu berpegang kepada Al Kitab (Al Qur'an), mengikuti Sunnah Rasul, makan dari hasil yang halal, mencegah gangguan yang menyakiti, menjauhkan diri dari maksiat, selalu melazimkan tobat dan menunaikan hak-hak orang lain.

d. Junaid al Baghdadi
Al Junaidi mengomentari orang yang mengaku ahli makrifat tetapi dalam gerak geriknya meninggalkan perbuatan-perbuatan baik dan meninggalkan mendekatkan diri kepada Allah, maka beliau mengatakan "Ketahuilah bahwa dia itu adalah setan". Selanjutnya beliau mengatakan,
Artinya : Ucapan itu adalah ucapan suatu kaum yang mengatakan adanya pengguguran amalan-amalan. Bagiku hal itu merupakan suatu kejahatan yang besar, dan orang yang mencuri atau orang yang berzina adalah lebih baik daripada orang yang berpaham seperti itu.

e. Abul Hasan As Syazili
As Syazili mengatakan,
Artinya : Jika pengungkapanmu bertentangan dengan Al Quran dan Sunnah Rasul, maka hendaklah engkau berpegang kepada Al Qur'an dan Sunnah Rasul itu, sambil engkau mengatakan kepada dirimu sendiri "sesungguhnya Allah SWT telah menjamin diriku dari kekeliruan dalam Al Qur'an dan Sunnah Rasul". Allah tidak menjamin dalam segi pengungkapan, ilham, maupun musyahadah (penyaksian), kecuali setelah menyesuaikan perbandingannya dengan Al Qur'an dan Sunnah Rasul.

Sebagai kesimpulan, semua pengamalan kaum sufi harus mengikuti semua Nash Al Qur'an dan As Sunnah dan meneladani amaliah-amaliah Rasulullah, sebagai panutan tertinggi para sufi.
Sabda Rasulullah SAW,

Artinya : Nabi SAW ditanya tentang suatu kaum yang meninggalkan amalan-amalan agama, sedangkan mereka adalah orang-orang yang berbaik sangka kepada Allah SWT. Maka jawab Nabi SAW, "Mereka telah berdusta. Karena jika mereka berbaik sangka, tentu amal perbuatan mereka juga adalah baik." (Dr. Abdul Halim Mahmoud 1964: 161 - 167).