Jumat, 05 Agustus 2011

Biografi Pangeran Sufi Al-Junaid

Dalam kitab Tadzkiratul Auliya, Syeikh Fariduddin ‘Aththar menjelaskan, bahwa Syeikh Abul Qasim Al-Junayd ibnu Muhammad al-Zujaj (Junayd al-Baghdadi) adalah putera dari seorang pedagang barang pecah belah (kaca) dari Nahawand dan keponakan Sarri as-Saqathi, Ia juga dekat dengan Al-Muhasibi. Beliau lahir dan besar di Irak.

Abul Qasim Al-Junayd merupakan tokoh paling terkemuka dari mazhab Tasawuf, bahkan kelak beliau mendapat gelar sebagai Sayyidush Shufiyah (Pangeran Kaum Sufi).
Ia memerinci sebuah doktrin teosofikal yang menentukan seluruh rangkaian latihan sufisme ortodoks dalam Islam.
Ia menjelaskan teori-teorinya dalam pengajaran-pengajarannya, serta dalam serangkaian suratnya yang hingga kini masih ada, yang ditujukan kepada sejumlah tokoh pada masanya.
Abul Qasim Al-Junayd merupakan pemimpin sebuah mazhab yang besar dan berpengaruh. Beliau juga dikenal sebagai seorang mufti dalam mazhab Abu Tsaur, murid Imam Syafi’i.
Al-Junayd wafat di Baghdad pada hari Sabtu tahun 297H/910M.

Masa Kecil Junayd al-Baghdadi
Sejak kecil, Junayd telah memiliki kedalaman spiritual, telah menjadi seorang pencari Tuhan yang bersungguh-sungguh, sangat disiplin, bijaksana, cepat mengerti dan memiliki intiusi yang tajam.
Suatu hari, ia pulang ke rumah dari sekolah. Ia menemukan ayahnya tengah menangis.
“Ayah, apa yang terjadi?” Tanya Junayd.
“Ayah ingin memberikan sedekah kepada pamanmu, Sarri,” tutur sang ayah. “Namun ia tidak mau menerimanya. Ayah menangis karena ayah telah mencurahkan seluruh hidup ayah untuk dapat menyisihkan uang lima dirham ini, namun ternyata uang ini tidak memenuhi syarat untuk dapat diterima oleh salah seorang sahabat Allah.”
“Berikan uang itu kepadaku dan aku akan memberikannya kepada paman Sarri. Dengan begitu, ia mungkin mau menerimanya,” kata Junayd.
Sang ayah memberikan uang itu kepadanya, lalu Junayd pun pergi. Sesampainya di rumah pamannya, Junayd mengetuk pintu.
“Siapa itu?” terdengar suara dari dalam rumah.
“Junayd,” jawab sang bocah. “Buka pintu dan terimalah tawaran sedekah ini.
“Aku tidak menerimanya,” pekik Sarri.
“Aku mohon, terimalah ini, demi Allah Yang telah begitu dermawan padamu dan telah bagitu adil pada ayahku,” pekik Junayd.
“Junayd, apa maksudmu Allah begitu dermawan kepadaku dan begitu adil kepada ayahmu?” Tanya Sarri.
Junayd manjawab, “Allah begitu dermawan padamu karena Dia menganugerahimu kemiskinan. Sedangkan kepada ayahku, Allah telah begitu adil dengan menyibukkannya dengan urusan-urusan dunia. Engkau memiliki kebebasan untuk menerima atau menolak sekehendak hatimu. Sedangkan ayahku, suka atau tidak, harus menyampaikan sedekah yang dititipkan Allah padanya kepada orang yang berhak.”
Jawaban Junayd ini menyenangkan hati Sarri. “Anakku, sebelum aku menerima sedekah ini, aku telah lebih dulu menerimamu,” ujar Sarri.
Setelah berkata begiru, Sarri membuka pintu dan menerima sedekah itu. Ia menempatkan Junayd di tempat yang istimewa dalam hatinya.
Junayd baru berusia tujuh tahun saat Sarri mengajaknya berhaji. Di Masjidil Haram, masalah syukur tengah dibahas oleh empat ratus syeikh. Masing-masing syeikh mengemukakan pandangannya.
“Utarakanlah pendapatmu,” kata Sarri pada Junayd.
Junayd berkata, “Syukur berarti engkau tidak bermaksiat kepada Allah dengan menggunakan karunia yang telah Dia anugerahkan kepadamu, juga tidak menjadikan karunia-Nya sebagai sumber ketidak-taatan pada-Nya.
“Bagus sekali, benar-benar merupakan pelipur lara bagi para Mukmin sejati,” pekik para syeikh itu.
Keempat ratus syeikh itu sepakat, bahwa tidak ada definisi syukur yang lebih baik daripada apa yang telah dikatakan oleh Junayd.
“Anakku,” ujar Sarri, “segera tiba saatnya, lidahmu menjadi sebuah karunia istimewa dari Allah untukmu.”
Junayd menangis tatkala
mendengan pamannnya berkata begitu.
“Darimana engkau belajar?” tanya Sarri.
“Dari duduk bersamamu,” jawab Junayd.
Junayd lalu kembali ke Baghdad dan menjadi penjual barang pecah belah. Setiap hari ia pergi ke tokonya, menutup tirai toko, lalu mendirikan shalat empat ratus rakaat.
Selang bebenapa lama, Ia akan meninggalkan tokonya dan pergi kesebuah ruangan di serambi rumah Sarri. Disana ia menyibukkan diri dengan penjagaan hati. Ia menghamparkan “sajadah wara’”, sehingga tak ada sesuatu pun yang terlintas di pikiran selain Allah.

Junayd Menunjukkan Bukti
Selama empat puluh tahun, Junayd sibuk menekuni latihan sufi. Selama tiga puluh tahun, ia mendirikan salat malam, lalu berdiri dan mengulang-ulang lafadz ‘Allah’ hingga fajar, kemudian ia mendirikan shalat subuh dengan wudlu yang ia lakukan pada malam sebelumnya.
Ia berkata, “Setelah empat puluh tahun berlalu, kesombongan merasuki diriku; aku merasa telah mencapai tujuanku. Tiba-tiba sebuah suara terdengar dari langit berbicara padaku, “Junayd, telah tiba saatnya bagi-Ku untuk memperlihatkan padamu ikatan korset bagimu.”
Ketika aku mendengar kata-kata ini, aku pun berseru, “Ya Allah, dosa apa yang telah dilakukan oleh Junayd?”
Suara itu menjawab, “Untuk apa engkau tanyakan itu? Apakah engkau ingin mencari-cari dosa yang lebih menyedihkan daripada apa yang engkau perbuat?” Junayd menghela napas panjang dan menundukkan kepalanya.
Ia berbisik, “Ia, yang tidak cukup berharga untuk penyatuan, segala perbuatan baiknya adalah dosa.”
Ia, terus duduk di dalam kamarnya sambil memekik “Allah... Allah...” sepanjang malam.
Lidah-lidah panjang para pemfitnah menyerangnya dan tingkah lakunya dilaporkan kepada Khalifah.
“Ia tidak dapat dihukum tanpa bukti,” kata sang Khalifah.
Mereka (Para pemfitnah menyatakan, “Banyak orang tergoda oleh kata-katanya.”
Sang Khalifah mempunyai seorang budak wanita yang kecantikannya tak ada duanya. Sang Khalifah sangat mencintainya, ia membeli budak wanita itu seharga tiga ribu dinar. Sang Khalifah memerintahkan
agar budak wanita itu didandani dengan pakaian bagus dan perhiasan-perhiasan mahal.
Sang Khalifah memberikan instruksi kepada budak wanita itu, “Pergilah ke suatu tempat. Berdirilah di dekat Junayd dan perlihatkan wajahmu. Biarkan ia melihat perhiasan dan pakaianmu. Katakan padanya, ‘Aku memiliki harta benda yang berlimpah namun hatiku telah lelah dengan urusan-urusan duniawi. Aku datang ke sini untuk memintamu melamarku, agar dengan bimbinganmu aku dapat mengabdikan diriku untuk beribadah pada-Nya. Hatiku tidak menemukan ketenangan kecuali dalam dirimu.’ Pertontonkan dirimu padanya. Perlihatkan kecantikanmu, dan berusahalah sekuat tenaga untuk membujuknya.”
Budak wanita itu pergi menemui Junayd dengan ditemani oleh seorang pelayan. Ia lalu mendekati dan menjalankan apa-apa yang telah diinstruksikan kepadanya. Tanpa sengaja, Junayd memandang budak wanita itu. Junayd tetap diam dan tidak menjawab. Budak wanita itu mengulangi ceritanya. Junayd menundukkan kepalanya, lalu ia mendongak.
“Ah,” serunya sambil menghembuskan napasnya ke arah budak wanita itu. Seketika budak wanita itu jatuh ke tanah dan mati.
Pelayan yang menemaninya kembali menemui Khalifah dan melaporkan apa yang telah terjadi. Jiwa sang Khalifah serasa terbakar dan ia bertobat atas yang telah ia lakukan.
Sang Khalifah berkata, “Ia, yang memperlakukan orang lain tidak sebagaimana mestinya, melihat apa yang harusnya tidak ia lihat.”
Sang Khalifah kemudian bangkit dan memerintah pembantunya untuk memanggil Junayd. “Sungguh seseorang yang tak dapat dipanggil untuk menghadap,” komentarnya.
Khalifah bertanya, “Wahai Syeikh, bagaimana engkau tega membunuh seseorang yang begitu cantik?”
Junayd menjawab, “Wahai Amirul Mukminin, kasih sayangmu kepada orang-orang mukmin begitu besarnya, sampai-sampai engkau ingin meleyapkan empat puluh tahun kedisiplinanku yang ku isi dengan wara’ dan penyangkalan diri. Memangnya siapa aku ini? Janganlah melakukan apa yang engkau tidak sukai bagi dirimu sendiri!”
Setelah peristiwa itu, urusan-urusan Junayd berjalan dengan baik. Kemasyhurannya tersebar keseluruh penjuru dunia. Seberapapun seringnya ia disiksa, reputasinya meningkat seribu kali lipat.
Ia mulai berkhotbah. Suatu kali ia menjelaskan, “Aku tidak berkhotbah di muka umum sampai tiga puluh wali besar mengatakan padaku bahwa aku telah pantas untuk menyeru manusia kepada Allah.”
Ia berkata, “Selama empat puluh tahun aku duduk menjaga hatiku. Kemudian selama sepuluh tahun hatiku menjagaku. Kini telah genap duapuluh tahun dimana aku tidak mengetahui apa pun tentang hatiku dan hatiku pun tidak mengetahui apapun tentang aku.”
Ia melanjutkan, “Selama tiga puluh tahun, Allah berbicara kepada Junayd dengan lidah Junayd, Junayd tidak berada disana sama sekali, namun manusia tidak mengetahuinya.”

Junayd Berkhotbah
Saat lidah Junaid telah mahir mengutarakan kata-kata yang menakjubkan, Sarri as-Saqathi mengatakan kepadanya bahwa telah wajib, baginya untuk berkhotbah dimuka umum.
Awalnya Junaid merasa ragu, tidak ingin melakukan hal itu. “Saat ada sang guru, tak pantas bagi si murid untuk berkhotbah,” kata Junaid mengutarakan keberatannya.
Sampai akhirnya pada suatu malam, Junayd bertemu dengan Nabi Saw. Dalam mimpinya. “Berkhotbahlah,” kata Nabi Saw.
Keesokan paginya pada suatu malam, Junaid pun bangkit dan hendak pergi menemui Sarri untuk menceritakan mimpinya. Namun, ketika hendak keluar, ia menemukan Sarri tengah berdiri didepan pintu.
Sarri berkata, “Sampai saat ini, engkau masih ragu-ragu, menunggu orang-orang lain memintamu untuk berkhotbah. Kini engakau harus bicara (berkhotbah di muka umum), karena kata-katamu telah dijadikan sarana bagi keselamatan seluruh dunia.”
Engkau tidak mau bicara saat para murid membujukmu untuk bicara. Engkau tidak mau bicara saat para syeikh kota Baghdad memintamu untuk bicara. Engkau juga tidak mau bicara kendati aku telah mendesakmu untuk bicara. Sekarang, Nabi Saw. Telah memerintahkanmu untuk bicara, maka engkau harus bicara.”
“Ya Allah, maafkanlah hamba,” tutur Junaid “Paman, bagaimana engkau tahu kalau aku bertemu dengan Nabi Saw dalam mimpiku?”
Sarri menjelaskan, “Aku bertemu dengan Allah dalam mimpiku. Dia berkata, ‘Aku telah mengutus Rasul-Ku untuk meminta Junayd berkhotbah di atas mimbar’.”
“Kalau begitu, aku akan berkhotbah,” kata Junaid kemudian. “Namun dengan satu syarat, yang hadir tidak lebih dari empat puluh orang.”
Suatu hari, Junayd berkhotbah di hadapan empatpuluh orang hadirin. Delapan belas orang di antaranya meninggal dunia dan duapuluh dua orang lainnya jatuh ketanah tak sadarkan diri. Mereka kemudian diangkat dan dibawa pulang ke rumah mereka masing-masing.
Dilain hari, Junayd berkhotbah. Diantara hadirin ada seorang pemuda Kristen, namun tak ada seorang pun yang mengetahui bahwa pemuda itu beragama Nasrani.
Pemuda itu mendekati Junayd dan berkata, “Nabi bersabda, ‘berhati-hatilah terhadap pengetahuan orang yang beriman, kanena ia melihat dengan cahaya Tuhan’.”
Junayd menjawab, “Yang benar adalah engkau harus menjadi seorang Muslim dan memotong korset Nasranimu, kanena ini adalah acara khusus bagi Muslim.”
Seketika itu Pula pemuda tadi menjadi seorang Muslim.
Setelah Junayd berkhotbah beberapa kali, masyarakat menyuarakan penentangannya. Akhinnya Junayd pun berhenti berkhotbah dan kemudian kembali ke kamarnya. Ia didesak untuk terus berkhotbah namun ia menolak.
“Sudah cukup,” katanya. “Aku tidak dapat mengusahakan kehancuranku sendiri.”
Beberapa waktu kemudian, Junayd naik ke mimbar dan mulai berkhotbah tanpa pemberitahuan sebelumnya.
“Kebijaksanaan apa yang terdapat di dalam apa yang engkau perbuat ini?” ia ditanya.
Junayd menjawab, “Aku menemukan sebuah hadist di mana Nabi Saw. bersabda, ‘Pada akhir zaman, yang menjadi juru bicara suatu masyarakat adalah orang yang terburuk di antara mereka. Ia akan berkata pada mereka, Aku tahu bahwa aku adalah orang yang terburuk di antara kalian. Aku berkhotbah karena apa yang telah disabdakan oleh Nabi Saw. Dengan begitu, aku tidak menentang kata-kata beliau.”
Al-Jurairy mengabarkan, “Aku baru saja pulang dan Mekkah, dan hal pertama yang kulakukan adalah mengunjungi al-Junayd agar tidak mengangan-angan diriku. Aku Ialu memberi salam kepadanya dan pulang ke rumah. Keesokan harinya ketika aku shalat subuh di masjid, aku melihatnya berdiri pada shaf di belakangku. Aku berkata, ‘Aku mendatangimu kemarin hanya supaya engkau tidak mengharap harap diriku.’ Ia menjawab, ‘Itulah keutamaanmu. Dan itulah hakmu’.”

Lailatul Qadar

Allah menurunkan Wahyu, Mukjizat Agung, Kitab Sucinya, di malam terang benderang, yang bertabur Cahaya, dari pendaran yang Maha Cahaya, lebih dahsyat dari seribu bulan Cahaya.

Syeikh Abdul Qadir al-Jilany memaparkan, "Para malaikat pada turun dan (begitu juga) ar-Ruh (Jibril) di dalam malam itu. " Jibril turun disertai dengan 70 ribu malaikat, dan ia bertindak sebagai pemimpinnya. Jibril terus menerus memberi salam kepada mereka yang sedang duduk (beribadah), sementara seluruh malaikat yang lain memberi salah kepada mereka yang sedang tidur. Allah sendiri yang terus memberi salam kepada mereka yang bangkit berdiri menuju kepadaNya. Sebagaimana Salam Allah kepada hamba-hamba-Nya yang beriman yang menjadi ahli surga di surga, dengan firman-Nya:
Salaamun Qaulan min Rabbir Rahiim (Salam yang terucap dari Tuhan Yang Maha Pengasih). Maka, berkenan pula Allah memberikan salam kepada para hamba-Nya yang senantiasa berbuat kebajikan di dunia, mendapatkan anugerah kebaikan luhur dan kebahagiaan di zaman 'azali. Yaitu para hamba-Nya yang senantiasa fana' atau sirna dari segala makhluk, dan abadi bersama Tuhannya, senantiasa tenteram menuju kepada Allah Ta'ala Yang Maha Benar.

Pada malam Lailatul Qadar itu, tak ada yang tersisa dari suatu tempat melainkan ada malaikat yang sedang sujud di sana, atau berdiri mendoakan hamba-Nya yang mukmin dan mukminat. Kecuali tempat-tempat seperti gereja, biara, tempat ibadah majusi dan tempat-tempat berhala, atau sebagian tempat yang menjadi pembuangan kotoran maksiat. Di tempat-tempat itu malaikat tidak mati bersujud dan berdoa.

Malaikat-malaikat itu senantiasa mendoakan kaum mukminin dan mukminat. Sedangkan Jibril as, sama sekali tidak mendoakan kaum mukminin dan mukminat, melainkan hanya menyalami dan bersalaman kepada mereka.
Jika Anda sekalian sedang dalam keadaan beribadah, maka Jibril menyalami, "Salam kepadamu, semoga diterima dan mendapatkan kebaikan." Jika anda ditemui sedang dalam keadaan bermaksiat, Jibril menyalami, "Salam bagimu, semoga engkau mendapatkan ampunan." Jika anda ditemui dalam keadaan tidur, Jibril menyalami, "Salam bagimu, semoga engkau mendapatkan ridla- Nya." Jika Anda sudah dalam kuburan (mati) Jibril menyalami, "Salam bagimu dengan ruh dan aroma keharuman."
Itulah yang difirmankan Allah, "minKulliAmrinSalaam" (dalam segala hal, ada Salam.)

Ada yang menyebutkan, bahwa para malaikat itu hanya menyalami mereka yang taat, sementara tidak pada mereka yang sedang bermaksiat. Di antara ahli maksiat itu adalah mereka yang berbuat kedhaliman, mereka yang memakan makanan haram, mereka yang memutus tali sillaturrahim, mereka yang mengadu domba, mereka yang memakan harta anak yatim, mereka itu tidak mendapatkan salam dari para malaikat. Lalu manakah bencana yang lebih besar dibanding bencana seperti itu?

Padahal bulan Ramadlan diawali oleh rahmat, ditengahi oleh ampunan dan diakhiri dengan kebebasan dari neraka. Sementara Anda tidak memiliki bagian dari salam para malaikat itu? Bukankah itu semua gara-gara Anda jauh dari Yang Maha Pengasih? dan Anda juga tergolong para
penentang Allah dan mensakralisasi tindakan syetan? Anda berhias dengan riasan penempuh jalan neraka? Begitu pula karena Anda jauh dan mengabaikan dari para penempuh jalan surga? Anda juga hijab dari Tuhan yang memiliki kekuasaan atas bahaya dan kebajikan? Padahal bulan Ramadlan adalah bulan kejernihan, bulan keselarasan bersama Allah, bulan para pendzikir-Nya, bulan orang-orang sabar dan bulan para shadiqin. Lantas apabila tidak ada bekas dalam hati Anda, dan Anda tidak mencabut akar kemaksiatan dalam hati Anda, menjauhi para pelaku kejahatan dan kemungkaran, lalu pengaruh apa yang bisa membekas dalam hati Anda itu? Apa yang Anda harapkan dari selain kebajikan? Apa yang masih anda sisakan dalam jiwa Anda? Kebahagiaan manakah yang bisa Anda raih di sana?

Ingatlah wahai orang yang sangat kasihan, terhadap apa yang menempel pada diri Anda. Bangkitlah dari kelelapan yang meninabobokan Anda, membuat Anda alpa. Lihatlah pada yang memberi petunjuk pada Anda, sisa-sisa bulan Anda, dengan tindakan taubat dan kembali. Nikmatilah bulan ini dengan istigfar dan kepatuhan, agar Anda meraih rahmat dan kasih sayang Allah. Anda harus membatu dengan segala hal yang mengarah pada sikap negatif Menangislah pada diri sendiri atas dorongan yang menyeret Anda pada cacat-cacat jiwa, kebinasaan dan tragedi. Betapa banyak orang berpuasa, namun hakikatnya tidak pernah berpuasa selamanya. Banyak orang yang berdiri tegak untuk ibadah, hakikatnya tak pemah ibadah selamanya. Betapa banyak orang beramal, namun tanpa pahala ketika amal itu usai dilakukan. Amboi, apakah puasa kita diterima, ibadah kita diterima, atau sebaliknya semua itu ditolak dan dilemparkan ke wajah kita sendiri? Amboi, betapa kita telah menolak ibadah yang seharusnya diterima, dan menghormati ibadah yang seharusnya ditolak?
Sebagaimana sabda Rasulullah SAW,

"Betapa banyak orang berpuasa, namun tak lebih dari lapar dan dahaga. Betapa banyak orang yang tegak beribadah, melainkan hanya kelelahan belaka.."

Salam kepadamu wahai bulan puasa.
Salam kepadamu wahai bulan kebangkitan. Salam kepadamu wahai bulan iman.
Salam kepadamu wahai bulan al-Qur 'an.
Salam kepadamu wahai bulan cahaya-cahaya Salam kepadamu wahai bulan maghfirah dan ampunan.
Salam kepadamu wahai bulan derajat dan keselamatan dari keburukan.
Salam kepadamu wahai bulan orang-orang yang bertobat, beribadat.
Salam kepadamu wahai orang-orang ma 'rifat Salam kepadamu wahai bulan orang yang tekun beribadat.
Salam kepadamu wahai bulan yang aman Engkau telah menahan orang-orang maksiat Engkau telah bermesraan dengan ahli taqwa Salam kepada bilik dan cahaya-cahaya yang cemerlang dan mata yang terjaga air mata yang melimpah mihrab yang terang benderang ungkapan yang suci nafas-nafas yang membubung dari kalbu-kalbu yang bergelora.
Tuhan,jadikanlah kami tergolong mereka yang Engkau terima puasanya, shalatnya, dan Engkau ganti keburukan dengan kebajikannya, dan Engkau masukkan dengan rahmat-Mu dalam surga-Mu, dan Engkau tinggikan derajat mereka, wahai Yang Maha Pengasih dan Penyayang.
-M. Luqman Hakiem-

Wara' & Tawadhu

Syeikh Abul Hasan Asy-Asyadzily


Thariqat  ini bukanlah jalan kependetaan, tidak makan gandum  dan kurma  atau  makanan  yang direbus. Tetapi  thariqat  ini  adalah kesabaran, keyakinan dan hidayah. Allah Swt. berfirman:
“Kami  jadikan mereka para pemimpin yang memberi petunjuk  dengan perintah  Kami, ketika mereka bersabar, dan mereka  yakin  dengan ayat-ayat  Kami.  Sesungguhnya Tuhanmu  adalah  yang  memisahkan antara mereka di hari kiamat atas apa yang mereka perselisihkan.”
Inilah benteng yang mulia, bagi seorang yang mulia yang  memiliki lima karakter: kesabaran, ketaqwaan, wara’, yakin dan ma’rifat.
Sabar ketika disakiti; takwa ketika tidak disakiti, wara’ terhadap  apa  yang keluar dan masuk dari sini  (mulutnya),  sementara dalam  hati tidak bergejolak kecuali gejolak cinta  kepada  Allah dan Rasul-Nya; yakin dalam rizki dan ma’rifat terhadap Allah Swt, dimana  ma’rifat  itu tak akan  menggelicirkan makhluk  manapun.
“Bersabarlah karena akibat baik itu bagi orang-orang yang bertaqwa. Dan janganlah kamu gelisah atas (tindakan) mereka, dan jangan pula kamu  merasa sumpek atas cobaan Allah, sesungguhnya  Allah bersama-sama orang-orang  yang  bertaqwa  dan  orang-orang  yang berbuat baik.”
Wara’ adalah adalah jalan terbaik bagi mereka yang ingin  memetik warisannya  dan menginginkan pahalanya. Wara’ bagi mereka  terlah berpangkal  kepada  upaya  meraih dari Allah  dan  kepada  Allah, berucap bersama Allah dan beramal bagi dan demi Allah, atas  dasar kejelasan  bukti dan ketajaman mata hati yang baik. Mereka  pada seluruh waktunya dan seluruh kondisi ruhaninya tidak ikut  campur, mengatur dan memilih, mereka tidak berkehendak dan tidak  berfikir, tidak melihat dan tidak berbicara, tidak memukul, tidak berjalan dan tidak bergerak kecuali bersama Allah dan bagi Allah. 
Hanya  saja  mereka tidak tahu, ilmu telah mengusir  mereka  dari persoalan  yang  sebenarnya.  Mereka  berkumpul dalam  integrasi nyata, dimana mereka tidak membeda-bedakan mana yang lebih tinggi, lebih rendah dan lebih rendah lagi.”

Tawadhu’
Sebutlah sebagai suatu  “kebahagiaan” pada seseorang yang mengenal  Allah dan bertawadhu’ kepada Ahlullah, walaupun ia tidak mampu melakukan sebagaimana yang dilakukan Ahlullah. Dan sebutlah sebagai “bencana”, pada orang yang mengingkari Allah dan bertakabur pada Ahlullah, walaupun ia melakukan sebagaimana tindakan Ahlullah.
Aku  pernah pergi menuju taman dengan para muridku di kota  Tunisia.  Kemudian aku kembali ke kota itu dengan  menaiki  kendaraan himar. ketika kami mendekati kota, mereka turun dan mereka merasa lesu. Mereka katakan, “Tuanku, turun saja di sini.” Aku bertanya, “Mengapa?” Mereka menjawab, “Inilah kota, kami malu memasuki kota ini hanya dengan naik himar.” Lalu kujejakkan kaki, dengan maksud mengikuti  saja apa kehendak mereka. Tiba-tiba muncul suara  pada diriku. “Sesungguhnya  Allah tidak menyiksa orang  yang  mencari keringanan yang  disertai tawadhu’. Tetapi Allah  menyiksa  pada orang yang mencari keringanan yang disertai kesombongan.”

Orang Yang Memilih Sama' Bait-Bait Syair

Syeikh Abu Nashr As-Sarraj
Syekh Abu Nashr as-Sarraj —rahimahullah— berkata:
Adapun tingkatan mereka yang memilih sama’ (mendengar) bait- bait syair, maka argumentasi mereka secara lahiriah adalah sabda Rasulullah Saw, “Sungguh di antara bait-bait syair terdapat hikmah.” (H.r. Bukhari-Muslim), dan sabda Nabi pula, “Hikmah adalah barang orang mukmin yang hilang.”
Kelompok ini mengatakan, bahwa al-Qur’an adalah Kalam Allah, sedangkan Kalam-Nya adalah juga Sifat-Nya. Sehingga hal itu adalah al-Haq, ketika Ia tampak maka manusia tidak mampu menguasai-Nya, karena Ia bukan makhluk yang bisa dijangkau oleh sifat-sifat makhluk. Dengan demikian, tidak dimungkinkan bagian yang satu bisa lebih baik daripada yang lain, dan tidak bisa diperindah dengan senandung atau lagu-lagu ciptaan makhluk, tapi justru sebaliknya, al-Qur’anlah yang memperindah segala sesuatu dan Ia adalah sesuatu yang terbaik serta dengan keindahannya, segala keindahan bisa dianggap baik. Allah Swt. berfirman:

“Dan sesungguhnya telah Kami mudahkan a!-Qur’an untuk pelajaran, maka adakah orang yang mengambil pelajaran?” (Q.s. al-Qamar: 22).

Dan juga firman-Nya, “Kalau sekiranya Kami menurunkan Qur’an ini kepada gunung, pasti kamu akan melihatnya tunduk terpecah belah disebabkan takut kepada Allah. Dan perurnpamaan-perumpamaan itu Kami buat untuk manusia supaya mereka berpikir.” (Q.s. al-Hasyr: 21).

Maka demikian pula jika Allah menurunkannya ke dalam hati disertai dengan hakikat-hakikatnya, lalu hati tersebut disingkapkan bagian paling kecil dan keagungan dan rasa takut karena hormat ketika ia sedang membacanya, tentu hati akan gemetar dan tersungkur.
Ketika mereka memperhatikan hal-hal yang biasa berlaku di kalangan umat manusia, bahwa ada seorang yang mengkhatamkan al-Qur’an berkali-kali tapi ketika membacanya juga tidak menemukan kelembutan dalam hatinya, maka ketika membacanya disertai dengan suara yang merdu atau dengan lagu yang indah tentu akan mendapatkan kelembutan di hati dan merasakan nikmat ketika mendengarnya. Kemudian jika suara yang merdu dan lagu yang indah itu diterapkan pada selain al-Qur’an, mereka juga akan memperoleh kelembutan, kenikmatan dan ketenangan, maka mereka tahu, bahwa kelembutan, ketenangan, kenikmatan dan perasaaan cinta yang mendalam itu bermuara dari al-Qur’an. Sehingga orang-orang yang selalu membacanya akan senantiasa mendapatkan hal-hal yang demikian.
Sementara itu lagu-lagu yang indah akan sesuai dengan tabiat manusia, dan sinkronisasinya adalah pada kesenangan, bukan sinkronisasi pada kebenaran. Sedangkan al-Qur’an adalah Kalam Allah Swt. yang sinkronisasinya pada kebenaran, dan bukan pada kesenangan. Sementara bait-bait syair dari kasidah-kasidah sinkronisasinya juga pada kesenangan, bukan pada kebenaran (al-haq). Sedangkan ritual sama’ ini, sekalipun para pelakunya berbeda-beda dalam tingkat dan kekhususan masing-masing, tapi di dalamnya terdapat kecocokan terhadap watak manusia, kesenangan bagi jiwa dan kenikmatan bagi ruh, karena memiliki format dan kemasan yang sesuai dengan kelembutan yang terdapat dalam suara yang merdu dan lagu-lagu yang indah. Demikian pula bait- bait syair, di dalamnya juga tersimpan makna yang sangat tinggi, kelembutan, kefasihan dan isyarat-isyarat. Dan apabila suara-suara yang merdu dan lagu-lagu yang indah diterapkan dalam bait-bait syair, maka bagian yang satu akan membentuk keserasian dengan yang lain, dan menjadikannya lebih dekat pada kesenangan, lebih meringankan beban hati serta mengurangi bahaya yang diakibatkan persamaan antara makhluk yang satu dengan yang lain.
Maka orang yang lebih memilih mendengarkan (sama’) kasidah-kasidah daripada al-Qur’an adalah karena ia menghormati kesucian al-Qur’an dan keagungan derajatnya, sebab al-Qur’an adalah kebenaran (haq). Sementara jiwa akan bersembunyi ketika mendengar suara yang merdu dan gerakannya akan mati, bahkan akan fana dari kesenangan dan kenikmatannya ketika diawasi oleh Cahaya-cahaya kebenaran dan menampakkan makna-maknanya.
Lebih lanjut mereka memberikan alasan dengan mengatakan, “Selama sifat-sifat manusiawi masih tetap ada, sementara kita dalam menikmati keindahan lagu-lagu yang mendayu dan suara-suara yang indah itu tetap dengan sifat-sifat manusiawi, kesenangan dan ruh kita, maka kebahagiaan kita dengan tetap menyaksikan kesenangan-kesenangan yang tertuju pada kasidah-kasidah tersebut lebih baik daripada kebahagiaan kita terhadap Kalam Allah Azza wajalla dengan cara yang sama. Sementara itu Kalam Allah adalah juga Sifat-Nya, dimana Kalam itu bersumber dari-Nya dan juga kembali kepada-Nya.”
Sementara itu ada kelompok ulama yang tidak suka membaca al-Qur’an dengan bersenandung. Sehingga mereka melarang untuk melagukan bacaan-bacaan al-Qur’an. Allah Swt. berfirman, “Dan bacalah al-Qur ‘an itu dengan perlahan-lahan (tartil).” (Q.s. al-Muzzammil: 4).

Sesungguhnya hal itu dilakukan oleh orang, sebab watak manusia tidak suka membaca dan mendengar bacaan al-Qur’an, sebab al-Qur’an adalah kebenaran (haq). Kemudian mereka menghiasi bacaan al-Qur’an dengan suara-suara indah yang sengaja diciptakan supaya dapat menarik watak manusia secara umum untuk mendengar bacaan al-Qur’an. Kalau sekiranya mereka memiliki hati yang khusyu’, waktu yang selalu dipenuhi dengan ibadah, hati yang suci, jiwa yang terdidik dan tabiat kemanusiaan yang tersembunyi, maka mereka tidak lagi membutuhkan pembaca al-Qur’an dengan bersenandung

Mengingat Mati & Hakikat Mati

Al-Ghazali
Kesembilan maqam ruhani yang telah kami sebutkan terdahulu bukanlah satu kategori yang berdiri sendiri-sendiri. Justru sebagian diantaranya menunjukkan esensi maqam lainnya, seperti prinsip atau maqam cinta (mahabbah) dan prinsip atau maqam ridha (rela terhadap ketetapan Allah); keduanya merupakan maqam tertinggi. Di antara maqam tersebut saling berkait dengan maqam lainnya, seperti maqam tobat dan zuhud; maqam takut (khauf) dan sabar. Sebab, tobat itu merupakan tindakan kembali dari jalan yang menjauhkan (diri dari Allah) menuju jalan yang mendekatkan diri kepada-Nya. Sedangkan zuhud merupakan tindakan meninggalkan ragam kesibukan yang menghalangi pendekatan diri kepada-Nya; rasa takut (al-khauf) merupakan cambuk yang menggiring perilaku untuk meninggalkan kesibukan-kesibukan tersebut. Sabar adalah perjuangan ruhani melawan ragam nafsu yang menghalangi jalan pendekatan diri kepada-Nya.
Jadi, masing-masing maqam tersebut tidak berdiri sendiri, akan tetapi saling berkaitan antara satu dengan yang lainnya, melalui ma’rifat dan mahabbah, yang berdiri sendiri. Hanya saja, ma’rifat dan mahabbah tidak dapat berwujud sempurna, kecuali dengan cara menafikan rasa cinta kepada selain Allah dalam kalbu. Untuk kepentingan tersebut memerlukan al-khauf, sabar dan zuhud. Di antara hal yang besar manfaat dan fungsinya dalam hal ini adalah mengingat akan mati. Inilah pembahasan yang kami maksudkan.
Syariat memberikan imbalan pahala yang besar terhadap orang yang suka mengingat mati. Sebab dengan mengingat mati, akan menyulitkan dirinya dalam mencintai dunia, selain memutus hubungan hati dengan dunia itu sendiri.
Allah Swt. berfirman:
“Katakanlah, ‘Sesungguhnya kematian yang kamu Iari dari padanya, maka sesungguhnya kematian itu akan menemui kamu.” (Q.s. Al-Jumu’ah: 8).

Rasulullah Saw. bersabda:
“Perbanyaklah mengingat penghancur kelezatan-kelezatan!” (Al-Hadis).

Beliau juga bersabda, “Barangsiapa tidak menyukai pertemuan dengan Allah, Allah pun tidak suka bertemu dengannya.”

Aisyah r.a. bertanya kepada Rasulullah Saw, “Wahai Rasulullah, adakah seseorang yang dikumpulkan bersama para syuhada’ (orang yang mati syahid)?” tanya Aisyah r.a.
“Benar,” jawab Rasulullah, “yaitu, orang yang mengingat mati duapuluh kali dalam sehari semalam.”

Rasulullah Saw. melintasi sebuah majelis yang penuh dengan gelak tawa, lalu beliau bersabda, “Campurilah majelis kalian dengan pengaruh kelezatan-kelezatan!”
“Apakah itu?” di antara mereka mengajukan pertanyaan.
“Maut,“ jawab beliau singkat.

Rasulullah Saw. bersabda, “Andaikata binatang-binatang itu tahu akan kematian sebagaimana manusia (mengetahuinya), tentu kalian tidak akan makan daging yang gemuk darinya.”
Sabda beliau pula, “Cukup maut sebagai pemberi peringatan.”
Sabdanya:
“Aku tinggalkan dua pemberi peringatan di tengah-tengah kalian, yang diam dan dapat berbicara. Yang diam adalah maut, sedangkan yang berbicara adalah Al-Qur’an.” (Al-Hadis).

Ada seorang laki-laki yang disebut-sebut di sisi Rasulullah Saw, orang itu selalu dipuji dengan baik. Lalu Rasulullah Saw bertanya, “Bagaimana teman kalian itu men yebut mati?”
“Kami hampir tidak pernah mendengar dia mengingat mati,” jawab mereka.
“(Jika demikian), maka sesungguhnya teman kalian itu bukanlah di situ,” jawab beliau.

Seorang sahabat dan kaum Anshar bertanya, “Wahai Rasulullah, siapakah manusia yang paling cerdas dan mulia?” tanya seorang laki-laki dan (kaurn) Anshar.
“Yang paling banyak mengingat mati di antara mereka, dan yang paling banyak (tekun) mempersiapkan diri menghadapi kematian. Mereka itulah orang-orang yang paling cerdas, mereka pergi dengan kelegaan dunia dan kemuliaan akhirat,” sabda beliau.

Manfaat Ingat Kematian
Mati merupakan persoalan besar, sekaligus masalah yang luar biasa. Tiada sesuatu pun yang luar biasa melebihi kematian ini. Mengingat mati besar manfaatnya. Kematian dapat mempersempit kehidupan dunia dan menjadikan hati benci pada dunia.
Membenci duniawi merupakan pangkal segala kebaikan, sebagaimana cinta dunia merupakan pangkal dari segala kesalahan.
Bagi orang ‘arif (ahli ma’rifat) mengingat Allah itu memiliki dua fungsi dan kegunaan: Pertama, benci pada dunia, dan kedua, rindu akhirat.
Orang yang mencintai —tidak mustahil— pasti merasakan rindu. Rindu pada hal-hal yang bisa diraba, pengertiannya adalah, penyempurnaan fantasi untuk mencapai pada penyaksian langsung.
Rasa rindu kepada-Nya pasti bisa dicapai melalui fantasi, tanpa penglihatan dengan mata.
Hal-ihwal akhirat dan kenikmatannya berikut keindahan hadirat ketuhanan, bagi orang ‘arif diketahui dalam bentuk seakan-akan dia melihat dari balik tirai tipis pada waktu mendung dan cahaya remang. Dia merindukan kesempunaan itu melalui tajalli dan musyahadah. Dia tahu bahwa hal tersebut tidak akan terjadi, kecuali dengan maut; karenanya dia tidak benci mati, sebab dia tidak membenci pertemuan dengan Allah Swt, bahkan dia menyukai pertemuan dengan-Nya.
Orientasi duniawi muncul disebabkan oleh kurangnya mengingat mati. Cara untuk bertafakur pada kematian ialah, hendaklah seseorang mengosongkan pikiran dan ingatannya selain kematian. Lalu duduk berkhalwat dan mengendalikan ingatan tentang mati dengan lubuk kalbunya. Mula-mula ia mengingat tentang sahabat-sahabatnya yang telah lalu (meninggal dunia), mengingat mereka satu persatu, lalu mengingat sifat rakus, ambisi, angan-angan dan kecintaan mereka terhadap kedudukan dan harta. Kemudian mengingat pergulatan mereka menjelang direnggut maut dan penyesalannya menyia-nyiakan waktu dan umur.
Selanjutnya bertafakur tentang tubuh-tubuh mereka: Bagaimana tubuh-tubuh tersebut terobek-robek dalam tanah dan menjadi bangkai yang dimakan ulat. Lalu, mengembalikan kepada dirinya, bahwa dirinya seperti salah seorang di antara mereka: Angan-angannya seperti angan-angan mereka dan pergulatannya (nanti menjelang kematian) seperti pergulatan mereka. Kemudian perhatiannya dialihkan pada anggota-anggota tubuhnya, bagaimana nanti ia menjadi remuk; selanjutnya dialihkan pada biji matanya, ketika nanti ia dimakan ulat; pada lidahnya ketika lidah itu menjadi usang kemudian menjadi bangkai di dalam mulutnya.
Apabila Anda melakukan hal itu, maka bagi Anda dunia atau harta-benda itu kecil dan hina, dan Anda menjadi bahagia. Sebab, orang yang bahagia itu adalah orang yang dapat mengambil pelajaran dari orang lain. Karena itulah Rasulullah Saw bersabda:
“Hai manusia, seakan-akan maut itu telah ditetapkan kepada selain kita, seakan-akan kebenaran itu telah diwajibkan kepada selain kita, dan seakan-akan orang-orang mati yang kita antarkan baru saja pergi, mereka kembali kepada kita, kita tempatkan mereka di makam-makamnya dan kita makan harta-harta peninggalan (warisan)nya, seakan-akan kita (hidup) kekal setelah mereka. Kita melupakan setiap peringatan dan aman (terbebas) dari bencana.” (Al-Ha dis).
Lamunan Panjang
Lamunan panjang merupakan akar dari kelalaian mengingat mati. Lamunan itu merupakan kebodohan yang sebenarnya. Karena itulah Rasulullah Saw. bersabda kepada Abdullah bin Umar r.a.:
“Jika masuk waktu pagi, jangan kamu bicarai dirimu tentang sore har. Bila masuk waktu sore, jangan kamu bicarai dirimu tentang pagi. Ambil (kesempatan) dari hidupmu untuk matimu, dari sehatmu untuk sakitmu, sebab kamu hai Abdullah, tidak tahu apa namamu esok hari.” (Al-Hadis).

Rasulullah Saw juga bersabda, “Ada dua kebiasaan (perangai) yang paling aku takutkan pada ummatku, yaitu: menuruti hawa nafsu dan lamunan panjang.”

Usamah membeli budak wanita sampai dua bulan dengan harga seratus, lalu Rasulullah Saw. berkata:
“Apakah kalian tidak merasa heran kepada Usamah, orang yang membeli (budak wanita) sampai dua bulan? Sungguh Usamah itu panjang lamunannya. Demi jiwaku yang ada pada kekuasaan-Nya, aku tidak akan mengejapkan kedua mataku, kecuali aku telah mengira bahwa tempat tumbuhnya bulu pelupuk mata tidak dapat mengatup hingga Allah mencabut ruhku. Aku tidak akan mengangkat kedua mataku, sedangkan aku mengira bahwa dirikulah sebenarnya yang menaruhnya hingga aku dimatikan, dan aku tidak akan menelan sesuap (makanan), kecuali aku mengira bahwa aku tidak akan memasukkannya ke tenggorokan hingga aku tersekat dengannya karena menjelang kematian.”

Kemudian beliau bersabda, “Hai anak Adam, jika kalian berakal, maka hendaklah kalian perhitungkan diri kalian dengan kematian. Demi jiwaku yang ada pada kekuasaan-Nya, sesungguhnya apa yang dijanjikan kepada kalian pasti tiba, dan kalian bukan tidak mampu.”

Rasulullah Saw. bersabda, “Generasi pertama dan ummat ini selamat dengan keyakinan dan kezuhudan, dan akhir ummat ini menjadi binasa karena sifat kikir dan panjang angan-angan.”
Dan Rasulullah Saw. bersabda, “Apakah kalian semua ingin masuk surga?”
“Benar,” jawab mereka.
“Pendekkanlah angan-angan kalian, jadikan ajal kalian ada di hadapan mata kalian, dan malulah kepada Allah dengan sebenar-benarnya,” sabda beliau.

Kematian Dimata Orang Arif
Orang ‘arif yang paripurna tidak putus-putus menyebut dan mengingat Allah, tidak lagi mengingat mati, bahkan dia itu fana’ dalam tauhid. Dia tidak pernah menoleh ke masa lalu dan masa depan, tidak pula keadaan dari sisi bahwa itu sekadar keadaan. Dia adalah anak waktunya, patuh kepada sang waktu. Maksudnya, dia seperti orang yang menyatu dengan yang diingat atau disebutkannya. Kami tidak menyatakan bahwa dia menyatu dengan Dzat Allah Swt. Hal ini jangan Anda rasionalisasikan, nanti Anda tergelincir dan salah, kemudian buruk sangka.
Orang ‘arif tidak lagi merasakan rasa takut/cemas (khauf) dan rasa berharap (raja’), karena khauf dan raja’ itu adalah cambuk yang menggiring seorang hamba kepada suatu kondisi yang penuh dengan rasa. Lalu bagaimana ia akan mengingat mati, padahal tujuan mengingat mati itu adalah agar hubungan ikatan kalbunya dengan apa yang bisa ditinggalkan setelah kematian itu terputus. Sedangkan seorang ‘arif telah mengalami mati, dalam kaitannya dengan hak dunia dan apa saja yang akan ia tinggalkan dengan terjadinya kematian itu. Dia juga bebas dari orientasi kepada akhirat, apalagi pada dunia. Selain Allah Swt, baginya rendah dan hina. Maut baginya merupakan penyingkapan tirai agar tambah jelas dan yakin. Inilah makna ucapan Sayyidina Ali r.a, “Jika tirai itu telah dibuka, maka belum bisa menambah keyakinan bagiku.”
Orang yang melihat orang lain dari balik tirai, keyakinannya belum bertambah dengan tersingkapnya tirai, hanya saja, bertambah jelas.
Maka mengingat mati itu dibutuhkan oleh orang yang kalbunya masih menoleh pada dunia, agar dia tahu bahwa dia akan berpisah dan meninggalkannya, sehingga dia tidak selalu cinta dunia. Karena itulah, Rasulullah Saw. bersabda: “Sesungguhnya Ruhul Quds (Jibril) membisik dalam hatiku, ‘Cintailah apa yang kamu cintai, sesungguhnya kamu akan berpisah dan meninggalkannya. Puaskanlah hidupmu, sebab sesungguhnya kamu itu adalah mayit. Dan beramallah sesukamu, karena sesungguhnya kamu mendapat imbalan dengannya’.”

Hakikat Dan Esensi Mati

Barangkali Anda ingin tahu hal-ihwal dan hakikat mati. Anda tidak akan pernah mengetahui hal itu sebelum Anda tahu tentang hakikat hidup. Anda tidak akan pernah mengetahui hakikat hidup sebelum Anda tahu tentang ruh; itu adalah diri Anda, esensi dan jatidiri Anda. Ruh adalah hal yang tersembunyi dalam diri Anda. Anda jangan terlalu giat untuk mengenal Tuhan sebelum Anda kenal diri Anda. Maksud kami dengan diri Anda adalah ruh Anda, sesuatu yang dinisbatkan kepada Allah Swt. dalam firman-Nya yang berbunyi, “Katakanlah, ‘Ruh itu termasuk urusan Tuhanku’.” (Q.s. Al-Isra’: 85).
Dan dalam firman-Nya yang berbunyi, “Dan telah meniupkan ke dalamnya ruh (ciptaan)-Ku.” (Q.s. Al-Hijr: 29).

Dimaksud ayat tersebut bukan ruh jasad yang halus, yang merupakan pembawa energi indera dan gerak, yang bersumber dari hati dan menyebar ke seluruh tubuh; menyebar ke seluruh rongga urat-urat yang berdenyut. Dari Situ mengalir cahaya indera penglihatan pada mata, cahaya indera pendengaran pada telinga, dan pada seluruh kekuatan dan indera-indera lainnya; sebagaimana cahaya pelita mengalir ke seluruh sisi rumah. Ruh Ini sama dengan ruh binatang, ia bisa menjadi binasa dengan maut, sebab itu adalah uap yang kematangannya terus stabil ketika minyaknya masih stabil. Bila minyak itu telah labil, ia jadi rusak sebagaimana cahaya yang mengalir dari pelita itu punah ketika pelita itu padam, karena minyaknya telah habis, atau karena dipadamkan.
Ruh semacam ini menjadi binasa (rusak) dengan terputusnya makanan (bagi manusia atau binatang), karena makanan bagi ruh tersebut minyak bagi pelita. Pembunuhan terhadapnya seperti tiupan pada pelita. Ruh semacam ini, kesehatan dan stabilitasnya menjadi garapan ilmu kedokteran. Ruh ini tidak memikul ma’rifat dan amanat.

Puasa Sufi Imam Al Ghazali

Sesungguhnya ada tiga tingkatan puasa: biasa, khusus dan sangat khusus.
Puasa biasa, maksudnya adalah menahan diri terhadap makan, minum dan hubungan biologis antara suami istri dalam jangka waktu tertentu.
Puasa khusus, maksudnya adalah menjaga telinga, mata, lidah, tangan serta kaki dan juga anggota badan lainnya dari berbuat dosa.


Sedang puasa yang sangat khusus, maksudnya adalah puasa hati dengan mencegahnya dari memikirkan perkara perkara yang hina dan duniawi, yang ada hanyalah mengingat Allah swt. dan akhirat. Jenis puasa demikian dianggap batal bila sampai mengingat perkara perkara duniawi selain Allah dan tidak untuk akhirat. Puasa yang dilakukan dengan mengingat perkara perkara duniawi adalah batal, kecuali mendorong ke arah pemahaman agama, karena ini merupakan tanda ingat pada akhirat, dan tidak termasuk pada yang bersifat duniawi. 

Mereka yang masuk ke dalam tingkatan puasa sangat khusus akan merasa berdosa bila hari-harinya hanya terisi dengan hal hal yang dapat membatalkan puasa. Rasa berdosa ini bermula dari rasa takyakin terhadap karunia sertajanji Allah swt. untuk mencukupkan (dengan) rezeki Nya.
Untuk tingkatan ketiga ini adalah milik atau hanya dapat dicapai oleh para Rasul, para wali Allah dan mereka yang selalu berupaya mendekatkan diri kepada Nya. Tidaklah cukup dilukiskan dengan kata-kata, karena hal tersebut telah menjadi nyata dalam tindakan (aksi). Tujuan mereka hanyalah semata mata mengabdi (berdedikasi) kepada Allah swt, mengabaikan segala sesuatu selain Dia. Terkait dengan makna firman Allah swt, "Katakanlah, Allah! Kemudian biarkanlah mereka bermain main dalam kesesatannya.” (Q s. 6: 91).

Syarat-syarat Batin
Puasa khusus adalah jenis ibadah yang diamalkan sebagaimana oleh orang orang saleh. Puasa ini bermakna menjaga seluruh organ tubuh manusia agar tidak melakukan dosa dan harus pula memenuhi keenam syaratnya:

1. Tidak Melihat Apa yang Dibenci Allah Swt.
Suatu hal yang suci, menahan diri dari melihat sesuatu yang dicela (makruh), atau yang dapat membimbangkan dan melalaikan hati dari mengingat Allah swt. Nabi Muhammad saw. bersabda, "pandangan adalah salah satu dari panah-panah beracun milik setan, yang telah dikutuk Allah. Barangsiapa menjaga pandangannya, semata mata karena takut kepada Nya, niscaya Allah swt. akan memberinya keimanan, sebagaimana rasa manis yang diperolehnya dari dalam hati. " (H.r. al Hakim, hadis shahih). Jabir meriwayatkan dari Anas, bahwa Rasulullah saw. telah bersabda, “Ada lima hal yang dapat membatalkan puasa seseorang: berdusta, mengurnpat, menyebar isu (fitnah), bersumpah palsu dan memandang dengan penuh nafsu."

2. Menjaga Ucapan
Menjaga lidah (lisan) dari perkataan sia-sia, berdusta, mengumpat, menyebarkan fitnah, berkata keji dan kasar, melontarkan kata kata permusuhan (pertentangan dan kontroversi); dengan lebih banyak berdiam diri, memperbanyak dzikir dan membaca [mengkaji] al-Qur'an. Inilah puasa lisan. Said Sufyan berkata, "Sesungguhnya mengumpat akan merusak puasa! Laits mengutip Mujahid yang berkata, 'Ada dua hal yang merusak puasa, yaitu mengumpat dan berbohong."
Rasulullah saw. bersabda, "Puasa adalah perisai. Maka barangsiapa di antaramu sedang berpuasa janganlah berkata keji dan jahil, jika ada orang yang menyerang atau memakimu, katakanlah, Aku sedang berpuasa! Aku sedang berpuasa'!" (H.r. Bukhari Muslim).

3. Menjaga Pendengaran
Menjaga pendengaran dari segala sesuatu yang tercela; karena setiap sesuatu yang dilarang untuk diucapkan juga dilarang untuk didengarkan. Itulah mengapa Allah swt. tidak membedakan antara orang yang suka mendengar (yang haram) dengan mereka yang suka memakan (yang haram). Dalam al Qur'an Allah swt. berfirman, "Mereka gemar mendengar kebohongan dan memakan yang tiada halal." (Q.s. 5: 42).
Demikian juga dalam ayat lain, Allah swt. berfirman, "Mengapa para rabbi dan pendeta di kalangan mereka tidak melarang mereka dari berucap dosa dan memakan barang terlarang?" (Q.s. 5: 63).

Oleh karena itu, sebaiknya berdiam diri dan menjauhi pengumpat. Allah swt. berfirman dalam wahyu Nya, 'Jika engkau (tetap duduk bersama mereka), sungguh, engkaupun seperti mereka ..." (Q.s. 4: 140). Itulah mengapa Rasulullah saw. mengatakan, "Yang mengumpat dan pendengarnya, berserikat dalam dosa." (H.r. at Tirmidzi).

4. Menjaga Sikap Perilaku
Menjaga semua anggota badan lainnya dari dosa: kaki dan tangan dijauhkan dari perbuatan yang makruh, dan menjaga perut dari makanan yang diragukan kehalalannya (syubhat) ketika berbuka puasa. Puasa tidak punya arti apa apa bila dilakukan dengan menahan diri dari memakan yang halal dan hanya berbuka dengan makanan haram. Barangsiapa berpuasa seperti demikian, bagaikan orang membangun istana, tetapi merobohkan kota. Makanan yang halal juga akan menimbulkan kemudharatan, bukan karena mutunya tetapi karena jumlahnya. Maka puasa dimaksudkan untuk mengatasi hal tersebut. Karena didera kekhawatiran, atau karena sakit yang berkepanjangan, seseorang dapat memakan obat secara berlebihan. 
Tetapi jelas tidak masuk akal jika kemudian ada yang menukar obat dengan racun. Makanan haram adalah racun berbahaya bagi kehidupan beragama; sedang makanan halal ibarat obat, yang akan memberikan kemanfaatan apabila dimakan dalam jumlah cukup, tidak demikian halnya dalam jumlah berlebihan. Memang, tujuan puasa adalah mendorong lahirnya sikap pertengahan. 

Bersabda Rasulullah saw, "Betapa banyak orang berpuasa yang tidak mendapatkan sesuatu, kecuali lapar dan dahaga saja!" (H.r. an Nasa'i, Ibnu Majah). Ini ada yang mengartikan pada orang yang berpuasa namun berbuka dengan makanan haram. Tetapi ada pula yang menafsirkan dengan orang yang berpuasa, yang menahan diri dari makanan halal tetapi berbuka dengan daging dan darah manusia, dikarenakan mereka telah merusak puasanya dengan mengumpat orang lain. Lainnya lagi menafsirkan bahwa mereka ini berpuasa tetapi tidak menjaga anggota tubuhnya dari berbuat dosa.


5. Menghindari Makan Berlebihan
Berbuka puasa dengan makan yang tidak berlebihan, sehingga rongga dadanya menjadi sesak. Tidak ada kantung yang lebih tidak disukai Allah swt. selain perut yang penuh (berlebihan) dengan makanan halal. Dapatkah puasa bermanfaat sebagai cara mengalahkan musuh Allah swt. dan mengendalikan hawa nafsu, bila kita berbuka menyesaki perut dengan apa yang biasa kita makan siang hari? Terlebih lagi, biasanya di bulan puasa masih disediakan makanan tambahan, yang justru di hari-hari biasa tidak tersedia. 

Sesungguhnya hakikat puasa adalah melemahkan tenaga yang biasa dipergunakan setan untuk mengajak kita ke arah kejahatan. Oleh sebab itu, lebih penting (esensial) bila mampu mengurangi porsi makan malam dalam bulan Ramadhan dibanding malam malam di luar bulan Ramadhan, saat tidak berpuasa. Karenanya, tidak akan mendapatkan manfaat di saat berpuasa bila tetap makan dengan porsi makanan yang biasa dimakan pada hari hari biasa. Bahkan dianjurkan mengurangi tidur di siang hari, dengan harapan dapat merasakan semakin melemahnya kekuatan jasmani, yang akan mengantarkannya pada penyucian jiwa.

Oleh karena itu, barangsiapa telah "meletakkan" kantung makanan di antara hati dan dadanya, tentu akan buta terhadap karunia tersebut. Meskipun perutnya kosong, belum tentu terangkat hijab (tabir) yang terbentang antara dirinya dengan Allah, kecuali telah mampu mengosongkan pikiran dan mengisinya dengan mengingat kepada Allah swt. semata. Demikian adalah puncak segalanya, dan titik mula dari semuanya itu adalah mengosongkan perut dari makanan.

6. Menuju kepada Allah Swt. dengan Rasa Takut dan Pengharapan
Setelah berbuka puasa, selayaknya hati terayun ayun antara takut (khauf) dan harap [raja']. Karena siapa pun tidak mengetahui, apakah puasanya diterima sehingga dirinya termasuk orang yang mendapat karunia Nya sekaligus orang yang dekat dengan Nya, ataukah puasanya tidak diterima, sehingga dirinya menjadi orang yang dicela oleh Nya. Pemikiran seperti inilah yang seharusnya ada pada setiap orang yang telah selesai melaksanakan suatu ibadah.

Dari al Hasan bin Abil Hasan al Bashri, bahwa suatu ketika melintaslah sekelompok orang sambil tertawa terbahak bahak. Hasan al Bashri lalu berkata, 'Allah swt. telah menjadikan Ramadhan sebagai bulan perlombaan. Di saat mana Para hamba Nya saling berlomba dalam beribadah. Beberapa di antara mereka sampai ke titik final lebih dahulu dan menang, sementara yang lain tertinggal dan kalah. Sungguh menakjubkan mendapati orang yang masih dapat tertawa terbahak bahak dan bermain di antara (keadaan) ketika mereka yang beruntung memperoleh kemenangan, dan mereka yang merugi memperoleh kesia-siaan. Demi Allah, apabila hijab tertutup, mereka yang berbuat baik akan dipenuhi (pahala) perbuatan baiknya, dan mereka yang berbuat cela juga dipenuhi oleh kejahatan yang diperbuatnya." Dengan kata lain, manusia yang puasanya diterima akan bersuka ria, sementara orang yang ditolak akan tertutup baginya gelak tawa.
Dari al Ahnaf bin Qais, bahwa suatu ketika seseorang berkata kepadanya, "Engkau telah tua; berpuasa akan dapat melemahkanmu." Tetapi al Ahnaf bahkan menjawab, "Dengan berpuasa, sebenarnya aku sedang mempersiapkan diri untuk perjalanan panjang. Bersabar dalam menaati Allah swt. tentu akan lebih mudah daripada menanggung siksa Nya."
Demikianlah, semua itu adalah makna signifikan puasa.

Pentingnya Memenuhi Aspek aspek (Syarat) Batin
Sekarang Anda mungkin mengatakan, "Dengan menahan makan, minum dan nafsu seksual, tanpa harus memperhatikan syarat batin itu sudah sah. Menurut pendapat para ahli fiqih juga demikian, bahwa puasa yang bersangkutan sudah dapat dikatakan memenuhi syarat, sudah sah. Lalu mengapa kita harus repot repot?"

Anda harus menyadari bahwa para ulama fiqih telah menetapkan syarat-syarat lahiriah puasa dengan dalil-dalil yang lebih lemah dibanding dalil dalil yang menopang perlunya ditepati syarat syarat batiniah. Misalnya saja tentang mengumpat dan yang sejenis. Bagaimanapun perlu diingat, bahwa para ulama fiqih memandang batas kewajiban puasa dengan hanya mempertimbangkan pada kapasitas orang awam yang sering lalai, mudah terperangkap dalam urusan duniawi.

Sedangkan bagi mereka yang memiliki pengetahuan tentang hari Akhir, akan memperhatikan sungguh-sungguh dan memenuhi dengan syarat batin, sehingga ibadahnya sah dan diterima. 
Hal demikian itu mereka capai dengan melaksanakan syarat-syarat yang akan mengantarkannya pada tujuan. Menurut pemahaman mereka, berpuasa adalah salah satu cara untuk menghayati salah satu akhlak Allah Swt, yaitu tempat meminta (shamadiyyah), sebagaimana juga contoh dari para malaikat, dengan sedapat mungkin menghindari godaan nafsu, karena malaikat adalah makhluk yang terbebas dari dorongan serupa. 

Sedang manusia mempunyai derajat di atas hewan, karena dengan tuntunan akal yang dimilikinya akan selalu sanggup mengendalikan nafsunya; namun ia inferior (sedikit lebih rendah) dari malaikat, karena masih dikuasai oleh hawa nafsu, maka ia pun harus mencoba untuk mengatasi godaan hawa nafsunya.

Kapan pun manusia dikuasai oleh hawa nafsunya, maka ia akan terjatuh dalam tingkatan yang terendah, sehingga tidak ada tempat lagi selain bersama hewan. Kapan pun ia mampu mengatasinya, maka ia akan terangkat ke tingkatan para malaikat. Malaikat adalah makhluk yang paling dekat dengan Allah swt, karenanya malaikat pun menjadi contoh bagi makhluk yang ingin dekat dengan Allah. Tentu dengan segala ibadah akan menjadikan diri semakin dekat dengan Nya. Hanya saja bukan dalam pengertian dekat dalam dimensi ruang, tetapi lebih pada kedekatan sifat. 
Jika demikian itu adalah rahasia puasa bagi mereka yang memiliki kedalaman pemahaman spiritual, apakah manfaat menggabungkan dua (porsi) makan pada waktu berbuka, seraya memuaskan nafsu lain yang tertahan ketika siang hari. Dan kalaulah demikian, lalu apa makna Hadis Nabi saw. yang berbunyi, "Betapa banyak orang berpuasa yang tidak mendapat sesuatu selain lapar dan dahaga?"