Setiap membincangkan Ulama di Indonesia, terbayang sejumlah tokoh yang berperan menyebarkan Islam di Indonesia, para Kyai Pesantren dan sejumlah institusi seperti Nahdhatul Ulama (NU),
Majlis Ulama Indonesia (MUI), atau majlis-majlis berlabel ke-Ulamaan lainnya.
Barangkali, negara paling besar jumlah ummat Islamnya dan paling besar jumlah “pabrik keulamaannya” adalah Indonesia. Namun, di negeri ini pula ujian demi ujian, cobaan demi cobaan menggelontor bagai tanah longsor, bagai gempa yang menimpa kehidupan ke-Ulamaan kita. Satu-satunya institusi yang mengakomodir Ulama dan Kiai yang masih bisa diharapkan tinggallah NU. Karena, kebesaran NU sangat didukung oleh para Kyai di Pesantren yang jumlahnya hampir 15.000 pesantren di Indonesia.
Walau kondisi pesantren saat ini sedang surut, menyusul kondisi para Ulama yang tergabung dalam NU juga mulai disoroti karena proses-proses politik yang mencabik-cabik mereka, apalagi kepemimpinan NU pasca Gus Dur yang membuat NU semakin degradatif -, toh tak ada harapan lagi, kecuali membangkitkan generasi NU dengan para Ulamanya untuk menggali mutiara-mutiaranya yang masih terpendam dan membersihkan dari kotoran-kotoran kontaminatif nafsu duniawi yang memuakkan.
Namun, “Maa laa yudroku kulluhu laa yutroku kulluh” (hal-hal yang tidak bisa diraih semua, jangan ditinggal semua.) Semua membutuhkan keterbukaan jiwa dan keikhlasan serta kerelaan hati, demi meraih ridho Allah Ta’ala. Sebab, NU didirikan adalah demi mengajak ummat ini untuk bangkit menuju Allah swt, bukan bangkit menuju dunia, bukan bangkit untuk kepentingan kekuasaan atau nama besar. Selama para Ulamanya tidak memiliki pandangan kebangkitan menuju Allah swt, NU akan mendapatkan musibah dan terhijab.
Inilah yang membedakan posisi Ulama dengan cendekiawan Islam, dalam makna terminologis (istilahy). Seorang Ulama mesti membuahkan jiwa-jiwa yang Khasyah (rasa gentar dan cinta kepada Allah swt), jiwa-jiwa yang memancarkan Rahmat Ilahiyah, jiwa-jiwa yang menaburkan ilmu-ilmu yang bermanfaat dunia akhirat, jiwa-jiwa yang terus menerus thawaf bidzikrillah, demi Ittiba’ur-Rasul, karena sang pewaris harus mengemban yang diwarisi, jika mereka adalah waratsatul Ambiya'.
Jika diperkirakan jumlah pengasuh pesantren ada 15.000 orang, maka ada sejumlah itu pula para Ulamanya. Soal apakah mereka masuk dalam kategori Ulama panggung, Ulama politik, Ulama kekuasaan, Ulama yang status papan nama, Ulama tontonan bagi massa, Ulama yang berassesoris syurban jubah, Ulamanya penguasa, Ulamanya industri yang mengeksploitasi agama, ataukah diantara mereka benar-benar Ulamanya Allah yang Waratsatul Ambiya’? Maka hanya Allah Yang Maha Tahu, atau mereka yang diberi tahu oleh Allah Ta'ala dan pribadi mereka sendiri yang tahu.
Ulama Billah
Ulama Billah, atau Ulamanya Allah, atau lama yang mengenal Allah swt (ma’rifat billah), yang Waratsatul Ambiya’ adalah mereka yang memiliki karakter-karakter:
1. Para Ulama itu, sehebat apa pun ilmunya, sebanyak apa pun penguasaan atas pengetahuan agama, mereka tetap memiliki pembimbing ruhani (Mursyid) yang bisa menghantar Ma’rifatullahnya.
2. Mengikuti jejak Akhalqul Ulama’ dan menghindari ghurur (tipudaya duniawi, popularitas, dukungan, harta, wanita, dan nama besar serta kebanggaan atas penguasaan ilmu agama) yang menimpa para Ulama’.
3. Menguasai pengetahuan para Ulama Salafus-Sholih, walaupun tidak sampai derajat Mujtahidin, namun mengenal dan mengerti berbagai pandangan para Mujtahidin, para Ahli Tauhid, Ulama Tasawuf memahami berbagai Tafsir dan Hadits, sehingga tidak terjebak pada formalisme agama.
4. Tetap berorientasi menuju Allah swt, dan mengajak ummat dan para santri agar tetap istiqomah Lillah, serta orientasi Ulumun Naafi' (ilmu yang bermanfaat dunia akhirat).
5. Merasa bertanggung jawab kepada para ummat yang dibimbingnya sampai ke akhirat hingga di depan Allah Ta'ala.
6. Terus menerus mendalami dan mempelajari ilmu pengetahuan, dan menjaga semangat berpengetahuan, khususnya bidang agama.
7. Tetap berpegang pada Ahlussunnah wal-Jama’ah dalam arti yang seluas-luasnya.
Tujuh karakteristik di atas adalah dasar minimal bagi Ulama Billah. Tanpa karakter tersebut, seorang Ulama se-alim apa pun, ia akan kehilangan rasa Khasyyahnya kepada Allah Ta’ala.
Seorang Ulama tidak disyaratkan memiliki kharisma, dan tidak pula diperintahkan mencari kharisma.
Hakikat kharisma adalah konsistensi (istiqomah) itu sendiri, dan para Ulama melarang mencari karomah, namun memerintahkan agar mencari istiqomah.
Seorang Ulama tidak boleh silau dengan dukungan ummat yang meluas, karena jika silau dukungan massa malah menjadi hijab antara dirinya dengan Allah swt.
Seorang Ulama tidak boleh mengabaikan kearifan dan sikap bijaknya, karena kebenaran yang disampaikan dengan aroma hawa nafsu, akan kehilangan barokahnya.
Syeikh Abul Abbas al-Mursy, gurunya Syeikh Ibnu Athaillah as-Sakandary, ketika membaca ayat, “Rasulullah tidak berbicara dari dorongan hawa nafsunya, melainkan berbicara karena dorongan Wahyu.” Menafsirkan, tentang berbicara karena dorongan nafsu, adalah bila anda berbicara dan hati senang karena apa yang anda bicarakan itu di “iya”kan oleh pendengar, maka itulah tandanya anda bicara didorong oleh nafsu. Tetapi, hendaknya anda senang manakala Allah “mengiyakan” hatimu, ketika anda bicara.
Sebuah kalimat dan tafsir yang dalam, dan hendaknya dijadikan pegangan bagi Ulama Warotsatul Ambiya’. Semoga!
Rabu, 09 Juni 2010
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
1 komentar:
ulama itu adalah yang takutkan Allah dengan sebenar benarnya. nilai dunia hanyalah hina di sisi nya dan Allah tempat dia berdamping
Posting Komentar