Rabu, 09 Juni 2010

Sunan Gunungjati

Sunan Gunung Jati atau Syarif Hidayatullah, lahir sekitar 1450 M, namun ada juga yang mengatakan bahwa beliau lahir pada sekitar 1448 M. Sunan Gunung Jati adalah salah satu dari kelompok ulama besar di Jawa bernama walisongo.

Orang Tua

Sunan Gunung Jati bernama Syarif Hidayatullah, lahir sekitar tahun 1450. Ayah beliau adalah Syarif Abdullah bin Nur Alam bin Jamaluddin Akbar.

Jamaluddin Akbar adalah seorang Muballigh dan Musafir besar dari Gujarat, India yang sangat dikenal sebagai Syekh Maulana Akbar bagi kaum Sufi di tanah air. Syekh Maulana Akbar adalah putra Ahmad Jalal Syah putra Abdullah Khan putra Abdul Malik putra Alwi putra Syekh Muhammad Shahib Mirbath, ulama besar di Hadramaut, Yaman yang silsilahnya sampai kepada Rasulullah melalui cucu beliau Imam Husain.

Ibunda Sunan Gunung Jati adalah Nyai Rara Santang, seorang putri keturunan Kerajaan Sunda, anak dari Sri Baduga Maharaja, atau dikenal juga sebagai Prabu Siliwangi dari perkawinannya dengan Nyai Subang Larang. Makam dari Nyai Rara Santang bisa kita temui di dalam klenteng di Pasar Bogor, berdekatan dengan pintu masuk Kebun Raya Bogor.

Silsilah

* Sunan Gunung Jati @ Syarif Hidayatullah Al-Khan bin
* Sayyid ‘Umadtuddin Abdullah Al-Khan bin
* Sayyid ‘Ali Nuruddin Al-Khan @ ‘Ali Nurul ‘Alam
* Sayyid Syaikh Jumadil Qubro @ Jamaluddin Akbar Al-Khan bin
* Sayyid Ahmad Shah Jalal @ Ahmad Jalaludin Al-Khan bin
* Sayyid Abdullah Al-’Azhomatu Khan bin
* Sayyid Amir ‘Abdul Malik Al-Muhajir (Nasrabad,India) bin
* Sayyid Alawi Ammil Faqih (Hadhramaut) bin
* Muhammad Sohib Mirbath (Hadhramaut)
* Sayyid Ali Kholi’ Qosim bin
* Sayyid Alawi Ats-Tsani bin
* Sayyid Muhammad Sohibus Saumi’ah bin
* Sayyid Alawi Awwal bin
* Sayyid Al-Imam ‘Ubaidillah bin
* Ahmad al-Muhajir bin
* Sayyid ‘Isa Naqib Ar-Rumi bin
* Sayyid Muhammad An-Naqib bin
* Sayyid Al-Imam Ali Uradhi bin
* Sayyidina Ja’far As-Sodiq bin
* Sayyidina Muhammad Al Baqir bin
* Sayyidina ‘Ali Zainal ‘Abidin bin
* Al-Imam Sayyidina Hussain
* Al-Husain putera Ali bin Abu Tholib dan Fatimah Az-Zahro binti Muhammad

Silsilah dari Raja Pajajaran

* Sunan Gunung Jati @ Syarif Hidayatullah
* Rara Santang (Syarifah Muda’im)
* Prabu Jaya Dewata @ Raden Pamanah Rasa @ Prabu Siliwangi II
* Prabu Dewa Niskala (Raja Galuh/Kawali)
* Niskala Wastu Kancana @ Prabu Siliwangi I
* Prabu Linggabuana @ Prabu Wangi (Raja yang tewas di Bubat)

Ibu

Ibunda Syarif Hidayatullah adalah Nyai Rara Santang putri Prabu Siliwangi (dari Nyai Subang Larang) adik Pangeran Walangsungsang bergelar Cakrabuwana / Cakrabumi atau Mbah Kuwu Cirebon Girang yang berguru kepada Syekh Datuk Kahfi, seorang Muballigh asal Baghdad bernama asli Idhafi Mahdi.

Makam Nyai Rara Santang bisa kita temui di dalam komplek KLENTENG di Pasar Bogor, di sebelah Kebun Raya Bogor.

Pertemuan orang tuanya

Pertemuan Rara Santang dengan Syarif Abdullah cucu Syekh Mawlana Akbar masih diperselisihkan. Sebagian riwayat (lebih tepatnya mitos) menyebutkan bertemu pertama kali di Mesir, tapi analisis yang lebih kuat atas dasar perkembangan Islam di pesisir ketika itu, pertemuan mereka di tempat-tempat pengajian seperti yang di Majelis Syekh Quro, Karawang (tempat belajar Nyai Subang Larang ibunda dari Rara Santang) atau di Majelis Syekh Kahfi, Cirebon (tempat belajar Kiyan Santang kakanda dari Rara Santang).

Syarif Abdullah cucu Syekh Mawlana Akbar, sangat mungkin terlibat aktif membantu pengajian di majelis-majelis itu mengingat ayahanda dan kakek beliau datang ke Nusantara sengaja untuk menyokong perkembangan agama Islam yang telah dirintis oleh para pendahulu.

Pernikahan Rara Santang putri Prabu Siliwangi dan Nyai Subang Larang dengan Abdullah cucu Syekh Mawlana Akbar melahirkan seorang putra yang diberi nama Raden Syarif Hidayatullah.

Proses belajar

Raden Syarif Hidayatullah mewarisi kecendrungan spiritual dari kakek buyutnya Syekh Mawlana Akbar sehingga ketika telah selesai belajar agama di pesantren Syekh Kahfi beliau meneruskan ke Timur Tengah. Tempat mana saja yang dikunjungi masih diperselisihkan, kecuali (mungkin) Mekah dan Madinah karena ke 2 tempat itu wajib dikunjungi sebagai bagian dari ibadah haji untuk umat Islam.

Babad Cirebon menyebutkan ketika Pangeran Cakrabuwana membangun kota Cirebon dan tidak mempunyai pewaris, maka sepulang dari Timur Tengah Raden Syarif Hidayat mengambil peranan mambangun kota Cirebon dan menjadi pemimpin perkampungan Muslim yang baru dibentuk itu setelah Uwaknya wafat.

Pernikahan

Memasuki usia dewasa sekitar diantara tahun 1470-1480, beliau menikahi adik dari Bupati Banten ketika itu bernama Nyai Kawunganten. Dari pernikahan ini beliau mendapatkan seorang putri yaitu Ratu Wulung Ayu dan Mawlana Hasanuddin yang kelak menjadi Sultan Banten I.

Kesultanan Demak

Masa ini kurang banyak diteliti para sejarawan hingga tiba masa pendirian Kesultanan Demak tahun 1487 yang mana beliau memberikan andil karena sebagai anggota dari Dewan Muballigh yang sekarang kita kenal dengan nama Walisongo. Pada masa ini beliau berusia sekitar 37 tahun kurang lebih sama dengan usia Raden Patah yang baru diangkat menjadi Sultan Demak I bergelar Alam Akbar Al Fattah. Bila Syarif Hidayat keturunan Syekh Mawlana Akbar Gujarat dari pihak ayah, maka Raden Patah adalah keturunan beliau juga tapi dari pihak ibu yang lahir di Campa.

Dengan diangkatnya Raden Patah sebagai Sultan di Pulau Jawa bukan hanya di Demak, maka Cirebon menjadi semacam Negara Bagian bawahan vassal state dari kesultanan Demak, terbukti dengan tidak adanya riwayat tentang pelantikan Syarif Hidayatullah secara resmi sebagai Sultan Cirebon.

Hal ini sesuai dengan strategi yang telah digariskan Sunan Ampel, Ulama yang paling di-tua-kan di Dewan Muballigh, bahwa agama Islam akan disebarkan di P. Jawa dengan Kesultanan Demak sebagai pelopornya.

Gangguan proses Islamisasi

Setelah pendirian Kesultanan Demak antara tahun 1490 hingga 1518 adalah masa-masa paling sulit, baik bagi Syarif Hidayat dan Raden Patah karena proses Islamisasi secara damai mengalami gangguan internal dari kerajaan Pakuan dan Galuh (di Jawa Barat) dan Majapahit (di Jawa Tengah dan Jawa Timur) dan gangguan external dari Portugis yang telah mulai expansi di Asia Tenggara.

Tentang personaliti dari Syarif Hidayat yang banyak dilukiskan sebagai seorang Ulama kharismatik, dalam beberapa riwayat yang kuat, memiliki peranan penting dalam pengadilan Syekh Siti Jenar pada tahun 1508 di pelataran Masjid Demak. Ia ikut membimbing Ulama berperangai ganjil itu untuk menerima hukuman mati dengan lebih dulu melucuti ilmu kekebalan tubuhnya.

Eksekusi yang dilakukan Sunan Kalijaga akhirnya berjalan baik, dan dengan wafatnya Syekh Siti Jenar, maka salah satu duri dalam daging di Kesultana Demak telah tercabut.

Raja Pakuan di awal abad 16, seiring masuknya Portugis di Pasai dan Malaka, merasa mendapat sekutu untuk mengurangi pengaruh Syarif Hidayat yang telah berkembang di Cirebon dan Banten. Hanya Sunda Kelapa yang masih dalam kekuasaan Pakuan.

Di saat yang genting inilah Syarif Hidayat berperan dalam membimbing Pati Unus dalam pembentukan armada gabungan Kesultanan Banten, Demak, Cirebon di P. Jawa dengan misi utama mengusir Portugis dari wilayah Asia Tenggara. Terlebih dulu Syarif Hidayat menikahkan putrinya untuk menjadi istri Pati Unus yang ke 2 di tahun 1511.

Kegagalan expedisi jihad II Pati Unus yang sangat fatal di tahun 1521 memaksa Syarif Hidayat merombak Pimpinan Armada Gabungan yang masih tersisa dan mengangkat Tubagus Pasai (belakangan dikenal dengan nama Fatahillah),untuk menggantikan Pati Unus yang syahid di Malaka, sebagai Panglima berikutnya dan menyusun strategi baru untuk memancing Portugis bertempur di P. Jawa.

Sangat kebetulan karena Raja Pakuan telah resmi mengundang Armada Portugis datang ke Sunda Kelapa sebagai dukungan bagi kerajaan Pakuan yang sangat lemah di laut yang telah dijepit oleh Kesultanan Banten di Barat dan Kesultanan Cirebon di Timur.

Kedatangan armada Portugis sangat diharapkan dapat menjaga Sunda Kelapa dari kejatuhan berikutnya karena praktis Kerajaan Hindu Pakuan tidak memiliki lagi kota pelabuhan di P. Jawa setelah Banten dan Cirebon menjadi kerajaan-kerajaan Islam.

Tahun 1527 bulan Juni Armada Portugis datang dihantam serangan dahsyat dari Pasukan Islam yang telah bertahun-tahun ingin membalas dendam atas kegagalan expedisi Jihad di Malaka 1521.

Dengan ini jatuhlah Sunda Kelapa secara resmi ke dalam Kesultanan Banten-Cirebon dan di rubah nama menjadi Jayakarta dan Tubagus Pasai mendapat gelar Fatahillah.

Perebutan pengaruh antara Pakuan-Galuh dengan Cirebon-Banten segera bergeser kembali ke darat. Tetapi Pakuan dan Galuh yang telah kehilangan banyak wilayah menjadi sulit menjaga keteguhan moral para pembesarnya. Satu persatu dari para Pangeran, Putri Pakuan di banyak wilayah jatuh ke dalam pelukan agama Islam. Begitu pula sebagian Panglima Perangnya.

Perundingan Yang Sangat Menentukan

Satu hal yang sangat unik dari personaliti Syarif Hidayat adalah dalam riwayat jatuhnya Pakuan Pajajaran, ibu kota Kerajaan Sunda pada tahun 1568 hanya setahun sebelum beliau wafat dalam usia yang sangat sepuh hampir 120 tahun (1569). Diriwayatkan dalam perundingan terakhir dengan para Pembesar istana Pakuan, Syarif Hidayat memberikan 2 opsi.

Yang pertama Pembesar Istana Pakuan yang bersedia masuk Islam akan dijaga kedudukan dan martabatnya seperti gelar Pangeran, Putri atau Panglima dan dipersilakan tetap tinggal di keraton masing-masing. Yang ke dua adalah bagi yang tidak bersedia masuk Islam maka harus keluar dari keraton masing-masing dan keluar dari ibukota Pakuan untuk diberikan tempat di pedalaman Banten wilayah Cibeo sekarang.

Dalam perundingan terakhir yang sangat menentukan dari riwayat Pakuan ini, sebagian besar para Pangeran dan Putri-Putri Raja menerima opsi ke 1. Sedang Pasukan Kawal Istana dan Panglimanya (sebanyak 40 orang) yang merupakan Korps Elite dari Angkatan Darat Pakuan memilih opsi ke 2. Mereka inilah cikal bakal penduduk Baduy Dalam sekarang yang terus menjaga anggota pemukiman hanya sebanyak 40 keluarga karena keturunan dari 40 pengawal istana Pakuan. Anggota yang tidak terpilih harus pindah ke pemukiman Baduy Luar.

Yang menjadi perdebatan para ahli hingga kini adalah opsi ke 3 yang diminta Para Pendeta Sunda Wiwitan. Mereka menolak opsi pertama dan ke 2. Dengan kata lain mereka ingin tetap memeluk agama Sunda Wiwitan (aliran Hindu di wilayah Pakuan) tetapi tetap bermukim di dalam wilayah Istana Pakuan.

Sejarah membuktikan hingga penyelidikan yang dilakukan para Arkeolog asing ketika masa penjajahan Belanda, bahwa istana Pakuan dinyatakan hilang karena tidak ditemukan sisa-sisa reruntuhannya. Sebagian riwayat yang diyakini kaum Sufi menyatakan dengan kemampuan yang diberikan Allah karena doa seorang Ulama yang sudah sangat sepuh sangat mudah dikabulkan, Syarif Hidayat telah memindahkan istana Pakuan ke alam ghaib sehubungan dengan kerasnya penolakan Para Pendeta Sunda Wiwitan untuk tidak menerima Islam ataupun sekadar keluar dari wilayah Istana Pakuan.

Bagi para sejarawan beliau adalah peletak konsep Negara Islam modern ketika itu dengan bukti berkembangnya Kesultanan Banten sebagi negara maju dan makmur mencapai puncaknya 1650 hingga 1680 yang runtuh hanya karena pengkhianatan seorang anggota istana yang dikenal dengan nama Sultan Haji.

Dengan segala jasanya umat Islam di Jawa Barat memanggil beliau dengan nama lengkap Syekh Mawlana Syarif Hidayatullah Sunan Gunung Jati Rahimahullah.

Sunan Muria

Sunan Muria atau Raden Umar Syaid, atau Raden Said adalah putera dari Sunan Kalijaga dalam perkawinannya dengan Dewi Soejinah putri Sunan Ngudung. Nama kecilnya ialah Raden Prawoto. Dari kakak Sunan Kudus, Sunan Muria memperoleh seorang putera yang diberi nama pangeran santri, dan kemudian mendapat julukan dengan : Sunan Ngadilungu.

Sunan Muria juga terhitung salah seorang penyokong dari kerajaan Bintoro yang setia, disamping ikut pula mendirikan masjid Demak., semasa hidupnya dalam menjalankan dakwah ke-Islam-an, yang menjadi daerah operasinya terutama adalah di desa-desa yang jauh letaknya dari kota pusat keramaian. beliau lebih suka menyendiri dan bertempat tinggal di desa, bergaul serta hidup di tengah-tengah rakyat jelata, sunan muria lebih suka mendidik rakyat jelata tentang agama Islam disepanjang lereng Gunung Muria yang terletak 18 km jauhnya sebelah utara kota Kudus sekarang.

Cara beliau menjalankan dakwah ke-Islam-an, adalah dengan jalan mengadakan kursus-kursus terhadap kaun dagang, nelayan, pelaut dan rakyat jelata, beliaulah kabarnya yang mempertahankan tetap berlangsungnya gamelan sebagai satu-satunya sebagai seni jawa yang sangat digemari rakyat serta dipergunakannya untuk memasukkan rasa ke-Islam-an ke dalam jiwa rakyat untuk mengingat kepada Tuhan Yang Maha Esa.

Disamping itu beliau adalah pencipta dari gending “sinom dan kinanti”. Kini beliau dikenal dengan sebutan Sunan Muria, oleh karena beliau dimakamkan diatas gunung Muria, termasuk dalam daerah kerajaan Kudus.

Sunan Kalijaga

Sunan Kalijaga diperkirakan lahir pada tahun 1450 dengan nama Raden Said. Dia adalah putra adipati Tuban yang bernama Tumenggung Wilwatikta atau Raden Sahur. Nama lain Sunan Kalijaga antara lain Lokajaya, Syekh Malaya, Pangeran Tuban, dan Raden Abdurrahman. Berdasarkan satu versi masyarakat Cirebon, nama Kalijaga berasal dari Desa Kalijaga di Cirebon. Pada saat Sunan Kalijaga berdiam di sana, dia sering berendam di sungai (kali), atau jaga kali.

Dalam satu riwayat, Sunan Kalijaga disebutkan menikah dengan Dewi Saroh binti Maulana Ishak, dan mempunyai 3 putra: R. Umar Said (Sunan Muria), Dewi Rakayuh dan Dewi Sofiah.

Ketika wafat, beliau dimakamkan di Desa Kadilangu, dekat kota Demak (Bintara). Makam ini hingga sekarang masih ramai diziarahi orang.

Sejarah Hidup

Masa hidup Sunan Kalijaga diperkirakan mencapai lebih dari 100 tahun. Dengan demikian ia mengalami masa akhir kekuasaan Majapahit (berakhir 1478), Kesultanan Demak, Kesultanan Cirebon dan Banten, bahkan juga Kerajaan Pajang yang lahir pada 1546 serta awal kehadiran Kerajaan Mataram dibawah pimpinan Panembahan Senopati. Ia ikut pula merancang pembangunan Masjid Agung Cirebon dan Masjid Agung Demak. Tiang “tatal” (pecahan kayu) yang merupakan salah satu dari tiang utama masjid adalah kreasi Sunan Kalijaga.

Dalam dakwah, ia punya pola yang sama dengan mentor sekaligus sahabat dekatnya, Sunan Bonang. Paham keagamaannya cenderung “sufistik berbasis salaf” -bukan sufi panteistik (pemujaan semata). Ia juga memilih kesenian dan kebudayaan sebagai sarana untuk berdakwah.

Ia sangat toleran pada budaya lokal. Ia berpendapat bahwa masyarakat akan menjauh jika diserang pendiriannya. Maka mereka harus didekati secara bertahap: mengikuti sambil mempengaruhi. Sunan Kalijaga berkeyakinan jika Islam sudah dipahami, dengan sendirinya kebiasaan lama hilang. Tidak mengherankan, ajaran Sunan Kalijaga terkesan sinkretis dalam mengenalkan Islam. Ia menggunakan seni ukir, wayang, gamelan, serta seni suara suluk sebagai sarana dakwah. Beberapa lagu suluk ciptaannya yang populer adalah Ilir-ilir dan Gundul-gundul Pacul. Dialah menggagas baju takwa, perayaan sekatenan, garebeg maulud, serta lakon carangan Layang Kalimasada dan Petruk Dadi Ratu (“Petruk Jadi Raja”). Lanskap pusat kota berupa kraton, alun-alun dengan dua beringin serta masjid diyakini pula dikonsep oleh Sunan Kalijaga.

Metode dakwah tersebut sangat efektif. Sebagian besar adipati di Jawa memeluk Islam melalui Sunan Kalijaga; di antaranya adalah adipati Pandanaran, Kartasura, Kebumen, Banyumas, serta Pajang.

Sunan Giri

Sunan Giri adalah nama salah seorang Walisongo dan pendiri kerajaan Giri Kedaton, yang berkedudukan di daerah Gresik, Jawa Timur. Ia lahir di Blambangan tahun 1442. Sunan Giri memiliki beberapa nama panggilan, yaitu Raden Paku, Prabu Satmata, Sultan Abdul Faqih, Raden ‘Ainul Yaqin dan Joko Samudra. Ia dimakamkan di desa Giri, Kebomas, Gresik.

Silsilah

Beberapa babad menceritakan pendapat yang berbeda mengenai silsilah Sunan Giri. Sebagian babad berpendapat bahwa ia adalah anak Maulana Ishaq, seorang mubaligh yang datang dari Asia Tengah. Maulana Ishaq diceritakan menikah dengan Dewi Sekardadu, yaitu putri dari Menak Sembuyu penguasa wilayah Blambangan pada masa-masa akhir kekuasaan Majapahit.

Pendapat lainnya yang menyatakan bahwa Sunan Giri juga merupakan keturunan Rasulullah SAW; yaitu melalui jalur keturunan Husain bin Ali, Ali Zainal Abidin, Muhammad al-Baqir, Ja’far ash-Shadiq, Ali al-Uraidhi, Muhammad al-Naqib, Isa ar-Rummi, Ahmad al-Muhajir, Ubaidullah, Alwi Awwal, Muhammad Sahibus Saumiah, Alwi ats-Tsani, Ali Khali’ Qasam, Muhammad Shahib Mirbath, Alwi Ammi al-Faqih, Abdul Malik (Ahmad Khan), Abdullah (al-Azhamat) Khan, Ahmad Syah Jalal (Jalaluddin Khan), Jamaluddin Akbar al-Husaini (Maulana Akbar), Maulana Ishaq, dan ‘Ainul Yaqin (Sunan Giri). Umumnya pendapat tersebut adalah berdasarkan riwayat pesantren-pesantren Jawa Timur, dan catatan nasab Sa’adah BaAlawi Hadramaut.

Kisah

Sunan Giri merupakan buah pernikahan dari Maulana Ishaq, seorang mubaligh Islam dari Asia Tengah, dengan Dewi Sekardadu, putri Menak Sembuyu penguasa wilayah Blambangan pada masa-masa akhir Majapahit. Namun kelahirannya dianggap telah membawa kutukan berupa wabah penyakit di wilayah tersebut. Dipaksa untuk membuang anaknya, Dewi Sekardadu menghanyutkannya ke laut.

Kemudian, bayi tersebut ditemukan oleh sekelompok awak kapal (pelaut) dan dibawa ke Gresik. Di Gresik, dia diadopsi oleh seorang saudagar perempuan pemilik kapal, Nyai Gede Pinatih. Karena ditemukan di laut, dia menamakan bayi tersebut Joko Samudra.

Ketika sudah cukup dewasa, Joko Samudra dibawa ibunya ke Surabaya untuk belajar agama kepada Sunan Ampel. Tak berapa lama setelah mengajarnya, Sunan Ampel mengetahui identitas sebenarnya dari murid kesayangannya itu. Kemudian, Sunan Ampel mengirimnya dan Makdhum Ibrahim (Sunan Bonang), untuk mendalami ajaran Islam di Pasai. Mereka diterima oleh Maulana Ishaq yang tak lain adalah ayah Joko Samudra. Di sinilah, Joko Samudra, yang ternyata bernama Raden Paku, mengetahui asal-muasal dan alasan mengapa dia dulu dibuang.

Dakwah dan kesenian

Setelah tiga tahun berguru kepada ayahnya, Raden Paku atau lebih dikenal dengan Raden ‘Ainul Yaqin kembali ke Jawa. Ia kemudian mendirikan sebuah pesantren giri di sebuah perbukitan di desa Sidomukti, Kebomas. Dalam bahasa Jawa, giri berarti gunung. Sejak itulah, ia dikenal masyarakat dengan sebutan Sunan Giri.

Pesantren Giri kemudian menjadi terkenal sebagai salah satu pusat penyebaran agama Islam di Jawa, bahkan pengaruhnya sampai ke Madura, Lombok, Kalimantan, Sulawesi, dan Maluku. Pengaruh Giri terus berkembang sampai menjadi kerajaan kecil yang disebut Giri Kedaton, yang menguasai Gresik dan sekitarnya selama beberapa generasi sampai akhirnya ditumbangkan oleh Sultan Agung.

Terdapat beberapa karya seni tradisional Jawa yang sering dianggap berhubungkan dengan Sunan Giri, diantaranya adalah permainan-permainan anak seperti Jelungan, Lir-ilir dan Cublak Suweng; serta beberapa gending (lagu instrumental Jawa) seperti Asmaradana dan Pucung.

Sunan Drajat

Sunan Drajat diperkirakan lahir pada tahun 1470 masehi. Nama kecilnya adalah Raden Qasim, kemudian mendapat gelar Raden Syarifudin. Dia adalah putra dari Sunan Ampel, dan bersaudara dengan Sunan Bonang.

Ketika dewasa, Sunan Drajat mendirikan pesantren Dalem Duwur di desa Drajat, Paciran Kabupaten Lamongan.

Sunan Drajat yang mempunyai nama kecil Syarifudin atau raden Qosim putra Sunan Ampel dan terkenal dengan kecerdasannya. Setelah menguasai pelajaran islam beliau menyebarkan agama islam di desa Drajad sebagai tanah perdikan di kecamatan Paciran. Tempat ini diberikan oleh kerajaan Demak. Ia diberi gelar Sunan Mayang Madu oleh Raden Patah pada tahun saka 1442/1520 masehi

Makam Sunan Drajat dapat ditempuh dari surabaya maupun Tuban lewat Jalan Daendels (Anyer – Panarukan), namun bila lewat Lamongan dapat ditempuh 30 menit dengan kendaran pribadi.

Sejarah singkat

Sunan Drajat bernama kecil Raden Syari­fuddin atau Raden Qosim putra Sunan Ampel yang terkenal cerdas. Setelah pelajaran Islam dikuasai, beliau me­ngambil tempat di Desa Drajat wilayah Kecamatan Paciran Kabupaten Lamongan sebagai pusat kegiatan dakwahnya sekitar abad XV dan XVI Masehi. Ia memegang kendali keprajaan di wilayah perdikan Drajat sebagai otonom kerajaan Demak selama 36 tahun.

Beliau sebagai Wali penyebar Islam yang terkenal berjiwa sosial, sangat memperha­tikan nasib kaum fakir miskin. Ia terle­bih dahulu mengusahakan kesejahteraan sosial baru memberikan pemahaman tentang ajaran Islam. Motivasi lebih ditekankan pada etos kerja keras, kedermawanan untuk mengentas kemiskinan dan menciptakan kemakmuran. Usaha ke arah itu menjadi lebih mudah karena Sunan Drajat memperoleh kewenangan untuk mengatur wilayahnya yang mempu­nyai otonomi.

Sebagai penghargaan atas keberha­silannya menyebarkan agama Islam dan usahanya menanggulangi kemiskinan dengan menciptakan kehidupan yang makmur bagi warganya, beliau memperoleh gelar Sunan Mayang Madu dari Raden Patah Sultan Demak pada tahun saka 1442 atau 1520 Masehi.

Filosofi Sunan Drajat

Filosofi Sunan Drajat dalam pengentasan kemiskinan kini terabadikan dalam sap tangga ke tujuh dari tataran komplek Makam Sunan Drajat. Secara lengkap makna filosofis ke tujuh sap tangga tersebut sebagai berikut :

1. Memangun resep teyasing Sasomo (kita selalu membuat senang hati orang lain)
2. Jroning suko kudu eling Ian waspodo (di dalam suasana riang kita harus tetap ingat dan waspada)
3. Laksitaning subroto tan nyipto marang pringgo bayaning lampah (dalam perjalanan untuk mencapai cita – cita luhur kita tidak peduli dengan segala bentuk rintangan)
4. Meper Hardaning Pancadriya (kita harus selalu menekan gelora nafsu-nafsu)
5. Heneng – Hening – Henung (dalam keadaan diam kita akan mem­peroleh keheningan dan dalam keadaan hening itulah kita akan mencapai cita – cita luhur).
6. Mulyo guno Panca Waktu (suatu kebahagiaan lahir batin hanya bisa kita capai dengan salat lima waktu)

Menehono teken marang wong kang wuto, Menehono mangan marang wong kang luwe, Menehono busono marang wong kang wudo, Menehono ngiyup marang wongkang kodanan (Berilah ilmu agar orang menjadi pandai, Sejahterakanlah kehidupan masya­rakat yang miskin, Ajarilah kesusilaan pada orang yang tidak punya malu, serta beri perlindungan orang yang menderita)

Penghargaan

Dalam sejarahnya Sunan Drajat juga dikenal sebagai seorang Wali pencipta tembang Mocopat yakni Pangkur. Sisa – sisa gamelan Singomeng­koknya Sunan Drajat kini tersimpan di Musium Daerah.

Untuk menghormati jasa – jasa Sunan Drajat sebagai seorang Wali penyebar agama Islam di wilayah Lamongan dan untuk melestarikan budaya serta benda-­benda bersejarah peninggalannya Sunan Drajat, keluarga dan para sahabatnya yang berjasa pada penyiaran agama Islam, Pemerintah Kabupaten Lamongan mendirikan Musium Daerah Sunan Drajat disebelah timur Makam. Musium ini telah diresmikan oleh Gubernur Jawa Timur tanggal 1 Maret 1992.

Upaya Bupati Lamongan R. Mohamad Faried, SH untuk menyelamatkan dan melestarikan warisan sejarah bangsa ini mendapat dukungan penuh Gubernur Jawa Timur dengan alokasi dana APBD I yaitu pada tahun 1992 dengan pemugaran Cungkup dan pembangu­nan Gapura Paduraksa senilai Rp. 98 juta dan anggaran Rp. 100 juta 202 ribu untuk pembangunan kembali Masjid Sunan Drajat yang diresmikan oleh Menteri Penerangan RI tanggal 27 Juni 1993. Pada tahun 1993 sampai 1994 pembenahan dan pembangunan Situs Makam Sunan Drajat dilanjutkan dengan pembangunan pagar kayu berukir, renovasi paseban, bale rante serta Cungkup Sitinggil dengan dana APBD I Jawa Timur sebesar RP. 131 juta yang diresmikan Gubernur Jawa Timur M. Basofi Sudirman tanggal 14 Januari 1994.

Sunan Bonang

Sunan Bonang dilahirkan pada tahun 1465, dengan nama Raden Maulana Makdum Ibrahim. Dia adalah putra Sunan Ampel dan Nyai Ageng Manila. Bonang adalah sebuah desa di kabupaten Rembang.

Sunan Bonang wafat pada tahun 1525 M, dan saat ini makam aslinya berada di Desa Bonang. Namun, yang sering diziarahi adalah makamnya di kota Tuban. Lokasi makam Sunan Bonang ada dua karena konon, saat beliau meninggal, kabar wafatnya beliau sampai pada seorang muridnya yang berasal dari Madura. Sang murid sangat mengagumi beliau sampai ingin membawa jenazah beliau ke Madura. Namun, murid tersebut tak dapat membawanya dan hanya dapat membawa kain kafan dan pakaian-pakaian beliau. Saat melewati Tuban, ada seorang murid Sunan Bonang yang berasal dari Tuban yang mendengar ada murid dari Madura yang membawa jenazah Sunan Bonang. Mereka memperebutkannya.

Silsilah

Terdapat silsilah yang menghubungkan Sunan Bonang dan Nabi Muhammad

* Sunan Bonang (Makdum Ibrahim) bin
* Sunan Ampel (Raden Rahmat) Sayyid Ahmad Rahmatillah bin
* Maulana Malik Ibrahim bin
* Syekh Jumadil Qubro (Jamaluddin Akbar Khan) bin
* Ahmad Jalaludin Khan bin
* Abdullah Khan bin
* Abdul Malik Al-Muhajir (dari Nasrabad,India) bin
* Alawi Ammil Faqih (dari Hadramaut) bin
* Muhammad Sohib Mirbath (dari Hadramaut) bin
* Ali Kholi’ Qosam bin
* Alawi Ats-Tsani bin
* Muhammad Sohibus Saumi’ah bin
* Alawi Awwal bin
* Ubaidullah bin
* Ahmad al-Muhajir bin
* Isa Ar-Rumi bin
* Muhammad An-Naqib bin
* Ali Uradhi bin
* Ja’afar As-Sodiq bin
* Muhammad Al Baqir bin
* Ali Zainal ‘Abidin bin
* Hussain bin
* Ali bin Abi Thalib (dari Fatimah az-Zahra binti Muhammad).

Karya Sastra

Sunan Bonang banyak menggubah sastra berbentuk suluk atau tembang tamsil. Antara lain Suluk Wijil yang dipengaruhi kitab Al Shidiq karya Abu Sa’id Al Khayr. Sunan Bonang juga menggubah tembang Tamba Ati (dari bahasa Jawa, berarti penyembuh jiwa) yang kini masih sering dinyanyikan orang.

Apa pula sebuah karya sastra dalam bahasa Jawa yang dahulu diperkirakan merupakan karya Sunan Bonang dan oleh ilmuwan Belanda seperti Schrieke disebut Het Boek van Bonang atau buku (Sunan) Bonang. Tetapi oleh G.W.J. Drewes, seorang pakar Belanda lainnya, dianggap bukan karya Sunan Bonang, melainkan dianggapkan sebagai karyanya.

Keilmuan

Sunan Bonang juga terkenal dalam hal ilmu kebathinannya. Ia mengembangkan ilmu (dzikir) yang berasal dari Rasullah SAW, kemudian beliau kombinasi dengan kesimbangan pernafasan[rujukan?] yang disebut dengan rahasia Alif Lam Mim yang artinya hanya Allah SWT yang tahu. Sunan Bonang juga menciptakan gerakan-gerakan fisik atau jurus yang Beliau ambil dari seni bentuk huruf Hijaiyyah yang berjumlah 28 huruf dimulai dari huruf Alif dan diakhiri huruf Ya’. Ia menciptakan Gerakan fisik dari nama dan simbol huruf hijayyah adalah dengan tujuan yang sangat mendalam dan penuh dengan makna, secara awam penulis artikan yaitu mengajak murid-muridnya untuk menghafal huruf-huruf hijaiyyah dan nantinya setelah mencapai tingkatnya diharuskan bisa baca dan memahami isi Al-Qur’an. Penekanan keilmuan yang diciptakan Sunan Bonang adalah mengajak murid-muridnya untuk melakukan Sujud atau Sholat dan dzikir. Hingga sekarang ilmu yang diciptakan oleh Sunan Bonang masih dilestarikan di Indonesia oleh generasinya dan diorganisasikan dengan nama Padepokan Ilmu Sujud Tenaga Dalam Silat Tauhid Indonesia

Referensi

* B.J.O. Schrieke, 1916, Het Boek van Bonang, Utrecht: Den Boer

* G.W.J. Drewes, 1969, The admonitions of Seh Bari : a 16th century Javanese Muslim text attributed to the Saint of Bonang, The Hague: Martinus Nijhoff

Sunan Ampel

Sunan Ampel pada masa kecilnya bernama Raden Rahmat, dan diperkirakan lahir pada tahun 1401 di Champa. Ada dua pendapat mengenai lokasi Champa ini. Encyclopedia Van Nederlandesh Indie mengatakan bahwa Champa adalah satu negeri kecil yang terletak di Kamboja. Pendapat lain, Raffles menyatakan bahwa Champa terletak di Aceh yang kini bernama Jeumpa. Menurut beberapa riwayat, orang tua Sunan Ampel adalah Ibrahim Asmarakandi yang berasal dari Champa dan menjadi raja di sana.

Ibrahim Asmarakandi disebut juga sebagai Maulana Malik Ibrahim. Ia dan adiknya, Maulana Ishaq adalah anak dari Syekh Jumadil Qubro. Ketiganya berasal dari Samarkand, Uzbekistan, Asia Tengah.

Silsilah

* Sunan Ampel @ Raden Rahmat @ Sayyid Ahmad Rahmatillah bin
* Maulana Malik Ibrahim @ Ibrahim Asmoro bin
* Syaikh Jumadil Qubro @ Jamaluddin Akbar Khan bin
* Ahmad Jalaludin Khan bin
* Abdullah Khan bin
* Abdul Malik Al-Muhajir (Nasrabad,India) bin
* Alawi Ammil Faqih (Hadhramaut) bin
* Muhammad Sohib Mirbath (Hadhramaut)
* Ali Kholi’ Qosam bin
* Alawi Ats-Tsani bin
* Muhammad Sohibus Saumi’ah bin
* Alawi Awwal bin
* Ubaidullah bin
* Ahmad al-Muhajir bin
* Isa Ar-Rumi bin
* Muhammad An-Naqib bin
* Ali Uraidhi bin
* Ja’far ash-Shadiq bin
* Muhammad al-Baqir bin
* Ali Zainal Abidin bin
* Imam Husain bin
* Ali bin Abi Thalib dan Fatimah az-Zahra bin Muhammad

Jadi, Sunan Ampel memiliki darah Uzbekistan dan Champa dari sebelah ibu. Tetapi dari ayah leluhur mereka adalah keturunan langsung dari Ahmad al-Muhajir, Hadhramaut. Bermakna mereka termasuk keluarga besar Saadah BaAlawi.

Sejarah dakwah

Syekh Jumadil Qubro, dan kedua anaknya, Maulana Malik Ibrahim dan Maulana Ishak bersama sama datang ke pulau Jawa. Setelah itu mereka berpisah, Syekh Jumadil Qubro tetap di pulau Jawa, Maulana Malik Ibrahim ke Champa, Vietnam Selatan, dan adiknya Maulana Ishak mengislamkan Samudra Pasai.

Di Kerajaan Champa, Maulana Malik Ibrahim berhasil mengislamkan Raja Champa, yang akhirnya merubah Kerajaan Champa menjadi Kerajaan Islam. Akhirnya dia dijodohkan dengan putri Champa, dan lahirlah Raden Rahmat. Di kemudian hari Maulana Malik Ibrahim hijrah ke Pulau Jawa tanpa diikuti keluarganya.

Masjid Agung DemakSunan Ampel datang ke pulau Jawa pada tahun 1443, untuk menemui bibinya, Dwarawati. Dwarawati adalah seorang putri Champa yang menikah dengan raja Majapahit yang bernama Prabu Kertawijaya.

Sunan Ampel menikah dengan Nyai Ageng Manila, putri seorang adipati di Tuban yang bernama Arya Teja. Mereka dikaruniai 4 orang anak, yaitu: Putri Nyai Ageng Maloka, Maulana Makdum Ibrahim (Sunan Bonang), Syarifuddin (Sunan Drajat) dan Syarifah, yang merupakan ibu dari Sunan Kudus.

Pada tahun 1479, Sunan Ampel mendirikan Mesjid Agung Demak.

Sunan Ampel diperkirakan wafat pada tahun 1481 di Demak dan dimakamkan di sebelah barat Masjid Ampel, Surabaya.

Maulana Malik Ibrahim

Sunan Gresik atau Maulana Malik Ibrahim (w. 1419 M/882 H) adalah nama salah seorang Walisongo, yang dianggap yang pertama kali menyebarkan agama Islam di tanah Jawa. Ia dimakamkan di desa Gapura, kota Gresik, Jawa Timur.

Asal keturunan

Tidak terdapat bukti sejarah yang meyakinkan mengenai asal keturunan Maulana Malik Ibrahim, meskipun pada umumnya disepakati bahwa ia bukanlah orang Jawa asli. Sebutan Syekh Maghribi yang diberikan masyarakat kepadanya, kemungkinan menisbatkan asal keturunannya dari Maghrib, atau Maroko di Afrika Utara.

Babad Tanah Jawi versi J.J. Meinsma menyebutnya dengan nama Makhdum Ibrahim as-Samarqandy, yang mengikuti pengucapan lidah Jawa menjadi Syekh Ibrahim Asmarakandi. Ia memperkirakan bahwa Maulana Malik Ibrahim lahir di Samarkand, Asia Tengah, pada paruh awal abad 14.[1]

Dalam keterangannya pada buku The History of Java mengenai asal mula dan perkembangan kota Gresik, Raffles menyatakan bahwa menurut penuturan para penulis lokal, “Mulana Ibrahim, seorang Pandita terkenal berasal dari Arabia, keturunan dari Jenal Abidin, dan sepupu Raja Chermen (sebuah negara Sabrang), telah menetap bersama para Mahomedans[2] lainnya di Desa Leran di Jang’gala”.[3]

Namun demikian, kemungkinan pendapat yang terkuat adalah berdasarkan pembacaan J.P. Moquette atas baris kelima tulisan pada prasasti makamnya di desa Gapura Wetan, Gresik; yang mengindikasikan bahwa ia berasal dari Kashan, suatu tempat di Iran sekarang.[4]

Terdapat beberapa versi mengenai silsilah Maulana Malik Ibrahim. Ia pada umumnya dianggap merupakan keturunan Rasulullah SAW; melalui jalur keturunan Husain bin Ali, Ali Zainal Abidin, Muhammad al-Baqir, Ja’far ash-Shadiq, Ali al-Uraidhi, Muhammad al-Naqib, Isa ar-Rumi, Ahmad al-Muhajir, Ubaidullah, Alwi Awwal, Muhammad Sahibus Saumiah, Alwi ats-Tsani, Ali Khali’ Qasam, Muhammad Shahib Mirbath, Alwi Ammi al-Faqih, Abdul Malik (Ahmad Khan), Abdullah (al-Azhamat) Khan, Ahmad Syah Jalal, Jamaluddin Akbar al-Husain (Maulana Akbar), dan Maulana Malik Ibrahim. [5] [6] [7] [8]

Penyebaran agama

Maulana Malik Ibrahim dianggap termasuk salah seorang yang pertama-tama menyebarkan agama Islam di tanah Jawa, dan merupakan wali senior diantara para Walisongo lainnya.[9] Beberapa versi babad menyatakan bahwa kedatangannya disertai beberapa orang. Daerah yang ditujunya pertama kali ialah desa Sembalo, sekarang adalah daerah Leran, Kecamatan Manyar, yaitu 9 kilometer ke arah utara kota Gresik. Ia lalu mulai menyiarkan agama Islam di tanah Jawa bagian timur, dengan mendirikan mesjid pertama di desa Pasucinan, Manyar.

Pertama-tama yang dilakukannya ialah mendekati masyarakat melalui pergaulan. Budi bahasa yang ramah-tamah senantiasa diperlihatkannya di dalam pergaulan sehari-hari. Ia tidak menentang secara tajam agama dan kepercayaan hidup dari penduduk asli, melainkan hanya memperlihatkan keindahan dan kabaikan yang dibawa oleh agama Islam. Berkat keramah-tamahannya, banyak masyarakat yang tertarik masuk ke dalam agama Islam.[10]

Sebagaimana yang dilakukan para wali awal lainnya, aktivitas pertama yang dilakukan Maulana Malik Ibrahim ialah berdagang. Ia berdagang di tempat pelabuhan terbuka, yang sekarang dinamakan desa Roomo, Manyar.[11] Perdagangan membuatnya dapat berinteraksi dengan masyarakat banyak, selain itu raja dan para bangsawan dapat pula turut serta dalam kegiatan perdagangan tersebut sebagai pelaku jual-beli, pemilik kapal atau pemodal.[12]

Setelah cukup mapan di masyarakat, Maulana Malik Ibrahim kemudian melakukan kunjungan ke ibukota Majapahit di Trowulan. Raja Majapahit meskipun tidak masuk Islam tetapi menerimanya dengan baik, bahkan memberikannya sebidang tanah di pinggiran kota Gresik. Wilayah itulah yang sekarang dikenal dengan nama desa Gapura. Cerita rakyat tersebut diduga mengandung unsur-unsur kebenaran; mengingat menurut Groeneveldt pada saat Maulana Malik Ibrahim hidup, di ibukota Majapahit telah banyak orang asing termasuk dari Asia Barat. [13]

Demikianlah, dalam rangka mempersiapkan kader untuk melanjutkan perjuangan menegakkan ajaran-ajaran Islam, Maulana Malik Ibrahim membuka pesantren-pesantren yang merupakan tempat mendidik pemuka agama Islam di masa selanjutnya. Hingga saat ini makamnya masih diziarahi orang-orang yang menghargai usahanya menyebarkan agama Islam berabad-abad yang silam. Setiap malam Jumat Legi, masyarakat setempat ramai berkunjung untuk berziarah. Ritual ziarah tahunan atau haul juga diadakan setiap tanggal 12 Rabi’ul Awwal, sesuai tanggal wafat pada prasasi makamnya. Pada acara haul biasa dilakukan khataman Al-Quran, mauludan (pembacaan riwayat Nabi Muhammad), dan dihidangkan makanan khas bubur harisah.[14]

Legenda rakyat

Menurut legenda rakyat, dikatakan bahwa Maulana Malik Ibrahim berasal dari Persia. Maulana Malik Ibrahim Ibrahim dan Maulana Ishaq disebutkan sebagai anak dari Maulana Jumadil Kubro, atau Syekh Jumadil Qubro. Maulana Ishaq disebutkan menjadi ulama terkenal di Samudera Pasai, sekaligus ayah dari Raden Paku atau Sunan Giri. Syekh Jumadil Qubro dan kedua anaknya bersama-sama datang ke pulau Jawa. Setelah itu mereka berpisah; Syekh Jumadil Qubro tetap di pulau Jawa, Maulana Malik Ibrahim ke Champa, Vietnam Selatan; dan adiknya Maulana Ishak mengislamkan Samudera Pasai.

Maulana Malik Ibrahim disebutkan bermukim di Champa (dalam legenda disebut sebagai negeri Chermain atau Cermin) selama tiga belas tahun. Ia menikahi putri raja yang memberinya dua putra; yaitu Raden Rahmat atau Sunan Ampel dan Sayid Ali Murtadha atau Raden Santri. Setelah cukup menjalankan misi dakwah di negeri itu, ia hijrah ke pulau Jawa dan meninggalkan keluarganya. Setelah dewasa, kedua anaknya mengikuti jejaknya menyebarkan agama Islam di pulau Jawa.

Maulana Malik Ibrahim dalam cerita rakyat terkadang juga disebut dengan nama Kakek Bantal. Ia mengajarkan cara-cara baru bercocok tanam. Ia merangkul masyarakat bawah, dan berhasil dalam misinya mencari tempat di hati masyarakat sekitar yang ketika itu tengah dilanda krisis ekonomi dan perang saudara.

Selain itu, ia juga sering mengobati masyarakat sekitar tanpa biaya. Sebagai tabib, diceritakan bahwa ia pernah diundang untuk mengobati istri raja yang berasal dari Champa. Besar kemungkinan permaisuri tersebut masih kerabat istrinya.

Wafat

makam malik ibrahimSetelah selesai membangun dan menata pondokan tempat belajar agama di Leran, tahun 1419 Maulana Malik Ibrahim wafat. Makamnya kini terdapat di desa Gapura Wetan, Gresik, Jawa Timur.

Inskripsi dalam bahasa Arab yang tertulis pada makamnya adalah sebagai berikut:

Ini adalah makam almarhum seorang yang dapat diharapkan mendapat pengampunan Allah dan yang mengharapkan kepada rahmat Tuhannya Yang Maha Luhur, guru para pangeran dan sebagai tongkat sekalian para Sultan dan Wazir, siraman bagi kaum fakir dan miskin. Yang berbahagia dan syahid penguasa dan urusan agama: Malik Ibrahim yang terkenal dengan kebaikannya. Semoga Allah melimpahkan rahmat dan ridha-Nya dan semoga menempatkannya di surga. Ia wafat pada hari Senin 12 Rabi’ul Awwal 822 Hijriah.

Saat ini, jalan yang menuju ke makam tersebut diberi nama Jalan Malik Ibrahim. [15]

Referensi

1. ^ Meinsma, J.J., 1903. Serat Babad Tanah Jawi, Wiwit Saking Nabi Adam Dumugi ing Tahun 1647. S’Gravenhage.

2. ^ Mahomedans adalah istilah sebutan Raffles untuk penganut agama Islam. Lihat artikel Muhammad untuk keterangan lebih lanjut.

3. ^ Raffles, Sir Thomas Stamford, F.R.S., 1830. The History of Java, from the earliest Traditions till the establisment of Mahomedanism. Published by John Murray, Albemarle-Street. Vol II, 2nd Ed, Chap X, page 122.

4. ^ Moquette, J.P., 1912. “De oudste Mohammedaansche inscriptie op Java end Madura de graafsteen te Leran”.

5. ^ Hasyim, Umar, 1981. Riwayat Maulana Malik Ibrahim. Menara Kudus.

6. ^ Al-Murtadho, H. Sayid Husein, dan KH Abdullah Zaky Al-Kaaf, Drs. Maman Abd. Djaliel, 1999. Keteladanan Dan Perjuangan Wali Songo Dalam Menyiarkan Islam Di Tanah Jawa. CV Pustaka Setia, Bandung.

7. ^ Nasab-Alwi (Ammu al-Faqih), [1] Situs Asyraaf Malaysia (Situs Persatuan Alawiyyin Malaysia)

8. ^ Van Bruinessen, Martin, 1994. Najmuddin al-Kubra, Jumadil Kubra and Jamaluddin al-Akbar: Traces of Kubrawiyya influence in early Indonesian Islam, Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde 150, 305-329.

9. ^ Drewes, G. W. J. 1968. New Light on the Coming of Islam to Indonesia?, Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde.

10. ^ Salam, Solichin, 1960. Sekitar Walisanga, hlm 24-25, Penerbit “Menara Kudus”, Kudus.

11. ^ Munif, Drs. Moh. Hasyim, 1995. Pioner & Pendekar Syiar Islam Tanah Jawa, hlm 5-6, Yayasan Abdi Putra Al-Munthasimi, Gresik.

12. ^ Tjandrasasmita, Uka (Ed.), 1984. Sejarah Nasional Indonesia III, hlm 26-27, PN Balai Pustaka, Jakarta.

13. ^ Groeneveldt, W.P., 1960. Historical Notes on Indonesia and Malaya Compiled from Chinese Sources. Bhratara, Jakarta.

14. ^ Jejak Para Wali dan Ziarah Spiritual, Penerbit Buku Kompas, Desember 2006.

15. ^ Jejak Para Wali dan Ziarah Spiritual, Penerbit Buku Kompas, Desember 2006.

Walisanga

Walisongo atau Walisanga dikenal sebagai penyebar agama Islam di tanah Jawa pada abad ke-17. Mereka tinggal di tiga wilayah penting pantai utara Pulau Jawa, yaitu Surabaya-Gresik-Lamongan di Jawa Timur, Demak-Kudus-Muria di Jawa Tengah, dan Cirebon di Jawa Barat.

Era Walisongo adalah era berakhirnya dominasi Hindu-Budha dalam budaya Nusantara untuk digantikan dengan kebudayaan Islam. Mereka adalah simbol penyebaran Islam di Indonesia, khususnya di Jawa. Tentu banyak tokoh lain yang juga berperan. Namun peranan mereka yang sangat besar dalam mendirikan Kerajaan Islam di Jawa, juga pengaruhnya terhadap kebudayaan masyarakat secara luas serta dakwah secara langsung, membuat para Walisongo ini lebih banyak disebut dibanding yang lain.

Arti Walisongo

Wali Sanga Ada beberapa pendapat mengenai arti Walisongo. Pertama adalah wali yang sembilan, yang menandakan jumlah wali yang ada sembilan, atau sanga dalam bahasa Jawa. Pendapat lain menyebutkan bahwa kata songo/sanga berasal dari kata tsana yang dalam bahasa Arab berarti mulia. Pendapat lainnya lagi menyebut kata sana berasal dari bahasa Jawa, yang berarti tempat.

Pendapat lain yang mengatakan bahwa Walisongo ini adalah sebuah dewan yang didirikan oleh Raden Rahmat (Sunan Ampel) pada tahun 1474. Saat itu dewan Walisongo beranggotakan Raden Hasan (Pangeran Bintara); Makhdum Ibrahim (Sunan Bonang, putra pertama dari Sunan Ampel); Qasim (Sunan Drajad, putra kedua dari Sunan Ampel); Usman Haji (Pangeran Ngudung, ayah dari Sunan Kudus); Raden Ainul Yaqin (Sunan Giri, putra dari Maulana Ishaq); Syekh Suta Maharaja; Raden Hamzah (Pangeran Tumapel) dan Raden Mahmud.

Para Walisongo adalah intelektual yang menjadi pembaharu masyarakat pada masanya. Pengaruh mereka terasakan dalam beragam bentuk manifestasi peradaban baru masyarakat Jawa, mulai dari kesehatan, bercocok-tanam, perniagaan, kebudayaan, kesenian, kemasyarakatan, hingga ke pemerintahan.

Nama-nama Walisongo

Meskipun terdapat perbedaan pendapat mengenai siapa saja yang termasuk sebagai Walisongo, pada umumnya terdapat sembilan nama yang dikenal sebagai anggota Walisongo yang paling terkenal, yaitu:

* Sunan Gresik atau Maulana Malik Ibrahim
* Sunan Ampel atau Raden Rahmat
* Sunan Bonang atau Raden Makhdum Ibrahim
* Sunan Drajat atau Raden Qasim
* Sunan Kudus atau Jaffar Shadiq
* Sunan Giri atau Raden Paku atau Ainul Yaqin
* Sunan Kalijaga atau Raden Said
* Sunan Muria atau Raden Umar Said
* Sunan Gunung Jati atau Syarif Hidayatullah

Para Walisongo tidak hidup pada saat yang persis bersamaan. Namun satu sama lain mempunyai keterkaitan erat, bila tidak dalam ikatan darah juga karena pernikahan atau dalam hubungan guru-murid.

Maulana Malik Ibrahim
Sunan Gresik Maulana Malik Ibrahim

Maulana Malik Ibrahim

Maulana Malik Ibrahim adalah keturunan ke-11 dari Husain bin Ali. Ia disebut juga Sunan Gresik, Syekh Maghribi, atau terkadang Makhdum Ibrahim As-Samarqandy. Ia diperkirakan lahir di Samarkand di Asia Tengah, pada paruh awal abad ke-14. Babad Tanah Jawi versi Meinsma menyebutnya Asmarakandi, mengikuti pengucapan lidah orang Jawa terhadap As-Samarqandy.[1] Dalam cerita rakyat, ada yang memanggilnya Kakek Bantal.

Malik Ibrahim umumnya dianggap sebagai wali pertama yang mendakwahkan Islam di Jawa. Ia mengajarkan cara-cara baru bercocok tanam dan banyak merangkul rakyat kebanyakan, yaitu golongan masyarakat Jawa yang tersisihkan akhir kekuasaan Majapahit. Malik Ibrahim berusaha menarik hati masyarakat, yang tengah dilanda krisis ekonomi dan perang saudara. Ia membangun pondokan tempat belajar agama di Leran, Gresik. Pada tahun 1419, Malik Ibrahim wafat. Makamnya terdapat di desa Gapura Wetan, Gresik, Jawa Timur.

Sunan Ampel
Sunan Ampel

Sunan Ampel

Sunan Ampel bernama asli Raden Rahmat, keturunan ke-12 dari Husain bin Ali, menurut riwayat adalah putra Maulana Malik Ibrahim dan seorang putri Champa. Ia disebutkan masih berkerabat dengan salah seorang istri atau selir dari Brawijaya raja Majapahit. Sunan Ampel umumnya dianggap sebagai sesepuh oleh para wali lainnya. Pesantrennya bertempat di Ampel Denta, Surabaya, dan merupakan salah satu pusat penyebaran agama Islam tertua di Jawa. Ia menikah dengan Nyai Ageng Manila, putri adipati Tuban bernama Arya Teja. Sunan Bonang dan Sunan Kudus adalah anak-anaknya, sedangkan Sunan Drajat adalah cucunya. Makam Sunan Ampel teletak di dekat Masjid Ampel, Surabaya.

Sunan Bonang
Sunan Bonang

Sunan Bonang

Sunan Bonang adalah putra Sunan Ampel, dan merupakan keturunan ke-13 dari Husain bin Ali. Ia adalah putra Sunan Ampel dengan Nyai Ageng Manila, putri adipati Tuban bernama Arya Teja. Sunan Bonang banyak berdakwah melalui kesenian untuk menarik penduduk Jawa agar memeluk agama Islam. Ia dikatakan sebagai penggubah suluk Wijil dan tembang Tombo Ati, yang masih sering dinyanyikan orang. Pembaharuannya pada gamelan Jawa ialah dengan memasukkan rebab dan bonang, yang sering dihubungkan dengan namanya. Universitas Leiden menyimpan sebuah karya sastra bahasa Jawa bernama Het Boek van Bonang atau Buku Bonang. Menurut G.W.J. Drewes, itu bukan karya Sunan Bonang namun mungkin saja mengandung ajarannya. Sunan Bonang diperkirakan wafat pada tahun 1525.

Sunan Drajat
Sunan Drajat

Sunan Drajat

Sunan Drajat adalah putra Sunan Ampel, dan merupakan keturunan ke-13 dari Husain bin Ali. Ia adalah putra Sunan Ampel dengan Nyai Ageng Manila, putri adipati Tuban bernama Arya Teja. Sunan Drajat banyak berdakwah kepada masyarakat kebanyakan. Ia menekankan kedermawanan, kerja keras, dan peningkatan kemakmuran masyarakat, sebagai pengamalan dari agama Islam. Pesantren Sunan Drajat dijalankan secara mandiri sebagai wilayah perdikan, bertempat di Desa Drajat, Kecamatan Paciran, Lamongan. Tembang macapat Pangkur disebutkan sebagai ciptaannya. Gamelan Singomengkok peninggalannya terdapat di Musium Daerah Sunan Drajat, Lamongan. Sunan Drajat diperkirakan wafat wafat pada 1522.

Sunan Kudus
Sunan Kudus

Sunan Kudus

Sunan Kudus adalah putra Sunan Ngudung atau Raden Usman Haji, dengan Syarifah adik dari Sunan Bonang. Sunan Kudus adalah keturunan ke-14 dari Husain bin Ali. Sebagai seorang wali, Sunan Kudus memiliki peran yang besar dalam pemerintahan Kesultanan Demak, yaitu sebagai panglima perang dan hakim peradilan negara. Ia banyak berdakwah di kalangan kaum penguasa dan priyayi Jawa. Diantara yang pernah menjadi muridnya, ialah Sunan Prawoto penguasa Demak, dan Arya Penangsang adipati Jipang Panolan. Salah satu peninggalannya yang terkenal ialah Mesjid Menara Kudus, yang arsitekturnya bergaya campuran Hindu dan Islam. Sunan Kudus diperkirakan wafat pada tahun 1550.

Sunan Giri
Sunan Giri

Sunan Giri

Sunan Giri adalah putra Maulana Ishaq. Sunan Giri adalah keturunan ke-12 dari Husain bin Ali, merupakan murid dari Sunan Ampel dan saudara seperguruan dari Sunan Bonang. Ia mendirikan pemerintahan mandiri di Giri Kedaton, Gresik; yang selanjutnya berperan sebagai pusat dakwah Islam di wilayah Jawa dan Indonesia timur, bahkan sampai ke kepulauan Maluku. Salah satu keturunannya yang terkenal ialah Sunan Giri Prapen, yang menyebarkan agama Islam ke wilayah Lombok dan Bima.

Sunan Kalijaga
Sunan Kali Jaga

Sunan Kalijaga

Sunan Kalijaga adalah putra adipati Tuban yang bernama Tumenggung Wilatikta atau Raden Sahur. Ia adalah murid Sunan Bonang. Sunan Kalijaga menggunakan kesenian dan kebudayaan sebagai sarana untuk berdakwah, antara lain kesenian wayang kulit dan tembang suluk. Tembang suluk Ilir-Ilir dan Gundul-Gundul Pacul umumnya dianggap sebagai hasil karyanya. Dalam satu riwayat, Sunan Kalijaga disebutkan menikah dengan Dewi Saroh binti Maulana Ishaq.

Sunan Muria
Sunan Muria

Sunan Muria

Sunan Muria atau Raden Umar Syaid, atau Raden Said adalah putera dari Sunan Kalijaga dalam perkawinannya dengan Dewi Soejinah putri Sunan Ngudung. Nama kecilnya ialah Raden Prawoto. Dadi kakak Sunan Kudus, Sunan Muria memperoleh seorang putera yang diberi nama pangeran santri, dan kemudian mendapat julukan dengan : Sunan Ngadilungu.

Sunan Gunung Jati
Sunan Gunung Jati

Sunan Gunung Jati

Sunan Gunung Jati atau Syarif Hidayatullah adalah putra Syarif Abdullah putra Nurul Alam putra Syekh Jamaluddin Akbar. Dari pihak ibu, ia masih keturunan keraton Pajajaran melalui Nyai Rara Santang, yaitu anak dari Sri Baduga Maharaja. Sunan Gunung Jati mengembangkan Cirebon sebagai pusat dakwah dan pemerintahannya, yang sesudahnya kemudian menjadi Kesultanan Cirebon. Anaknya yang bernama Maulana Hasanuddin, juga berhasil mengembangkan kekuasaan dan menyebarkan agama Islam di Banten, sehingga kemudian menjadi cikal-bakal berdirinya Kesultanan Banten.

Tokoh pendahulu Walisongo

Syekh Jumadil Qubro

Syekh Jumadil Qubro adalah tokoh yang sering disebutkan dalam berbagai babad dan cerita rakyat sebagai salah seorang pelopor penyebaran Islam di tanah Jawa. Ia umumnya dianggap bukan keturunan Jawa, melainkan berasal dari Asia Tengah. Terdapat beberapa versi babad yang meyakini bahwa ia adalah keturunan ke-10 dari Husain bin Ali, yaitu cucu Nabi Muhammad SAW. Sedangkan Martin van Bruinessen (1994) menyatakan bahwa ia adalah tokoh yang sama dengan Jamaluddin Akbar (lihat keterangan Syekh Maulana Akbar di bawah).

Sebagian babad berpendapat bahwa Syekh Jumadil Qubro memiliki dua anak, yaitu Maulana Malik Ibrahim (Sunan Gresik) dan Maulana Ishaq, yang bersama-sama dengannya datang ke pulau Jawa. Syekh Jumadil Qubro kemudian tetap di Jawa, Maulana Malik Ibrahim ke Champa, dan adiknya Maulana Ishaq mengislamkan Samudera Pasai. Dengan demikian, beberapa Walisongo yaitu Sunan Ampel (Raden Rahmat) dan Sunan Giri (Raden Paku) adalah cucunya; sedangkan Sunan Bonang, Sunan Drajad dan Sunan Kudus adalah cicitnya. Hal tersebut menyebabkan adanya pendapat yang mengatakan bahwa para Walisongo merupakan keturunan etnis Uzbek yang dominan di Asia Tengah, selain kemungkinan lainnya yaitu etnis Persia, Gujarat, ataupun Hadramaut.

Makamnya terdapat di beberapa tempat yaitu di Semarang, Trowulan, atau di desa Turgo (dekat Pelawangan), Yogyakarta. Belum diketahui yang mana yang betul-betul merupakan kuburnya.[2]

Syekh Maulana Akbar

Syekh Maulana Akbar adalah adalah seorang tokoh di abad 14-15 yang dianggap merupakan pelopor penyebaran Islam di tanah Jawa. Nama lainnya ialah Syekh Jamaluddin Akbar dari Gujarat, dan ia kemungkinan besar adalah juga tokoh yang dipanggil dengan nama Syekh Jumadil Kubro, sebagaimana tersebut di atas. Hal ini adalah menurut penelitian Martin van Bruinessen (1994), yang menyatakan bahwa nama Jumadil Kubro (atau Jumadil Qubro) sesungguhnya adalah hasil perubahan hyper-correct atas nama Jamaluddin Akbar oleh masyarakat Jawa.[3]

Silsilah Syekh Maulana Akbar (Jamaluddin Akbar) dari Nabi Muhammad SAW umumnya dinyatakan sebagai berikut: Sayyidina Husain, Ali Zainal Abidin, Muhammad al-Baqir, Ja’far ash-Shadiq, Ali al-Uraidhi, Muhammad al-Naqib, Isa ar-Rummi, Ahmad al-Muhajir, Ubaidullah, Alwi Awwal, Muhammad Sahibus Saumiah, Alwi ats-Tsani, Ali Khali’ Qasam, Muhammad Shahib Mirbath, Alwi Ammi al-Faqih, Abdul Malik (Ahmad Khan), Abdullah (al-Azhamat) Khan, Ahmad Jalal Syah, dan Jamaluddin Akbar al-Husaini (Maulana Akbar).

Menurut cerita rakyat, sebagian besar Walisongo memiliki hubungan atau berasal dari keturunan Syekh Maulana Akbar ini. Tiga putranya yang disebutkan meneruskan dakwah di Asia Tenggara; adalah Ibrahim Akbar (atau Ibrahim as-Samarkandi) ayah Sunan Ampel yang berdakwah di Champa dan Gresik, Ali Nuralam Akbar kakek Sunan Gunung Jati yang berdakwah di Pasai, dan Zainal Alam Barakat.

Penulis asal Bandung Muhammad Al Baqir dalam Tarjamah Risalatul Muawanah (Thariqah Menuju Kebahagiaan) memasukkan beragam catatan kaki dari riwayat-riwayat lama tentang kedatangan para mubaligh Arab ke Asia Tenggara. Ia berkesimpulan bahwa cerita rakyat tentang Syekh Maulana Akbar yang sempat mengunjungi Nusantara dan wafat di Wajo, Makasar (dinamakan masyarakat setempat makam Kramat Mekkah), belum dapat dikonfirmasikan dengan sumber sejarah lain. Selain itu juga terdapat riwayat turun-temurun tarekat Sufi di Jawa Barat, yang menyebutkan bahwa Syekh Maulana Akbar wafat dan dimakamkan di Cirebon, meskipun juga belum dapat diperkuat sumber sejarah lainnya.

Syekh Quro

Syekh Quro adalah pendiri pesantren pertama di Jawa Barat, yaitu pesantren Quro di Tanjungpura, Karawang pada tahun 1428.[4]

Nama aslinya Syekh Quro ialah Hasanuddin. Beberapa babad menyebutkan bahwa ia adalah muballigh (penyebar agama} asal Mekkah, yang berdakwah di daerah Karawang. Ia diperkirakan datang dari Champa atau kini Vietnam selatan. Sebagian cerita menyatakan bahwa ia turut dalam pelayaran armada Cheng Ho, saat armada tersebut tiba di daerah Tanjung Pura, Karawang.

Syekh Quro sebagai guru dari Nyai Subang Larang, anak Ki Gedeng Tapa penguasa Cirebon. Nyai Subang Larang yang cantik dan halus budinya, kemudian dinikahi oleh Raden Manahrasa dari wangsa Siliwangi, yang setelah menjadi raja Kerajaan Pajajaran bergelar Sri Baduga Maharaja. Dari pernikahan tersebut, lahirlah Pangeran Kian Santang yang selanjutnya menjadi penyebar agama Islam di Jawa Barat.

Makam Syekh Quro terdapat di desa Pulo Kalapa, Lemahabang, Karawang.

Syekh Datuk Kahfi

Syekh Datuk Kahfi adalah muballigh asal Baghdad memilih markas di pelabuhan Muara Jati, yaitu kota Cirebon sekarang. Ia bernama asli Idhafi Mahdi.

Majelis pengajiannya menjadi terkenal karena didatangi oleh Nyai Rara Santang dan Kian Santang (Pangeran Cakrabuwana), yang merupakan putra-putri Nyai Subang Larang dari pernikahannya dengan raja Pajajaran dari wangsa Siliwangi. Di tempat pengajian inilah tampaknya Nyai Rara Santang bertemu atau dipertemukan dengan Syarif Abdullah, cucu Syekh Maulana Akbar Gujarat. Setelah mereka menikah, lahirlah Raden Syarif Hidayatullah kemudian hari dikenal sebagai Sunan Gunung Jati.

Makam Syekh Datuk Kahfi ada di Gunung Jati, satu komplek dengan makam Sunan Gunung Jati.

Syekh Khaliqul Idrus

Syekh Khaliqul Idrus adalah seorang muballigh Parsi yang berdakwah di Jepara. Menurut suatu penelitian, ia diperkirakan adalah Syekh Abdul Khaliq, dengan laqob Al-Idrus, anak dari Syekh Muhammad Al-Alsiy yang wafat di Isfahan, Parsi.

Syekh Khaliqul Idrus di Jepara menikahi salah seorang cucu Syekh Maulana Akbar yang kemudian melahirkan Raden Muhammad Yunus. Raden Muhammad Yunus kemudian menikahi salah seorang putri Majapahit hingga mendapat gelar Wong Agung Jepara. Pernikahan Raden Muhammad Yunus dengan putri Majapahit di Jepara ini kemudian melahirkan Raden Abdul Qadir yang menjadi menantu Raden Patah, bergelar Adipati Bin Yunus atau Pati Unus. Setelah gugur di Malaka 1521, Pati Unus dipanggil dengan sebutan Pangeran Sabrang Lor. [5]

Teori keturunan Hadramaut

Walaupun masih ada pendapat yang menyebut Walisongo adalah keturunan Samarkand (Asia Tengah), Champa atau tempat lainnya, namun tampaknya tempat-tampat tersebut lebih merupakan jalur penyebaran para mubaligh daripada merupakan asal-muasal mereka yang sebagian besar adalah kaum Sayyid atau Syarif. Beberapa argumentasi yang diberikan oleh Muhammad Al Baqir, dalam bukunya Thariqah Menuju Kebahagiaan, mendukung bahwa Walisongo adalah keturunan Hadramaut:

L.W.C van den Berg, Islamolog dan ahli hukum Belanda yang mengadakan riset pada 1884-1886, dalam bukunya Le Hadhramout et les colonies arabes dans l’archipel Indien (1886)[6] mengatakan:

”Adapun hasil nyata dalam penyiaran agama Islam (ke Indonesia) adalah dari orang-orang Sayyid Syarif. Dengan perantaraan mereka agama Islam tersiar di antara raja-raja Hindu di Jawa dan lainnya. Selain dari mereka ini, walaupun ada juga suku-suku lain Hadramaut (yang bukan golongan Sayyid Syarif), tetapi mereka ini tidak meninggalkan pengaruh sebesar itu. Hal ini disebabkan mereka (kaum Sayyid Syarif) adalah keturunan dari tokoh pembawa Islam (Nabi Muhammad SAW).”

van den Berg juga menulis dalam buku yang sama (hal 192-204):

”Pada abad ke-15, di Jawa sudah terdapat penduduk bangsa Arab atau keturunannya, yaitu sesudah masa kerajaan Majapahit yang kuat itu. Orang-orang Arab bercampul-gaul dengan penduduk, dan sebagian mereka mempuyai jabatan-jabatan tinggi. Mereka terikat dengan pergaulan dan kekeluargaan tingkat atasan. Rupanya pembesar-pembesar Hindu di kepulauan Hindia telah terpengaruh oleh sifat-sifat keahlian Arab, oleh karena sebagian besar mereka berketurunan pendiri Islam (Nabi Muhammad SAW). Orang-orang Arab Hadramawt (Hadramaut) membawa kepada orang-orang Hindu pikiran baru yang diteruskan oleh peranakan-peranakan Arab, mengikuti jejak nenek moyangnya.”

Pernyataan van den Berg spesifik menyebut abad ke-15, yang merupakan abad spesifik kedatangan atau kelahiran sebagian besar Walisongo di pulau Jawa. Abad ke-15 ini jauh lebih awal dari abad ke-18 yang merupakan saat kedatangan gelombang berikutnya, yaitu kaum Hadramaut yang bermarga Assegaf, Al Habsyi, Al Hadad, Alaydrus, Alatas, Al Jufri, Syihab, Syahab dan banyak marga Hadramaut lainnya.

Hingga saat ini umat Islam di Hadramaut sebagian besar bermadzhab Syafi’i, sama seperti mayoritas di Srilangka, pesisir India Barat (Gujarat dan Malabar), Malaysia dan Indonesia. Bandingkan dengan umat Islam di Uzbekistan dan seluruh Asia Tengah, Pakistan dan India pedalaman (non-pesisir) yang sebagian besar bermadzhab Hanafi.

Kesamaan dalam pengamalan madzhab Syafi’i bercorak tasawuf dan mengutamakan Ahlul Bait; seperti mengadakan Maulid, membaca Diba & Barzanji, beragam Shalawat Nabi, doa Nur Nubuwwah dan banyak amalan lainnya hanya terdapat di Hadramaut, Mesir, Gujarat, Malabar, Srilangka, Sulu & Mindanao, Malaysia dan Indonesia. Kitab fiqh Syafi’i Fathul Muin yang populer di Indonesia dikarang oleh Zainuddin Al Malabary dari Malabar, isinya memasukkan pendapat-pendapat baik kaum Fuqaha maupun kaum Sufi. Hal tersebut mengindikasikan kesamaan sumber yaitu Hadramaut, karena Hadramaut adalah sumber pertama dalam sejarah Islam yang menggabungkan fiqh Syafi’i dengan pengamalan tasawuf dan pengutamaan Ahlul Bait.

Di abad ke-15, raja-raja Jawa yang berkerabat dengan Walisongo seperti Raden Patah dan Pati Unus sama-sama menggunakan gelar Alam Akbar. Gelar tersebut juga merupakan gelar yang sering dikenakan oleh keluarga besar Jamaluddin Akbar di Gujarat pada abad ke-14, yaitu cucu keluarga besar Azhamat Khan (atau Abdullah Khan) bin Abdul Malik bin Alwi, seorang anak dari Muhammad Shahib Mirbath ulama besar Hadramaut abad ke-13. Keluarga besar ini terkenal sebagai mubaligh musafir yang berdakwah jauh hingga pelosok Asia Tenggara, dan mempunyai putra-putra dan cucu-cucu yang banyak menggunakan nama Akbar, seperti Zainal Akbar, Ibrahim Akbar, Ali Akbar, Nuralam Akbar dan banyak lainnya.

Teori keturunan Cina

Sejarawan Slamet Muljana mengundang kontroversi dalam buku Runtuhnya Kerajaan Hindu Jawa (1968), dengan menyatakan bahwa Walisongo adalah keturunan Tionghoa Indonesia.[7] Pendapat tersebut mengundang reaksi keras masyarakat yang berpendapat bahwa Walisongo adalah keturunan Arab-Indonesia. Pemerintah Orde Baru sempat melarang terbitnya buku tersebut.

Referensi-referensi yang menyatakan dugaan bahwa Walisongo berasal dari atau keturunan Tionghoa sampai saat ini masih merupakan hal yang kontroversial. Referensi yang dimaksud hanya dapat diuji melalui sumber akademik yang berasal dari Slamet Muljana, yang merujuk kepada tulisan Mangaraja Onggang Parlindungan, yang kemudian merujuk kepada seseorang yang bernama Resident Poortman. Namun, Resident Poortman hingga sekarang belum bisa diketahui identitasnya serta kredibilitasnya sebagai sejarawan, misalnya bila dibandingkan dengan Snouck Hurgronje dan L.W.C. van den Berg. Sejarawan Belanda masa kini yang banyak mengkaji sejarah Islam di Indonesia yaitu Martin van Bruinessen, bahkan tak pernah sekalipun menyebut nama Poortman dalam buku-bukunya yang diakui sangat detail dan banyak dijadikan referensi.

Salah satu ulasan atas tulisan H.J. de Graaf, Th.G.Th. Pigeaud, M.C. Ricklefs berjudul Chinese Muslims in Java in the 15th and 16th Centuries adalah yang ditulis oleh Russell Jones. Di sana, ia meragukan pula tentang keberadaan seorang Poortman. Bila orang itu ada dan bukan bernama lain, seharusnya dapat dengan mudah dibuktikan mengingat ceritanya yang cukup lengkap dalam tulisan Parlindungan [8].

Sumber tertulis tentang Walisongo

1. Terdapat beberapa sumber tertulis masyarakat Jawa tentang Walisongo, antara lain Serat Walisanga karya Ranggawarsita pada abad ke-19, Kitab Walisongo karya Sunan Dalem (Sunan Giri II) yang merupakan anak dari Sunan Giri, dan juga diceritakan cukup banyak dalam Babad Tanah Jawi.

2. Mantan Mufti Johor Sayyid `Alwî b. Tâhir b. `Abdallâh al-Haddâd (meninggal tahun 1962) juga meninggalkan tulisan yang berjudul Sejarah perkembangan Islam di Timur Jauh (Jakarta: Al-Maktab ad-Daimi, 1957). Ia menukil keterangan diantaranya dari Haji `Ali bin Khairuddin, dalam karyanya Ketrangan kedatangan bungsu (sic!) Arab ke tanah Jawi sangking Hadramaut.

3. Dalam penulisan sejarah para keturunan Bani Alawi seperti al-Jawahir al-Saniyyah oleh Sayyid Ali bin Abu Bakar Sakran, ‘Umdat al-Talib oleh al-Dawudi, dan Syams al-Zahirah oleh Sayyid Abdul Rahman Al-Masyhur; juga terdapat pembahasan mengenai leluhur Sunan Gunung Jati, Sunan Ampel, Sunan Giri, Sunan Kudus, Sunan Bonang dan Sunan Gresik.

Referensi

1. ^ Meinsma, J.J., 1903. Serat Babad Tanah Jawi, Wiwit Saking Nabi Adam Dumugi ing Tahun 1647. S’Gravenhage.

2. ^ Istilah maqam, selain berarti kubur juga dapat berarti tempat menetap atau tempat yang pernah dikunjungi seorang tokoh; contohnya seperti makam Nabi Ibrahim di Masjidil Haram.

3. ^ van Bruinessen, Martin, 1994. Najmuddin al-Kubra, Jumadil Kubra and Jamaluddin al-Akbar: Traces of Kubrawiyya influence in early Indonesian Islam, Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde 150, hal 305-329.

4. ^ Drs. H. Ridwan Saidi (27 Maret 2007). Disampaikan pada Seminar Genealogi Intelektual Ulama Betawi. Diselenggarakan oleh JIC (Jakarta Islamic Centre), Jakarta. Artikel Republika Online: Jumat, 13 April 2007.

5. ^ Lihat pula: Pangeran Sabrang Lor.

6. ^ van den Berg, Lodewijk Willem Christiaan, 1886. ”Le Hadhramout et les colonies arabes dans l’archipel Indien. Impr. du gouvernement, Batavia.

7. ^ Muljana, Slamet (2005). Runtuhnya kerajaan Hindu-Jawa dan timbulnya negara-negara Islam di Nusantara. LkiS, xxvi + 302 hlm.. ISBN 9799798451163.

8. ^ Russell Jones, review on Chinese Muslims in Java in the 15th and 16th Centuries written by H. J. de Graaf; Th. G. Th. Pigeaud; M. C. Ricklefs, Bulletin of the School of Oriental and African Studies, University of London, Vol. 50, No. 2. (1987), hlm. 423-424

Memeperbaiki Diri Sendiri

Pengajian Syeikh Abdul Qadir al-Jilany.
di Madrasahnya tanggal 18 Sya’ban 545 H.
Sibuklah untuk memperbaiki dirimu dan kebaikanmu. Tinggalkan bicara ini dan itu, tinggalkan kerumitan duniawi, maka anda akan lepas dari problemamu menurut kemampuanmu. Nabi saw, bersabda:

“Bebaskan dirimu dari kesusahan dunia menurut kemampuan maksimalmu.”

Hai orang-orang yang tolol karena dunia, seandainya anda tahu, pasti anda tidak memburunya. Dunia ketika datang padamu, justru akan melelahkan dirimu, dan jika ia berpaling, dunia akan membuatmu susah. Namun bila anda mengenal Allah Azza wa-Jalla, anda akan makhluk bersamaNya. Namun anda tidak mengenal Allah Azza wa-Jalla, para Rasul, para Nabi dan para WaliNya.

Waspadalah! Anda bisa mengambil pejaran dari kehidupan manusia terdahulu seputar dunia ini. Karenanya, bersihkan hatimu dari dunia, maka anda bisa melepaskan segala hal selain Allah Azza wa-Jalla dari jiwamu. Bila selain Dia Azza wa-Jalla masih mengikuti nafsu, maka tundukkan nafsumu, pada saat itulah anda melihat Tuhanmu Azza wa-Jalla. Pasrahkan semua kepadaNya, maka anda selamat. Mujahadahlah menuju DiriNya, maka anda meraih hidayah. Syukurlah padaNya, Dia akan menambah nikmatNya padamu, serahkan dirimu dan makhluk lain padaNya. Jangan sampai anda kontra padaNya dalam dirimu, juga jangan kontra pada selainmu.

Kaum Sufi tidak akan pernah berhasrat, ketika bersama Allah Azza wa-Jalla, dan tidak punya pilihan ketika bersama pilihanNya. Jangan sampai mereka berambisi mencari atau berebut bagian dariNya, begitu pula tidak mencari nikmat yang diberikan pada orang lain. Bila anda ingin bergabung dengan kaum sufi dunia dan akhirat, maka berserasilah dengan firmanNya, tindakan dan kehendakNya.

Saya melihat anda malah berbalik, dan berbuah kontra dan berbeda denganNya, malam dan siang. Ketika Allah Azza wa-Jalla berkata, “Kerjakan!” dan anda malah tidak mengerjakan. Seakan akan malah Allah Azza wa-Jalla jadi hamba dan anda menjadi yang dihamba.

Maha Suci Dia Azza wa-Jalla yang penuh dengan welas asihNya. Seandainya bukan karena rasa asihNya, pasti aku melihat semuanya yang kontra dalam dirimu. Bila anda ingin bahagia, diamlah di hadapanNya. Diam lahir dan batin pun sungguh merupakan su’ul adab bagiku, bahwa Dia menyilakannya karena sebagai bentuk keringanan belaka.

Karena itu lakukanlah perintahNya dan jauhi laranganNya, berserasilah dengan takdirNya, diamlah lahir dan batinmu di hadapanNya, maka anda akan melihat kebajikan dunia dan akhirat. Jangan minta pada makhluk, karena makhluk itu sangat lemah, sangat butuh, tidak memiliki apa pun, apalagi untuk lainnya, baik itu bahaya maupun manfaat.

Bersabarlah bersama Allah Azza wa-Jalla, jangan tergesa-gesa, dan jangan pula bakhil padaNya, jangan pula mencurigaiNya. Itu akan lebih bagus bagimu, darimu, untukmu. Maka sebagian sufi mengatakan, “Hai! Hati-hati padaku dan dariku! Kalian berserasi saja dengan Allah Azza wa-Jalla, karena Dialah Yang Maha Tahu pada kalian, bersama kalian. Karena tridak semua yang baik menurutmu, itu direkomendasi olehNya. Allah Azza wa-Jalla berfirman:

“Siapa tahu bila kalian tidak suka terhadap sesuatu, padahal itu lebih baik bagi kalian. Dan siapa tahu kalian mencintai sesuatu, sedangan hal itu lebih buruk bagi kalian. Allah Maha Tahu dan kalian tidak tahu.” (Al-Baqarah : 216)

]“Dan Allah menciptakan hal-hal yang kalian tidak tahu.” (An-Nahl : 8)

“Dan kalian tidak diberi ilmu, kecuali hanya sedikit.” (Al-Isra’ : 85)

Siapa pun yang hendak menempuh Jalan Allah Azza wa-Jalla, hendaknya ia membersihkan dirinya sebelum ia suluk. Sebab nafsu selalu su’ul adab, karena ia terus mendorong untuk keburukan.

Hati-hati, anda sedang beramal di sisi Allah Azza wa-Jalla, lalau bagaimana anda berjalan menuju kepadaNya?
Maka perangilah nafsumu, hingga ia tenang. Jika ia tenang maka ia akan mengikutimu menuju pintuNya. Jangan sampai berselaras dengan nafsu kecuali setelah anda membersihkannya, setelah mengajarinya, dan beradab yang bagus serta tenang pada janji Allah Azza wa-Jalla dan ancamanNya.

Nafsu itu buta, pekak, bisu, kotor dan lumpuh serta bodoh terhadap Tuhannya Azza wa-Jalla. Dan itu butuh kendali, butuh pembimbing dan waktu yang panjang, waktu demi waktu, hari demi hari, bahkan tahun demi tahun. Maka, beranikan dirimu dan jangan takut dengan pedang nafsu, tajamnya mata pedangnya dari besi yang keras kasar.

Nafsu hanya bicara tak pernah bertindak, dusta tanpa kejujuran, janji tanpa menepati. Tak ada cinta, dan ia mengembara tanpa negeri. Iblis adalah pemimpinnya. Dan nafsu tidak memiliki kekuatan untuk memusuhi dan kontra di hadapan orang beriman yang benar-benar dekat pada Allah Azza wa-Jalla.

Bagaimana mungkin? Karenanya jangan menduga bila Iblis masuk syurga dan mampu mengeluarkan Adam as, dari syurga itu semata karena kekuatannya. Namun karena Allah Azza wa-Jalla memberikan kekuatan, dan menjadikannya sebagai sebab belaka, bukan sebagai asal akarnya.

Hai orang yang akalnya picik, jangan sampai kalian lari dari pintu Allah Azza wa-Jalla, hanya karena cobaan yang menimpamu. Karena Dia lebih Tahu apa yang baik bagimu. Allah tidak memberikan cobaan padamu melainkan demi faedah dan guna. Bila Allah memberikan cobaan padamu, maka refleksikan dirimu akan dosa-dosamu, perbanyak istighfar, taubat, dan memohon kesabaran dan kekokohan. Tetaplah di hadapanNya, dan bergelayutlah pada belas kasihNya, dan mohonlah agar diberi jalan keluar dari cobaan itu, serta penjelasan arah kebajikan di dalamnya.

Keluar Dari Kemelut Kebangsaan

Pendekatan Sufistik
Sebuah kitab berjudul “Al-Munqidz minadh-Dhalal” karya Hujjatul Islam Al-Ghazali, Ulama besar abad VI hijriyah, telah mengilhami banyak kesadaran spiritual umat Islam, bahkan masyarakat dunia ketika itu. Makna dari judul itu adalah “Penyelamat dari kegelapan”.

Sebuah wacana yang mengingatkan kita semua, bahwa siklus moralitas manusia, akan menuju titik jenuhnya, dan secara dramatis telah memasuki abad-abad kegelapan yang mengerikan.

Dalam konteks kebangsaan kita dewasa ini, bentangan sejarah masa lalu merupakan mosaik yang memantulkan tiga wajah sejarah yang saling memperebutkan hegemoni, tanpa disadari hegemoni-hegemoni itu seringkali membiaskan gambaran, betapa drama para pemimpin negeri, konstelasi ideologi dan kepentingan pragmatis menjadi warna yang saling bergulungan satu sama lainnya. Lalu hari ini, tiba-tiba kita sudah berada di hamparan pulau asing, tanpa horison perspektif dan kaki langit yang jelas. Hari ini adalah kenyataan-kenyataan dari pantulan mosaik yang buram dari masa lalu yang kelam.

Kitab Al-Ghazali itu, tentu saja masih relevan untuk menimbang moralitas kebangsaan kita hari ini, untuk sebuah solusi besar yang mondial. Karena sesungguhnya, masalah-masalah kontemporer dari soal KKN, delegitimasi politik, dan konspirasi masih terus berlangsung.

Di satu sisi, ada lapisan generasi muda yang hendak bangkit mewarnai negeri ini harus tumbuh dengan situasi konflik horisontal dan ideologis, tanpa lahir dari kandungan “kasih sayang” kebudayaan politik generasi tua, sedangkan di lain pihak, desakan-desakan internasional yang sulit dibendung ketika globalisasi terus menggulung belahan bangsa yang belum sama sekali siap menyongsong suatu abad, dimana hegemoni masyarakat industri semakin liar menancapkan “penjajahan baru”.Tidak hanya generasi muda, tetapi juga generasi tua, tidak bisa bicara banyak, dalam menghadapi tantangan-tantangan internasional seperti itu, mengingat moralitas kebangsaan kita masih berada di dalam proses penyembuhan dari penyakit jiwanya.

Makanya, opini publik mengalami kontaminasi luar biasa, bahkan sampai pada tingkat paling maniak, publik harus memendam kekecewaan yang mendalam, karena lipatan-lipatan peristiwa yang terorganisir, dalam fluktuasi yang bergelombang, tanpa bisa diduga kemana arah angin yang menuntun kapal bersar bangsa ini tertuju. Situasinya sedemikian keruh, saling tumpang tindih peran, karena masing-masing kelompok sesungguhnya berada dalam jurang ketakutan, dengan saling membangun alibi yang sangat instan.


Drama Kemelut
Drama kebangsaan itulah yang menyebabkan hilangnya prioritas kerja besar yang mesti diagendakan, berbalik tanpa skenario ke depan yang menjanjikan, keculai perubahan skenario yang serba mendadak, dan membuat berbagai kebijakan terasa gagap. Padahal ada kata bijak yang sering diungkap oleh para Ulama, “Dar’ul Mafasid Muqaddamun ‘ala Jalbil Mashalih”, yang berarti meninggalkan atau membersihkan mafsadah bangsa ini harus diprioritaskan ketimbang reformasi. Kaidah arif ini sama seperti tergilas oleh usaha reformasi, yang muncul bukan karena sebuah TIB yang merespon masa depan, tetapi lebih sebagai eskapisme dan kekecewaan atas penidasan struktural maupun kultural di masa Orba.

Hari ini kita menghadapi tiga masalah besar yang mesti diselesaikan tanpa harus mempertimbangkan lagi toleransi-toleransi politis:

Masalah pertama, adalah robeknya spirit merah putih dalam compang camping sejarah hari ini. Merah putih yang menjadi simbol nasionalisme harus banyak ditarik oleh tangan-tangan ambisi yang sangat kotor: Kalau bukan tangan yang menginginkan merebut merah putih agar tergenggam erat di tangannya, sebagai legitimasi atas kekuasaan yang diraihnya, maka merah putih malah dirobek untuk ditambal dengan warna-warni lainnya atas nama aspirasi publik di negeri yang terbuka peluang-peluang demokrasi dan HAM-nya.

Sementara watak demokrasi TIB sendiri belum mendaratkan dirinya pada landasan kebangsaan yang kokoh, dalam wujudnya yang eksistensial sebagai demokrasi khas Indonesia, sehingga simbol-simbol ideologis di luar merah putih sangat antusias untuk turut mewarnai bendera nasional kita. Lebih sederhana, sesungguhnya ada masalah ideologis saling tarik menarik antar kekuatan politik di negeri ini, ditambah dengan kekuatan politik non ideologis yang opportunis.

Masalah kedua, berkait dengan etika dan etos penyelenggaraan negara. Sampai pada kesimpulan, bangsa kita telah “mati rasa” dengan ungkapan soal etika, mulai dari anak-anak remaja sampai kaum elit di Jakarta. Kita harus jujur dan terbuka, bahwa “akhlak bangsa” kita telah tersungkur dalam degradasi watak-watak kebangsaan dari bangsa-bangsa di dunia, dalam berbagai sektor kehidupan. Kalau boleh diungkapkan dengan satu kata saja, kita hanya bisa berucap, “Astaghfirullahal ‘Adzim”, sebagai ungkapan satu-satunya bagi ketidakberdayaan moral kita.

Sebab apa yang disebut sebagai perselingkuhan moral terjadi dimana-mana, di ketiak-ketiak birokrasi, dibalik kata-kata “perjuangan” di Senayan, bahkan yang paling mengerikan ketika moral dijualbelikan di balik api konflik SARA, lalu dimanage untuk hegemoni kepentingan, tanpa sedikit pun para pelakunya merasa bersalah, karena lembaga peradilan moral kita tak pernah bergeming kecuali hanya terbatas pada teriakan-teriakan protes atas pelanggaran HAM dan formalisme-formalisme hukum yang bisa dimainkan oleh para pemegang opsi hukum di lembaga peradilan.

Drama moral kebangsaan ini, kemudian bisa kita lihat dari tiga aspek yang nyata: moral individu, moral publik dan moral aparat negara, yang masing-masing diperlemah oleh sanksi-sanksi moral dalam ketidakpastian hukum. Lalu pertanyaan yang belum bisa terjawab, karakteristik bangsa seperti apakah yang menjadi predikat kita hari ini? Lalu kapankah kita bisa disebut sebagai sosok bangsa yang bangkit dari reruntuhan moral ini?

Masalah ketiga, mengadapi globalisasi, khususnya paska tragedi Sebelas September lalu hingga bom Bali, sampai krisis Irak, bahkan krisis global baru-baru ini, yang dicemaskan berdampak ke negeri kita, lalu muncul Drama Century yang dahsyat.

Menghadapi globalisasi berarti duduk bersama dalam Tata Dunia Baru, yang sejak awal Indonesia telah dipandang sebagai bangsa dan negara yang tidak begitu penting, sehingga tidak pernah terdengar sedikit pun perjuangan untuk terlibat dalam pengambilan keputusan tentang arah Tata Dunia Baru tersebut. Kalau harus memilih untuk pengambilan keputusan sejarah, bangsa Indonesia lebih memilih menjadi bangsa yang “terhibur” oleh globalisasi, ketimbang sebagai bangsa yang dihargai sama, dengan bangsa-bangsa lain.

Sebagai bangsa yang terhibur, mereka tiba-tiba telah jatuh tersungkur dalam kubangan ekonomi dan mata uang dengan waktu yang singkat dan cepat. Faktanya, bangsa kita tidak pernah serius dalam soal hubungan internasional, lalu sekali lagi hanya bisa menghibur diri dengan ungakapn-ungkapan yang membius, sebagai “bangsa besar.” Bahkan apa sesungguhnya globalisasi itu, kemana arahnya, bangsa kita tidak pernah peduli, karena memang tidak tahu, skenario yang sesungguhnya.


KACAMATA SUFISTIK
Keluar dari tiga masalah besar tersebut, kita perlu urai masing-masing pendekatan melalui kacamata Sufistik, sebuah pendekatan dimensi moral; terdalam dari pengalaman teosofis kita, agar ada kejernihan nurani dalam memandang dimensi ke-Indonesiaan dari sisi hakiki yang selama ini terabaikan, namun sesungguhnya sangat fundamental.

Untuk solusi benturan psikhologis dibalik tarik-menarik ideologi kebangsaan, dunia Sufi memandang dari proses pergumulan ini dengan dua kaidah Sufi yang tertera dalam kitab Al-Hikam karya Ibnu Athaillah as-Sakandari, Ulama Sufi besar satu abad paska Al-Ghazali, yang cukup relevan.

Kaidah Alhikam pertama, berbunyi, “Tanda-tanda sebuah bangsa terlalu mengandalkan nama besarnya, egoismenya, amaliahnya, adalah hilangnya optimisme masa depan di depan Allah ketika bangsa itu berbuat kesalahan.”

Kaidah Alhikam kedua, jika ditafsirkan lebih “berkebangsaan” bisa berbunyi, “Kehendak bangsa yang ingin memasuki dunia serba Ilahi, sementara Tuhan masih memposisikan bangsa itu di wilayah atau alam logika sebab akibat historis, sesungguhnya bangsa itu sedang terseret oleh emosi-emosinya yang masih tersembunyi didalam jiwa bangsa itu. Dan sebaliknya suatu bangsa yang telah diposisikan Allah untuk memandang perspektifnya dari serba Ilahi, tiba-tiba mereka memaksakan dirinya untuk terlibat dalam alam logika sebab akibat, sesungguhnya bangsa itu sedang berada dalam degradasi derajat kebangsaannya.”
Hikmah Sufi itu, menggambarkan tentang etika penyelenggaraan kekuasaan dan politik di negeri kita, agar kembali pada proporsi pandangan hidup berbangsa yang benar:

Manakah yang dijadikan dasar perjuangan ideologis, religius, hubungan-hubungan strategis dan kultur yang hendak dibangun, mengingat masing-masing saat ini berada dalam tumpang tindih yang satu sama lain saling mengintervensi. Tidak jelas dalam praktek kehidupan berbangsa, mana yang masuk sebagai wilayah Ketuhanan, wilayah kemanusiaan, wilayah interaksi kebangsaan yang plural, dan mana wilayah serta tarik menarik budaya dan ideologinya.

Dunia Sufi memandang persoalan lebih bersifat deduktif, dari wilayah kedalam hakikat kultural, kemudian diwujudkan dalam kerangka besar kebangsaan, mengingat sejarah kebangsaan kita sesungguhnya mendahului sejarah kenegaraan kita. Sehingga formalisme negara, tidak akan kokoh manakala tidak mendasarkan pada kultur kebangsaannya.

Nasionalisme modern yang dijadikan wacana Tata Indonesia Baru (TIB) tidak bisa melepaskan diri dari tiga masalah besar sebelumnya: Watak ideologis; Etika penyelenggaraan negara dan Tata Dunia Baru dalam pergumulan globalisasi. Ketiganya muncul dalam kerucut demokrasi yang harus dipraktekkan dalam watak kebudayaan kita, dengan etika-etika dan kepastian hukum yang berlaku. Jangan sampai kita terjebak oleh arus besar globalisasi tanpa menyertakan perimbangan dari berbagai dimensi kebangsaan kita secara lebih demokratik, mengingat kesepakatan tentang demokrasi yang hendak kita bangun masih dalam perdebatan konstelatif yang panjang.

Misalnya, bagaimana wujud demokrasi dalam praktek birokrasi pemerintahan kita, bagaimana pula model yang akan muncul dalam praktek peradilan kita, bahkan dalam hubungan antar partai dan lembaga-lembaga tinggi negara serta hubungan internasional. Pertanyaan berikut masih harus diselesaikan menyangkut keadilan ekonomi, prinsip-prinsip Hankam yang demokratik, dan hubungan antara daerah dengan pusat dalam kerangka Otonomi Daerah.


TIGA PENDEKATAN
Proses-proses horisontal kebangsaan itu, menurut dunia Sufi diposisikan menjadi tiga konstelasi besar.
Pertama, konstelasi yang berhubungan dengan sistem konstitusi, sistem politik, penegakan HAM serta sistem sosial yang pluralistik ini. Inilah yang disebut sebagai sistem syar’iyat, dimana lapisan-lapisan dunia lahiriyah berinteraksi untuk kepentingan publik.

Pada sistem syar’iyat, aturan hukum -- namun bukan sebagaimana digerakkan oleh kekuatan-kekuatan formalisme syariat Islam selama ini – , kita berpijak pada gagasan besar membangun kehidupan terbuka, adil dan memihak pada kepentingan rakyat. Pada level inilah Allah swt, memberikan kebebasan kepada publik untuk menentukan kebajikan publiknya, yang kelak memberi penguatan struktural pada sistem politik, penyelenggaraan negara, dan kemakmuran ekonomi rakyat. Inilah yang disebut kaum Sufi dengan penataan kehidupan lahiriyah (Ishlahudz-Dzowahir).

Kedua, konstelasi yang berhubungan dengan sistem kebudayaan, penguatan akan keyakinan moral dan akhlak bangsa. Sistem ini disebut sebagai metode Thariqat, dimana inspirasi teologis menggerakkan etika publik dan individu. Hubungan teologis dalam kehidupan sosial politik dan ekonomi, hanyalah hubungan inspiratif, karenanya tidak bisa diformulasikan dalam pasal-pasal formal konstitusi. Kelak secara langsung, hubungan ini akan membentuk watak kebangsaan kita dalam sistem kebudayaan.

Konstelasi ini diperlukan mengingat kultur teologis bangsa kita sangat beraneka, satu sama lain membutuhkan akomodasi yang proporsional. Tanpa akomodasi kultural seperti itu, demokratisasi yang kita kembangkan akan mengalami kebuntuan moral, karena demokrasi hanya akan menimbang mayoritas dan minoritas untuk menentukan kalah dan menang. Jika hal demikian diterapkan di negeri ini, kekuatan-kekuatan minoritas akan tertindas oleh diktator mayoritas, sekalipun mayoritas itu mengatasnamakan Tuhan untuk legitimasi politiknya. Cara ini untuk menghindari mafioso minoritas yang ekstrim dalam tata ekonomi dan kekuasaan, sebagaimana telah terjadi di masa Orde Baru dulu.

Etika kebangsaan akan berpijak pada tipikal “Thariqat” ini, yang bia dilaksanakan melalui sistem pendidikan nasional. Dengan demikian, sistem Diknas kita perlu perubahan reformatorik, bukan saja kualitas dunia kependidikan kita yang telah terdegradasi dari kualifikasi pendidikan internasional, mengingat peringkat kita telah turun derajatnya menjadi urutan sangat bawah, dibanding Vietnam yang sudah berada di urutan ke 40, dan Malaysia di urutan ke 12. Tetapi juga, dunia pendidikan kita telah kehilangan watak keluhurannya dalam membentuk watak budi pekerti generasi muda bangsa ini.

Pendidikan kita tidak memberi garansi moral para calon pemimpin dan politisi untuk memiliki etika, juga tidak menjamin seorang pengusaha dan penguasa bisa bebas dari hasrat KKN. Jika ini dibiarkan akan muncul anarkhisme moral yang sangat mengancam seluruh elemen bangsa ini, ketika moral hanya dijadikan alibi untuk menipu publik. Masya Allah!

Ketiga, konstelasi hakikat, bahwa seluruh muara membangun kebersamaan dalam berbangsa ini harus didasari oleh sebuah tujuan mulia, yaitu memandang Cahaya Ketuhanan dibalik proses bersejarah, bahwa segala muara bangsa ini dariNya, bersamaNya, menuju padaNya, besertaNya, lebur padaNya, hanya bagiNya dan bersandar padaNya. Jika terjadi sungguh sangat bercahaya bangsa ini.

Tidak Taat Berarti Bodoh

Janganlah mendefinisikan orang bodoh sebatas orang yang tidak mempunyai ilmu pengetahuan belaka. Namun, yang sebetulnya bodoh adalah orang yang tak mau menaati Allah walaupun ia

termasuk pemikir besar atau salah satu cendekiawan ternama.
Allah berfirman, “Namun sebagian besar manusia tidak mengetahui. Mereka hanya mengetahui yang lahir (saja) dari kehidupan dunia, sementara terhadap akhirat mereka lalai.” (Q.S. ar-Rum [30]: 6-7).

Allah mencela mereka karena pintar dalam urusan dunia tapi bodoh dalam urusan agama. Ayat di atas menjelaskan bahwa tidak ada perbedaan antara kebodohan dan pengetahuan yang hanya mencakup lahiriahnya kehidupan dunia. Ayat tersebut sekaligus menegaskan bahwa kehidupan dunia mempunyai dua aspek: lahiriah dan batiniah. Aspek lahiriah nya meliputi segala kenikmatan perhiasan dunia yang diketahui oleh orang-orang bodoh. Adapun aspek batiniah nya adalah bahwa ia merupakan jalan menembus ke alam akhirat. Bekal menuju ke sana berbentuk ketaatan dan amal-amal saleh.

Engkau cukup bodoh jika Allah memperlakukanmu secara baik, sayang, dan setia, sementara engkau memperlakukan-Nya dengan sikap menentang dan acuh. Yang disebut tokoh bukanlah yang memimpin manusia dan berpidato di tengah majelis atau forum, sedangkan dirinya dibiarkan tenggelam dalam kubangan dosa. Namun, yang disebut tokoh adalah yang memperbaiki diri dan insaf dan kelalaian untuk taat kepada Tuhan. Allah berfirman, “Mereka adalah para tokoh yang tidak dilalaikan oleh urusan bisnis dan tidak (pula) oleh jual beli dan mengingat Allah, menegakkan shalat, dan menunaikan zakat. Mereka takut pada hari saat hati dan penglihatan menjadi guncang. Allah akan membalas mereka dengan yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan, dan Allah menambah karuniaNya untuk mereka. Allah memberi rezeki kepada siapa yang Dia kehendaki tanpa batas.” (Q.S. an-Nur : 37-38).

Engkau sangat bodoh kalau senantiasa memperhatikan kesalahan kecil orang lain sementara kesalahanmu yang besar kau lupakan. Sungguh beruntung mereka yang disibukkan oleh aibnya sendiri hingga lupa terhadap aib orang lain.

Engkau adalah seperti dua orang manusia yang membeli sebidang tanah. Yang satu mengambil bagiannya. Lalu ia segera membersihkan tanah tersebut dari duri dan rumput. Ia mulai menanam, menuai benih, memelihara, dan menyiramkan air. Tak lama kemudian tanaman pun tumbuh, tanahnya mulai menghijau, dan berbuah. Buahnya bisa dipetik dan dimanfaatkan. Itulah contoh orang yang tumbuh besar dengan melakukan amal taat dan menjauhkan maksiat. Kalbunya bersinar, kenikmatan taat terasa, dan ia pun menunggu ganjaran upah di hari perhitungan nanti.

Adapun orang yang satunya lagi, ia membiarkan tanahnya sehingga duri dan rumput yang merusak tumbuh di dalamnya. Akhirnya ia menjadi tempat tinggal berbagai ulat dan ular. Ini adalah contoh orang bodoh yang membiarkan dirinya didiami oleh hawa nafsu dan setan sehingga kalbunya menjadi gelap dengan maksiat dan dosa. Ia tertawan oleh aneka kenikmatan dan kelezatan syahwat. Yang tumbuh di kalbunya adalah kesenangan pada yang munkar. Anggota tubuhnya juga berkembang dan suplai makanan haram. Allah berfirman, “Apakah orang yang berjalan dengan wajah tersungkur lebih mendapat petunjuk? Ataukah orang yang berjalan dengan tegak di jalan yang lurus?”(Q.S. al-Mulk : 22).

Orang yang bodoh adalah yang senantiasa memperhatikan dunia dengan mengabaikan akhirat, serta rela terhadap kehidupan dunia dan condong kepadanya. Ia sama seperti orang yang sedang didatangi singa yang siap memangsa. Namun, tiba-tiba ada seekor kutu yang menggigitnya. Ia pun kaget dan sibuk mencari kutu tersebut sehingga lupa terhadap singa tadi. Tentu saja sang singa menyerang dan menyantapnya.
Orang yang lalai terhadap Allah, sibuk dengan hal yang remeh-temeh. Sementara orang yang tidak Ialai pasti hanya akan sibuk dengan Allah. Orang yang perhatiannya sibuk dengan dunia yang hina dan fana ini sehingga melupakan akhirat yang agung dan kekal, berarti ia tertipu dan bodoh.

Lebih baik engkau kehilangan dunia tapi mendapat akhirat. ini adalah yang terbaik bagimu. Sebaliknya, betapa buruknya jika engkau kehilangan akhirat hanya untuk mendapat dunia. Betapa buruknya orang yang mencari dunia dengan menampakkan sikap zuhud di hadapan manusia. Allah berfirman, “Siapa yang menghendaki kehidupan dunia dan kemewahannya, niscaya Kami berikan padanya balasan amal perbuatan nya di dunia sepenuhnya dan mereka di dunia ini takkan dirugikan. Mereka adalah orang-orang yang takkan mendapat jatah sama sekali di akhirat kecuali neraka.. Gugurlah semua amal perbuatan mereka serta terhapuslah apa yang mereka kerjakan.” (Q.S. Hud :15-16).

Engkau terhitung bodoh kalau cemburu pada istrimu tapi tak pernah cemburu pada imanmu sendiri. Engkau cemburu pada istrimu karena hawa nafsu dan syahwat, sementara engkau tidak cemburu pada kalbumu karena Tuhan. Kalau engkau menjaga apa yang menjadi hakmu, mengapa engkau tidak menjaga apa yang menjadi hak Allah?

Engkau cukup bodoh kalau merasa iri dan dengki terhadap karunia yang diberikan kepada penghuni dunia. Jika kalbumu diliputi oleh kedengkian terhadap apa yang menjadi milik mereka berarti engkau lebih bodoh dan mereka. Sebab, mereka sibuk dengan karunia yang diberikan kepada mereka, sementara engkau sibuk dengan sesuatu yang tak diberikan kepadamu. Manakala mata mulai kabur, engkau segera mengobatinya. Engkau keluarkan uang dalam jumlah banyak dengan harapan bisa kembali melihat indahnya dunia.
Sementara, ketika mata batin (bashirah) kabur dan buram selama empat puluh tahun, engkau tidak pernah mengobatinya dan tidak pernah bersedih. Engkau tak pernah mencari dokter keimanan yang bisa melakukan terapi atasnya.

Allah berfirman, “Sesungguhnya mata tersebut tidak buta. Tetapi, yang buta adalah kalbu yang terdapat di dalam dada.”(Q.S. al-liajj : 46).

Engkau sungguh bodoh, sebab kalau orang-orang menyimpan makanan untuk memenuhi kebutuhan mereka, engkau menyimpan sesuatu yang berbahaya, yaitu maksiat dan hukuman Allah di hari kiamat. Bagaimana pendapatmu tentang orang yang membawa ular lalu ia dipelihara di rumahnya? Begitulah yang kau lakukan.

Engkau sungguh bodoh kalau mengandalkan makhluk lalu meninggalkan pintu Sang Khaliq, Allah Ta’ala. Engkau sungguh bodoh kalau tamak terhadap apa yang ada ditangan orang dan mengharap kebaikan mereka, sementara pada saat yang sama tidak tamak terhadap apa yang ada di sisi Allah, tidak meminta kebaikan dari-Nya, serta tidak menggantungkan harapanpada-Nya. Engkau telah melakukan berbagai maksiat dari seluruh sisi. Tidakkah engkau merasa sedih dan menyesali diri? Tidakkah engkau merasa sakit akibat terjerumus pada jurang kegagalan dan kesesatan?

Orang yang cerdas adalah yang mengetahui jalan menuju Allah lalu ia meniti dan mengikuti jalan tersebut. Sementara orang yang bodoh adalah yang tersesat dan jalan ketaatan lalu meniti jalan kesesatan. Ketika berkomentar tentang orang-orang yang bodoh dan sesat, Allah berfirman, “Apabila mereka melihat jalan petunjuk, mereka tidak meniti jalan tersebut. Tetapi, apabila melihat jalan kesesatan, mereka melaluinya. Itu karena mereka mendustakan ayat-ayat Kami dan mereka lalai terhadapnya.” (Q.S. al-A’raf : 146).

Kenapa Amalan di Terima ?

“Kalau bukan karena indahnya tutupnya Allah swt, maka tak satu pun amal diterima.”Kenapa demikian? Sebab nafsu manusia senantiasa kontra dengan kebajikan, oleh sebab itu jika mempekerjakan nafsu, haruslah dikekang dari sifat atau karakter aslinya.
Dalam firmanNya: “Siapa yang yang menjaga nafsunya, maka mereka itulah orang-orang yang menang dan bahagia.”(Al-Hasyr 9)

Nafsu, ketika masuk dalam kinerja amaliah, sedangkan nafsu itu dasarnya adalah cacat, maka yang terproduksi nafsu dalam beramal senantiasa cacat pula. Kalau toh dinilai sempurna, nafsu masih terus meminta imbal balik, dan menginginkan tujuan tertentu, sedangkan amal itu inginnya malah ikhlas. Jadi seandainya sebuah amal diterima semata-mata bukan karena amal ansikh, tetapi karena karunia Allah Ta’ala pada hambaNya, bukan karena amalnya.

Abu Abdullah al-Qurasyi ra mengatakan, “Seandainya Allah menuntu ikhlas, maka semua amal mereka sirna. Bila amal mereka sirna, rasa butuhnya kepada Allah Ta’ala semakin bertambah, lalu mereka pun melakukan pembebasan dari segala hal selain Allah swt, apakah berupa kepentingan mereka atau sesuatu yang diinginkan mereka.”

Oleh sebab itu Ibnu Athaillah melanjutkan:
“Anda lebih butuh belas kasihan Allah swt, ketika anda sedang melakukian taat, dibanding rasa butuh belas kasihNya ketika anda melakukan maksiat.” Kebanyakan manusia memohon belas kasihan kepada Allah Ta’ala justru ketika ia menghadapi maksiat, dan merasa aman ketika bisa melakukan taat ubudiyah. Padahal justru yang lebih dibutuhkan manusia adalah Belas Kasih Allah ketika sedang taat. Karena ketika sedang taat, para hamba sangat rawan “taat nafsu”, akhirnya seseorang terjebak dalam ghurur, atau tipudaya dibalik amaliyahnya sendiri.

Rasulullah saw, bersabda:
“Allah Ta’ala menurunkan wahyu kepada salah seorang Nabi dari para NabiNya: “Katakanlah kepada hamba-hambaKu yang tergolong shiddiqun, jangan sampai mereka tertimpa tipudaya. Sebab Aku, bila menegakkan keadilanKu dan kepastian hukumKu kepada mereka, Aku akan menyiksa mereka, tanpa sedikit pun aku menzalimi mereka. Dan katakanlah kepada hambaKu yang ahli dosa, janganlah mereka berputus asa, sebab tak ada dosa besar bagiKu manakala Aku mengampuninya.”

Bahkan Abu Yazid al-bisthami ra mengatakan: “Taubat dari maksiat bisa sekali selesai, tetapi taubat karena taat bisa seribu kali pertaubatan.”
Mengapa kita harus lebih waspada munculnya dosa dibalik taat? Karena nafsu dibalik maksiat itu jelas arahnya, namun nafsu dibalik taat sangat lembut dan tersembunyi.
Diantara nafsu dibalik taat yang menimbulkan dosa dan hijab antara lain:
1. Mengandalkan amal ibadahnya, lupa kepada Sang Pencipta amal.
2. Bangga atas prestasi amalnya, lupa bahwa yang menggerakkan amal itu bukan dirinya, tetapi Allah swt.
3. Selalu mengungkit ganti rugi, dan banyak tuntutan dibalik amalnya.
4. Mencari keistemewaan amal, hikmah dibalik amal, lupa pada tujuan amalnya.
5. Merasa lebih baik dan lebih hebat dibanding orang yang belum melakukan amaliyah seperti dirinya.
6. Seseorang akan kehilangan kehambaannya, karena merasa paling banyak amalnya.
7. Iblis La’natullah terjebak dalam tipudayanya sendiri, karena merasa paling hebat amal ibadahnya.
8. Menjadi sombong, karena ia berbeda dengan umunya orang.
9. Yang diinginkan adalah karomah-karomah amal.
10. Ketika amalnya diotolak ia merasa amalnya diterima.

NU (Dicari! Ulama Billah Waratsatul Ambiya’)

Setiap membincangkan Ulama di Indonesia, terbayang sejumlah tokoh yang berperan menyebarkan Islam di Indonesia, para Kyai Pesantren dan sejumlah institusi seperti Nahdhatul Ulama (NU),

Majlis Ulama Indonesia (MUI), atau majlis-majlis berlabel ke-Ulamaan lainnya.



Barangkali, negara paling besar jumlah ummat Islamnya dan paling besar jumlah “pabrik keulamaannya” adalah Indonesia. Namun, di negeri ini pula ujian demi ujian, cobaan demi cobaan menggelontor bagai tanah longsor, bagai gempa yang menimpa kehidupan ke-Ulamaan kita. Satu-satunya institusi yang mengakomodir Ulama dan Kiai yang masih bisa diharapkan tinggallah NU. Karena, kebesaran NU sangat didukung oleh para Kyai di Pesantren yang jumlahnya hampir 15.000 pesantren di Indonesia.

Walau kondisi pesantren saat ini sedang surut, menyusul kondisi para Ulama yang tergabung dalam NU juga mulai disoroti karena proses-proses politik yang mencabik-cabik mereka, apalagi kepemimpinan NU pasca Gus Dur yang membuat NU semakin degradatif -, toh tak ada harapan lagi, kecuali membangkitkan generasi NU dengan para Ulamanya untuk menggali mutiara-mutiaranya yang masih terpendam dan membersihkan dari kotoran-kotoran kontaminatif nafsu duniawi yang memuakkan.

Namun, “Maa laa yudroku kulluhu laa yutroku kulluh” (hal-hal yang tidak bisa diraih semua, jangan ditinggal semua.) Semua membutuhkan keterbukaan jiwa dan keikhlasan serta kerelaan hati, demi meraih ridho Allah Ta’ala. Sebab, NU didirikan adalah demi mengajak ummat ini untuk bangkit menuju Allah swt, bukan bangkit menuju dunia, bukan bangkit untuk kepentingan kekuasaan atau nama besar. Selama para Ulamanya tidak memiliki pandangan kebangkitan menuju Allah swt, NU akan mendapatkan musibah dan terhijab.

Inilah yang membedakan posisi Ulama dengan cendekiawan Islam, dalam makna terminologis (istilahy). Seorang Ulama mesti membuahkan jiwa-jiwa yang Khasyah (rasa gentar dan cinta kepada Allah swt), jiwa-jiwa yang memancarkan Rahmat Ilahiyah, jiwa-jiwa yang menaburkan ilmu-ilmu yang bermanfaat dunia akhirat, jiwa-jiwa yang terus menerus thawaf bidzikrillah, demi Ittiba’ur-Rasul, karena sang pewaris harus mengemban yang diwarisi, jika mereka adalah waratsatul Ambiya'.

Jika diperkirakan jumlah pengasuh pesantren ada 15.000 orang, maka ada sejumlah itu pula para Ulamanya. Soal apakah mereka masuk dalam kategori Ulama panggung, Ulama politik, Ulama kekuasaan, Ulama yang status papan nama, Ulama tontonan bagi massa, Ulama yang berassesoris syurban jubah, Ulamanya penguasa, Ulamanya industri yang mengeksploitasi agama, ataukah diantara mereka benar-benar Ulamanya Allah yang Waratsatul Ambiya’? Maka hanya Allah Yang Maha Tahu, atau mereka yang diberi tahu oleh Allah Ta'ala dan pribadi mereka sendiri yang tahu.

Ulama Billah
Ulama Billah, atau Ulamanya Allah, atau lama yang mengenal Allah swt (ma’rifat billah), yang Waratsatul Ambiya’ adalah mereka yang memiliki karakter-karakter:
1. Para Ulama itu, sehebat apa pun ilmunya, sebanyak apa pun penguasaan atas pengetahuan agama, mereka tetap memiliki pembimbing ruhani (Mursyid) yang bisa menghantar Ma’rifatullahnya.
2. Mengikuti jejak Akhalqul Ulama’ dan menghindari ghurur (tipudaya duniawi, popularitas, dukungan, harta, wanita, dan nama besar serta kebanggaan atas penguasaan ilmu agama) yang menimpa para Ulama’.
3. Menguasai pengetahuan para Ulama Salafus-Sholih, walaupun tidak sampai derajat Mujtahidin, namun mengenal dan mengerti berbagai pandangan para Mujtahidin, para Ahli Tauhid, Ulama Tasawuf memahami berbagai Tafsir dan Hadits, sehingga tidak terjebak pada formalisme agama.
4. Tetap berorientasi menuju Allah swt, dan mengajak ummat dan para santri agar tetap istiqomah Lillah, serta orientasi Ulumun Naafi' (ilmu yang bermanfaat dunia akhirat).
5. Merasa bertanggung jawab kepada para ummat yang dibimbingnya sampai ke akhirat hingga di depan Allah Ta'ala.
6. Terus menerus mendalami dan mempelajari ilmu pengetahuan, dan menjaga semangat berpengetahuan, khususnya bidang agama.
7. Tetap berpegang pada Ahlussunnah wal-Jama’ah dalam arti yang seluas-luasnya.

Tujuh karakteristik di atas adalah dasar minimal bagi Ulama Billah. Tanpa karakter tersebut, seorang Ulama se-alim apa pun, ia akan kehilangan rasa Khasyyahnya kepada Allah Ta’ala.

Seorang Ulama tidak disyaratkan memiliki kharisma, dan tidak pula diperintahkan mencari kharisma.
Hakikat kharisma adalah konsistensi (istiqomah) itu sendiri, dan para Ulama melarang mencari karomah, namun memerintahkan agar mencari istiqomah.

Seorang Ulama tidak boleh silau dengan dukungan ummat yang meluas, karena jika silau dukungan massa malah menjadi hijab antara dirinya dengan Allah swt.

Seorang Ulama tidak boleh mengabaikan kearifan dan sikap bijaknya, karena kebenaran yang disampaikan dengan aroma hawa nafsu, akan kehilangan barokahnya.

Syeikh Abul Abbas al-Mursy, gurunya Syeikh Ibnu Athaillah as-Sakandary, ketika membaca ayat, “Rasulullah tidak berbicara dari dorongan hawa nafsunya, melainkan berbicara karena dorongan Wahyu.” Menafsirkan, tentang berbicara karena dorongan nafsu, adalah bila anda berbicara dan hati senang karena apa yang anda bicarakan itu di “iya”kan oleh pendengar, maka itulah tandanya anda bicara didorong oleh nafsu. Tetapi, hendaknya anda senang manakala Allah “mengiyakan” hatimu, ketika anda bicara.

Sebuah kalimat dan tafsir yang dalam, dan hendaknya dijadikan pegangan bagi Ulama Warotsatul Ambiya’. Semoga!