Jumat, 02 Juli 2010

Tasawuf Sejati

Dua orang ulama besar pernah hidup satu zaman. Kedua-duanya dikenal sebagai ahli fiqih dan sekaligus ahli makrifat. Yang satu bernama Sofyan Al-Tsawri. Ia dikenal sebagai pendiri mazhab fiqih besar di zamannya; tetapi dalam perkembangan zaman, fiqihnya kalah populer dengan fiqih-fiqih yang lain. Pada suatu hari ia mendatangi seorang faqih lainnya, yang mazhabnya diikuti oleh jutaan umat Islam sampai sekarang. Ia juga dikenal sebagai manusia suci, salah satu di antara “bintang” cemerlang dalam silsilah tarikat. Ia adalah Imam Ja’far Al-Shadiq, salah seorang imam dari mazhab Ahlul Bait.

Al-Tsawri mendapatkan Imam Ja’far dalam pakaian yang putih gemerlap, tampak baginya sangat mewah. Ia merasa Imam, yang terkenal sangat salih dan zahid, tidak pantas untuk memakai pakaian seperti itu. Ia berkata, “Busana ini bukanlah pakaianmu!”.

Imam berkata, “Dengarkan aku dan simak apa yang akan aku katakan padamu. Apa yang akan aku ucapkan ini baik bagimu sekarang dan pada waktu yang akan datang, jika kamu ingin mati dalam sunnah dan kebenaran, dan bukan mati di atas bid’ah. Aku beritakan padamu bahwa Rasulullah saw hidup pada zaman kemiskinan yang sangat. Ketika dunia datang, orang yang paling berhak untuk memanfaatkannya adalah orang-orang salihnya, bukan orang-orang durhakanya; orang-orang mukminnya, bukan orang-orang munafiknya; orang-orang Islamnya bukan orang-orang kafirnya. Apa yang akan kauingkari, hai Al-Tsawri? Demi Allah, walaupun kamu lihat aku dalam keadaan ini, sejak pagi dan sore, jika dalam hartaku ada hak yang harus aku berikan pada tempatnya pastilah aku sudah memberikannya semata-mata karena Allah.”

Pada saat itu datanglah rombongan orang yang bersufi-sufian. Mereka mengajak orang banyak untuk mengikuti kehidupan mereka yang sangat sederhana. Mendengar ucapan Imam Ja’far mereka berkata, “Tampaknya sahabat kami ini tidak mampu membalas pembicaraan Tuan dan tidak dapat menyampaikan hujah.”

Imam Ja’far berkata, “Tunjukkan hujah kalian.” Mereka menyahut, “Kami punya hujah dari Kitab Allah.” Kata Imam, “Tunjukkan dalil-dalilnya, karena Kitab Allah lebih pantas untuk diikuti dan diamalkan.” Mereka berkata, “Allah swt mengabarkan sekelompok sahabat Nabi saw: di dalam kitab-Nya; Dan mereka mendahulukan orang-orang lain di atas diri mereka sendiri sekali pun mereka memerlukan apa yang mereka berikan itu; siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka itulah orang-orang yang beruntung.” (QS. Al-Hasyr; 9) Allah memuji mereka. Kemudian Allah berfirman dalam ayat yang lain; Mereka memberikan makanan yang mereka cintai kepada orang miskin, yatim, dan tawanan. Cukuplah bagi kami semua keterangan ini.”

Di antara yang hadir dalam majelis itu ada seseorang yang segera menukas, “Kami tidak melihat kalian menahan diri untuk tidak makan makanan yang baik. Malahan kalian memerintahkan orang lain untuk mengeluarkan harta mereka supaya kalian bersenang-senang dengan memanfaatkan harta mereka.”

Imam berkata pada orang itu, “Tinggalkan olehmu apa yang tidak bermanfaat bagi kamu.” Setelah itu Imam berkata kepada mereka yang menyampaikan dalil-dalil dari Al-Quran itu, “Hai saudara-saudara, ceritakan kepadaku apakah kalian tahu nâsikh-mansûkh dalam Al-Quran, muhkam dan mutasyâbih-nya? Karena di sinilah umat ini banyak yang tersesat atau binasa.” Mereka menjawab: “Sebagian memang kami ketahui. Tetapi seluruhnya tidak.”

Dengan bertanya seperti itu, Imam Ja’far bermaksud untuk mengajarkan mereka untuk berhati-hati menafsirkan Al-Quran, tanpa bantuan ilmu yang memadai. Karena di dalam Al-Quran terdapat ayat-ayat yang berlaku dalam konteks tertentu tetapi tidak pada konteks yang lain (nâsikh-mansûkh). Di dalamnya juga ada yang sangat jelas maknanya dan ada yang sekilas tampak ambigu (muhkam mutasyâbih). Setelah itu, Imam Ja’far berkata:

“Apa yang kalian sebut sebagai keterangan dari Al-Quran tentang orang yang mendahulukan orang lain, walaupun diri mereka dan keluarga mereka kepayahan, perbuatan mereka itu hanyalah hal yang diperbolehkan bukan hal yang dilarang. Mereka mendapat pahala di sisi Allah. (Tidak ada perintah untuk melakukan perbuatan seperti itu. Mereka boleh saja melakukan hal demikian). Tetapi Allah setelah itu memerintahkan mereka untuk melakukan hal yang bertentang dengan apa yang mereka lakukan. Perintah Tuhan itu menjadi nâsikh (menghapuskan) bagi perbuatan mereka. Allah melarang mereka untuk berbuat demikian sebagai ungkapan kasih sayangnya kepada kaum mukmin. Supaya mereka tidak menyengsarakan dirinya dan keluarganya. Mungkin ada di antara mereka anak-anak kecil yang lemah, anak-anak, orang tua renta, orang yang sudah sangat tua yang tidak sanggup lagi menahan lapar. Jika aku menyedekahkan makananku kepada orang lain, padahal padaku tidak ada lagi makanan selain itu, pastilah semua keluargaku ditelantarkan dan binasa dalam keadaan lapar.

“Karena itulah Rasulullah saw bersabda: Jika ada lima butir kurma atau lima dinar atau dirham yang dimiliki seseorang, kemudian ia ingin mengekalkan uang itu, maka yang paling utama ialah ia memberikannya kepada kedua orangtuanya, kemudian kepada dirinya dan keluarganya, kemudian kepada kerabat dan saudaranya kaum muslim, kemudian kepada tetangganya yang miskin, dan terakhir –pada ranking kelima- ia mensedekahkannya di jalan Allah. Dan yang terakhir itu adalah yang paling sedikit pahalanya.

“Seorang Anshar memerdekakan lima atau enam orang budak sebelum matinya, padahal ia tidak punya harta lain selain itu. Ia meninggalkan anak-anak kecil. Nabi saw pernah berkata kepada sahabatnya: ‘Sekiranya kalian memberitahukan kepadaku keadaan dia, aku tidak akan membiarkan kalian menguburkannya di pekuburan muslimin. Ia menelantarkan anak-anak kecil dan membiarkan mereka mengemis kepada orang lain.’ Kemudian Imam berkata: ‘Ayahku menyampaikan kepadaku dari Nabi saw bahwa ia bersabda; Mulailah dari tanggunganmu yang paling dekat, kemudian yang paling dekat, dan seterusnya!’

“Kemudian, inilah yang difirmankan dalam Al-Quran –yang menolak argumentasi kalian- dan diwajibkan kepada kalian oleh Tuhan yang Mahamulia dan Mahabijaksana; Dan orang-orang yang apabila membelanjakan hartanya, mereka tidak berlebih-lebihan dan tidak pula kikir, dan adalah (pembelanjaan itu) di tengah-tengah antara yang demikian.” (QS. Al-Furqan; 67). Tidakkah kalian perhatikan bahwa Allah mengecam orang yang berlebih-lebihan dalam menginfakkan hartanya? Pada ayat lain Allah swt berfirman, “Sesungguhnya Ia tidak menyukai orang yang berlebih-lebihan” (QS. Al-An’am; 141, QS. Al-A’raf; 31). Tuhan melarang mereka berlebihan dan melarang mereka kikir. Yang benar itu ialah yang berada di tengah-tengah. Seseorang tidak boleh memberikan seluruh hartanya, lalu setelah itu, ia berdoa agar Tuhan memberinya rezeki. Doa seperti itu tidak akan dikabulkan.

“Rasulullah saw bersabda: Ada beberapa kelompok dari umatku yang doanya tidak akan dikabulkan; Doa seorang anak yang disampaikan untuk mencelakan orang tuanya, doa seseorang untuk mencelakan pengutangnya padahal ketika ia membuat transaksi tidak ada saksi, doa seorang lelaki untuk mencelakakan isterinya padahal Allah sudah menyerahkan tanggungjawab memelihara isteri itu pada tangannya, dan doa seseorang yang duduk di rumah lalu ia tidak henti-hentinya bermohon: ‘Tuhanku berilah rezeki padaku’; kemudian ia tidak keluar rumah untuk mencari rezeki. Allah swt akan berkata kepadanya: ‘Wahai hamba-Ku, bukankah Aku sudah memberi jalan bagimu untuk mencari rezeki dan berusaha di bumi dengan modal tubuhmu yang sehat? Supaya kamu tidak bergantung pada orang lain dari keluargamu. Jika Aku kehendaki, Aku akan memberi rezeki. Jika Aku kehendaki, Aku batasi rezeki kamu. Dan alasanmu Aku terima.’

“Selain itu, doa orang yang tidak akan Aku dengar adalah doa seseorang yang mendapat rezeki yang banyak dari Allah swt. Ia mengeluarkan semuanya kemudian ia kembali sambil berdoa: ‘Ya Rabbi, berilah aku rezeki’. Tuhan berfirman: ‘Bukankah Aku telah memberimu rezeki yang banyak. Kenapa kamu tidak berhemat seperti yang Aku perintahkan? Mengapa kamu berlebih-lebihan seperti yang Aku larang?’ Kemudian terakhir, doa yang tidak akan didengar Tuhan adalah doanya orang yang memutuskan silaturahim.’

“Allah mengajari Nabi-Nya bagaimana cara berinfak. Di suatu hari, pada diri Rasulullah saw ada beberapa uang emas. Ia tidak ingin tidur bersama uang itu. Kemudian ia mensedekahkannya. Pagi hari ada seseorang yang datang meminta bantuan kepadanya. Tapi Rasulullah tidak punya apa pun. Peminta itu kecewa karena Nabi saw tidak membantunya. Rasulullah saw juga berduka cita karena tidak dapat memberinya apa pun, padahal Nabi saw adalah orang yang sangat santun dan penuh kasih. Allah swt lalu mendidik beliau dengan firman-Nya: Janganlah kamu jadikan tanganmu terbelenggu di kudukmu, jangan juga engkau buka selebar-lebarnya, nanti kamu duduk dalam keadaan menyesal dan rugi (QS. Al-Isra 29).”

Kita mengutip riwayat yang panjang itu hanya sampai di sini. Sofyan Al-Tsawri mewakili pandangan sekelompok orang bahwa kesucian harus dicapai dengan mengorbankan segala-galanya –meninggalkan pekerjaan, memberikan seluruh harta, meninggalkan keluarga, mengasingkan diri, dan menjauhkan diri dari dunia. Konon, karena cinta dunia itu sumber segala kejahatan, akhirnya mereka memilih untuk membenci dunia.

Menurut cerita, Fariduddin Al-Aththar semula adalah orang yang kaya raya. Seorang darwisy berhenti di depan tokonya. Ia mengatakan bahwa ia bisa memlih kapan ia mati. Ia bertanya apakah Al-Aththar bersedia mati sekarang dengan semua kekayaan yang ia miliki. Kemudian darwisy itu berbaring dan melepaskan ruhnya. Al-Aththar betul-betul terkesan. Ia menjual seluruh perusahaannya. Ia mensedekahkan semuanya dan hidup mengembara dengan menjalani kehidupan seorang sufi.

Jika kita semua mengikuti aliran tasawuf gaya Tsawriyyah ini, menurut Imam Ja’far dalam sabdanya yang tidak dikutip di sini, siapakah di antara kita yang harus membayar zakat, melakukan ibadah haji, mengurus orang yang lemah, membiayai pendidikan, melakukan penelitian ilmiah dan sebagainya? Karena adanya orang-orang seperti Al-Tsawri, maka citra tasawuf menjadi sangat negatif pada sebagian besar kaum muslimin.

Tasawuf identik dengan kemiskinan, kelusuhan, dan bahkan kekotoran. Orang takut belajar tasawuf karena kuatir menjadi miskin. Imam Ja’far menunjukkan dengan argumentasi yang sangat fasih bahwa tasawuf sejati tidak demikian. Ia menjelaskan bahwa kemiskinan yang disamakan dengan kesalihan berasal dari kekeliruan dalam memahami Al-Quran dan hadis. Tasawuf sejati bukan tidak memiliki dunia tetapi tidak dimiliki dunia. Sufi bukan berarti tidak mempunyai apa-apa, tetapi tidak dipunyai apa-apa. Seorang sufi boleh saja, malah mungkin harus, memiliki kekayaan yang banyak; tetapi ia tidak meletakkan kebahagiaan pada kekayaannya.

Inilah tasawuf sejati, yang diajarkan Rasulullah saw lewat para imam suci dari keluarganya.

@JR (edited/posted by Ama Salman)

Tasawuf Embun Jiwa Yang Dahaga

Menurut Dr. Lwiss Saliba, pakar tasawuf dan perbandingan agama di Universitas Sorbonne, Prancis, dewasa ini masyarakat Barat sedang gelapagan mencari dimensi spiritualis sebagai penyeimbang epistemologi dan cara pandang mereka yang materialistik.



Zaman terus berputar. Kini, di usianya yang semakin senja zaman seperti hendak mengulang sejarah masa silam. Akhlak yang sudah ditata rapi oleh para ulama salaf sedikit demi sedikit mulai memudar. Manusia hanya disibukkan dengan pelbagai macam pernak-pernik kehidupan. Semakin larut ke dalam masalah duniawi jiwa terasa bertambah kering sehingga membutuhkan oase yang menyejukkan.



Apakah zaman benar-benar akan mengulang sejarah?



Syahdan, pada abad ke-2 Hijriyyah manusia terbuwai dengan aneka macam urusan duniawi. Umat Muhamad semakin banyak yang jauh dari ajaran penutup para rasul itu. Orang-orang yang masih bersih hatinya dari godaan dunia pergi menyepikan diri, mejauhi dunia dan kehidupan hedonis. Perilaku kelompok terakhir dewasa ini kita kenal dengan tasawuf.



Kini, di usianya yang senja, dunia semakin dekat menuju ke titik nadi kehancuran atau kembali ke masa silam. Nabi sudah mengingatkan ratusan tahun silam, ”Suatu saat akan datang kerusakan di mana manusia tidak lagi bersifat humanis.” Ronggowarsito sudah membuktikan sabda nabi dalam kata kesaksiannya, Ngamenagni zaman edhan. Atau dalam istilah mentereng­ Alvin Toffler-nya the shock age.



Saat ini—pada zaman yang sudah benar-benar edhan--keberadaan tasawuf semakin dibutuhkan sebagaimana saat kehadirannya pada abad ke-2 Hijriyah. Ia menjadi embun yang bisa menghilangkan dahaga. Jiwa yang kering bisa menjadi sejuk dengan membaca dzikir-dzikir bersama para mursyid. Dari pelosok desa sampai gemerlap ibu kota pesona tasawuf memancar indah. Dari gubung reot sampai hotel mewah, kajian-kajian tasawuf selalu ramai peminat.



Fenomena itu terjadi tidak lain karena jiwa manusia dewasa ini tidak memiliki dimensi penyeimbang sehingga seperti kafilah yang berjalan di gurun sahara tanpa bekal air dan makanan, terasa kering dan gersang. Maka dari itu, membutuhkan mata air untuk sekedar minum dan mengisi perbekalan secukupnya agar mereka bisa melanjutkan perjalanan dan sampai pada tujuan. Air itu adalah spiritualis-sufistik.



Bukan hanya masyarakat di nusantara yang merasakan kekeringan jiwa. Fenomena ini sudah menjadi wabah dunia, khususnya nun jauh di Barat sana. Di era global ini kebutuhan materi tidak bisa memberikan jaminan ketenangan bagi masyarakat Barat, justru sebaliknya kehidupan materialistik malah membuat mereka bagaikan--meminjam istilah Dr. Lwiss Saliba, pakar tasawuf dan perbandingan agama di Universitas Sorbonne--orang dewasa berkaki bayi. Akibatnya, mereka berjalan pincang.



Oleh sebab itu, lanjut pakar tasawuf dan perbandingan agama di Universitas Sorbonne, Prancis itu, orang Barat sedang gelagapan (Jawa: ngoyo) mencari dimensi lain yang dapat mengimbangi epistemologi dan cara pandang mereka yang materialistik. Sehingga, mereka berharap, perkembangan materi dan rohani bisa berjalan secara seimbang. Inilah bukti petapa dibutuhkannya kehadiran tasawuf dewasa ini sekaligus bukti tasawuf Islam juga mempengaruhi epistema pemikiran Barat.

***

Kehadiran tasawuf tidak pernah kering dari kritik dan menjadi lahan study kritis, juga auto kritik. Bukan hanya kalangan muslim yang melakukakannya, non-muslim pun tidak sedikit yang ikut andil. Bahkan banyak cendikiawan dan ilmuwan Barat yang terpengaruh pemikiran sufistik Islam. Misalnya—untuk menyebutkan beberapa contoh—Annimare Schimmel, Pierre Lorry, Louis Massignon, dan CF. Hatman.



Diantara orientalis yang megkaji tasawuf secara intens adalah nama yang saya sebutkan di atas, Lwiss Saliba. Dalam disertasi doktoralnya, L’Hindouisme et Son Influence sur La Pensśe Musulmane Selon Al Biruni, Saliba menguraikan pemetaan korelasi mistis antara tasawuf Hindu-India dengan Islam. Dari kalangan santri yang mengkaji tasawuf secara intens, antara lain, adalah Prof DR. K.H. Said Aqiel Siradj, MA dan Dr. K.H. A. Najib Afandi, MA.



Tasawuf pun tidak sepi dari tudingan miring dan pandangan sinis. Oleh golongan terakhir ini terma tasawuf hanya diidentikkan dengan hal-hal yang ”ketinggalam zaman,” anti kemajuan, darwisy (pakaian para sufi), menyepi, dan lain-lain.



Benarkah demikian? Sesempit itukah tasawuf? Apakah haram bagi esoterisme (baca: kaum sufi) mempunyai mobil mewah, menjadi apatur negara dengan batik dan sepatu mengkilap?



Sayyid Ali Abu Hasan Al Syadzili, pendiri tarekat Sadiliyyah, dengan moderat menerjemahkan zuhud dengan bahasa elegan, yaitu bentuk rasa syukur terhadap Sang Pencipta. Sederhanya, ketika kita berpakaian batik dan sepatu mengkilap sambil mengemudikan mobil mewah, misalnya, (asalkan di hati kita tidak terbersit rasa sombong) tidak akan keluar dari tasawuf, dengan cacatan niat mensyukuri nikmat Tuhan yang telah limpahkan pada kita.



Bukankah nabi, dan para sahabatnya juga para sufi? Ahl shuffah adalah santri-santri pilihan nabi yang memilih tinggal di masjid bersama nabi dari pada bergumul dengan masalah duniawi secara berlebihan. Itu bukti bahwa tasawuf sudah ada sejak masa nabi. Nabi seorang pemimpin agama (nan sufi) sekaligus pemimpin pemerintahan. Lalu kenapa tidak, jika sufi juga merangkap sebagai (misalnya) kepala daerah atau bahkan RI satu.



Contoh lain bahwa tasawuf tidak haram terjun ke ”dunia” ialah tarekat sanusiyyah di Libya. Tarekat yang dibidani oleh Ali El Sanusi, pria kelahiran Aljazair, ini bukan hanya gerakan Islam esoterik, tetapi juga kekuatan politik yang solid. Bahkan Ali El Sanusi, sang pendiri, termasuk salah seorang yang punya andil saat renainsanse Eropa. Ia—utamanya Omar El Mukhtar—adalah pejuang yang gigih melawan penjajah Italia sampai akhirnya ketika Libya meraih kemerdekaan, cucu pendiri tarekat ini mendapat kepercayaan rakyat Libya untuk menjadi raja Libya pertama dengan gelar Raja Sanusi I. Mulai saat itu, Libya menjadi negara sufi.1



Syeikh Ahmad Musthafa Al Khulli, muryid tarekat Al Syadziliyyah Al Hamidiyyah Mesir, meluruskan pemahan keliru itu. Menurutnya, justru orang sufi harus beretos kerja tinggi. Nabi pernah mencium tangan (kasar) salah seorang sahabatnya karena ia pekerja keras. Jadi, seorang sufi harus tetap berkeja keras; orang perkasa yang tidak akan menelantarkan keluarga. Harta hanya di tangan buka di hati; hati hanya untuk mengingat Tuhan sebagaimana statemen Sayid Abu Bakar dalam Kifayah Al Atqiya’,

فَقْدُ عَلاَقَةِ الْقَلْبِ بِالْمَالِ ، وَلَيْسَ هُوَ فَقْدَ الْمَالِ

Aartinya: “Menghilangkan ketergantungan hati terhadap harta benda (dunia), bukan berarti tidak punya harta.”
Ibnu Thufail menjadi representasi seorang sufi yang filosop, pakar ilmu kedokteran, dan seorang menteri, Al Ghazali adalah cerita lain. Ia perwakilan dari seorang sufi yang mahir ilmu fikih, kalam, dan filsafat. Magnum opusnya, Ihya Ulumuddin, menjadi rudal yang meroketkan namanya dalam dunia ini. Dari sini bisa diambil benang merah esensi tawasuf atau kehidupan zuhud adalah tidak menggantungkan kehidupan kita pada dunia; harta hanya di tangan sedangkan hati tetap untuk (mengingat) Tuhan. Sufi juga tidak harus selamanya menyepi. Sebaliknya, seorang sufi tidak selayaknya hanya mengenal dzikir-dzikir saja tetapi juga pakar dalam bidang yang lain, seperti dua nama di atas.

Membujang Ala Sufi

Sufi, adalah salah satu kelompok sempalan tempat beragam penyimpangan dari ajaran syariat ini berhuni. Salah satu ajaran menyimpang yang menonjol adalah tabattul (hidup membujang). Diyakini oleh penganut sufi, dengan “cara beragama” seperti ini, mereka lebih bisa mendekatkan diri kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala. Benarkah?

Di antara nikmat dan tanda kekuasaan Allah Subhanahu wa Ta'ala adalah disyariatkannya nikah, yang mana mendatangkan banyak maslahat dan manfaat bagi setiap individu dan masyarakatnya. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
وَمِنْ آيَاتِهِ أَنْ خَلَقَ لَكُمْ مِنْ أَنْفُسِكُمْ أَزْوَاجًا لِتَسْكُنُوا إِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُمْ مَوَدَّةً وَرَحْمَةً إِنَّ فِي ذَلِكَ لَآيَاتٍ لِقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ
“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah dia menciptakan untuk kalian istri-istri dari jenis kalian sendiri, supaya kalian cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antara kalian rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir.” (Ar-Rum: 21)
Asy-Syaikh Abdurrahman As-Sa’di rahimahullahu berkata: “Nikah termasuk nikmat Allah Subhanahu wa Ta'ala yang agung. Allah Subhanahu wa Ta'ala syariatkan bagi hamba-Nya dan menjadikannya sebagai sarana serta jalan menuju kemaslahatan dan manfaat yang tak terhingga.” (Dinukil dari Taudhihul Ahkam, 4/331)
Bahkan Allah Subhanahu wa Ta'ala menyebutnya dengan lafadz perintah dalam beberapa ayat. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
وَإِنْ خِفْتُمْ أَلاَّ تُقْسِطُوا فِي الْيَتَامَى فَانْكِحُوا مَا طَابَ لَكُمْ مِنَ النِّسَاءِ مَثْنَى وَثُلاَثَ وَرُبَاعَ فَإِنْ خِفْتُمْ أَلاَّ تَعْدِلُوا فَوَاحِدَةً أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ ذَلِكَ أَدْنَى أَلاَّ تَعُولُوا
“Dan jika kalian takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kalian menikahinya), maka nikahilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga, atau empat. Namun jika kalian takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (nikahilah) seorang saja, atau budak-budak yang kalian miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.” (An-Nisa`: 3)
وَأَنْكِحُوا اْلأَيَامَى مِنْكُمْ وَالصَّالِحِينَ مِنْ عِبَادِكُمْ وَإِمَائِكُمْ إِنْ يَكُونُوا فُقَرَاءَ يُغْنِهِمُ اللهُ مِنْ فَضْلِهِ وَاللهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ
“Dan nikahkanlah orang-orang yang sendirian di antara kalian, dan orang-orang yang layak (menikah) dari hamba-hamba sahaya kalian yang lelaki dan hamba-hamba sahaya yang perempuan. Jika mereka miskin, Allah akan memberikan kemampuan kepada mereka dengan karunia-Nya. Dan Allah Maha luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui.” (An-Nur: 32)
Diriwayatkan dari Ibnu Mas’ud radhiyallahu 'anhu, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam berkata:
يَا مَعْشَرَ الشَّبَابِ! مَنِ اسْتَطَاعَ مِنْكُمُ الْبَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ، فَإِنَّهُ أَغَضُّ لِلْبَصَرِ، وَأَحْصَنُ لِلْفَرْجِ، وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَعَلَيْهِ بِالصَّوْمِ، فَإِنَّهُ لَهُ وِجَاءٌ
“Wahai para pemuda, barangsiapa di antara kalian telah mampu untuk menikah hendaknya menikah, karena itu akan lebih menundukkan pandangan dan menjaga kemaluan. Barangsiapa yang tidak mampu, hendaknya berpuasa karena itu adalah pemutus syahwatnya.”
Ibnu ‘Abbas radhiyallahu 'anhuma berkata kepada Sa’id bin Jubair rahimahullahu: “Menikahlah, karena orang terbaik di umat ini adalah yang paling banyak istrinya.” (Dibawakan oleh Al-Bukhari rahimahullahu dalam Shahih-nya)
Bahkan para ulama menyatakan, seorang yang khawatir terjatuh dalam zina maka dia wajib menikah. Asy-Syaikh Shalih Al-Fauzan berkata: “Nikah menjadi wajib atas seorang yang khawatir terjatuh dalam zina jika meninggalkannya. Karena, itu adalah jalan bagi dia untuk menjaga diri dari perbuatan haram. Dalam keadaan seperti ini, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullahu berkata: “Jika seseorang telah perlu menikah dan khawatir terjatuh dalam kenistaan jika meninggalkannya, maka harus dia dahulukan dari amalan haji yang wajib.” (Mulakhkhash Al-Fiqhi, 2/258)
Seorang yang menikah dengan niat menjaga kehormatan dijamin oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala. Diriwayatkan dari hadits Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam berkata:
ثَلاَثَةٌ حَقٌّ عَلَى اللهِ عَزَّ وَجَلَّ عَوْنُهُمْ: الْمُكَاتَبُ الَّذِي يُرِيدُ اْلأَدَاءَ، وَالنَّاكِحُ الَّذِي يُرِيدُ الْعَفَافَ، وَالْمُجَاهِدُ فِي سَبِيلِ اللهِ
“Tiga golongan yang Allah akan menolong mereka: budak yang hendak menebus dirinya, seorang yang menikah untuk menjaga kehormatannya, dan seorang yang berjihad di jalan Allah.” (HR. An-Nasa`i, Kitabun Nikah, Bab Ma’unatullah An-Nakih Al-Ladzi Yuridul ‘Afaf, no. 3166)
Janganlah seseorang meninggalkan pernikahan karena mengikuti bisikan setan, dengan dibayangi kesulitan ekonomi, padahal dia telah sangat ingin menikah serta takut terjatuh dalam maksiat. Bertawakallah dengan disertai ikhtiar, karena Allah Subhanahu wa Ta'ala menjamin orang yang benar-benar bertawakal kepada-Nya. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
وَمَنْ يَتَوَكَّلْ عَلَى اللهِ فَهُوَ حَسْبُهُ
ﮧ ﮨ ﮩ ﮪ ﮫ ﮬﮭ
“Barangsiapa yang bertawakal kepada-Nya pasti Dia akan menjadi Pencukupnya.” (Ath-Thalaq: 3)

Tabattul ala Shufiyah (Sufi)
Tabattul adalah meninggalkan wanita dan pernikahan dengan dalih untuk fokus beribadah kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala. Tabattul adalah keyakinan Shufiyah yang menyelisihi prinsip Islam.
Al-Imam Ahmad rahimahullahu berkata: “Hidup menyendiri bukanlah termasuk ajaran Islam.” Beliau juga berkata: “Barangsiapa yang mengajak untuk tidak menikah, maka dia telah menyeru kepada selain Islam. Jika seorang telah menikah, maka telah sempurna keislamannya.” (lihat ucapan beliau dalam Al-Mughni karya Ibnu Qudamah rahimahullahu)
Apa yang beliau sebutkan didasari banyak dalil. Di antaranya, ketika ada tiga orang datang ke rumah sebagian istri Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dan bertanya tentang ibadah beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam. Ketika kembali, sebagian mereka menyatakan: “Aku akan puasa terus menerus dan tidak akan berbuka.” Yang lain berkata: “Aku akan shalat malam, tidak akan tidur.” Dan sebagian lagi berkata: “Aku tak akan menikah dengan wanita.” Ketika sampai ucapan ketiga orang ini kepada beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam, beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam berkata:
مَا بَالُ أَقْوَامٍ قَالُوا: كَذَا وَكَذَا؟! لَكِنِّي أُصَلِّي وَأَنَامُ، وَأَصُومُ وَأُفْطِرُ، وَأَتَزَوَّجُ النِّسَاءَ، فَمَنْ رَغِبَ عَنْ سُنَّتِي فَلَيْسَ مِنِّي
“Kenapa ada orang-orang yang berkata ini dan itu?! Aku shalat malam tapi juga tidur, aku puasa tapi juga berbuka, dan aku menikahi wanita. Barangsiapa yang membenci sunnahku, dia tidak di atas jalanku.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Syaikhul Islam rahimahullahu berkata: “Berpaling dari istri dan anak (tidak mau menikah, pen.) bukanlah perkara yang dicintai Allah Subhanahu wa Ta'ala dan Rasul-Nya. Bahkan bukan agama para nabi dan rasul. Allah Subhanahu wa Ta'ala telah berfirman:
وَلَقْدَ أَرْسَلْنَا رُسُلاً مِنْ قَبْلِكَ وَجَعَلْنَا لَهُمْ أَزْوَاجًا وَذُرِّيَّةً
“Kami telah utus para rasul sebelum engkau dan kami berikan kepada mereka istri dan keturunan.” (Ar-Ra’d: 38) [Ucapan Ibnu Taimiyah rahimahullahu dinukil dari Taudhihul Ahkam]
Sehingga Al-Imam Asy-Syathibi rahimahullahu menyatakan bahwa meninggalkan nikah dengan niat sebagai ibadah termasuk bid’ah (yakni bid’ah tarkiyah). (Lihat Al-I’tisham karya Al-Imam Asy-Syathibi rahimahullahu)

Dalil-dalil yang Melarang Tabattul
Bahkan telah ada nash-nash khusus melarang tabattul. Dalam Ash-Shahihain, diriwayatkan bahwa Sa’d bin Abi Waqqash radhiyallahu 'anhu berkata:
رَدَّ رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم عَلَى عُثْمَانَ بْنِ مَظْعُونٍ التَّبَتُّلَ، وَلَوْ أُذِنَ لَهُ لَاخْتَصَيْنَا
“Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam menolak permintaan Utsman bin Mazh’un untuk terus membujang. Kalau beliau mengizinkannya, niscaya kami akan mengebiri diri kami.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Dalam hadits lain, Anas bin Malik radhiyallahu 'anhu berkata:
كَانَ رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم يَأْمُرُ بِالْبَاءَةِ وَيَنْهَى عَنْ التَّبَتُّلِ نَهْيًا شَدِيدًا وَيَقُولُ: تَزَوَّجُوا الْوَدُودَ الْوَلُودَ إِنِّي مُكَاثِرٌ اْلأَنْبِيَاءَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
“Rasulullah memerintahkan kami untuk menikah dan melarang kami bertabattul. Beliau berkata: ‘Nikahilah oleh kalian wanita yang subur (calon banyak anak), karena aku akan berbangga kepada para nabi di hari kiamat dengan banyaknya kalian’.” (Hadits shahih riwayat Ahmad)

Bid’ah Tabattul Menjerumuskan Shufiyah ke dalam Kubangan Maksiat
Pemikiran bid’ah yang ada pada Shufiyah ini menjerumuskan mereka kepada perkara-perkara yang menghinakan. Kami akan sampaikan apa yang telah diterangkan Asy-Syaikh Muqbil rahimahullahu ketika menjelaskan kejelekan-kejelekan Shufiyah. Beliau rahimahullahu berkata:
“…Di antara khurafat Shufiyah adalah mereka mengharamkan atas diri mereka apa yang Allah Subhanahu wa Ta'ala halalkan berupa menikah –padahal menikah merupakan sunnah para rasul–. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman dalam kitab-Nya:
وَلَقَدْ أَرْسَلْنَا رُسُلاً مِنْ قَبْلِكَ وَجَعَلْنَا لَهُمْ أَزْوَاجًا وَذُرِّيَّةً
“Kami telah utus para rasul sebelum engkau serta kami berikan kepada mereka istri dan keturunan.” (Ar-Ra’d: 38)
Nabi kita Shallallahu 'alaihi wa sallam berkata:
حُبِّبَ إِلَيَّ مِنْ الدُّنْيَا النِّسَاءُ وَالطِّيبُ، وَجُعِلَ قُرَّةُ عَيْنِي فِي الصَّلَاةِ
“Dibuat cinta kepadaku dari dunia kalian minyak wangi dan wanita, serta dijadikan penyejuk mataku adalah shalat.”
Datang tiga orang kepada istri Nabi, bertanya tentang ibadah Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam. Ketika diberi kabar sepertinya mereka menganggap sedikit, maka sebagian mereka berkata: ‘Adapun saya, akan shalat malam dan tak akan tidur.’ Yang lain berkata: ‘Aku akan puasa dan tak akan berbuka.’ Yang lainnya lagi berkata: ‘Aku tak akan menikahi wanita.’ Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam datang dan diberi tahu tentang ucapan mereka ini. Beliaupun berkata:
أَنْتُمْ الَّذِينَ قُلْتُمْ كَذَا وَكَذَا، أَمَا وَاللهِ إِنِّي لَأَخْشَاكُمْ لِلهِ وَأَتْقَاكُمْ لَهُ لَكِنِّي أَصُومُ وَأُفْطِرُ وَأُصَلِّي وَأَرْقُدُ وَأَتَزَوَّجُ النِّسَاءَ، فَمَنْ رَغِبَ عَنْ سُنَّتِي فَلَيْسَ مِنِّي
“Kalian yang berkata demikian dan demikian, ketahuilah aku adalah orang yang paling takut di antara kalian kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala dan paling bertakwa. Akan tetapi aku shalat malam dan tidur, aku berpuasa serta berbuka, dan aku menikahi wanita. Barangsiapa yang membenci sunnahku maka dia bukan berada di atas jalanku.”
Rabbul ‘Izzah berfirman:
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لاَ تُحَرِّمُوا طَيِّبَاتِ مَا أَحَلَّ اللهُ لَكُمْ وَلاَ تَعْتَدُوا إِنَّ اللهَ لاَ يُحِبُّ الْمُعْتَدِينَ
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu haramkan apa-apa yang baik yang telah Allah halalkan bagi kamu, dan janganlah kamu melampaui batas. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas.” (Al-Ma`idah: 87)
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman dalam Al-Qur`an:
يَابَنِي آدَمَ خُذُوا زِينَتَكُمْ عِنْدَ كُلِّ مَسْجِدٍ وَكُلُوا وَاشْرَبُوا وَلاَ تُسْرِفُوا إِنَّهُ لَا يُحِبُّ الْمُسْرِفِينَ
“Hai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah di setiap shalat, makan dan minumlah, dan janganlah berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan.” (Al-A’raf: 31)
Mereka menahan diri mereka dari wanita (tidak mau menikah, pen.). Siapakah yang mereka ikuti? (Mereka) mengikuti tokoh-tokoh Nashrani dan ‘abid (para ahli ibadah) dari kalangan Yahudi.
Akan tetapi, ketika mereka enggan kepada wanita, apa yang mereka lakukan? Mereka terfitnah oleh amrad (laki-laki yang wajahnya mirip wanita). Sampai pernah terjadi, seorang (Shufi) kasmaran kepada seorang amrad (sebagaimana dalam kitab Talbis Iblis). Ketika keduanya dipisah, dia berusaha untuk masuk menemuinya dan membunuhnya. Kemudian dia menangis di sisinya serta mengaku bahwa dialah yang membunuhnya. Ketika bapak si anak tersebut datang, diapun berkata: “Aku yang membunuhnya, aku minta kepadamu dengan nama Allah Subhanahu wa Ta'ala untuk meng-qishash-ku.” Tapi bapak si anak ini memaafkannya. Maka orang ini kemudian melakukan haji dan menadzarkan pahala hajinya bagi anak tersebut.
Dan yang lebih menjijikkan dari ini adalah ada seorang (dari kalangan Shufiyah, pen.) melakukan perbuatan nista (yakni liwath/homoseksual) dengan seorang anak kecil. Kemudian dia naik ke atap rumah –kebetulan rumahnya di atas laut– dan dia lemparkan dirinya (bunuh diri) seraya membaca ayat Allah Subhanahu wa Ta'ala:
فَتُوبُوا إِلَى بَارِئِكُمْ فَاقْتُلُوا أَنْفُسَكُمْ
“Maka bertaubatlah kepada Rabb yang menjadikan kamu dan bunuhlah dirimu.” (Al-Baqarah: 54)
Demikianlah keadaan Shufiyah. Masih banyak lagi kenistaan dan kebobrokan mereka, yakni dalam masalah wanita...” (Al-Mushara’ah, hal. 378-379, dengan sedikit perubahan)
Hendaknya seorang muslim menjaga agamanya dan mendasari setiap amalnya dengan Al-Qur`an dan As-Sunnah. Janganlah seseorang beramal hanya berdasarkan akal dan perasaan semata. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
اتَّبِعُوا مَا أُنْزِلَ إِلَيْكُمْ مِنْ رَبِّكُمْ
“Ikutilah apa yang diturunkan kepadamu dari Rabb kalian.” (Al-A’raf: 3)
Ketahuilah, di antara sebab kesesatan manusia adalah ketika bersandar kepada akal dan perasaannya semata dalam beragama, seperti apa yang menimpa kaum Shufiyah. Mudah-mudahan kita senantiasa mendapatkan taufiq sampai akhir hayat kita.


Penyimpangan-penyimpangan dalam Masalah Nikah

Alangkah baiknya kita mengetahui juga masalah-masalah lain yang merupakan penyimpangan yang ada di sekitar kita. Perkara yang akan merusak dan mengotori aqidah kita.
Ketahuilah perbuatan syirik besar itu menggugurkan tauhid seseorang. Kebid’ahan menghalangi kesempurnaan tauhid seseorang. Sedangkan perbuatan maksiat yang lain akan mengotori dan menghalangi buah dari tauhid.
Banyak keyakinan, pemikiran, dan amalan sebagian muslimin yang berkaitan dengan masalah pernikahan telah menyimpang dari tuntunan Allah Subhanahu wa Ta'ala dan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Di antara pemikiran dan amalan menyimpang tersebut adalah:
1. Minta jodoh dan anak kepada selain Allah Subhanahu wa Ta'ala
Sebagian mereka ketika sulit mendapatkan jodoh atau anak, pergi ke kuburan atau tempat yang dianggap keramat untuk minta jodoh atau anak. Atau mereka pergi ke dukun. Padahal Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam menyatakan:
الدُّعَاءُ هُوَ الْعِبَادَةُ
“Berdoa adalah ibadah.” (HR. At-Tirmidzi, Kitab Tafsiril Qur`an ‘an Rasulillah Shallallahu 'alaihi wa sallam, Bab Wa Min Suratil Baqarah, no. 2895)
Tidak boleh berdoa minta diberi jodoh, anak kecuali kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala. Karena berdoa adalah ibadah, barangsiapa yang berdoa kepada selain Allah Subhanahu wa Ta'ala berarti telah terjatuh dalam perbuatan syirik. Tidak boleh pula minta bantuan dukun atau yang disebut ‘orang pintar’. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam menyatakan:
مَنْ أَتَى عَرَّافًا فَسَأَلَهُ عَنْ شَيْءٍ لَمْ تُقْبَلْ لَهُ صَلاَةٌ أَرْبَعِينَ لَيْلَةً
“Barangsiapa yang mendatangi ‘arraf (dukun, ahli nujum, tukang ramal dan sejenisnya), kemudian bertanya sesuatu kepadanya, tak akan diterima shalatnya selama empatpuluh hari.” (HR. Muslim, Kitabus Salam, Bab Tahrimul Kahanah wa Ityanil Kuhhan, no. 4137)
Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam berkata juga:
مَنْ أَتَى كَاهِنًا أَوْ عَرَّافًا فَصَدَّقَهُ بِمَا يَقُولُ فَقَدْ كَفَرَ بِمَا أُنْزِلَ عَلَى مُحَمَّدٍ صلى الله عليه وسلم
“Barangsiapa yang mendatangi dukun atau ‘arraf, kemudian membenarkan ucapannya, berarti dia telah kafir terhadap apa yang diturunkan kepada Muhammad.” (HR. Ahmad dan lainnya)
Lihatlah bahaya mendatangi dukun! Semata mendatangi dan bertanya kepada dukun akan mengakibatkan tidak diterimanya shalat selama 40 hari. Jika membenarkannya, berarti telah mengingkari apa yang diturunkan kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.

2. Tathayyur
Di antara penyelisihan aqidah dalam masalah menikah adalah melarang melakukan acara pernikahan di bulan atau hari tertentu (karena takut sial, ed.). Amalan seperti ini disebut tathayyur. Tathayyur adalah beranggapan sial pada semua yang dilihat, didengar, serta beranggapan sial pada tempat dan waktu tertentu.
Keyakinan sebagian orang bahwa bulan Shafar atau bulan Suro tidak boleh ada pernikahan karena akan ada bencana bagi yang menikah di bulan tersebut adalah keyakinan yang batil. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam berkata:
لاَ عَدْوَى وَلاَ طِيَرَةَ وَلاَ هَامَةَ وَلاَ صَفَرَ
“Tidak ada penyakit menular (dengan sendirinya), tidak ada thiyarah/tathayyur, tidak ada pengaruh burung hantu, dan tidak ada (sial karena bulan) shafar.” (HR. Al-Bukhari, Kitab Ath-Thib, Bab La Hamah, no. 5316)
Ditafsirkan bahwa shafar adalah bulan Shafar, karena orang-orang jahiliah menganggap sial menikah di bulan Shafar. (Lihat Fathul Majid)

3. Tasyabbuh (meniru orang kafir)
Tasyabbuh (meniru) orang kafir adalah amalan yang haram dalam masalah pernikahan ataupun lainnya. Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam berkata:
مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ
“Barangsiapa yang menyerupai satu kaum maka termasuk golongan mereka.” (HR. Abu Dawud, Kitabul Libas, Bab fi Lubsi Asy-Syuhrah, no. 3512)
Di antara perkara tasyabbuh yang ada dalam pernikahan adalah apa yang disebut dablah (tukar cincin/ pertunangan, -ed). Jika sampai ada keyakinan bahwa selama cincin tersebut masih di tangan kedua mempelai maka akan tetap rukun rumah tangga keduanya, berarti telah terjatuh dalam kesyirikan. Jika seseorang memakainya tanpa ada keyakinan seperti itu, dia tetap terjatuh dalam tasyabbuh. Apalagi jika cincin tersebut dari emas, maka pengantin pria terjatuh dalam keharaman lainnya, karena Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam berkata:
إِنَّ هَذَيْنِ حَرَامٌ عَلَى ذُكُورِ أُمَّتِي حِلٌّ لِإِنَاثِهِمْ
“Sesungguhnya dua benda ini (yakni emas dan sutera, pen.) haram atas laki-laki umatku dan halal bagi kaum wanitanya.” (HR. Ibnu Majah, Kitabul Libas, Bab Labsil Harir wadz Dzahab lin Nisa`, no. 3585)

4. Menikah dengan Orang yang Berbeda Agama
Ketahuilah, seorang mukmin dan mukminah, bagaimanapun keadaannya, mereka tetap lebih baik daripada orang kafir. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
وَلاَ تَنْكِحُوا الْمُشْرِكَاتِ حَتَّى يُؤْمِنَّ وَلَأَمَةٌ مُؤْمِنَةٌ خَيْرٌ مِنْ مُشْرِكَةٍ وَلَوْ أَعْجَبَتْكُمْ وَلاَ تُنْكِحُوا الْمُشْرِكِينَ حَتَّى يُؤْمِنُوا وَلَعَبْدٌ مُؤْمِنٌ خَيْرٌ مِنْ مُشْرِكٍ وَلَوْ أَعْجَبَكُمْ أُولَئِكَ يَدْعُونَ إِلَى النَّارِ وَاللهُ يَدْعُو إِلَى الْجَنَّةِ وَالْمَغْفِرَةِ بِإِذْنِهِ وَيُبَيِّنُ آيَاتِهِ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَذَكَّرُونَ
“Dan janganlah kalian menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun dia menarik hati kalian. Dan janganlah kalian menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang musyrik, walaupun dia menarik hati kalian. Mereka mengajak ke neraka, sedangkan Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. Dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya (perintah-perintah-Nya) kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran.” (Al-Baqarah: 221)
Sangat disayangkan, banyak orangtua mengorbankan putrinya untuk mendapatkan dunia semata, menikahkan putrinya dengan orang kafir yang tidak halal bagi mereka. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا جَاءَكُمُ الْمُؤْمِنَاتُ مُهَاجِرَاتٍ فَامْتَحِنُوهُنَّ اللهُ أَعْلَمُ بِإِيْمَانِهِنَّ فَإِنْ عَلِمْتُمُوهُنَّ مُؤْمِنَاتٍ فَلاَ تَرْجِعُوهُنَّ إِلَى الْكُفَّارِ لاَ هُنَّ حِلٌّ لَهُمْ وَلاَ هُمْ يَحِلُّونَ لَهُنَّ
“Hai orang-orang yang beriman, apabila datang berhijrah kepadamu perempuan-perempuan yang beriman, maka hendaklah kamu uji (keimanan) mereka. Allah Subhanahu wa Ta'alaebih mengetahui tentang keimanan mereka; jika kamu telah mengetahui bahwa mereka (benar-benar) beriman, maka janganlah kamu kembalikan mereka kepada (suami-suami mereka) orang-orang kafir. Mereka tiada halal bagi orang-orang kafir itu dan orang-orang kafir itu tiada halal pula bagi mereka.” (Al-Mumtahanah: 10)
Orang kafir –walaupun ahlul kitab– tidaklah halal bagi seorang wanita muslimah.

5. Tiwalah
Tiwalah adalah sesuatu yang dibuat dengan keyakinan bisa membuat suami cinta kepada istrinya atau istri kepada suaminya. Inipun satu amalan yang terlarang. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam berkata:
إِنَّ الرُّقَى وَالتَّمَائِمَ وَالتِّوَلَةَ شِرْكٌ
“Sesungguhnya ruqyah, tamimah, dan tiwalah adalah syirik.” (HR. Ahmad dan Abu Dawud)
Inilah sebagian kecil masalah aqidah yang dilanggar sebagian kaum muslimin dalam hal pernikahan. Masih banyak lagi penyimpangan yang terjadi dalam acara pernikahan seperti: sesajen, sembelihan untuk selain Allah Subhanahu wa Ta'ala, dan lainnya. Hendaknya setiap muslim berhati-hati, jangan sampai keyakinan dan amalannya terkotori syirik atau kebid’ahan. Sehingga dia bisa meninggal di atas tauhid dan di atas Sunnah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.
Walhamdulillah.

Santapan Dari Sorga

Yunus, putra Adam, pada suatu saat memutuskan untuk tidak
sekedar menyerahkan hidupnya pada nasib, tetapi mencari cara
dan alasan penyediaan kebutuhan manusia.

"Aku manusia," katanya kepada dirinya sendiri. "Sebagai
manusia aku mendapat sebagian dari kebutuhan dunia, setiap
hari. Bagian itu aku dapat karena usahaku sendiri, didukung
oleh usaha orang lain juga. Dengan menyederhanakan proses
ini, aku akan mencari tahu bagaimana cara makanan mencapai
manusia, dan belajar sesuatu mengenai bagaimana dan
mengapanya. Daripada hidup di dunia kacau-balau ini, dimana
makanan dan kebutuhan lain jelas datang melalui masyarakat,
aku akan menyerahkan diriku kepada Penguasa langsung yang
memerintah segalanya. Pengemis hidup lewat perantara: Lelaki
dan wanita yang pemurah, yang merelakan sebagian hartanya
berdasarkan desakan hati yang tidak sepenuh-penuhnya. Mereka
melakukan itu karena telah dididik berbuat demikian. Aku
tidak mau menerima sumbangan yang tidak langsung itu."

Selesai berbicara sendiri itu, iapun berjalan ke tempat
terpencil, menyerahkan dirinya kepada bantuan kekuatan gaib
dengan keyakinan yang sama seperti ketika ia menyerahkan
dirinya kepada bantuan yang kasat mata, yakni ketika ia dulu
menjadi guru di sebuah sekolah.

Ia pun jatuh tertidur, yakin bahwa Allah akan mengurus
kebutuhannya sebaik-baiknya, sama seperti burung-burung dan
binatang lain mendapatkan keperluannya di dunia mereka
sendiri.

Waktu subuh, kicau burung membangunkannya, dan anak Adam itu
mula-mula berbaring saja, menanti munculnya makanan.
Meskipun ia mula-mula sepenuhnya menyerahkan dirinya kepada
kekuatan gaib dan yakin bahwa ia akan mampu memahaminya
kalau kekuatan gaib itu mula bekerja di tempat itu, Yunus
segera menyadari bahwa renungan saja tidak akan banyak
membantunya di medan yang tidak biasa ini.

Ia berbaring di tepi sungai, dan menghabiskan seluruh hari
memperhatikan alam, mengintai ikan di sungai, dan
bersembahyang. Satu demi satu lewatlah orang-orang kaya dan
berkuasa, disertai pengiring yang naik kuda bagus-bagus;
terdengar kelinting pakaian kuda menandakan keyakinan jalan
yang ditempuhnya, dan mendengar salam orang-orang itu karena
mereka melihat ikat kepala yang dikenakannya.
Kelompok-kelompok penziarah beristirahat dan mengunyah kue
kering dan keju, dan air liurnya pun semakin mengucur
membayangkan makanan yang paling sederhana.

"Ini hanya ujian, dan semua akan segera berlalu," pikir
Yunus, ketika ia selesai mengerjakan sembahyang Isya, dan
memulai tepekurnya menurut cara yang pernah diajarkan
kepadanya oleh seorang darwis yang memiliki pandangan tajam
dan luhur dalam mencapai tujuan.

Malam pun berlalu.

Dan Yunus sedang duduk menatap berkas-berkas sinar matahari
yang patah-patah terpantul di Sungai Tigris yang agung,
ketika lima jam sesudah subuh, pada hari kedua, tampak
olehnya sesuatu menyembul-nyembul di antara alang-alang.
Barang itu ternyata sebuah bungkusan daun yang diikat dengan
serabut kelapa.

Yunus, anak Adam, terjun ke sungai dan mengambil benda aneh
itu.

Beratnya sekitar setengah kilogram. Ketika dibukanya
pengikat itu, bau yang sedap menyerang lubang hidungnya.
Yunus mendapat halwa Bagdad. Halwa makanan itu, dibuat dari
cairan buah badam, air mawar madu, dan kacang - dan pelbagai
bahan lain yang berharga - oleh karenanya sangat digemari
karena rasanya yang enak dan khasiatnya yang tinggi bagi
kesehatan. Putri-putri cantik penghuni harem menggigit-
gigitnya karena rasanya yang enak; para prajurit membawanya
ke medan perang karena bisa menimbulkan ketahanan tubuh. Ia
pun bisa dipergunakan untuk mengobati seratus penyakit.

"Keyakinanku terbukti!" kata Yunus. "Dan kini tinggal
mengujinya. Jika ada halwa yang sebesar ini, atau makanan
yang sama, diantarkan kepadaku lewat sungai ini setiap
hari, atau pada waktu-waktu yang teratur, aku akan
mengetahui cara yang ditempuh oleh Sang Pemelihara
untuk memberi makanan padaku. Dan sesudah itu aku bisa
menggunakan akalku untuk mencari sumbernya."

Tiga hari berturut-turut sesudah itu, pada jam-jam yang
tepat sama, sebungkus halwa terapung menuju ke tempat Yunus.

Ia berkeyakinan kuat bahwa hal itu merupakan penemuan yang
maha penting. Kita sederhanakan saja keadan kita, dan Alam
terus menjalankan tugasnya dengan cara yang kira-kira sama.
Hal itu saja melupakan penemuan yang dirasanya harus
disebarkan ke seluruh dunia. Bukankah sudah dikatakan,
"Kalau kau mengetahui sesuatu, ajarkan itu." Namun kemudian
disadarinya bahwa ia tidak mengetahui, ia baru mengalami.
Langkah berikutnya yang harus ditempuh adalah mengikuti
jalan halwa itu mudik sampai ia mencapai sumbemya. Tentu ia
nanti tidak hanya mengetahui asal usulnya, tetapi juga cara
bagaimana makanan itu sengaja disediakan untuk dimakannya.

Berhari-hari lamanya Yunus mengikuti alur sungai setiap hari
secara teratur tetapi pada waktu yang semakin lama semakin
awal halwa itu muncul, dan Yunus memakannya.

Akhirnya Yunus melihat bahwa sungai itu bukannya tambah
sempit di udik, tetapi malah melebar. Di tengah-tengah
sungai yang luas itu terdapat sebidang tanah yang amat
subur. Di tanah itu berdiri sebuah istana yang kokoh namun
indah. Dari sanalah, pikirnya, makanan itu berasal.

Ketika ia sedang memikirkan langkah berikutnya Yunus melihat
seorang darwis yang tinggi dan kusut, yang rambutnya kusut
bagaikan pertapa dan pakaiannya bertambal warna-warni,
berdiri dihadapannya.

"Salam, Bapak," kata Yunus.

"Salam, huuu!" jawab pertapa itu keras. "Apa pula urusanmu
disini?"

"Saya melakukan suatu penyelidikan suci," anak Adam itu
menjelaskan, "dan saya harus mencapai benteng di seberang
itu untuk menyempurnakannya. Barangkali Bapak mengetahui
akal agar saya bisa kesana?"

"Karena tampaknya kau tak mengetahui apa-apa tentang benda
itu, walaupun aku sendiri menaruh minat padanya," kata
pertapa itu, "akan kuberi tahu juga kau tentangya.

Pertama-tama, putri seorang raja tinggal di sana, dalam
tawanan dan pembuangan, dijaga oleh sejumlah dayang-dayang
jelita, memang enak, tetapi terbatas juga geraknya. Sang
Putri tidak bisa melarikan diri sebab lelaki yang menangkap
dan memenjarakannya disana -karena Sang Putri menolak
lamarannya- telah mendirikan rintangan-rintangan yang kokoh
tak terlampaui, yang tak tampak oleh mata. Kau harus
mengungguli rintangan-rintangan itu agar bisa memasuki
benteng dan mencapai tujuanmu."

"Bapak bisa menolong saya?"

"Aku sendiri sedang akan memulai perjalanan khusus demi
pengabdian. Tetapi, kukatakan padamu rahasia sepatah kata,
Wazifa, yang-kalau memang sesuai untuk itu- akan membantumu
mengumpulkan kekuatan gaib para Jin berbudi, makhluk api,
yakni satu-satunya makhluk yang dapat mengungguli kekuatan
sihir yang telah mengunci benteng tersebut. Semoga kau
selamat." Dan pertapa itupun pergi, setelah mengucapkan
suara-suara aneh berulang-ulang dan bergerak tangkas dan
cekatan, sangat mengagumkan mengingat sosoknya yang patut
dimuliakan itu.

Berhari-hari lamanya Yunus duduk latihan dan memperhatikan
munculnya halwa. Kemudian, pada suatu malam ketika sedang
disaksikannya matahari bersinar-sinar di menara benteng,
tampak olehnya pemandangan yang aneh. Disana, berkilauan
dalam keindahan sorgawi, berdirilah seorang gadis yang
tentunya putri yang dikisahkan itu. Beberapa saat lamanya ia
berdiri menyaksikan matahari, dan kemudian menjatuhkan
sesuatu ke ombak yang mengalun jauh di bawah kakinya -yang
dijatuhkannya itu adalah halwa. Nah, ternyata itulah sumber
langsung karunianya.

"Sumber Makanan Sorga!" teriak Yunus. Kini ia merasa berada
diambang kebenaran. Kapanpun nanti, Pemimpin Jin, yang
dipanggil-panggilnya lewat wazifa darwis, tentu datang, dan
akan dapatlah ia mencapai benteng, putri, dan kebenaran itu.

Tidak berapa lama sesudah pikiran itu melintas di benaknya,
ia merasa dirinya terbawa terbang melewati langit yang
tampaknya seperti kerajaan dongeng, penuh dengan rumah-rumah
yang indah mengagumkan. Ia memasuki salah satu diantaranya,
dan disana berdiri seorang makhluk bagai manusia, yang
sebenarnya bukan manusia: tampaknya masih muda, namun
bijaksana, dan jelas sudah sangat tua. "Hamba," kata makhluk
itu, "adalah Pemimpin Jin, dan hamba telah membawa Tuan
kemari sesuai dengan permintaan Tuan melalui Nama Agung yang
telah diberikan kepada Tuan oleh Sang Darwis Agung. Apa yang
bisa hamba lakukan untuk Tuan?"

"O Pemimpin Jin yang perkasa," kata Yunus gemetar, "aku
Pencari Kebenaran,dan jawaban bagi pencarianku itu hanya
bisa aku dapatkan di dalam benteng yang mempesona di dekat
tempatku berdiri ketika kau memanggilku ke mari. Berilah aku
kekuatan untuk memasuki benteng itu dan untuk berbicara
kepada putri yang terkurung di sana."

"Permohonan dikabulkan!" kata Sang Pemimpin Jin. "Tetapi
ketahuilah, orang mendapatkan jawaban bagi pertanyaannya
sesuai dengan kemampuannya memahami dan persiapannya
sendiri."

"Kebenaran tetap kebenaran," kata Yunus, "dan aku akan
mendapatkannya, apa pun juga ujudnya nanti. Berikan anugerah
itu."

Segera saja Yunus dikirim cepat-cepat dalam keadaan tak
kelihatan (dengan kekuatan sihir Jin), dikawal oleh
sekelompok Jin kecil-kecil sebagai pembantunya, yang oleh
Pemimpinnya diberi tugas mempergunakan kepandaian khususnya
untuk membantu manusia yang sedang mencari kebenaran itu.
Ditangan Yunus ada sebuah batu cermin khusus yang menurut
petunjuk Pemimpinnya diberikan tugas mempergunakan
kepandaian khususnya untuk membantu manusia yang sedang
mencari kebenaran itu. Di tangan Yunus ada sebuah batu
cermin khusus yang menurut petunjuk Pemimpin Jin harus
diarahkan ke benteng untuk melihat rintangan-rintangan yang
tak kelihatan.

Lewat batu itulah anak Adam mengetahui bahwa benteng
tersebut di jaga oleh sederet raksasa, tak tampak tetapi
mengerikan, yang menghantam siapapun yang mendekat. Jin-jin
pembantu yang ahli dalam tugas khusus berhasil menyingkirkan
mereka. Berikutnya Yunus melihat ada semacam jala atau
jaring yang tak kelihatan, yang menutupi seluruh benteng
itu. Itu pun bisa disingkirkan oleh Jin-jin yang memiliki
kccerdikan untuk melaksanakan tugasnya. Akhirnya ada
seonggokan batu besar yang tak kelihatan yang ternyata
memenuhi jarak antara benteng dan tepi sungai. Batu-batu itu
dibongkar semua oleh kelompok Jin tersebut, yang setelah
menjalankan tugas-tugasnya, memberi salam lalu pergi secepat
kilat ke tempat asalnya.

Yunus menyaksikan ada sebuah jembatan yang dengan kekuatan
gaib, muncul dari dasar sungai sehingga ia bisa berjalan
sampai ke benteng itu dengan tetap kaki kering. Seorang
pengawal gerbang langsung membawanya menghadap Sang Putri,
yang kini bahkan tampak lebih elok lagi dari pada dulu
ketika pertama kali tampak.

"Kami sangat berterima kasih pada Tuan karena telah
menghancurkan rintangan yang mengurus benteng ini," kata
putri itu. "Dan sekarang saya bisa pulang ke ayah dan ingin
sekali memberi hadiah Tuan yang telah bersusah-payah selama
ini. Katakan, sebut apa saja, dan saya akan memberikannya
kepada Tuan."

"Mutiara tiada tara," kata Yunus, "hanya ada satu hal yang
saya cari, yakni kebenaran. Karena sudah merupakan kewajiban
siapa pun yang memiliki kebenaran untuk memberikan kepada
siapapun yang bisa memanfaatkannya, saya memohon dengan
sangat, Yang Mulia, agar memberikan kebenaran yang sangat
saya butuhkan."

"Katakan, dan kebenaran yang bisa saya berikan, akan
sepenuhnya menjadi milik Tuan."

"Baiklah, Yang Mulia. Bagaimana, dan atas perintah apa
Makanan Sorga, yakni halwa yang setiap harinya Tuan Putri
berikan kepada saya itu, diatur pengirimannya secara
demikian?"

"Yunus, anak Adam," kata Sang Putri, "halwa, begitu nama
yang kauberikan, yang saya lemparkan setiap hari itu
sebenarnya tak lain sisa-sisa bahan perias yang saya gosok
setelah saya mandi air susu keledai."

"Akhirnya saya memahami," kata Yunus, "bahwa pengertian
manusia sesuai dengan syarat kemampuannya untuk mengerti.
Bagi Tuan Putri, itu merupakan sisa bahan perias. Bagi saya,
Makanan Sorga."

Catatan

Menurut Halqawi (penulis kisah ini), hanya beberapa kisah
Sufi yang bisa dibaca oleh siapapun waktu kapanpun, dan
tetap bisa memberikan perbaikan "kesadaran batin."

"Hampir semua yang lain," katanya, "tergantung pada di mana,
kapan, dan bagaimana kisah-kisah itu dipelajari.
Demikianlah, kebanyakan orang akan menemukan hal-hal yang
mereka harapkan: hiburan, teka-teki, ibarat."

Yunus, anak Adam, adalah orang Suriah, meninggal tahun 1670.
Ia memiliki kekuatan penyembuhan yang luar biasa dan juga
seorang penemu.

Sepotong Roti Penebus Dosa

Abu Burdah bin Musa Al-Asy’ari meriwayatkan, bahwa ketika menjelang wafatnya Abu Musa pernah berkata kepada puteranya: “Wahai anakku, ingatlah kamu akan cerita tentang seseorang yang mempunyai sepotong roti.”

Dahulu kala di sebuah tempat ibadah ada seorang lelaki yang sangat tekun beribadah kepada Allah. Ibadah yang dilakukannya itu selama lebih kurang tujuh puluh tahun. Tempat ibadahnya tidak pernah ditinggalkannya, kecuali pada hari-hari yang telah dia tentukan. Akan tetapi pada suatu hari, dia digoda oleh seorang wanita sehingga diapun tergoda dalam bujuk rayunya dan bergelimang di dalam dosa selama tujuh hari sebagaimana perkara yang dilakukan oleh pasangan suami-isteri. Setelah ia sadar, maka ia lalu bertaubat, sedangkan tempat ibadahnya itu ditinggalkannya, kemudian ia melangkahkan kakinya pergi mengembara sambil disertai dengan mengerjakan solat dan bersujud.

Akhirnya dalam pengembaraannya itu ia sampai ke sebuah pondok yang di dalamnya sudah terdapat dua belas orang fakir miskin, sedangkan lelaki itu juga bermaksud untuk menumpang bermalam di sana, karena sudah sangat letih dari sebuah perjalanan yang sangat jauh, sehingga akhirnya dia tertidur bersama dengan lelaki fakir miskin dalam pondok itu. Rupanya di samping kedai tersebut hidup seorang Pendeta yang setiap malamnya selalu mengirimkan beberapa buku roti kepada fakir miskin yang menginap di pondok itu, masing-masingnya mendapat sepotong roti.

Pada waktu yang lain, datang pula orang lain yang membagi-bagikan roti kepada setiap fakir miskin yang berada di pondok tersebut, begitu juga dengan laki-laki yang sedang bertaubat kepada Allah itu juga mendapat bagian, karena disangka sebagai orang miskin.

Rupanya salah seorang di antara orang miskin itu ada yang tidak mendapat bagian dari orang yang membagikan roti tersebut, sehingga kepada orang yang membagikan roti itu ia berkata: “Mengapa kamu tidak memberikan roti itu kepadaku.”

Orang yang membagikan roti itu menjawab: “Kamu dapat melihat sendiri, roti yang aku bagikan semuanya telah habis, dan aku tidak membagikan kepada mereka lebih dari sepotong roti.”

Mendengar ungkapan dari orang yang membagikan roti tersebut, maka laki-laki yang sedang bertaubat itu lalu mengambil roti yang telah diberikan kepadanya dan memberikannya kepada orang yang tidak mendapat bagian tadi. Sedangkan keesokan harinya, orang yang bertaubat itu meninggal dunia.

Di hadapan Allah, maka ditimbanglah amal ibadah yang pernah dilakukan oleh orang yang bertaubat itu selama lebih kurang tujuh puluh tahun dengan dosa yang dilakukannya selama tujuh malam. Ternyata hasil dari timbangan tersebut, amal ibadat yang dilakukan selama tujuh puluh tahun itu dikalahkan oleh kemaksiatan yang dilakukannya selama tujuh malam.

Akan tetapi ketika dosa yang dilakukannya selama tujuh malam itu ditimbang dengan sepotong roti yang pernah diberikannya kepada fakir miskin yang sangat memerlukannya, ternyata amal sepotong roti tersebut lebih berat timbangannya dibanding dengan perbuatan dosanya selama tujuh malam itu.

Kepada anaknya Abu Musa berkata: “Wahai anakku, ingatlah olehmu akan orang yang memiliki sepotong roti itu!”

PANDANGAN AL-GHAZALI DAN EMILE DURKHEIM TENTANG PENDIDIKAN MORAL DALAM MASYARAKAT MODERN

Dalam bagian awal ini, penulis mencoba untuk menegaskan beberapa istilah kunci dalam penulisan skripsi ini. Hal ini dilakukan untuk menghindari misunderstanding dan misinterpretation terhadap beberapa istilah yang digunakan dalam judul skripsi ini. Istilah-Istilah yang akan dijelaskan itu meliputi:

1. Pandangan

Pandangan dalam skripsi ini dimaksudkan sebagai pemikiran yang mendasar dan sistematis.

1. Al-Ghazali

Imam al-Ghazali, nama lengkapnya adalah Abu Hamid Muhammad bin Muhammad bin Muhammad al-Ghazali at-Thusi, tapi dalam dunia Islam ia lebih dikenal dengan sebutan al-Ghazali saja.[1]) Dalam sejarah pemikiran Islam al-Ghazali dikenal sebagai ahli dan praktisi pendidikan, agama, hukum Islam, dan memiliki keilmuan yang luas mengenai filsafat, tasawuf, kejiwaan, akhlak (moral) dan spiritualitas Islam.[2]

1. Emile Durkheim

Emile Durkheim adalah seorang pemikir dan profesor kelahiran Perancis, ahli dan praktisi pendidikan, dan filsuf moral yang lahir pada lahir pada tanggal 15 April 1858 di Epinal, suatu perkampungan kecil orang Yahudi di bagian timur Perancis yang agak terpencil dari masyarakat luas.[3]

1. Pendidikan

Pendidikan berasal dari kata paedagogia (Yunani) yang berarti pergaulan dengan anak-anak. Namun kata ini sering diartikan seorang pelayan pada masa Yunani kuno yang pekerjaaannya mengantar dan menjemput anak sepulang dari sekolah. Paedagogis berasal dari kata paedos (anak) dan agoge (saya membimbing, memimpin).[4] Kemudian makna paedagogos berarti pekerjaan yang mulia, karena pengertian paedagogog berarti orang yang bertugas membimbing anak dalam pertumbuhannya kearah berdiri sendiri dan bertanggung jawab.[5]

Sedangkan pendidikan dalam pandangan etimologi adalah education yang berasal dari bahasa Latin eex (keluar) dan dudere duc (mengatur, memimpin dan mengarahkan). Secara harfiah pendidikan berarti mengumpulkan informasi dan menyampaikan serta menyalurkan kemampuan (bakat).[6] Adapun John Dewey mengartikan pendidikan sebagai suatu proses pembentukan dasar yang bersifat fundamental yang menyangkut daya pikir (intelektual), maupun daya rasa (emosi) manusia.[7]

Pendidikan juga dapat diartikan sebagai suatu usaha sadar yang dilakukan manusia untuk membawa anak didik ke tingkat dewasa dalam arti mampu memikul tanggung jawab moral.[8] Selain itu Omar Muhammad Al- Thoumy al-Syaibani menjelaskan bahwa pendidikan merupakan suatu usaha untuk mengubah tingkah laku individu dalam kehidupan pribadinya sebagai bagian dari kehidupan masyarakat dan kehidupan alam semesta.[9]

1. Moral

Moral berasal dari kata Mores yang berarti kebiasaan, adat istiadat. Sinonim dari kata tersebut adalah etik (Ethos, bahasa Yunani kuno yang berarti kebiasaan, adat, watak, perasaan, sikap dan cara berpikir),[10] Akhlaq (bahasa Arab, jamak dari kata Khulq yang berarti tingkah laku atau budi pekerti),[11] serta budi pekerti (bahasa Indonesia). Dagobert D. Runer menjelaskan[12] bahwa istilah moral (Inggris) seringkali digunakan untuk merujuk pada aturan-aturan, tingkah laku, dan kebiasaan individu atau kelompok. Dengan demikian istilah moral atau akhlak dapat digunakan untuk menunjukkan arti tingkah laku manusia maupun aturan-aturan tentang tingkah laku manusia. M. Amin Abdullah misalnya, mengartikan moral sebagai aturan-aturan normatif yang berlaku dalam masyarakat tertentu.Lebih lanjut Amin Abdullah membedakan antara moral dan etika dimana moral merupakan tata nilai yang sudah jadi dan siap pakai sementara etika merupakan studi kritis terhadap moralitas, sehingga moral tidak lain adalah obyek material dari etika.[13]

Istilah Moral seringkali digunakan secara silih berganti dengan akhlak. Berbeda dengan akal yang dipergunakan untuk merujuk suatu kecerdasan, tinggi rendahnya intelegensia, kecerdikan dan kepandaian. Kata moral atau akhlak acap kali digunakan untuk menunjukkan suatu perilaku baik atau buruk, sopan santun dan kesesuaiannya dengan nilai-nilai kehidupan.[14]

Dalam The Advanced of learner’s Dictionary of Current English dijelaskan tentang pengertian moral dalam empat arti yang saling terkait dan berhubungan satu sama lain, yaitu:

a) Prinsip-prinsip yang berkenaan dengan benar salah (concerning principles of rigt and wrong)

b) Baik dan Buruk (good and virtuous)

c) Kemampuan untuk memahami perbedaan antara benar dan salah (able to understand the difference between rigt and wrong)

d) Ajaran atau gambaran tingkah laku yang baik (teaching or illustrating good behaviour).[15]

Terlepas dari perbedaan kata yang digunakan baik moral, etika, akhlak, budi pekerti mempunyai penekanan yang sama, yaitu adanya kualitas-kualitas yang baik yang teraplikasi dalam perilaku seseorang dalam kehidupan sehari-hari, baik sifat-sifat yang ada dalam dirinya maupun dalam kaitannya dengan kehidupan bermasyarakat. Walau mempunyai perbedaan, namun moral, etika dan akhlaq dapat dianggap sama apabila sumber ataupun produk budaya yang digunakan sesuai.[16]

Oleh karena itu dalam skripsi ini istilah moral digunakan untuk menunjukkan aturan-aturan normatif, tata nilai tentang tingkah laku dan juga tentang sikap dan tingkah laku manusia dalam kehidupan sehari-hari, baik sebagai makhluk individu seperti jujur, dapat dipercaya, adil, bertanggung jawab dan lain-lain, maupun sebagai makhluk sosial dalam hubungannya dengan masyarakat, seperti kejujuran, penghormatan sesama manusia, tanggung jawab, kerukunan, kesetiakawanan, solidaritas sosial dan sebagainya.

Dengan pengertian diatas maka kajian tentang pendidikan moral bukan sekedar kajian tentang bagaimana mengajarkan norma moral tentang mana nilai-nilai keutamaan dan mana nilai-nilai keburukan, namun lebih dari itu merupakan kajian tentang bagaimana moralitas anak didik dikembangkan untuk mencapai moralitas yang baik dalam segala situasi kehidupan.

1. Masyarakat Modern

Pengertian Masyarakat modern dalam skripsi ini adalah masyarakat yang ditandai oleh adanya modernisasi yang memiliki ciri-ciri adanya kemajuan ilmu pengetahuan dan tehnologi, tumbuhnya rasionalitas dan sekularisasi dan adanya pergerakan menuju progress.

Modernisasi dalam kajian ini ditandai oleh perubahan-perubahan besar dibidang sosial, politik, ekonomi, kultural, dan ideologi yang tidak dapat dicerabut dari konteks historisnya yang terjadi di barat. Bertolak dari sana gelombang raksasa ini menciptakan perubahan-perubahan substantif dan kreatif, hasil sintetis faktor-faktor eksogen dan endogen dalam masyarakat dibelahan bumi yang lain. Namun modernisasi sebenarnya bukan hanya menyangkut perubahan- perubahan institusional melainkan juga terjadinya perubahan-perubahan kesadaran pada manusia. Masyarakat modern seringkali didasarkan dengan adanya karakteristik distansi, individuasi, progress, rasionalisasi dan sekularisasi pada kesadaran yang menandai manusia modern.[17]

Dari batasan-batasan yang ada diatas , maka yang dimaksud dengan PANDANGAN AL-GHAZALI DAN EMILE DURKHEIM TENTANG PENDIDIKAN MORAL DALAM MASYARAKAT MODERN dalam skripsi ini adalah sebagai pemikiran yang mendasar dan sistematis dari Al-Ghazali maupun Emile Durkheim berkaitan dengan upaya membantu peserta didik memahami esensi dan arti penting nilai-nilai moral dan mampu mengembangkan segala potensinya mewujudkan nilai-nilai moral itu dalam perilaku nyata ditengah kehidupan masyarakat modern yang ditandai oleh adanya modernisasi, yang memiliki ciri-ciri adanya kemajuan ilmu pengetahuan dan tehnologi, tumbuhnya rasionalitas dan sekularisasi dan adanya pergerakan menuju progress.

Untuk mendownload silakan klik link di bawah ini

Sufi Perempuan



Seberkas cahaya memancar dari bayi yang baru saja dilahirkan tanpa bantuan siapa-siapa. “Ya Allah,” seru Ismail, “anakku, Rabiah, telah datang membawa sinar yang akan menerangi alam di sekitarnya.” Lalu Ismail menggumam, “Amin.” Tetapi berkas cahaya yang membungkus bayi kecil itu tidak membuat keluarganya terlepas dari belitan kemiskinan….

Pada suatu hari seorang lelaki datang kepada Rabiah dan bertanya, “Saya ini telah banyak melakukan dosa. Maksiat saya bertimbun melebihi gunung-gunung. Andaikata saya bertobat, apakah Allah akan menerima tobat saya?” “Tidak,” jawab Rabiah dengan suara tegas. Pada kali yang lain seorang lelaki datang pula kepadanya. Lelaki itu berkata, “Seandainya tiap butir pasir itu adalah dosa, maka seluas gurunlah tebaran dosa saya. Maksiat apa saja telah saya lakukan, baik yang kecil maupun yang besar. Tetapi sekarang saya sudah menjalani tobat. Apakah Tuhan menerima tobat saya?” “Pasti,” jawab Rabiah tak kalah tegas. Lalu ia menjelaskan, “Kalau Tuhan tidak berkenan menerima tobat seorang hamba, apakah mungkin hamba itu tergerak menjalani tobat? Untuk berhenti dari dosa, jangan simpan kata “akan” atau “andaikata” sebab hal itu akan merusak ketulusan niatmu.”

Memang ucapan sufi perempuan itu seringkali menyakitkan telinga bagi mereka yang tidak memahami jalan pikirannya. Ia seorang mistisi yang sangat tinggi derajatnya dan tergolong kelompok sufi periode awal. Ia memperkaya literatur Islam dengan kisah-kisah pengalaman mistiknya dalam sajak-sajak berkualitas tinggi.

Sesungguhnya ia lebih dikenal sebagai seorang pendiri ‘agama cinta’ (mahabbah) dan ia pun dikenang sebagai ‘ibu para Sufi besar’ (The Mother of the Grand Master). Siapa sebenarnya ia yang kepergiannya dielu-elukan kaum ‘suci’ itu? Tiada lain ia adalah tokoh wanita bernama Rabiah Basri atau lebih dikenal sebagai Rabiah Al Adawiyah Al Bashriyah, lahir pada tahun 713 M di Basrah (Irak), dari keluarga yang hina dina.

Sebagai anak keempat. Itu sebabnya ia diberi nama Rabiah. Bayi itu dilahirkan ketika orang tuanya hidup sangat sengsara meskipun waktu itu kota Bashrah bergelimang dengan kekayaan dan kemewahan. Tidak seorang pun yang berada di samping ibunya, apalagi menolongnya, karena ayahnya, Ismail, tengah berusaha meminta bantuan kepada para tetangganya.

Namun, karena saat itu sudah jauh malam, tidak seorang pun dari mereka yang terjaga. Dengan lunglai Ismail pulang tanpa hasil, padahal ia hanya ingin meminjam lampu atau minyak tanah untuk menerangi istrinya yang akan melahirkan. Dengan perasaan putus asa Ismail masuk ke dalam biliknya. Tiba-tiba matanya terbelak gembira menyaksikan apa yang terjadi di bilik itu.

Seberkas cahaya memancar dari bayi yang baru saja dilahirkan tanpa bantuan siapa-siapa. “Ya Allah,” seru Ismail, “anakku, Rabiah, telah datang membawa sinar yang akan menerangi alam di sekitarnya.” Lalu Ismail menggumam, “Amin.” Tetapi berkas cahaya yang membungkus bayi kecil itu tidak membuat keluarganya terlepas dari belitan kemiskinan. Ismail tetap tidak punya apa-apa kecuali tiga kerat roti untuk istrinya yang masih lemah itu. Ia lantas bersujud dalam salat tahajud yang panjang, menyerahkan nasib dirinya dan seluruh keluarganya kepada Yang Menciptakan Kehidupan.

Sekonyong-konyong ia seolah berada dalam lautan mimpi manakala gumpalan cahaya yang lebih benderang muncul di depannya, dan setelah itu Rasul hadir bagaikan masih segar-bugar. Kepada Ismail, Rasulullah bersabda, “Jangan bersedih, orang salih. Anakmu kelak akan dicari syafaatnya oleh orang-orang mulia. Pergilah kamu kepada penguasa kota Bashrah, dan katakan kepadanya bahwa pada malam Jumat yang lalu ia tidak melakukan salat sunnah seperti biasanya. Katakan, sebagai kifarat atas kelalaiannya itu, ia harus membayar satu dinar untuk satu rakaat yang ditinggalkannya.

Ketika Ismail mengerjakan seperti yang diperintahkan Rasulullah dalam mimpinya, Isa Zadan, penguasa kota Bashrah itu, terperanjat. Ia memang biasa mengerjakan salat sunnah 100 rakaat tiap malam, sedangkan saban malam Jumat ia selalu mengerjakan 400 rakaat. Oleh karena itu, kepada Ismail diserahkannya uang sebanyak 400 dinar sesuai dengan jumlah rakaat yang ditinggalkannya pada malam Jumat yang silam. Itulah sebagian dari tanda-tanda karamah Rabiah al-Adawiyah, seorang sufi perempuan dari kota Bashrah, yang di hatinya hanya tersedia cinta kepada Tuhan. Begitu agungnya cinta itu bertaut antara hamba dan penciptanya sampai ia tidak punya waktu untuk membenci atau mencintai, untuk berduka atau bersuka cita selain dengan Allah.

Ismail dan istrinya meninggal ketika Rabiah masih kecil. Begitu pula ketiga kakak Rabiah, meninggal ketika wabah kelaparan melanda kota Basrah. Dalam kesendirian itu, akhirnya Rabiah jatuh ke tangan orang yang kejam, yang lalu menjualnya sebagai budak belian dengan harga sangat murah. Majikan barunya pun tak kalah bengisnya dibandingkan dengan majikan sebelumnya.

Setelah bebas, Rabiah pergi ke tempat tempat sunyi untuk menjalani hidup dengan bermeditasi, dan akhirnya sampailah ia di sebuah gubuk dekat Basra. Di sini ia hidup bertapa. Sebuah tikar butut, sebuah kendil dari tanah, dan sebuah batu bata, adalah harta yang ia punyai dan teman dalam menjalani hidup kepertapaan.

Praktis sejak saat itu, seluruh hidupnya hanya ia abdikan pada Allah swt. Berdoa dan berzikir adalah hiasan hidupnya. Saking sibuknya mengurus ‘akhirat’, ia lalai dengan urusan duniawi, termasuk membangun rumah tangga. Meski banyak pinangan datang, termasuk dari gubernur Basra dan seorang suci mistis terkenal, Hasan Basri, Rabiah tetap tak tertarik untuk mengakhiri masa lajangnya. Hal ini ia jalani hingga akhir hayatnya, pada tahun 801 M.

Dalam perjalanan kesufian Rabiah, kesendirian, kesunyian, kesakitan, hingga penderitaan tampak lumer jadi satu; ritme heroik menuju cinta kepada Sang Ada (The Ultimate Being). Tak heran jika ia ‘merendahkan manusia’ dan mengabdi pada dorongan untuk meraih kesempurnaan tertinggi. Ia jelajahi ranah mistik, yang jadi wilayah dalam dari agama, hingga mendapatkan eloknya cinta yang tidak dialami oleh kaum Muslim formal.

Menjadi Sufi dalam perjalanan Rabiah adalah “berlalu dari sekadar Ada menjadi benar benar Ada”. Sufisme Rabiah merupakan pilihan dari jebakan-jebakan ciptaan yang tak berguna. Karena demikian mendalam cintanya kepada Allah, Rabiah sampai tidak menyisakan sejengkal pun rasa cintanya untuk manusia. Sufyan Tsauri, seorang Sufi yang hidup semasa dengannya, sempat terheran-heran dengan sikap Rabiah. Pasalnya, Sufyan pernah melihat bagaimana Rabiah menolak cinta seorang pangeran yang kaya raya demi cintanya kepada Allah. Dia tidak tergoda dengan kenikmatan duniawi, apalagi harta.

Cinta Rabiah tak dapat disebut sebagai cinta yang mengharap balasan. Justru, yang dia tempuh adalah perjalanan mencapai ketulusan. Sesuatu yang dianggap sebagai ladang subur bagi pemuas rasa cintanya yang luas, dan sering tak terkendali tersebut. Lewat sebuah doa yang mirip syair, ia berujar, “Jika aku menyembah-Mu karena takut pada api neraka maka masukkan aku di dalamnya! Dan jika aku menyembah-Mu karena tamak kepada surga-Mu, maka haramkanlah aku daripadanya! Tetapi jika aku menyembah-Mu karena kecintaanku kepada-Mu, maka berikanlah aku balasan yang besar, berilah aku kesempatan untuk melihat wajah-Mu yang Maha Besar dan Maha Mulia itu.”

Perjalanan hidup Rabiah diwarnai dengan kekaribannya dengan situasi yang penuh keterbatasan; tinggal bersama kedua orang tua dan saudara saudaranya, dijual sebagai budak, menghamba pada tuannya hingga dibebaskan dari perbudakan, lalu hidup mengembara. Periode pertama ini dikenal sebagai periode asketik Rabiah.

Fariduddin al-Attar menceritakan dalam kitab Taz-kiratul Auliya bahwa Rabiah pandai sekali meniup seruling. Untuk jangka waktu tertentu ia menopang hidupnya dengan bermain musik. Namun, kemudian ia memanfaatkan kepandaiannya untuk mengiringi para sufi yang sedang berzikir dalam upayanya untuk mendekatkan diri kepada Tuhan. Selain itu ia mengunjungi masjid-masjid, dari pagi sampai larut malam. Namun, lantaran ia merasa dengan cara itu Tuhan tidak makin menghampirinya, maka ditinggalkannya semua itu.

Ia tidak lagi meniup seruling, dan ia tidak lagi mendatangi masjid-masjid. Ia menghabiskan waktu dengan beribadah dan berzikir. Periode yang kedua ini disebut sebagai periode Sufi, suatu periode tatkala Rabiah telah mencapai mahabbattullah (cinta pada Allah) sampai meninggal dan dipuji sebagai Testimony of Belief (Bukti Keimanan).

Doris Lessing, seorang pengamat perjalanan hidup Rabiah, memberi kesimpulan bahwa sufisme tokoh wanita ini adalah bentuk sufisme cinta. Sejenis sufisme yang menempatkan cinta (mahabbah) sebagai panggilan jiwanya. Sufisme yang tak bermaksud larut dalam ekstatik (gairah yang meluap) serta tak berdimensi pemujaan atau pemuliaan dan metode-metode tambahan yang penuh dengan sakramen.

Kendati demikian, pengalaman Rabiah adalah pengalaman orang suci yang sulit ditiru oleh awam. Memahami Rabiah sangat sulit. Seperti masa hidupnya, Rabiah tampaknya jauh dari kita. Selain itu, kesempurnaan yang menyertainya tak mungkin dapat ditandingi oleh orang-orang biasa.

Apa yang dilakukan Rabiah dalam hidupnya sebetulnya adalah ikhtiar untuk membiasakan diri ‘bertemu’ dengan pencipta-Nya. Di situlah ia memperoleh kehangatan, kesyahduan, kepastian, dan kesejatian hidup. Sesuatu yang kini sangat dirindukan oleh manusia modern. Karena itu, menjadi pemuja Tuhan adalah obsesi Rabiah yang tidak pernah mengenal tepi dan batas. Tak heran jika dunia yang digaulinya bebas dari perasaan benci. Seluruhnya telah diberikan untuk sebuah cinta.

Meskipun hidup Rabiah seperti berlangsung linear dan konstan, seluruh energi hidupnya dia abdikan untuk cinta, Rabiah memberi tahu kepada kita bahwa hidup memang tidak sederhana, seperti yang dijalaninya. Hidup itu begitu rumit, kadang kadang ada kemesraan dan kadang-kadang ada kehidmatan bertahta.

Rabiah wafat dengan meninggalkan pengalaman sufistik yang tak terhingga artinya. Hikmah yang ditinggalkan sangat berharga dan patut kita gali sebagai ‘makrifat’ hidup.

Menarik kita simak beberapa doa Rabiah yang dipanjatkan pada waktu larut malam, di atas atap rumahnya: “O Tuhanku, bintang-bintang bersinar gemerlapan, manusia telah tidur nyenyak, dan raja-raja telah menutup pintunya, tiap orang yang bercinta sedang asyik masyuk dengan kesayangannya, dan di sinilah aku sendirian bersama Engkau.”

Jika fajar telah merekah dan serat-serat cahaya menebari cakrawala, Rabiah pun berdoa dengan khusyuk, “Ya, illahi. Malam telah berlalu, dan siang menjelang datang. Aduhai, seandainya malam tidak pernah berakhir, alangkah bahagianya hatiku sebab aku dapat selalu bermesra-mesra dengan-Mu. illahi, demi kemuliaan-Mu, walaupun Kautolak aku mengetuk pintu-Mu, aku akan senantiasa menanti di depan pintu karena cintaku telah terikat dengan-Mu.”

Lantas, jika Rabiah membuka jendela kamarnya, dan alam lepas terbentang di depan matanya, ia pun segera berbisik, “Tuhanku. Ketika kudengar margasatwa berkicau dan burung-burung mengepakkan sayapnya, pada hakikatnya mereka sedang memuji-Mu. Pada waktu kudengar desauan angin dan gemericik air di pegunungan, bahkan manakala guntur menggelegar, semuanya kulihat sedang menjadi saksi atas keesaan-Mu.

Tentang masa depannya ia pernah ditanya oleh Sufyan Tsauri: “Apakah engkau akan menikah kelak?” Rabiah mengelak, “Pernikahan merupakan kewajiban bagi mereka yang mempunyai pilihan. Padahal aku tidak mempunyai pilihan kecuali mengabdi kepada Allah.” “Bagaimanakah jalannya sampai engkau mencapai martabat itu?” “Karena telah kuberikan seluruh hidupku,” ujar Rabiah. “Mengapa bisa kaulakukan itu, sedangkan kami tidak?” Dengan tulus Rabiah menjawab, “Sebab aku tidak mampu menciptakan keserasian antara perkawinan dan cinta kepada Tuhan.”

Ibnu 'Araby ; Keindaha Tasawuf dalam Ranah Sosial

“Pada mulanya Aku adalah harta yang terpendam, kemudian Aku ingin dikenal. Maka Kuciptakan makhluk. Dan melalui Aku, merekapun mengenalKu.?¢â‚¬?(Hadits Qudsi).

Esoterisme dan ke-nyentrikan tasawuf memang seakan selalu mengundang kericuhan setiap individu beserta segenap warna-warni pengalaman mistiknya. Perjalanan sejarah tasawuf ?¢â‚¬â€?yang sampai saat ini belum menemukan kata akur dengan konsep teologi?¢â‚¬â€? telah menuai label ?¢â‚¬?subjektivitas?¢â‚¬â„¢ sejak ditengarai menjalin hubungan dengan filsafat. Pun hadirnya dengan berbagai corak dan gaya, baik itu melalui konsep wihdat al-wuj??»d, wihdat al-ady??¢n, al-syuh??»d dan lain sebagainya.

Adalah Muhyiddin Ibnu Arabi, seorang tokoh sufi berkebangsaan Andalusia lahir pada pertengahan abad ke-5 pengusung faham pantheisme pertama kali dalam ranah tasawuf yang meyakini adanya konsep-konsep tersebut sebagai salah satu tangga untuk menggapai kebenaran hakiki. Segenap pengalaman tasawuf yang dia jalani, akhirnya menelurkan konklusi ?¢â‚¬?pribadi?¢â‚¬â„¢ yang menafikan adanya istilah ittih??¢d dan hul??»l dalam dunia mistikal seperti tasawuf, khususnya setelah pertemuannya dengan filsuf terkemuka, Ibnu Rushd. Tersketsa dalam salah satu syair tasawuf gubahannya yang dinilai kontroversial; ?¢â‚¬?“Laqad sh??¢ra qalb??® q??¢bil-an kulla sh??»rah, famar`??¢ li ghuzlan wad??®run li rahb??¢n wa bayt-un li awts??¢n wa ka`bah li th??¢?¢â‚¬â„¢if wa alw??¢h-u tawrat-in wa mushhaf-u qur?¢â‚¬â„¢an-in ad??®n-u bi d??®n al-hubb, ann??® tawajjaht-u rak??¢ibah-u, fa al-hubb d??®n??® wa ??®m??¢n??®". (Sungguh hatiku bisa menerima segala bentuk. Ia adalah padang bagi sepasang kijang, biara bagi biarawan, rumah bagi berhala, Ka`bah bagi orang thawaf dan ia adalah lembaran Taurat dan mushaf al-Qur?¢â‚¬â„¢an. Aku memeluk agama cinta kasih. Kuhadapkan dan kuserahkan diriku pada pengendalinya. Cinta adalah agama dan imanku).

Kemanunggalan Ibnu Arabi dalam bertasawuf juga didasari oleh keyakinannya bahwa tiada sesuatu yang benar-benar ada selain keberadaan Tuhan. Dalam Fush??»sh al-Hik??¢m, ia menjelaskan bahwa wujud hubungan dan keberadaan Tuhan beserta alam dapat terefleksikan laksana sebuah cermin yang menggambarkan suatu benda yang ada di depannya. Jadi, meski apa yang dicerminkan hanya satu benda saja, namun, jika memakai beberapa cermin dari berbagai sisi, maka akan terlihat sama. Karena hakekat keberadaannya memang hanya satu. Dalam persepsinya, kecintaan Tuhan terhadap makhluk-Nya hanya merupakan cerminan atas rasa cinta Tuhan terhadap dzat-Nya sendiri. Lebih lanjut lagi, penganut faham teosofi ini meneguhkan pendapatnya bahwa secara kasat mata wujud terbagi menjadi dua, al-Haqq dan al-Khalq atau Zh??¢hir dan Mazh??¢hir. Meski begitu, tetap sangat disayangkan, pendapat yang dia ajukan terkesan riskan. Pasalnya, meski yang ia konsepkan dinilai mengena secara subyektif, lagi-lagi pengalaman spiritual semacam tasawuf, khususnya dalam konsep wihdat al-wuj??»d memang harus dan tetap membutuhkan praktek yang setiap individu akan merasakannya ketika mengalaminya sendiri dan sampai pada derajat fan??¢?¢â‚¬â„¢. Karena menurutnya, akal tidak akan dapat menggapai capaian ini secara utuh. Segala sesuatu adalah Tuhan dan Tuhan adalah segala sesuatu. Suatu hal yang tidak akan pernah bisa digambarkan karena memang bukan suatu gambaran, begitu menurutnya.

Sekilas dapat terlihat, bahwa konsep kesatuan wujud yang dibawa oleh Ibnu Arabi ini sedikit mirip dan mengguru pada al-Hallaj meski dasar falsafah yang ia jadikan sebagai pondasi tasawuf lebih kental, ditambah lagi dengan masuknya faham-faham lain seperti platonisme dan Asy`ariyah yang kemudian menjadi warna tersendiri dalam corak tasawufnya. Realisasi dari faham wihdat al-wuj??»d ini selain bisa dirasa oleh orang yang mengalaminya langsung, secara ekstrinsik juga menumbuhkan semacam kesadaran sosial dan pengejawantahannya terlihat dari bagaimana interaksi sosial pada setiap pelakunya. Sebagai contoh, zuhud, yang sangat berperan dalam pembentukan pribadi yang sarat dengan nilai kemanusiaan. Toleransi kemudian menjadi simbol penting dari nilai wihdat al-wuj??»d hingga sampai pada konsep berikutnya yaitu wihdat al-ady??¢n.

Dalam tataran praksisnya, konsep wihdat al-ady??¢n memberikan porsi sangat besar pada ranah sosial. Terpatri dari letak sosio-historis terlahirnya faham wihdat al-ady??¢n ini. Bermula dari keadaan perpolitikan pada masa Ibnu Arabi yang tampuk kekuasaannya dipegang oleh dinasti al-Muwahhidun yang terlalu ?¢â‚¬?mencintai?¢â‚¬â„¢ Islam dan memarginalkan agama lain hingga para pemeluk keyakinan lain itu tidak bersimpati lagi terhadap Islam. Bertolak dari sini, toleransi keagamaan Ibnu Arabi kemudian muncul di tengah hegemoni kekhalifahan waktu itu. Senada dengan para teosof lain yang juga menggaungkan konsep wihdat al-ady??¢n, seperti Jalaluddin al-Rumi yang beranggapan bahwa semua agama meski berbeda dalam perwujudannya adalah satu dengan yang lain. Tetapi sejatinya, semua perbedaan itu terbenih dari formalitasme beragama. Antara kufur dan iman, lanjutnya, tidak ada perbedaan yang mendasar. Baik Yahudi, Nasrani, Majusi atau penyembah berhala sekalipun, secara esensial sama-sama menuhankan Dzat yang juga Esa menurut mereka. Dan dalam masing-masing kitab suci merekapun terkandung nilai-nilai perdamaian. Meski konsep ini juga mendapat label ?¢â‚¬?sesat?¢â‚¬â„¢ dari sejumlah tokoh lain seperti Ibnu Taimiyah karena seakan menafikan Islam sebagai satu-satunya agama paling benar.

Jika kita coba menilik dengan kacamata obyektivitas, akan ditemukan beberapa nilai plus konsep wihdat al-ady??¢n ala Ibnu Arabi ini. Terkait dengan kerancuan dalam mewujudkan kerukunan dan toleransi antarumat beragama, konsep ini telah memberi angin segar bagi upaya untuk merealisasikan asa tersebut. Permasalahan kompleks yang terjadi pada masa Ibnu Arabi tersebut dapat sedikit terselesaikan. Tarik ulur predikat ?¢â‚¬?paling benar?¢â‚¬â„¢ dalam beragama sangat kentara, khususnya pada setiap kebijakan yang dikeluarkan oleh khalifah Abu Yusuf Ya`qub al-Mansur yang pada saat itu memerintah. Contoh kecil yang membuat seorang Ibnu Arabi merasa miris melihat kondisi dan hubungan keagamaan yang benar-benar menghegemoni, adalah salah satu kebijakan khalifah yang memutuskan bahwa rakyat non-Muslim harus keluar atau dideportasi dari negara tersebut. Bersama dengan jargon ?¢â‚¬?memuliakan Islam?¢â‚¬â„¢, sang khalifah tetap melaksanakan keputusan tersebut meski Ibnu Arabi telah melakukan sebuah perlawanan internal berupa munculnya konsep wihdat al-wuj??»d ini yang ?¢â‚¬?tanpa sengaja?¢â‚¬â„¢ terejawantahkan dalam praktek serta ritual keagamaannya dengan segenap pengikutnya. Akhirnya, hal itu menjadi salah satu pemicu terjadinya perang antaragama yang lebih dikenal dengan nama perang salib.

Demikian, ternyata mistikusitas tasawuf, khususnya konsep wihdat al-wuj??»d dan wihdat al-ady??¢n yang diusung oleh Ibnu Arabi meski tak bisa lepas dari beberapa ritual ?¢â‚¬?dzawqiyyah?¢â‚¬â„¢, nilai-nilai dari serambi sosial yang menjadi prototype baru mampu membawa keindahan tersendiri serta membawa kesan inklusif dan ?¢â‚¬?ramah lingkungan?¢â‚¬â„¢ dalam dunia sufistik setelahnya.

Taasawuf Falsafi

Tasawuf Falsafi adalah sebuah konsep ajaran tasawuf yang mengenal Tuhan (ma’rifat) dengan pendekatan rasio (filsafat) hingga menuju ketinggkat yang lebih tinggi, bukan hanya mengenal Tuhan saja (ma’rifatullah) melainkan yang lebih tinggi dari itu yaitu wihdatul wujud (kesatuan wujud). Bisa juga dikatakan tasawuf filsafi yakni tasawuf yang kaya dengan pemikiran-pemikiran filsafat.

A.Definisi Tasawuf Falsafi
Di dalam tasawuf falsafi metode pendekatannya sangat berbeda dengan tasawuf sunni atau tasawuf salafi. kalau tasawuf sunni dan salafi lebih menonjol kepada segi praktis (العملي ), sedangkan tasawuf falsafi menonjol kepada segi teoritis (النطري ) sehingga dalam konsep-konsep tasawuf falsafi lebih mengedepankan asas rasio dengan pendektan-pendekatan filosofis yang ini sulit diaplikasikan ke dalam kehidupan sehari-hari khususnya bagi orang awam, bahkan bisa dikatakan mustahil.
Dari adanya aliran tasawuf falsafi ini menurut saya sehingga muncullah ambiguitas-ambiguitas dalam pemahaman tentang asal mula tasawuf itu sendiri. kemudian muncul bebrapa teori yang mengungkapkan asal mula adanya ajaran tasawuf. Pertama; tasawuf itu murni dari Islam bukan dari pengaruh dari non-Islam. Kedua; tasawuf itu adalah kombinasi dari ajaran Islam dengan non-Islam seperti Nasrani, Hidu-Budha, filsafat Barat (gnotisisme). Ketiga; bahwa tasawuf itu bukan dari ajaran Islam atau pun yang lainnya melainkan independent.
Teori pertama yang mengatakan bahwa tasawuf itu murni dari Islam dengan berlandaskan QS. Qaf ayat 16 yang artinya “Telah Kami ciptakan manusia dan Kami tahuapa yang dibisikkan dirinya kepadanya. Dan Kami lebih dekat dengan manusia daripada pembuluh darah yang ada dilehernya”. Ayat ini bukan hanya sebagai bukti atau dasar bahwa tasawuf itu murni dari Islam meliankan salah satu ajaran yang utama dalam tasawuf yaitu wihdatul wujud. Kemudian kami juga mengutip pendapat salah satu tokoh tasawuf yang terkenal yaitu Abu Qasim Junnaid Al-Baqdady, menurutnya “yang mungki menjadi ahli tasawuf ialah orang yang mengetahui seluruh kandungan al-qur’an dan sunnah”. Jadi menurut ahli sufi, setiap gerak-gerik tasawuf baik ‘ilmy dan ‘amaly haruslah bersumber dari al-qur’an dan sunnah. Maka jelas bahwa tasawuf adalah murni dari Islam yang tidak di syari’atkan oleh nabi akan tetapi beliau juga mempraktikkannya. Buktinya sejak zaman beliau (nabi Muhammada-red) juga ada kelompok yang mengasingkan diri dari dunia, sehingga untuk menjaga kekhusuan mereka beliau memberi mereka tempat kepada mereka di belakang muruh nabi. Meskipun istilah tasawuf itu belum ada tapi dapat di sinyalir bahwa munculnya ajaran-ajaran seperti itu (zuhud/ warok, mendekatkan diri pada Allah-red) sudah ada sejak zaman Islam mulai ada, dan nabi sendiri sejatinya adalah seorang sufi yang sejati.
Kemudian pendapat kedua yang mengatakan bahwa tasawuf adala kombinasi dari ajaran Islam dengan yang lainnya (non-Islam). Mereka memberi contoh beberapa ajaran yang ada di tasawuf sama dengan aliran (ajaran) lain, misal;
sumber dari Nasrani:
1.Konsep Tawakal
2.Peranan Syekh
3.Adanya ajaran tentang menehan diri tidak menikah.
sumber Hindu:
1. Al-fanah = Nirwana
2. Zuhud = menjahui dunia
sumber Yunani (fil. Barat):
1. Filsafat Ilmu jiwa
2. Filsafat Phytagoras
3. Filsafat Plotinus
4. Termasuk juga gnotisisme.
Dari sinilah nampak ada kemiripan dalam ajaran setiapa masing yang diakibatkan dari akulturasi sehingga terjadi penjumboan (bersatu) antara ajaran Islam dalam tasawuf dengan yang lain.
Pendapat yang ketiga ini yang mengatakan tasawuf itu bukan dari mana-mana yaitu independen, dengan berdasarkan dengan kisah bahwa pada waktu itu ada seorang raja yang hidup bergelimpangan dengan harta namun dia masih mengalami ketegangan dalam hidupdalam artian jiwanya belum tenang, akhirnya atas nasihat dari seseorang yang dia temui di hutan saat berburu mencoba mengasingkan diri ke bhutan dan meninggalkan semua hartanya. sehingga dari sini dapat di tarik bahwa tasawuf muncul untuk mengatasi kebosan seseorang dari kehidupan dunia tanpa adanya spiritualitas dalam jiwa sehingga mengalami kekeringan jiwa, yang kemudian diisi kembali dengan nilai spiritualitas dengan menjahui kehidupan dunia dan mendekatkan diri kepada Tuhan.
Dari pemaparan di atas dapat kita tarik kesimpulan bahwa tasawuf itu benar-benar asali (murni) dari ajaran Islam yang tidak di syari’atkan atau di sunnahkan oleh nabi meskipun beliau juga melakukanya. Kemudian pendapat yang mengatakan bahwa tasawuf itu berasal dari akulturasi ajaran lain termasuk gnotis itu juga tidak bisa disalahkan, sebab adanya pengklasifikasian tasawuf sehingga muncul beberapa tasawuf, seperti tasawuf sunni, salafi dan tasawuf falsafi membuat determinasi diantaranya. maka jikalau dikatakan tasawuf adalah akulturasi antara Islam dengan yang lain itu termasuk tasawuf falsafi yang mana telah mengedepankan asas rasio sehingga berbaur dengan fisafat-filsafat yang ada di ajaran lain, dimana dalam menganalisis tasawuf dengan paham emanasi Neo-platonisme dalam semua fariasi baik dari Ibn Sina samapai Mulla Shadra.

B. Latar belakang berkembangnya Tasawuf Falsafi
Perenungan ketuhanan kelompok sufi dapat dikatakan sebagai reaksi terhadap corak pemikiran teologis pada masa itu. Di pihak lain, para filosof dengan tujuan menjembatani antara agama dengan filsafat, terpaksa mempreteli sebagaian dari sifat-sifat Tuhan sehingga Tuhan tidak mempunyai kreativitas lagi. dengan perkembangan tasawuf yang mempunyai tipologi, secara global dapat diformasikan adanya tiga konsep tentang Tuhan yaitu; konsepti etikal, konsepi estetikal dan konsepsi union mistikal.
Konsepsi etikal berkembang pada zuhada, munurut mereka Dat Tuhan adalah sumber kekuatan, daya iradat yang mutlak. Tuhan adalah pencipta tertinggi, oleh kaena itu perasaan takut kepada Tuhan lebih mempengaruhi mereka ketimbang rasa pengharapan. timbulnya konsep ini bersumber dari keyakinan bahwa Tuhan adalah asal segala yang ada, sehingga antara manusia dengang Tuhan ada jalur komunikasi timbal balik. Doktrin ini belanjut kepada keyakinan, bahwa penciptaan alam semesta adalah pernyataan cinta kasih Tuhan yang direfleksikan dalam bentuk empirik atau sebagai mazhohir dari asma Tuhan.
Berkembangnya tasaawuf sebagai jalan dan latihan untuk merealisir kesucia batin dalam perjalanan menuju kedekatan dengan Allah, juga menarik perhatian para pemikir muslim yang berlatar belakang teologi dan filsafat. Dari kelompok inilah tampl sejumlah kelompok sufi yang filosofis atau filosofis yang sufi. Konsep-konsep mereka yang disebut dengan tasawuf falsafi yakni tasawuf yang kaya dengan pemikiran-pemikiran filsafat. ajran filsafat yang paling banyak dipergunakan dalam analisis tasawuf adalah paham emanasi Neo-Plotinus.
Andaya pemaduan antara filsafat dengan tasawuf pertama kali di motori oleh para fisful muslim yang pada saat itu mengalami helenisme pengetahuan. Misalanya filsuf muslim yang terkenal yang membahas tentang Tuhan dengan mengunakan konsep-konsep neo-plotinus ialah Al-Kindi. Dalam filsafat emanasi Plotinus roh memancar dari diri Tuhan dan akan kembali ke Tuhan. Tapi, sama dengan Pythagoras, dia berpendapat bahwa roh masuk ke dalam tubuh manusia juga kotor, dan tak dapat lagi kembali ke Tuhan. Selama masih kotor, ia akan tetap tinggal di bumi berusaha. dari sini di tarik ke dalam ranah konsep tasawuf yang berkeyakinan bahwa penciptaan alam semesta adalah pernyataan cinta kasih Tuhan yang direfleksikan dalam bentuk empirik atau sebagai mazhohir dari asma Tuhan.
Namun istilah tasawuf fal safi bulum terkenal pada waktu itu, setelah itu baru tokoh-tokoh teosofi yang populer. Abu Yazid al-Bustami, Ibn Masarrah (w.381 H) dari Andalusia dan sekaligus sebagai perintisnya. orang kedu yang mengombinasikan antara teori filsafat dan tasawuf ialah Suhrawardi al-Maqtul yang berkembang di Persia atau Iran. Masih banyak tokoh tasawuf falsafi yang berkembang di Persia ini sepeti al-Haljj dengan konsep al-Hulul yakni perpaduan antara isan dengan Tuhan.
Perkembangan puncak dari tasawuf falsafi, sebenarnya telah dicapai dalam konsepsi al-wahdatul wujud sebagai karya pikir mistik Ibn Arabi. sebelum Ibn arabi muncul teorinya seorang sufi penyair dari Mesir Ibn al-Faridh mengembangkan teori yang sama yaitu al-wahdat asa-syuhud.
Pada umumnya konsep ini diterima dan berkembang dari kaum syi’ah dan bermazhabkan Mu’tazilah. Makanya nama lain dari tasawuf falsafi juga di sebut dengan tasawuf Syi’i. diterimanya konsep-konsep atau pola pikir tasawuf falsafi di kawasan Persia, karena dimungkinkann disana dulu adalah kawasan sebelum Islam sudah mengenal filsafat.
Semenjak masa Abu Yazid al-Busthami, pendapat sufi condong pada konsep kesatuan wujud. Inti dari jaran ini adalah bahwa dunia fenomena ini hanyalah bayangan dari realitas yang sesungguhnya, yaitu Tuhan. Satu-satunya wujud yang hakiki adalah wujud Tuhan yang merupakan dasar dan sumber kejadian dari segala sesuatu. Dunia ini hanyalah bayangan yang keberadaannya tergantung dengan wujud Tuhan, sehingga realitas hidup ini hakikatnya tunggal.
Atas dasar seperti itu tentang Tuhan yang seperti itu, mereka berpendapat bahwa alam dan segala yang ada termasuk manusia merupakan radiasi dari hakikat Ilahi. Dalam diri manusia terdapat unsur-unsur ke –Tuhanan, karena merupakan pancaran dari Tuhan.
Dari konsep seperti ini lah para sufi dari tasawuf falsafi ini mempunyai karakteristik sendiri sehingga dapat di pukul rata bahwa semua konsep yang ditawarkan oleh para sufi falsafi ini adalah konsep wihdatul wujud, meskipun dalam penjabarannya mengalami perbedaan dan perkembangan yang berbeda antara sufi yang satu dengan sufi yang lain.
Seperti hanya dalam konsep emanasi, Ibn Arabi menggunakan bentuk pola akal yang bertingkat-tingkat, seperti; akal pertama, kedua, ketiga dan sampai akal kesepuluh. Dimana ia mencoba mengambarkan bahwa proses terjadinya sesuatu ini berasal dari yang satu, kalau meminjam bahasanya Plotinus ialah The One.
Kemudian konsep itu terus disempurnakan bahwakan mengalami kritikana dari sufi-sufi yang lain. Misalnya sufi yang memperbarui konsep ajaran Ibn Arabi ini ialah Mulla Shadra yang lebih mencoba menggunkan konsep yang rasional dengan istilah Nur yang mana ia mencoba merujuk dari al-qur’an sendiri bahwa Tuhan adalah cahaya dari segala cahaya..
Akan tetapi Mulla Shadra membedakan cahaya kedalam dua kategori yaitu cahaya yang tidak mempunyai sifat dan cahaya yang menunjukkan sebuah sifat dari barang itu. Misal cahaya yang menunjukkan sifatdari benda itu ialah cahaya lampu, matahari, cahaya lampu lalulintas dan lain-lain. Sedangkan cahaya yang tak menggandung dari sifat benda ialah cahaya Tuhan itu sendiri. Bahkan dalam bukunya Syekh Adurun Nafis menggabarkan bahwa Nur Tuhan bukan cahaya, jadi nur adalah nur bukan cahaya.
Bisa kita tarik kesimpulan bahwa tasawuf falsafi muncul dari ketakajuban para filsuf Islam yang mencoba mengombinasikan konsep ajaran dengan tasawuf. Atau bisa dikatakan konsep tasawuf dikemas dan dipandang dari segi kacamata filosofis, sehingga memunculkan ajaran-ajaran yang sifatnya lebih ke teoritis dan tak lepas dari pengaruh dari konsep emanasinya Plotinus.

Faqir aDalam Perspektif Ilmu Tasawwuf

A. DEFINISI FAQIR
1. IMAM GHOZALI
Al-Ghazali dalam kitabnya banyak menyetir hadits-hadits yang bagi penulis tidak jelas perowinya, menunjukkan keutamaan-keutamaan orang fakir. Seperti dalam hadits yang ada dalam buku berjudul ‘RINGKASAN IHYA’ UMULUDDIN AL-ghazali’ tertulis bahwa ada sebuah hadis dari
Haids dari Imran bin Husain diriwayatkan oleh Ibnu Majah bahwa Rasulullah saw bersabda,

‘ Sesungguhnya Allah menyintai orang fakir yang menjaga kehormatan diri, yang menjadi bapak keluarga.’
Dalam hadis lain Rasulullah saw juga bersabda,’ orang-orang fakir dari umatku masuk surga sebelum orang-orang kaya dari mereka dengan selisih waktu lima ratus tahun.’
Diriwayatkan oleh At-Turmidzi dari Abu Umamah bahwa Rasulullah menceritakan pengalamannya bertemu dengan malaikat Jibril. Malaikat Jibril berkata kepada Rasulullah saw,’ wahai Muhammad, sesungguhnya Allah swt menyampaikan salam kepadamu. Dia berfirman : apakah engkau menginginkan jika Aku menjadikan gunung sebagai emas dan selalu bersamamu ?’ Rasulullah menjawab,’ sesunggunya dunia hanyalah kampung bagi orang yang tidak memiliki harta dan harta hanya dikumpulkan bagi orang-orang yang tidak mempunyai akal,’ Jibril a.s berkata, ‘wahai Muhammad, semoga Allah meneguhkan engkau dengan kalimat yang teguh ( hikmah ).’
Dalam hadis lain disebutkan,’ para nabi yang paling akhir masuk surga adalah Sulaiman putra Dawud as karena kedudukan kerajaannya. Dan sahabatku yang paling akhir masuk surga adalah Abdurrrahman bin Auf karena harta kekayaannya.’
Orang-orang fakir yang ikhlas dan tak berkeluh kesah menghadapi keadaannya adalah manusia yang paling utama. Ia tenang dan qanaah dari apa yang diterimanya atas karunia Allah. Karena itu Rasulullah saw bersabda,’berbahagialah orang yang mendapatkan petunjuk kepada Islam dan kehidupannya merasa cukup (tidak menjadi beban orang lain) dan puas apa yang ada.
Rasulullah saw bersabda,’wahai golongan orang-orang yang fakir, berikanlah keridhaan dari hati kamu kepada Allah pasti kamu akan mendapatkan kebahagiaan dengan pahala kefakiran. Apabila tidak kamu tidak memperolehnya.’
Orang fakir yang qanaah dan ikhlas akan mendapatkan pahala. Sedangkan fakir yang rakus sama sekali tidak mendapatkan pahala dari kemiskinannya itu. Diterangkan bahwa orang-orang fakir yang sabar akan duduk berkumpul dan dekat dengan Allah di hari kiamat. Rasulullah saw bersabda,’ sesungguhnya setiap sesuatu itu mempunyai kunci. Adapun kunci surga adalah menyintai orang-orang miskin dan orang-orang fakir, karena kesabaran mereka. Mereka adalah orang-orang yang duduk berkumpul dekat Allah pada hari kiamat.
2. JUNAIDI AL BAGHDADI
Junaid Al Baghdadi mengatakan, “Wahai kaum fakir, kau dikenal melalui Allah dan dihormati demi Allah. Jagalah perilakumu bilamana kau sendirian dengan-Nya. Serendah-rendah manusia adalah dia yang dianggap taat kepada Allah, namun sebenarnya tidak. Sedangkan manusia yang paling mulia adalah dia yang tidak dianggap taat kepada Allah, namun sesungguhnya dia taat.
Dengan makna hakiki kefakiran di ataslah dapat kita renungkan hadits Nabi saw. berikut,”Ya Tuhanku, hidupkanlah aku dalam kefakiran, dan matikanlah aku dalam kefakiran, dan bangkit dari kematian di antara kaum fakir.”
3 HAMZAH FAZURI
Uraian tentang faqir sebagai salah satu konsep kunci tasawuf bertalian dengan maqamat, terutama sekali gambarannya secara simbolik, dijumpai banyak sekali dalam syair-syair Hamzah Fansuri. Kata-kata faqir bahkan dijadikan penanda kesufian atau kepengarangan, sering pula ditamsilkan sebagai anak dagang atau anak jamu (orang yang bertamu). Penamsilan ini diambil dari al-Qur’ an dan Hadis, dan memiliki kontek sejarah, khususnya sejarah penyebaran Islam di kepulauan Nusantara.
Arti kata dagang dalam bahasa Melayu pada mulanya ialah merantau ke tempat lain dan menjadi orang asing di tempat tinggalnya yang baru. Kata-kata ini diterjemahkan dari kata Arab gharib (asing) dan selalu dirujuk pada Hadis, ”Kun fi al-dunya ka’annaka gharibun aw ’abiru sablin wa `udhdha nafsahu min ashabi al-qubur” (”Jadilah orang asing atau dagang di dunia ini, singgahlah sementara dalam perjalananmu, dan ingatlah akan azhab kubur.”)
Begitu pula pengertian faqir. Dalam tasawuf ia diartikan sebagai pribadi yang tidak lagi terpaut pada dunia. Keterpautannya semata-mata ke pada Tuhan. Dua ayat al-Qur`an yang dijadikan rujukan,Yaitu
Al BAqarah Ayat 268
الشَّيْطَانُ يَعِدُكُمُ الْفَقْرَ وَيَأْمُرُكُمْ بِالْفَحْشَاءِ وَاللَّهُ يَعِدُكُمْ مَغْفِرَةً مِنْهُ وَفَضْلا وَاللَّهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ
Artinya : Setan menjanjikan (menakut-nakuti) kamu dengan kemiskinan dan menyuruh kamu berbuat kejahatan (kikir); sedang Allah menjanjikan untukmu ampunan daripada-Nya dan karunia. Dan Allah Maha Luas (karunia-Nya) lagi Maha Mengetahui.
dan Q Al FATHIR Ayat 15.
يَا أَيُّهَا النَّاسُ أَنْتُمُ الْفُقَرَاءُ إِلَى اللَّهِ وَاللَّهُ هُوَ الْغَنِيُّ الْحَمِيدُ

Artinya ”Hai manusia ! Kamulah yang memerlukan (fuqara’) Allah. Sedangkan Allah, Dialah yang maha kaya lagi maha terpuji.”
Jelaslah bahwa yang dimaksud faqir bukanlah orang miskin dalam artian harfiah. Ibn Abu `Ishaq al-Kalabadhi dalam bukunya al-Ta`arruf li Madzzhabi ahl al-Tashawwuf )abad ke-11 M) mengutip Ibn al-Jalla yang mengatakan, ’Kefaqiran ialah bahwa tiada sesuatu pun yang menjadi milikmu, atau jika memang ada sesuatu, itu tidak boleh menjadi milikmu’. Ini sejalan dengan firman Tuhan, ’Sedangkan mereka lebih mengutamakan kepentingan orang banyak, dibanding semata-mata kepentingan mereka sendiri, sekalipun mereka dalam kesukaran’” (Arberry 1976:118).

4. Ali Uthman al-Hujwiri
Dalam kitabnya Kasyf al-Mahjub, mengutip seorang sufi yang mengatakan, ”Laysa al-faqr man khala min al-zad, inna-ma al-faqr man khala min al-murad, yakni ’Faqir bukan orang yang tak punya rezeki/penghasilan, melainkan yang pembawaan dirinya hampa dari nafsu rendah’.” Dia juga mengutip Syekh Ruwaym, ”Min na`t al-faqr hifzzhu sirrihi wa syanatu nafsihi wa ada’u fazi dhatihi’, yakni ’Ciri faqir ialah hatinya terlindung dari kepentingan diri, dan jiwanya terjaga dari kecemaran serta tetap melaksanakan kewajiban agama.” (Nicholson 1982:35).
B. KEFAQIRAN HAKIKI.
Kefakiran mempunyai bentuk (rasm) dan hakikat. Bentuknya adalah kemiskinan, sedangkan hakikatnya adalah keberuntungan dan pilihan bebas. Dia yang memandang bentuk, bertumpu pada bentuk, dan karena gagal mencapai sasarannya, lari dari hakikat. Namun, dia yang menemukan hakikat, mencegah pandangannya dari semua ciptaan, dan dalam peniadaan segala selain-Nya dengan sempurna. Karena hanya dengan memandang kepada Yang Maha Esa, maka dia menuju hidup yang kekal.
Nabi saw. dalam salah satu riwayat bersabda, “Pada Hari Kebangkitan, Allah akan berkata, ‘Bawalah olehmu orang-orang yang Kucintai mendekat kepada-Ku’; kemudian malaikat-malaikat akan berkata,’Siapakah orang-orang yang Kau cintai?’ Allah pun menjawab,’Orang-orang fakir dan yang tak punya’.”
Dalam pandangan Farid Al-Din ‘Aththar, kefakiran merupakan rangkaian tahapan dari perjalanan spiritual seorang mu’min. Tahapan tersebut adalah thalab (pencarian), ‘isyq (cinta), ma’rifah (pengenalan), istighna’ (merasa puas), faqr (kefakiran) dan fana’ (lebur). Pembahasan tentang selain kefakiran dan merasa puas bukanlah tujuan dari tulisan ini, sehingga tidak akan kita perpanjang di sini.
C. SIFAT ORANG-FAQIR
Al Quran menggambarkan sifat orang fakir ini sebagai berikut,
لِلْفُقَرَاءِ الَّذِينَ أُحْصِرُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ لا يَسْتَطِيعُونَ ضَرْبًا فِي الأرْضِ يَحْسَبُهُمُ الْجَاهِلُ أَغْنِيَاءَ مِنَ التَّعَفُّفِ تَعْرِفُهُمْ بِسِيمَاهُمْ لا يَسْأَلُونَ النَّاسَ إِلْحَافًا وَمَا تُنْفِقُوا مِنْ خَيْرٍ فَإِنَّ اللَّهَ بِهِ عَلِيمٌ
Artinya : (Berinfaklah) kepada orang-orang fakir yang terikat (oleh jihad) di jalan Allah; mereka tidak dapat (berusaha) di muka bumi; orang yang tidak tahu menyangka mereka orang kaya karena memelihara diri dari minta-minta. Kamu kenal mereka dengan melihat sifat-sifatnya, mereka tidak meminta kepada orang secara mendesak. Dan apa saja harta yang baik yang kamu nafkahkan (di jalan Allah), maka sesungguhnya Allah Maha Mengetahui. (QS. Al Baqarah 2: 273)
Abul Al Hasan Nuri, sebagaimana dikutip oleh Al Hujwiri dalam Kasyful Mahjub menggambarkan ciri seorang yang fakir adalah bilamana dia tidak memperoleh apa pun, dia diam; dan bilamana dia memperolah sesuatu, dia memandang orang lain lebih berhak memperolehnya dari pada dirinya, sehingga karenanya dia mudah memberikannya.
Pada prakteknya hal ini mengandung makna yang penting, yaitu pertama, ketawakalannya bila tidak memperoleh sesuatu dia ridha, dan bila memperoleh sesuatu adalah cinta, karena “ridha” berarti “menerima jubah kehormatan”. Jubah kehormatan adalah tanda kedekatan, sedangkan pencinta menolak jubah kehormatan karena hal itu merupakan tanda pemisahan.
Kedua, ketawakalannya, bila tidak memperoleh sesuatu, adalah berharap; dan bila memperoleh sesuatu adalah menolaknya. Bila sesuatu yang diharapkan tersebut adalah “selain Allah” maka ditolaknya, juga bila sesuatu yang diperolehnya adalah “selain Allah” maka diapun menolaknya.
Sifat utama faqir adalah wawasan dan pengetahuannya yang luas, moralnya terpuji, hatinya senantiasa berkobar disebabkan bara cinta ilahi, hatinya wara` dan zuhud. Selain Nabi, pribadi seperti itu dijumpai dalam diri Ali bin Abi Thalib. Iqbal memberi contoh kefakiran Imam Ali tatkala beliau memimpin pasukan Islam merebut bukit Khaibar dari pendudukan kaum Yahudi. Kemenangan pasukan Islam ketika itu bukan semata disebabkan kekuatan ekonomi dan pemilikan senjata, melainkan disebabkan oleh tingginya moral dan ketangguhan spiritual
Dalam gagasan ini seorang faqir adalah pribadi wara` dan zuhud. Dalam mengerjakan sesuatu tidak pernah dibebani pamrih dan kepentingan diri. Kezuhudannya juga tidak membuatnya benci kepada dunia. Faqr semacam itu bisa kita jumpai dalam pribadi-pribadi besar seperti Imam Husein, Salahudin al-Ayubi, Jalaluddin Rumi, Hamzah Fansuri, Pangeran Diponegoro dan Ayatullah Khomeini.
Kesimpulan

Dalam kitab Ihya’ Ulumuddin, Imam Al-Ghazali menjelaskan bahwa fakir itu adalah orang yang tidak memiliki harta sama sekali. Kemudian Imam Al-Ghazali mengkasifikasikan hakikat fakir itu dan memberinya masing-masing nama ;
Hal yang pertama, adalah jika orang itu diberi harta, orang itu tidak menyukainya dan orang itu merasa tersiksa dengan harta tersebut. Maka orang itu disebut zuhud
Hal yang kedua, ialah orang tersebut tidak menyukai harta walaupun orang itu berhasil memperoleh harta tersebut dengan penuh kesenangan. Tapi orang tersebut tidak membenci dengan harta yang diperolhnya itu, maka ia disebut rela
Hal yang ketiga, yaitu orang tersebut diberi harta namun tidak sampai harta tersebut menggerakkan orang itu untuk mencarinya, tapi orang itu tetap mau mengambilnya.maka sifat itu disebut qona’ah.
Hal yang keempat, orang tersebut lemah dalam mencari harta namun ia tetap mau mencarinya walupun dengan bersusah payah, hanya karena kerakusannya. Orang ini disebut rakus harta.
Hal yang kelima, orang tersebut tidak memiliki harta sama sekali kalaupun ada orang tersebut masih saja dibilang telanjang kalaupun memakai pakaian. Maka orang itu disebut ‘terpaksa’ ( Drs. H. Moh. Zuhri, Dipl, TAFL, Ihya’ Ulumuddin Jilid VIII (Imam Al-Ghazali), Semarang : CV. ASY-SYIFA’, 2003 )hal 127-128.

DAFTAR PUSTAKA
- Ihya’ Ulumuddin Jilid VIII (Imam Al-Ghazali), Semarang : CV. ASY-SYIFA’, 2003 )
- http://slendangwetan29.blogspot.com/2008/12/kajian-teks-tentang-ihy-umuluddin-bab.html
- http://serambitashawwuf.blogsome.com/2008/03/24/faqir-dan-ghaniy/trackback/
- Drs. H. Moh. Zuhri, Dipl, TAFL, Ihya’ Ulumuddin Jilid VIII (Imam Al-Ghazali), Semarang : CV. ASY-SYIFA’, 2003 )hal 127-128.