Senin, 23 Mei 2011

Kecintaan Sang Arif Billah


Syeikh Abdul Qadir Al-Jilany, Selasa sore, 27 Ramadhan 545 H di Madrasahnya
“Setiap cobaan senantiasa menyertai kewalian, agar seseorang tidak gampang mengklaim.” Usaha dan cobaan senantiasa ada, apalagi dalam perspektif orang-orang yang mengaku-aku dirinya. Jika bukan karena adanya cobaan dan ikhtiar, pasti banyak orang yang mengaku jadi wali. Oleh sebab itu sebagian Sufi menegaskan, “Setiap cobaan senantiasa menyertai kewalian, agar seseorang tidak gampang mengklaim.”

Diantara tanda kewalian seseorang adalah kesabarannya menghadapi cobaan dari makhluk yang menyakitkan dan mampu melewatinya. Para wali itu tidak pernah mempedulikan haru biru makhluk, dan tuli dari ucapan-ucapan mereka. Harga dirinya sudah mereka serahkan pada mereka. Dalam hadits disebutkan:
“Cintamu pada sesuatu membuat dirimu buta dan tuli.” (Hr. Abu Dawud dan Imam Ahmad).

Cintailah Allah Azza wa-Jalla, butakan dan tulikan dirimu dari selain Dia Azza wa-Jalla. Mereka yang membuatakan dan menulikan diri dari makhluk itu senantiasa bertemu dengan makhluk disertai kalam yang indah, kasih sayang dan menata jiwa mereka. Kadang-kadang malah marah pada mereka karena takut pada kecemburuan Allah Azza wa-Jalla dan berselaras dengan MarahNya.

Mereka ini adalah para dokter, yang mengetahui bahwa setiap penyakit ada obatnya. Setiap dokter tidak mengobati semua penyakit dengan satu obat saja. Mereka mengobati penyakit hati dari titik pandang hati dan kedalaman batin mereka di hadapan Allah Azza wa-Jalla.

Seperti pada Ashabul Kahfi, dimana Jibril as, membalik situasi jiwa mereka. Dan mereka berada di Tangan Kekuasaan dan Kasih SayangNya, sedangkan kelembutan kasih telah membalik jiwa mereka. Tangan Cinta Kasih telah membalik hati mereka dan mentransformasikan dari situasi ke situasi dunia mereka untuk mencari kehidupan duniawi dan yang lain mencari kehidupan ukhrawi. Sedangkan Allah Azza wa-Jalla, Tuhan mereka, sama sekali tidak bakhil. Bila mereka dimintai harta dunianya, akan mereka berikan. Dan bila diminta pahala akhiratnya, juga mereka berikan. Harta dunia mereka, diberikan kepada fakir miskin, sedangkan pahala akhirat mereka, diberikan kepada orang yang terbatas dalam meraih pahala. Sesuatu yang baru (makhluk) diberikan pada yang baru pula. Mereka menyerahkan apa pun yang bersifat kulit, karena selain Allah Azza wa-Jalla adalah kulit. Sedangkan yang dicari mereka ini adalah isi dan taqarrub.

Sebagian sufi – semoga rahmat Allah padanya – mengatakan, “Tidak ada yang bisa tertawa di hadapan orang fasik kecuali orang yang ‘arif Billah.” Memang, karena dia memerintah dan melarang, bahkan menanggung beban deritanya. Tidak ada yang mampu melakukan ini kecuali orang-orang yang ma’rifat kepada Allah Azza wa-Jalla. Hal ini pun tidak mampu dilakukan oleh para ahli zuhud, para ahli ibadah dan para penempuh.

Bagaimana mereka tidak menyayangi ahli maksiat? Sedangkan ahl8i maksiat itu adalah wilayah bagi maqom taubat dan pengakuan dosa.

Sang ‘arif senantiasa berakhlak dari Akhlaq Allah Azza wa-Jalla. Ia senantiasa berjuang untuk membersihkan orang-orang maksiat dari pengaruh-pengaruh syetan dan hawa nafsu. Bila anda melihat seseorang, yang anaknya ditahan oleh orang kafir, pastilah orang tuanya berjuang membebaskannya. Begitu juga orang arif Billah. Semua manusia seperti anak-anaknya sendiri. Sang arif memberikan wejangan dengan bahasa hikmah, kemudian mengasihi mereka, karena sang arif diberi pengetahuan. Sehingga sang arif melihat Tindakan Allah Azza wa-Jalla pada mereka ini, yang memandang agar keluar dari ketentuan dan takdir, melalui intu hikmah dan pengetahuan. Namun ia tetap menyembunyikan dan merahasian itu.

Sang arif menasehati makhluk dengan kebijakan perintah dan larangan, bukan menasehati dengan pengetahuan rahasia. Allah swt, mengutus Rasul dan menurunkan Kitab, memperingatkan dan menyadarkan makhluk agar ada argumen bagi makhluk dan pengetahuan bagi mereka. Jangan masuk di “dalamnya” juga jangan menentangnya. Ulangi dan bergegas. Ada ketetapan ilmu di dalamnya yang membutuhkan aturan ganda bagimu dan bagi yang lain. Anda membutuhkan pengetahuan khusus. Bila seseorang mengamalkan ilmu dzohir, maka Rasulullah saw, menyuapinya dengan ilmu batin, sebagaimana induk burung menyuapi anaknya. Beliau melakukan itu agar dibenarkan dan diamalkan melalui ucapannya yang dzohir, yaitu syariatnya.

Manusia, bila telah benar, tidak ada lagi yang lebih benar dibanding kebenarannya, dan bila dekat tidak ada yang lebih dekat dibanding kedekatannya, bila bersih tidak ada yang lebih bersih dibanding dirinya.
Orang bodoh melihat dengan mata kepalanya, sedangkan orang pandai melihat dengan mata batin akalnya, sedangkan orang airf melihat dengan mata hatinya, begitu cemerlang bermutiarakan pengetahuan. Maka hendaknya makhluk teguh disana dengan totalitasnya, hingga tenggelam di dalamnya, sampai tak ada yang tersisa kecuali Allah Azza wa-Jalla. Maka disinilah seseorang berkata:
“Dialah Yang Maha Awal dan Maha Akhir, dan Maha Dzohir dan Maha Bathin.” (Al-Hadid 3)

Allah azza wa-Jalla menjadi perspektif awal, akhir, lahir dan batinnya, rupa dan maknanya, tak ada sesuatu pun di sisiNya. Maka disinilah cintanya mengabadi di dunia dan akhirat, berserasi dengan berbagai kondisi, hanya memilih ridhoNya, sedangkan amarah orang lain sama sekali tidak membuatnya bergeming, seperti dikatakan sebagian Sufi, ra: “Berserasilah dengan Allah azza wa-Jalla dalam bergaul dengan makhluk, dan jangan berserasi dengan makhluk ketika bersama Allah Azza wa-Jalla.”

Runtuhlah yang harus runtuh, kokohlah yang kokoh. Syetanmu, nafsumu dan geromobolan jahatmu adalah musuh-musuhmu. Hati-hati jangan sampai anda terjerumus di dalamnya. Belajarlah sampai anda tahu bagaimana melawan musush-musuhmu itu, hingga anda mengertyi bagaimana menyembah Tuhanmu Azza wa-Jalla. Karena orang bodoh itu ibadahnya tidak diterima. (bersambung)

0 komentar: