Senin, 12 April 2010

MENCARI ALLAH

Memang dalam Al-Qur’an banyak dibahas masalah akidah, tentang keimanan dan panjang lebar diuraikan contoh proses keimanan yang dilakukan nabi Ibrahim as. Oleh sebab itu nabi Ibrahim as dikenal sebagai nabi aqidah, karena dalam perjalanan spiritualnya Ibrahim mengalami proses yang sangat dinamis dan juga sangat mendasar.
Seperti dijelaskan dalam surat Al Anbiyaa ayat 50-70. Dalam ayat itu dikisahkan proses nabi Ibrahim membangun kesadaran masyarakatnya bahwa patung (berhala) bukan Tuhan yang sesungguhnya, karena patung itu tidak bisa memberikan pertolongan, bahkan Ibrahim menunjukkan eksperimennya, dia hancurkan patung-patung itu untuk membuktikan bahwa patung itu memang bukan Tuhan.

Kemudian dalam surat Al An’am ayat 74-79. Di ayat itu diterangkan bagaimana Ibrahim mencari Tuhan dengan pendekatan yang jujur dan rasional, sehingga datang gelap malam tak ada satu pun manusia yang berkutik, tidak ada yang memiliki kekuasaan lagi, semua kehidupan terhenti ketika datang gelap malam. Kesimpulannya manusia dan alam semesta ini ditaklukkan oleh gelap malam dan pada saat gelap itu nabi Ibrahim melihat sebuah bintang dan dia berkata inilah Tuhanku, tetapi bintang yang dipertuhankan itu lama kelamaan sirna. Dan Ibrahim melihat alternatif lain, ada bulan, inilah Tuhanku tapi bulan juga sirna.

Apa yang terjadi pada nabi Ibrahim? Ternyata dia gagal mencari Tuhannya. Dia gagal mencapai Tuhannya, dia tidak bisa meraih Tuhannya dengan indranya dengan matanya, telinganya, tangannya bahkan dengan fikirannyapun dia mencoba membayangkan macam apa wujud Tuhan, Ibrahim gagal.

Rupanya memang Allah itu Al Ghaib, suatu yang misterius dan Ibrahim memang gagal mencapai Tuhannya dengan kemampuan yang ada pada dirinya. Tetapi untuk untuk mengatakan bahwa Tuhan itu tak ada, justru pengalaman Ibrahim selama ini mengarahkan pada kesimpulan, mesti ada sesuatu yang mengendalikan alam ini, Tuhan itu mesti ada. Tapi yang mana? Akhirnya nabi Ibrahim bersikap sebagaimana terungkap dalam QS. 6:79.

Tapi dari situ Ibrahim hanya bisa mengetahui bahwa Dia, Tuhan itu tetap Gaib. Oleh sebab itu siapa Dia, sebagai zat dalam Al Qur’an juga tidak dikenal. Istilah istilah ke-Tuhan-an dalam Al Qur’an, hanya nama-nama yang menjelaskan sifatnya saja, zatnya tidak diperkenalkan (Asmaul Husna 99). Kemudian ada lagi 2 nama yang menjelaskan tentang Dia, tapi menjelaskan tentang kedudukannya saja, Rabbun dan Ilaahun. Rabbun artinya pemilik dan penguasa, pendidik, pemelihara, pengendali, yang menjelaskan kedudukan dan Ilahun berasal dari kata Laha dan Ilaha yang berarti sesuatu yang abdi, yang dicintai, yang dikejar, yang diingini, yang didamba, yang diharap.

Jadi zat itu sendiri apa disebutnya? Memang ada satu istilah yang dalam Al-Qur’an yang banyak dipakai yaitu Allah sebagai nama zat. Allah itu selain sebagai Tuhan alam semesta, dalam Al-Qur’an dijelaskan pula sebagai sifat dan kedudukan-Nya, sebagian lagi ada ulama yang menjelaskan, ada lagi nama yang menjelaskan sebagai isim yaitu Allah. Tapi soal ini sebagian ulama ada perbedaan pendapat.

Pertama dari sejarah, kalau dilihat kamus lisanul Arab, istilah Allah itu berasal dari Ilah, yang dicintai, yang diagungkan, yang dijadikan tempat bergantung.

Jika demikian apapun bisa menjadi Ilah; yang dicintai, yang dikejar, yang didamba, segala yang diingin dan diharap itu namanya Ilah. Tetapi apakah yang segala diharap itu menjadi Tuhan alam semesta? Ya tentu tidak.

Jadi ada Ilah subyektif, manusia yang menginginkan, manusia yang mendambakan, manusia yang mengejar, maka sesuatu yang dikejar oleh manusia itu jadi Ilah bagi manusia itu sendiri.

Tapi apakah arti Ilah dalam arti sesungguhnya? Belum tentu secara obyektif. Oleh sebab itu Ilah itu bisa menjadi banyak, jama’nya adalah Alihah, dia bisa berupa benda-benda, orang atau ambisi jadi Ilah.

Sehingga di kalangan bangsa Arab ada Ilah yang dikejar oleh manusia tapi fiktif, sekedar sesuatu yang diinginkan manusia saja, dicintai, dikejar, didamba manusia. Tapi ada Ilah yang sesungguhnya, memang Dialah yang diinginkan dan dikejar oleh manusia dan penguasa alam semesta. Ilah dalam arti sesungguhnya itu dalam bahasa Arab mendapat awalan alif lam, jadi Al-Ilah itu Allahu (dalam pengucapan) lam diidghomkan.

Tapi ada juga yang mengatakan bahwa Ilah itu isim jamad, nama dari zat Tuhan alam semesta ini. Tapi sebagian lagi mengatakan bahwa Allah ini bukan nama zat Tuhan, karena Allah berasal dari kata Ilah, sedangkan Ilah dan Robb hanya menjelaskan kedudukan.

Jadi arti Allah itu sesuatu yang sebenar-benarnya dicintai, dikejar, didamba. jika itu yang dipakai, nama sifatnya ada, nama kedudukannya ada, Ilah dan Robb, lalu terbentuk kata Allah (Tuhan). Lalu nama zat mana? Sebagian ulama mengatakan nama zat tidak ada. Kenapa? Karena penamaan sesuatu berarti pembatasan.

Sebuah pena akan menjadi pena ditangan saya, jika bentuknya begitu dan fungsinya begitu, tapi pena sudah tergiling mesin giling, hancur, dia sudah tidak disebut pena, sudah berubah bentuk, warna dan zat. Sedangkan zat Allah Maha Tidakterbatas. Zat Allah tidak ada yang pernah mengenali, sesuatu yang tidak terhenti, terbatasi. Mana bisa dinamai, jika dinamakan berarti membatasi.

Dalam ilmu Keimanan, maka Dia Yang Maha Kuasa, Tuhan alam semesta hanya bisa kita kenal:

Sifat-sifatnya saja
Kedudukannya saja, statusnya sebagai ilah dan robb
Soal nama zat, sebagian ulama mengatakan tidak ada nama zat, sehingga dalam mengenali Dia, ada sebuah istilah dinamakan Huwa, Dia, Hu.
Istilah Allah sebenarnya sudah digunakan orang Arab sebelum turunnya Al-Qur’an. Ayah Nabi Muhammad namanya Abdullah (artinya hamba Allah). Jadi orang Arab Quraisy itu sudah mengenal istilah Allah.

Tapi Allah itu bagaimana menurut orang Quraisy? Allah itu artinya ilah, sebenar-benar ilah. Tuhan alam semesta, yang Dia adalah bapak dari 3 orang dewa wanita (perempuan) yang disimbolkan dalam bentuk patung Latta, Uzza, Manna yang disembah itu.

Lalu turunlah ajaran Islam dengan surat Al-Ikhlas. Surat itu bukan untuk mengcounter Trinitasnya Kristen, tapi untuk mengcounter konsep Trinitasnya Quraisy.

Kelebihan manusia itu mampu memilih. Kesadaran intelektualnya, kesadaran moralnya meyebabkan manusia bisa memilih. Dengan naluri ber-Tuhan itu kadang-kadang diarahkan pada bukan Tuhan yang sesungguhnya, belum lagi selain itu ada unsur hawa (kecenderungan-kecenderungan, keinginan-keinginan). Keinginan-keinginan itu bisa membentuk manusia sehingga tidak ber-Tuhan kepada yang sebenar-benarnya Tuhan. Tetapi Tuhan yang secara adhoc (secara singkat) nampak memberikan pertolongan, memberi manfaat.

Misalnya pertolongan Tuhan tidak terlihat secara langsung. Sementara jika punya uang, pertolongan uang itu bisa jelas dan langsung kelihatan, maka orang sering terpeleset lalu memper-ilah uang, memper-ilah materi, memper-ilah pejabat yang punya kekuasaan. namun secara hakekat, secara substansial apakah betul uang itu memberikan daya tolong yang efektif? Sebenarnya tidak.

Ternyata naluri ber-Tuhan terkalahkan oleh kecenderungan-kecenderungan rendahnya yang sesaat, kepentingan sesaat.

THARIQAT YANG TERMASYHUR DI DUNIA

Pada awalnya pengenalan diskursus tasawuf di Barat, sebagian terselenggara melalui informasi akademis, melalui buku-buku yang ditulis, hasil penelitian lapangan, ataupun terjemahan karya-karya para sufi dari bahasa-bahasa Muslim (yakni bahasa Arab, Persia, Turki, Urdu dsb), kedalam bahasa Barat (yaitu bahasa Inggris, Perancis, Belanda, Jerman, dsb).

Tarekat Qadiriyah yang didirikan oleh Syaikh ‘Abd al-Qadil al-Jilani (w. 561/1166), hingga saat ini riwayat hidup dan karamahnya terutama yang dimuat dalam manqabah masih dibaca orang untuk mendapatkan barakahnya. Kekhasan tarekat ini masih survive sebagai tarekat pelopor, yaitu pengucapan dzikir jahar bahkan menjadi dasar dari sebagian tarekat yang lahir kemudian, misalnya bagian dari dzikir Tarekat Qadiriyah Naqsyabandiyah (TQN), selain dzikir khafi. Tarekat Qadiriyah telah masuk ke Indonesia pada masa Hamzah Fansuri pada pertengahan abad ke-16 Masehi. Tarekat Qadiriyah menurut Trimingham masih menjadi salah satu tarekat yang terbesar di dunia Islam dengan berjuta-juta pengikutnya di Yaman, Turki, Syria, Mesir, India, Afrika Utara dan Albania.

Tarekat Syadziliyah tak dapat dilepaskan hubungannya dengan nama ‘Ali bin ‘Abdullah bin ‘Abd al-Jabbar Abu Hasan al-Syadzili (w.1258). Silsilah keturunannya mempunyai hubungan dengan Hasan bin ‘Ali bin Abi Thalib dan Siti Fatimah binti Rasulullah SAW. Tidak diketahui secara persis kapan Tarekat Syadziliyah masuk ke Indonesia dan hingga kini masih ada di Jawa Tengah khususnya di Kudus dan kelihatan banyak juga pengikutnya. Secara khusus mereka juga aktif dalam hal pengembangan ekonomi. Saya dan keluarga kebetulan pernah mengunjungi sebuah pesantren yang kiyainya mempraktekkan dan mengajarkan Syadziliyah di Magelang, Jawa Tengah.

Ciri utama tarekat ini masih diamalkan hingga saat ini dengan variasi hizbnya dan terutama hizb al-bahr yang dikenal cukup memberi pengaruh yang kuat bagi pengamalnya. Tokoh terkenal Syadziliyah lainnya yaitu Taj al-Din Ibn ‘Atha’illah al-Iskandari (w.709/1309) pengarang Al-Hikam dan Miftâh al-Falâh wa Mishbâh al-Arwâh dan tokoh utama lainnya yaitu ‘Abd al-Wahhab al-Sya‘rani pengarang al-Anwâr al-Qudsiyyah fi Ma‘rifat Qawâ‘id al-Shûfiyyah dan kitab al-Minah al-Saniyyah ‘alâ al-Washiyyah al-Matbûliyyah.

Mengenai Tarekat Naqsyabandiyah dan beberapa cabangnya antara lain Tarekat Qadiriyah Naqsyabandiyah, bersama dengan Naqsyabandiyah Khalidiyah, termasuk tarekat yang cukup progresif di Indonesia pada akhir abad ke sembilan belas dan awal abad ke dua puluh. Kedua cabang tarekat ini berkembang dengan cepat dan di antara khalifahnya ada yang terlibat dengan kegiatan politik lokal. Tarekat Naqsyabandiyah Mujaddidiyah di India, dikenal sebagai pelopornya Syaikh Ahmad Faruqi Sirhindi. Tarekat Naqsyabandiyah Khalidiyah mempunyai anggota bukan hanya di Indonesia tapi juga di Asia Tengah, beberapa Negara Timur Tengah seperti Libanon dan Syria, sebagian Afrika Utara dan Afrika Barat, bahkan Eropah dan Amerika Utara.

Pengikutnya di Indonesia, sebagaimana penganut Naqsyabandiyah lainnya mempelajari buku-buku yang dibawa oleh jama’ah haji antara lain Jâmi‘ al-Ushûl fî al-Awliyâ’ wa Anwâ‘ihim wa Awshâfihim wa Ushûl Kulli Tharîq wa Muhimmât al-Murîd wa Syurûth al-Syaikh wa Kalimât al-Shûfiyyah Washthilâhihim wa Anwâ‘ al-Tashawwuf wa Alf Maqâm, ditulis oleh seorang syaikh berkebangsaan Turki, Ahmad bin Mustafa Diya’ al-Din Gumushani al-Naqshbandi al-Khalidi (w. 1311/1893). Beberapa penjelasan dalam Fath al-‘Ârifîn karya Syaikh Ahmad Khatib Sambas ada yang merujuk kepada kitab ini. Juga kitab Jâmi‘ Karâmât al-Awliyâ’, karya Yusuf Nabhani dan kitab-kitab lainnya yang populer di Indonesia termasuk Bahjat al-Saniyya fi Âdâb al-Tharîqah karya Muhammad bin ‘Abdullah al-Khani, Tanwîr al-Qulûb fî Mu‘âmalat ‘Allâm al-Ghuyûb karya Muhammad Amin al-Kurdi al-Irbili (w. 1322/1914), Majmû‘at al-Rasâ’il ‘alâ Ushûl al-Khâlidiyyah karya Sulayman al-Zuhdi, Khazînat al-Asrâr Jalîlat al-Adhkâr tulisan Muhammad Haqqi al-Nazili (w. 1301/1884 di Makkah), dan Kayfiyyat al-Dhikr ‘alâ al-Tharîqa al-Naqshbandiyya karya Muhammad Salih al-Zawawi.

Tarekat Naqsyabandiyah Mazhariyah di sisi lain disebarkan di Indonesia oleh dua khalifah dari Muhammad Salih al-Zawawi, yang beliau sendiri adalah seorang khalifah dari Muhammad Mazhar al-Ahmadi (w. 1301/1884 di Madinah): ‘Abd al-‘Azhim al-Manduri dari Madura, Jawa Timur, dan Isma‘il Jabal dari Pontianak, Kalimantan Barat.

Tarekat Naqsyabandiyah (Haqqaniyah) yang berpusat di Cyprus, tempat kelahiran Syaikh Muhammad Nazim al-Haqqani dan khalifah beliau Syaikh Muhammad Hisyam Kabbani dengan gigih telah berhasil mempunyai banyak cabang di Syria, Amerika Serikat (Michigan, Chicago dan California dan terdapat di 18 tempat lainnya), serta cabang-cabangnya di Kanada (Montreal, Toronto, Vancouver, dsb), Inggris (London dan Birmingham), Perancis, Spanyol (3 tempat), Swedia, Switzerland, Mesir, Jerusalem, Lebanon, Kenya, Jerman, Belanda, Italia, Argentina (4 tempat), Guadeloup, Australia, Pakistan, Sri Lanka, Mauritius dan Afrika Selatan, juga di Indonesia, Malaysia, Jepang (4 tempat), serta Brunei Darussalam. Karya-karya Syaikh Nazim, baik yang berbahasa Turki, Arab atau berbahasa Inggris, sebagian sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia.

Tarekat Qadiriyah Naqsyabandiyah (TQN) Suryalaya, di seluruh Indonesia telah terdapat cabang-cabangnya, juga telah merambah ke manca negara termasuk Malaysia, Singapura and Brunei Darussalam. Ciri utama tarekat ini dzikir jahar dan dzikir khafi sebagaimana yang menjadi ciri utama kedua tarekat asalnya, telah menjadikan tarekat ini dinamis, lebih-lebih lagi TQN Suryalaya melalui Syaikh Mursyid K.H.A. Shohibulwafa Tajul ‘Arifin (Abah Anom) telah mendisain secara khusus kurikulum bagi rehabilitasi anak penyalahguna obat, bahan narkotika dan kenakalan remaja lainnya. Banyak pengunjung, mulai rakyat biasa hingga pejabat tinggi negara dan sarjana dari dalam negeri dan dari manca negara datang ke Suryalaya, untuk bertemu dengan Pangersa Abah Anom dan juga ada yang melakukan penelitian. TQN Suryalaya juga mempunyai pengikut di Amerika Serikat (Washington D.C.) dan di Inggris (London).

Cabang lainnya dari TQN di Jawa Tengah yaitu di Pondok Pesantren al-Futuhiyyah Mranggen, asuhan K.H. Lutfil Hakim bin Muslih bin ‘Abdurrahman dan di Jawa Timur, Pondok Pesantren Darul Ulum Jombang yang sekarang diasuh oleh K.H. Dimyati Romly, anak cabangnya yang lain terdapat di Pondok Pesantren al-Fithrah, asuhan K.H. Asrori Usman.Menurut penelitian yang dilakukan oleh Lombard, Tarekat Khalwatiyah didirikan di Khurasan oleh Zahir al-Din ‘Umar al-Khalwati di akhir abad keempatbelas masehi, dan diperkenalkan ke Sulawesi Selatan (Makassar) oleh Syaikh Yusuf (b.1626). Setelah menunaikan haji di Mekkah pada 1644, Syaikh Yusuf pergi ke Aceh melalui Banten pada 1645. Beliau ikut Tarekat Qadiriyyah bersama Nur al-Din al-Raniri di Aceh (sebuah sumber lain menerangkan bahwa beliau diinisiasi dalam Tarekat Qadiriyyah oleh seorang imigran dari Gujarat yang mengajar di Aceh, Muhammad Jilani bin Hasan ibn Muhammad al-Hamid, paman dari Nur al-Din al-Raniri).

Yusuf lalu ikut Tarekat Naqsyabandiyah dengan Syaikh Abu ‘Abd Allah ‘Abd al-Baqi Billah, dan masuk Tarekat al-Sa‘ada al-Ba‘alawiyyah dengan Sayyid ‘Ali ketika ia berada di Yaman. Pada saat ia berada di Madinah, Syaikh Yusuf ikut Tarekat Syaththariyah melalui Syaikh Ibrahim al-Kurani dan akhirnya masuk Tarekat Khalwatiyah melalui ‘Abd al-Barakat Ayyub bin Ahmad ibn Ayyub al-Khalwati al-Qurashi di Damaskus. Kemudian ia pulang ke Sulawesi untuk melawan Belanda disana. Ketika Makassar diduduki Belanda pada 1667, Syaikh Yusuf kembali ke Banten dan juga melawan tentara kolonial disana. Beliau tertangkap pada 1683, dideportasi ke Ceylon dan kemudian ke Capstad (Afrika Selatan) pada 1693, dan beliau wafat pada 1699. Beliau meminta Karaeng Abd al-Jalil untuk meneruskan Khalwatiyah di Makassar.

Abd al-Ra’uf Singkel (w.1699) seorang yang aktif menulis dan menterjemah buku-buku tasawuf. Seperti Hamza Fansuri, dia juga melakukan banyak perjalanan ke Timur Tengah untuk mencari ilmu. Al-Attas menjelaskan bahwa ‘Abd al-Ra’uf adalah murid Ahmad al-Qusyasyi (d.1660), seorang syaikh Tarekat Syaththariyah, pengarang Al-Simt al-Majîd, ketika ‘Abd al-Rauf belajar di Madinah, namanya muncul dalam silsilah dan menjadi orang pertama yang memperkenalkan Syaththariyah ke Indonesia. Nama ‘Abd al-Ra’uf juga dihubungkan dengan terjemahan dan tafsir Qur’an bahasa Melayu yang berdasarkan atas karya al-Baydhawi berjudul Anwâr al-Tanzîl wa Asrâr al-Ta’wîl, dan pertama kali diterbitkan di Istanbul pada 1884.

Murid utama ‘Abd al-Ra’uf Singkel adalah Burhanuddin dan ‘Abd al-Muhyi. Nama yang disebut pertama adalah mempunyai tanggung jawab untuk islamisasi di Sumatera Barat dan Syaikh ‘Abd al-Muhyi bertanggung jawab untuk daerah Jawa Barat terutama di daerah pegunungan sebelah selatan Tasikmalaya Makam Syaikh ‘Abd al-Muhyi terletak di Pamijahan, Karangnunggal (Jawa Barat), tidak jauh dari sebuah Goa tempat beliau dan teman-temannya mempunyai komunikasi dengan Makkah. Ketika beliau berusia sembilan belas tahun, ‘Abd al-Muhyi pergi ke Aceh dan belajar di bawah bimbingan Syaikh ‘Abd al-Ra’uf Singkel selama delapan tahun (1669-1677).

Tarekat Sammaniyah yang didirikan oleh Syaikh ‘Abd al-Karim al-Sammani (1719-1775) dengan ratibnya yang terkenal ratib Samman, dibaca banyak orang di Indonesia. Baik kitab Manaqib Syaikh al-Waliy al-Syahir Muhammad Samman maupun Hikayat Syekh Muhammad Samman, keduanya mengungkap siapa sosok Syaikh Samman, terutama karamah beliau. Syaikh ‘Abd Samad al-Palimbani (w. 1800) dikenal sebagai penyebar tarekat ini di Indonesia, dan khususnya di daerah Sumatra Selatan. Daerah Palembang terkenal selama abad ke delapan belas masehi sebagai tempat berkumpulnya para sarjana dan penulis.

Tarekat Tijaniyah yang didirikan oleh Syaikh Ahmad bin Muhammad al-Tijani (w.1815), walaupun sebagian orang menganggap tarekat ini eksklusif namun dewasa ini masih banyak pengikutnya. Tarekat ini diperkenalkan ke Cirebon pada tahun 1928, dan cepat berkembang ke Tasikmalaya, Brebes dan Banyumas. Pada mulanya di bawah asuhan Kiyai Buntet dan Kiyai Madrais, tetapi setelah PD II atas pengaruh Kyai Madrais dinamai Agama Sunda, dan tidak lagi sebagai tarekat dan masuk kategori Kebatinan atau Kejawen. Namun begitu Tijaniyah yang benar berkembang terus sampai ke Pulau Madura bersama-sama dengan berkembangnya Naqsyabandiyah dan TQN. Sebagai tambahan selain Tijaniyah, Tarekat Syaththariyah juga berkembang di Pesantren Buntet, dan disebarkan oleh Kiyai ‘Abbas, seorang saudara laki-laki dari Kiyai Anas. Beliau berdua setuju bahwa kedua tarekat membentuk bagiannya dalam Pondok Pesantren Buntet, Cirebon. Tarekat Tijaniyah tersebar luas di seluruh Indonesia. Menurut sebagian peneliti, daerah Cirebon dan Garut sebagi basis wilayah Jawa Barat; Brebes dan Pekalongan sebagai basis wilayah Jawa Tengah sementara Surabaya, Probolinggo dan Madura sebagai basis wilayah Jawa Timur.

Tarekat Chisytiyah sebuah tarekat kelahiran India yang di dirikan oleh Syaikh Mu‘in al-Din Chisyti (w.1236) telah berhasil mempopulerkan tarekat ini ke luar India. Di awal pendiriannya tarekat ini berideologi Sunni. Hal ini terbukti bahwa para sufi awal Chisyti di India menjadikan ‘Awârif al-Ma‘ârif karya Syaikh Syihab al-Din Abu Hafs ‘Umar Suhrawardi (539-632 H/1145-1234 M) sebagai pegangan mereka. Kitab ini juga menjadi dasar bagi mereka para guru Chisytiyah dalam mengajar murid-muridnya. Selain ‘Awârif, Kasyf al-Mahjûb karya al-Hujwiri juga sangat populer di gunakan kaum Chisyti. Selain kedua kitab itu, Malfuzhat Syaikh Nizam al-Din Auliya, Syaikh Nashir al-Din Chiragi Dihli, Syaikh Burhan al-Din Gharib, Khwajah Bandah Nawaz Gizu Daraz, juga menjadi gagasan-gagasan yang kuat dan akurat bagi pembentukan ajaran Tarekat Chisytiyah. Hingga sekarang ini cabang Tarekat Chisytiyah juga terdapat di Amerika Serikat misalnya di Philadelphia, dibawa dan dikembangkan oleh seorang Syaikh Chisytiyah dari Sri Lanka, bernama Bawa Muhayiddin.

Seorang orientalis yang telah sangat berjasa dalam memperkenalkan pendiri Tarekat Mawlawiyah misalnya, yaitu Mawlana Jalaludin Rumi ke dunia Barat adalah Reynold A. Nicholson yang telah bukan hanya mengedit secara kritis semua naskah matsnawi, tetapi juga menterjemahkan dengan baik seluruh naskah tersebut (sebanyak 6 buku) ke dalam bahasa Inggris. Demikian juga ia telah menerjemahkan dan menseleksi dari Divan-i Syams-i Tabriz. Sedangkan karya Rumi yang lain Fihi Ma Fihi telah diterjemahkan oleh Arberry dengan judul Discourse of Rumi.

Tokoh lain yang sangat berjasa dalam memperkenalkan Rumi ke dunia Barat adalah Prof. Annemarie Schimmel (w. 2003), yang telah menulis dengan penuh penghargaan dan kebanggaan tentang karya-karya Rumi, seperti I am Wind You Are Fire: The Life and Work of Rumi, dan The Triumphal Sun: A Study of the Works of Jalaludin Rumi.

Meskipun begitu, tokoh Barat yang pada saat ini yang rajin mengembangkan dan mempromosikan Rumi dan tarekatnya adalah Syaikh Kabir Edmund Helminski (dan istrinya Cemille Helminski). Saya pernah dua kali bertemu beliau ketika ke Indonesia pada tahun 2003. Berbeda dengan sarjana-sarjana sebelumnya, Kabir Helminski menulis dan memperkenalkan Rumi dan tarekatnya dari dalam tradisi Mawlawi sendiri, kepada audiens internasional, karena ia sendiri adalah anggota Tarekat Mawlawiyah. Lebih dari itu, ia kini telah menjadi salah seorang “spiritual guide” terkemuka dari tarekat tersebut, setelah berpindah agama dan bahkan dianggap sebagai wakil (representative) dari Tarekat Mawlawiyah. Pada saat ini, Syaikh Kabir Edmund Helminski, dan istrinya Cemille Helminski, adalah co-direktur dari masyarakat Threshold sebuah organisasi non-profit yang dipersembahkan untuk berbagi pengetahuan dan praktek tasawwuf.

Pada saat ini “Threshold Society”, beralamat di RD 4 Box 400, Putrey, Vermont USA, 05346, atau 139 Main Street, Brattleboro, Vermont 05301. Ini merupakan pusat kajian Rumi internasional, dan yang bertanggung jawab secara luas untuk membuat Rumi menjadi salah satu penyair masa kini yang paling luas dibaca orang.

Kabir Helmiski menulis banyak buku dalam literatur sufisme, terutama tasawuf Jalaluddin Rumi, dengan cara menerjemahkan berbagai buku-buku tersebut. Ia adalah pengarang dari Living Presence: A Sufi Way to Mindfulness and Essential Self, yang dikomentari oleh Jack Kornfield sebagai “iluminasi modern yang menaruh perasaan terhadap jalan sufi yang sarat dengan aroma kuno”. Bukunya yang lain adalah The Knowing heart: A Sufi Path of Transformation, karya ini dipandang sebagai “sebuah pengantar yang jelas dan baik bagi tasawuf, yang dengan kreatif dibumbui oleh wawasan-wawasan batin dari al-Qur’an dan tulisan-tulisan Rumi”.

Bukunya yang juga sangat populer dan bahkan telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh H. B. Yasin adalah Rumi Day Light: A Daybook of Spiritual Guidance. Buku ini dinilai oleh Camille Adams Helminski, istri Syaikh Kabir Helminski, sebagai sebuah sumber wawasan dan penyegaran, yang dapat mendukung dan memberikan semangat. Dia juga beserta istrinya telah menulis sebuah buku kecil dan sangat cantik, yang didisain sebagai “hadiah" (gift), dengan dilengkapi beberapa kartu indah dengan lukisan-lukisan kuno Persia, sebagai tafsir bagi syair-syair Rumi, yang berjudul Rumi: The Path of Love. Buku kecil ini meliputi sejarah kehidupan Rumi, penjelasan tentang jalan sufi dari cinta dan 50 puisi pilihan dan penafsirannya dalam kartu-kartu yang indah terhadap semua puisi yang terkandung di dalamnya. Tetapi ada satu buku lagi yang sangat dekat dengan Tarekat Mawlawiyah, yaitu berupa wirid-wirid Mawlawi, yang disajikan secara lengkap dengan terjemahannya oleh Cemille dan Kabir Helminski sendiri, sebagai seorang Syaikh dan wakil Tarekat Mawlawiyah saat ini.

Syaikh Kabir Helminski juga adalah guru dari beberapa penulis dan sarjana yang terkemuka, termasuk di dalamnya adalah Brian Hines, seorang ahli fisika baru, dan pengarang buku God, Whisper, Creation’s Thunder, yang telah menjadikan Rumi sebagai pembimbing dan inspirator utama dalam menafsirkan fenomena-fenomena fisik yang ditemukan di laboratorium fisika modern. Dalam buku ini, Brian Hines tidak dapat menyembunyikan hutang budinya yang besar dalam pengenalannnya terhadap Rumi kepada Syaikh Kabir Helminski ini.

Tentang Tarekat Ni‘matullahi yang dikenal di kalangan Muslim Syi’ah misalnya, tokoh kontemporernya sesudah Mûnis ‘Alî Syâh (w. 1373 H/ 1953 M) adalah Javad Nurbakhsy, seorang psikiatris. Beliau berhasil merekrut banyak anggota kelas atas di Teheran, ketika profesi suatu jenis tertentu dari sufisme menjadi model modern; beliau juga membangun serangkaian khânqâh (zawiyah, rumah suluk) baru diseluruh negeri; dan menerbitkan dalam jumlah besar literatur tentang Nimatullâhî, termasuk karya-karya pribadinya. Ketika revolusi Islam Iran pada tahun 1978-1979 hampir memperoleh kemenangan, Nurbakhsy meninggalkan negeri itu, dan dia sekarang mengurus para pengikut campuran dari orang-orang imigran dari Iran dan orang-orang Barat yang memeluk agama Islam yang hidup di kota-kota besar di Eropa dan Amerika Utara.

Javad Nurbakhsy dilahirkan di Kirman, Iran. Dia menyelesaikan sekolah dasarnya di kota itu, sering mengalami loncat-loncat dan selalu menjadi murid paling top di kelasnya. Pada umur enam belas tahun, dia dibaiat sebagai anggota Tarekat Nimatullâhî oleh Aqâ Mursyidi, salah seorang syaikh dari Mûnis ‘Alî Syâh. Setelah menyelesaikan sekolah lanjutan, dia pindah ke Teheran untuk menyelesaikan studinya di Universitas Teheran, menyertai gurunya, Mûnish ‘Alî Syâh, selama waktu senggangnya. Pada usia dua puluh tahun dia ditunjuk oleh Mûnish untuk menempati posisi syaikh dan dua tahun berikutnya menyusun tiga jilid buku tipis untuk menghormati gurunya dengan judul Gulzâr-i Mûnis, mengenai pelbagai aspek teoritis dan praktik tasawuf. Jilid terakhir dari karyanya ini diterbitkan pada tahun 1949 M.

Pada 1952 M, dia meraih gelar dokter (kesehatan) dan pindah ke Bam, sebelah barat Kirman, tempat dia ditunjuk sebagai kepala balai pengobatan tersebut. Di sana, pada 15 Juni 1953, ketika Mûnish ‘Alî Syâh wafat di Teheran, Javad Nurbakhsy menerima berita tentang pelantikan anumerta beliau sebagai quthb dalam Tarekat Nimatullâhî. Selama 34 tahun terakhir, Javad Nurbakhsy (Nûr ‘Alî Syâh II) telah memimpin dan mengelola Tarekat Nimatullâhî, yang selama rentang waktu ini dia telah mengawasi pembangunan lebih dari seratus pondok sufi atau khânqâh di kota metropolitan dan kota madya utama di seluruh Persia.

Javad Nurbakhsy adalah penulis atau penyunting lebih dari sembilan puluh karya terbitan Persia, yang dicetak di Teheran oleh penerbit Khaniqahi Nimatullahi (Intisyârât-i Khânqâh-i Ne’matu’llâhî). Publikasi-publikasi ini pada dasarnya dibagi dalam dua kategori: (1) Karya asli Javad Nurbakhsy; dan (2) Edisi kritis atas karya prosa dan puisi yang ditulis oleh para penulis sufi klasik. Namun Javad Nurbakhsy juga telah menerbitkan banyak artikel tentang psikologi. Mesti juga disebutkan bahwa Perpustakaan Nurbakhsy di Teheran menyimpan salah satu koleksi terbesar pelbagai manuskrip dan buku kuno tentang mistisisme Islam di Iran, yang indeks lengkapnya telah diterbitkan pada 1973 M oleh Ibrâhîm Dibâjî. Sejak 1962 M hingga 1977 M Javad Nurbakhsy mempraktikkan ilmu psikiatrinya sebagai profesor di Universitas Teheran dan kepala salah satu rumah sakit psikiatri terkemuka di kota itu. Dia juga menghabiskan waktunya mempelajari dan melakukan penelitian di bidang ini di Sorbornne (Paris). Dia adalah salah seorang tokoh sufi pertama yang menguasai ilmu jiwa tradisional sekaligus psikiatri modern.

Javad Nurbakhsy pertama kali berkunjung ke Amerika Serikat pada 1974 M, dan menanggapi banyaknya permintaan dari para pengikutnya di Amerika yang jumlahnya semakin meningkat, pada 1975 M dia mendirikan pondok sufi (khânqâh) pertama di Amerika Serikat di kota New York. Tindakan ini diikuti oleh pelbagai pusat [tarekat itu] di kota-kota Amerika lainnya. Selama dasawarsa terakhir, jumlah khânqâh terus meningkat dan bertambah banyak di Amerika, dan sebuah khânqâh penting di London telah menjadi pusat tarekat ini di Barat.

Javad Nurbakhsy telah bermukim di London sejak 1983 M dan memprakarsai serangkaian penerbitan dalam bahasa Persia. Dua seri dari karya-karya ini pantas disebutkan secara khusus, karena menjadi bagian kontemporer penting dalam tradisi literatur sufi kuno: (1) Ma‘ârif-i Shûfiyyah, sebuah uraian ringkas tentang konsep-konsep teosofis dasar dari para penulis sufi klasik dalam tujuh jilid (empat jilid di antaranya telah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris); dan (2) Farhang-e Nûrbakhsy, lima belas jilid ensiklopedi tentang terminologi sufi yang membahas secara detail makna esoteris simbolisme puisi dalam leksikon sufi (tiga jilid telah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris dengan judul Sufi Symbolism). Selanjutnya, sebuah jurnal ilmiah, Sufi, yang dikhususkan untuk mengkaji sastra, filsafat, dan praktik tasawuf, baru-baru ini mulai diterbitkan di London dalam bahasa Persia dan Inggris, yang menegaskan kembali ajaran-ajaran dasar dan abadi, landasan metafisika, dan kebenaran-kebenaran puitis spiritualitas Islam.

Tarekat Sanusiyah yang didirikan oleh Muhammad bin Áli al-Sanusi (1787-1859), sejak berdirinya hingga sekarang masih mendapat banyak pengikut terutama di kawasan Afrika Utara. Karangan beliau yang masih dibaca orang dan dijadikan sebagai bagian dari kutub al-mu‘tabarah yaitu al-Salsabil al-Ma‘în fî al-Tharâ’iq al-Arba‘în dan al-Masâ’il al-‘Asyar J.C Trimingham mencatat bahwa beliau telah mendirikan sebuah zawiyah di Abu Qubais Makkah, dan meninggalkan kota itu pada tahun 1840 dan kemudian tinggal di bukit yang bernama Jabal Akhdhar di daerah Cyrenaica.

Dapat kita amati disini bahwa di sisi lain kegiatan spiritual Islam secara praktek di masjid atau sufi center di Barat ikut menjadi semarak karena kedahagaan mereka terhadap kehidupan spiritual. Hal ini dapat diamati dalam kegiatan-kegiatan Tarekat Naqsyabandiyah dengan cabang-cabangnya, Tarekat Chisytiyah, Tarekat Mawlawiyah dan tarekat-tarekat lainnya seperti yang telah dijelaskan diatas. Perkembangan tarekat tidak selalu sama baik di Barat maupun di Timur, namun begitu hingga saat ini tarekat masih eksis dan berkembang dengan baik.

DUA ANUGERAH ALLAH UNTUK MANUSIA

Dalam QS. Al Baqarah ayat 30 - 33 dijelaskan bagaimana para malaikat bersujud kepada nabi Adam as, dikarenakan kelebihan yang diberikan Allah kepada manusia yaitu berupa ilmu pengetahuan (knowledge).
Mengapa Allah memberikan ilmu pengetahuan kepada manusia, karena memang Allah ingin menjadikan manusia sebagai khalifah (wakil) Allah di Bumi dan memimpin disana. Dan inilah kekuatan pertama yang Allah anugerahkan untuk manusia.

Selanjutnya di ayat 35 Allah berfirman, "Hai Adam, tinggalah kamu dan isterimu di jannah (kebun) serta makanlah makan-makanannya yang banyak lagi baik dimana saja yang kamu sukai dan janganlah kamu berdua mendekati pohon ini, yang menyebabkan kamu termasuk orang-orang yang zalim."

Menurut beberapa ulama di ayat inilah kekuatan dasyat kedua terbesar manusia yang dianugerahkan oleh Allah, yaitu kebebasan berkehendak / memilih (free will), bahkan kebebasan untuk membangkang Allah sekalipun.

Akan tetapi kebebasan yang diberikan bukannya tanpa batas, ada batasan-batasannya yang apabila dilanggar maka akan membahayakan bagi diri manusia itu sendiri seperti yang tercantum dalam ayat di atas. Dan tergambar di QS. Al-A'raaf ayat 20 - 22 dimana nabi Adam dan isterinya tergoda untuk mendekati pohon keabadian dan kekuasaan sehingga terungkaplah aurat (hal-hal yang memalukan) dari diri mereka masing-masing dan ini lebih disebabkan karena manusia terlalu memperturutkan syahwat yang ada. Untuk itulah Allah memberikan rambu-rambu (wahyu / petunjuk) kepada manusia melalui para nabi dan rasul, serta diciptakannya surga dan neraka sebagai konsekwensi pilihan yang diambil oleh manusia.

Untuk apa Allah menganugerahkan kedua kekuatan besar tersebut? Tidak lain keduanya untuk dipergunakan manusia dalam memimpin kehidupan di bumi sebagai wakil Allah dan menyelesaikan segala permasalahan yang terjadi nantinya, karena dari 2 kekuatan inilah yang apabila dipadukan dengan komposisi yang pas maka akan melahirkan kreativitas dalam diri manusia.

Tanpa keduanya atau hanya satu saja yang ada maka tidak akan ada kreativitas. Karena bagaimana mungkin manusia dapat berkreativitas apabila tidak memiliki ilmu atau kebebasan berkehendak? Keduanya mutlak perlu dan jangan diabaikan satu sama lain.

Karena apabila kita mengabaikan salah satunya maka yang terjadi adalah kekacauan. Sebagai contoh para pengendara motor yang melawan arus, disini ada kebebasan tapi tanpa diimbangi ilmu. Ada juga contoh kejadian di Order Baru dimana banyak sarjana-sarjana Indonesia yang selalu diawasi apabila ingin melakukan eksperimen-eksperimen, disini ada ilmu tapi tidak ada kebebasan.

Maka berhati-hatilah dalam mengemban anugerah yang besar ini, karena bisa jadi keduanya membawa manfaat yang besar untuk kehidupan atau justru akan menghancurkannya, tergantung dari apa yang kita pilih untuk dijalani.

DZIKIR ITU MUSIK

Orang tahu dzikir itu menimbulkan ketenteraman, menambah kekhusyu’an, menghanyutkan jiwa dalam cinta Ilahi, menguatkan keyakinan dalam pasrah, akhirnya memuncratkan optimisme dan semangat.
Tapi mengapa banyak orang yang katanya sudah berdzikir namun kenikmatan-kenikmatan seperti tersebut di atas tidak juga mereka temui? Apa karena ada perbedaan pada bacaan-bacaan yang dilafalkan? Atau waktunya yang kurang tepat? Atau jumlahnya yang kurang? Atau gurunya yang tak canggih?

Dzikir bukan semata soal bacaan dan jumlah, waktu dan tempat, atau guru dan murid. Satu hal penting yang sering terabaikan dalam berdzikir adalah prosesnya. Apa proses utamanya? Musik! Apa…? Musik…? Ya…, musik!

Dzikir itu proses rasa dan kesadaran, bukan proses fikir yang kognitif. Makanya kalau berdzikir jangan berfikir. Singkirkan semantika dan gramatika, juga tak perlu logika dan algoritma. bahkan Allah juga sudah menegaskan dalam Al Qur'an surat al-Imran ayat 191:

"(yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): "Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka".
(QS. 3:191)

Jelas perbedaannya antara berdzikir dan berfikir, dzikir hanya kepada Allah dan fikir adalah tentang sebab akibat. Jadi dalam berdzikir gunakan saja rasa…, rasa… dan rasa… Abah Anom, seorang sufi besar Tarekat Qadiriyah Naqsyabandiyah, mempunyai pesan yang selalu diingat oleh murid-murid beliau:

“Jangan merasa pandai, tapi pandailah merasa…”

Berfikir itu melangkah, sedangkan berdzikir adalah menari. Berfikir itu kucing yang memandangi isi kolam, berdzikir itu ikan yang bersenandung di dalam kolam.

KATEGORI QOLBU DALAM DIRI MANUSIA

Ada dua kategori Qalbu dalam diri manusia.

Qalbu jismani, yaitu jantung. Ada hadits tentang qalbu yang sangat populer di masyarakat, sering diucapkan oleh para ustadz dan muballigh dalam ceramah-ceramah mereka. Tapi sayangnya orang kurang cermat memahami makna qalbu pada hadits ini. Abu Nu`aym menceritakan bahwa Rasulullah s.a.w. berkata: “Sesungguhnya di dalam jasad ada sebongkah daging; jika ia baik maka baiklah jasad seluruhnya, jika ia rusak maka rusaklah jasad seluruhnya; bongkahan daging itu adalah QALBU”. Hadits di atas jelas menyebut qalbu sebagai bongkahan daging (benda fisik) yang terkait langsung dengan keadaan jasad atau tubuh manusia. Bongkahan daging mana yang kalau ia sakit atau rusak maka seluruh jasad akan rusak? Bahasa Arab mengenal qalbu dalam bentuk fisik yang di dalam kamus didefinisikan sebagai ‘organ yang sarat dengan otot yang fungsinya menghisap dan memompa darah, terletak di tengah dada agak miring ke kiri’. Jadi, qalbu adalah jantung. Dokter qalbu adalah dokter jantung.
Jantung adalah bongkahan daging yang kalau ia baik maka seluruh jasad akan baik atau sebaliknya kalau ia rusak maka seluruh jasad akan rusak.
Qalbu ruhani, yaitu hatinurani. Ada juga jenis qalbu yang kedua, sebagaimana digambarkan dalam hadits berikut: “Sesungguhnya orang beriman itu, kalau berdosa, akan akan terbentuk bercak hitam di qalbunya”. (HR Ibnu Majah). Jadi kalau banyak dosa qalbu akan dipenuhi oleh bercak-bercak hitam, bahkan keseluruhan qalbu bisa jadi menghitam. Apakah para penjahat jantungnya hitam? Apakah para koruptor jantungnya hitam? Tanyakanlah kepada para dokter bedah jantung, apakah jantung orang-orang jahat berwarna hitam? Mereka akan katakan tak ada jantung yang menghitam karena kejahatan dan kemaksiatan yang dibuat.
Lalu apa maksud hadits Nabi di atas? Qalbu yang dimaksud dalam hadits itu adalah qalbu ruhani. Ruh (jiwa) memiliki inti, itulah qalbu. Karena ruh (jiwa) adalah wujud yang tidak dapat dilihat secara visual (intangible) maka qalbu yang menjadi inti (sentral) ruh ini pun qalbu yang tidak kasat mata. Dalam bahasa Indonesia ‘qalbu ruhani’ disebut dengan ‘hatinurani’. Mungkin karena dianggap terlalu panjang dan menyulitkan dalam pembicaraan, maka orang sering menyingkatnya menjadi ‘hati’ saja. Padahal ada perbedaan besar antara‘hati’ dengan ‘hatinurani’ sebagaimana berbedanya ‘mata’ dengan ‘mata kaki’.

HAKIKAT HARTA

Apakah harta kita benar-benar milik kita?
Sebelum kita membahas harta yang hakiki, jawablah pertanyaan ini,
Ada 10 ekor burung sedang bertengger di atas dahan, lalu salah satu burung tersebut kita tembak dan kena, berapa sisanya? 9?
Bukan, tetapi sisanya adalah 1. Karena yang 9 ekor pergi karena kaget mendengar suara tembakan. Sedangkan yang satu tersisa, tergeletak di tanah.

Kalau kita punya uang 10 juta, lalu kita sumbangkan 1 juta ke masjid, berapa yang tersisa milik kita? Untuk menjawab pertanyaan ini marilah kita simak dialog Rasul dengan Aisyah.

Pada suatu saat rasulullah s.a.w. memotong domba, daging-daging yang enak dibagikan kepada tetangganya sehingga hanya menyisakan kaki-kakinya nya. Rasul bertanya, “wahai Aisyah, apakah yang tersisa untuk kita? Aisyah menjawab, “yang tersisa untuk kita tinggal kaki-kakinya” rasulullah dengan tersenyum bersabda, “sesungguhnya semua tersisa untuk kita kecuali kaki-kakinya”

Yang saya maksud harta kita adalah harta yang benar-benar milik kita secara hakiki. Harta yang terus menjadi milik kita selamanya.

Inilah yang seharusnya menjadi Paradigma kita terhadap harta

Ketahuilah bahwa harta yang ada di genggaman kita sekalipun belum tentu milik kita. Meskipun kita simpan di bank yang paling aman, meskipun kita menyewa tim keamanan yang paling canggih. Karena jika ajal kita tiba, maka harta itu bukan lagi milik kita. Satu-satunya cara agar harta kita aman dan akan menjadi terus milik kita adalah kita shadaqah-kan.

Karena harta ketika kita shadaqahkan, harta itulah yang akan menemani kita baik di alam kubur maupun di hari kiamat nanti. Sehingga perhitungannya ketika kita memiliki uang 10.000, lalu kita shadaqahkan 2.000 maka yang tertinggal untuk kita adalah 2.000 itu. Yang 8.000 mungkin masuk ke badan kita lalu tak lama kemudian keluar lagi.

Maka tidak heran Rasulullah pernah berqurban 100 ekor unta namun wafat hanya meninggalkan 7 dirham. Itupun segera dishadaqahkan.

Mari kita simak sabda beliau yang indah

Orang yang cerdas adalah orang yang mengevaluasi diri dan berbuat untuk masa setelah kematian. Dan orang yang lemah (akal) adalah orang yang memperturutkan hawa nafsu dan memimpikan Allah (H.R. Ahmad)

Mari kita perhitungkan berapa persen dari harta kita yang benar-benar milik kita?

Celaka besar seseorang yang memiliki banyak harta, yang ketika belum sempat menshadaqahkan hartanya namun terlebih dahulu meninggal dunia. Saat itu ia tidak lagi memiliki harta yang dengan susah payah ia kumpulkan, namun tetap dimintai pertanggung jawaban akan harta yang ia kumpulkan. Lebih celaka lagi jika harta warisannya digunakan untuk berbuat maksiat oleh ahli warisnya dan dalam pembagiannyapun terjadi “cakar-cakaran” antar anggota keluarga. Ini adalah musibah yang sangat besar.

Sikap tasawuf di masa sekarang

Menjelang abad XXI ini, tasawuf dituntut untuk lebih humanistik, empirik, dan fungsional. Penghayatan terhadap ajaran Islam, bukan hanya pada Tuhan, bukan hanya reaktif, tetapi aktif serta memberikan arah kepada sikap hidup manusia di dunia ini, baik berupa moral, spiritual, sosial, ekonomi, teknologi, dan sebagainya. Dan ketika tasawuf menjadi “pelarian” dari dunia yang “kasat mata” menuju dunia spiritual, bisa dikatakan sebagai reaksi dan tanggung jawab sosial, yakni kewajiban dalam melakukan tugas dan merespon terhadap masalah-masalah sosial.

Saat ini kita berada di tengah-tengah kehidupan masyarakat modern, atau sering pula disebut sebagai masyarakat yang sekuler. Pada umumnya, hubungan antara anggota masyarakatnya atas dasar prinsip-prinsip materialistik. Mereka merasa bebas dan lepas dari kontrol agama dan pandangan dunia metafisis. Dalam masyarakat modern yang cenderung rasionalis, sekuler dan materialis, ternyata tidak menambah kebahagiaan dan ketentraman hidupnya. Berkaitan dengan itu, Sayyid Hosein Nasr menilai bahwa akibat masyarakat modern yang mendewakan ilmu pengetahuan dan teknologi, berada dalam wilayah pinggiran eksistensinya sendiri. Masyarakat yang demikian adalah masyarakat Barat yang telah kehilangan visi keilahian. Hal ini menimbulkan kehampaan spiritual, yang berakibat banyak dijumpai oang yang stress dan gelisah, akibat tidak mempunyai pegangan hidup.

Untuk mengantisipasi hal-hal semacam di atas, maka diperlukan Keterlibatan langsung tasawuf dalam kancah politik dan ekonomi, hal ini dapat kita lihat dalam sejarah Tarekat Sanusiyah di berbagai daerah di Afrika Utara, Dalam kiprahnya, tarekat ini tidak henti-hentinya bekerja dengan pendidikan keruhanian, disiplin tinggi, dan memajukan perniagaan yang menarik orang-orang ke dalam pahamnya. Maka Fazlur Rahman menceritakan bahwa tarekat ini menanamkan disiplin tinggi dan aktif dalam medan pejuangan hidup, baik sosial, politik, dan ekonomi. Pengikutnya dilatih menggunakan senjata dan berekonomi (berdagang dan bertani). Gerakannya pada perjuangan dan pembaharuan, dan programnya lebih berada dalam batasan positivisme moral dan kesejahteraan sosial daripada “terkungkung” dalam batasan-batasan spiritual keakhiratan. Coraknya lebih purifikasionis dan lebih aktif, memberantas penyelewengan moral, sosial dan keagamaan, maka Fazlur Rahman menamakannya sebagai Neo-Sufisme[10].

Kebutuhan akan kekuatan ekonomi dan teknologi saat ini sangat diperlukan bagi penunjang keberhasilan umat Islam demi menjaga dan mengangkat martabat umat itu sendiri, kerena sudah banyak terbukti bahwa umat Islam sering dijadikan bulan-bulanan oleh orang-orang kafir karena kelemahan mereka dibidang ekonomi yang akhirnya menjadikan mereka lemah dalam bidang teknologi dan politik, hal ini adalah suatu bahaya yang wajib dihilangkan dan dijauhi oleh orang-orang yang percaya terhadap Allah dan rasulnya, seperti dalam sabda rasul: ”tidak boleh membahayakan diri sendiri atau orang lain” (H.R. Ibnu Majah dari sahabat ‘Ubadah ibnu Samit)[11], kalau kita perhatikan saat ini bahaya dari terbengkalainya perekonomian sangat membahayakan umat, oleh karena itu pembenahan dalam bidang ekonomi sangat diperlukan sebagai perantara bagi umat untuk memperoleh kedamaian di Dunia dan Akhirat, dalam sebuah kaidah, ulama’ membuat sebuah kaidah di dalam menangapi berbagai perintah Allah demi memperoleh kesempurnaan dalam menjalankanya yang berbunyi: “segala bentuk perantara yang bisa menunjang kesempurnaan suatu kewajiban maka hukumnya menjadi wajib”.

Penguasaan terhadap ilmu pengetahuan sangat dianjurkan didalam Islam, serta pengamalan dari pengetahuan juga harus disesuaikan dengan kehendak Ilahi sebagai wujud yang kita yakini sebagai wujud tunggal yang menguasai segala hal di alam semesta ini. dalam mendorong umat untuk giat mencari ilmu, para ulama’ menetapkan bahwa setiap ilmu hasil ciptaan atau hasil buatan yang memang diperlukan oleh umat Islam maka hukumnya adalah fardu kifayah, seperti yang pernah dikatakan oleh al Ghozaly:

” apabila ilmu dan karya yang dimiliki oleh Nonmuslim lebih baik dan lebih maju dari pada yang dimiliki oleh kaum Muslim, maka kaum muslim berdosa dan kelak mereka akan dituntut atas kelalaianya itu”.[12]

Dari serangkaian paparan di atas kiranya kita bisa mengetahui bahwa perkembangan tasawuf mulai dari awal munculnya sampai pada saat ini memang dituntut untuk mengalami berbagai bentuk perubahan yang di sesuaikan dengan keadaan dan pola kebiasaan dari suatu Masyarakat, karana tasawuf ibarat makanan yang disuguhkan oleh para mursyid[13] kepada suatu masa atau masyarakat yang berbeda-beda di setiap tempat dan waktu dan membutuhkan keahlian dan racikan yang berbeda pula, tetapi perubahan bentuk itu hanya sebatas pada bentuk luarnya saja, secara garis besar konsep dasar yang ada dalam tasawuf hanyalah satu, yaitu keyakinan, ketundukan, kepatuhan, pendekatan terhadap serta menjahui hal-hal yang bisa menganggu ibadah kepada Allah yang satu

Kehidupan Dunia Dalam Pandangan Tasawuf

Sebenarnya al-Qur’an maupun hadis Rasulullah saw. memang banyak yang bernada “mendiskreditkan” dunia, namun banyak pula yang menganggapnya positif. Turunnya ayat-ayat yang bernada mendiskreditkan dunia, seperti dalam firman Allah:

“Kecelakaanlah bagi setiap pengumpat lagi pencela, Yang mengumpulkan harta dan menghitung-hitung, Dia mengira bahwa hartanya itu dapat mengkekalkannya, Sekali-kali tidak! Sesungguhnya dia benar-benar akan dilemparkan ke dalam Huthamah”.[3]

Ayat di atas tak lain karena berkaitan dengan sikap dan watak kafir Arab waktu itu, yang mengharapkan kekekalan dunia ini.

Sedangkan ajaran-ajaran yang memandang positif terhadap dunia, seperti dalam firman Allah:

“Dan carilah pada apa yang Telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah Telah berbuat baik, kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan”.[4]

Dari pemahaman terhadap ajaran-ajaran tadi, lahirlah pemaknaan yang menumbuhkan konsep zuhud dalam tasawuf. Dalam rentangan sejarahnya, pengaplikasian dari konsep ini dapat diklasifikasikan menjadi dua macam: yakni zuhud sebagai maqam dan zuhud sebagai akhlak Islam.

Dalam konsep zuhud sebagai maqam, dunia dan Tuhan dipandang sebagai dua hal harus dipisahkan. Contoh yang jelas adalah ketika Hasan al-Bashri mengingatkan kepada khalifah Umar bin Abdul Aziz: “Waspadalah terhadap dunia ini. Ia bagaikan ular yang lembut sentuhannya namun mematikan bisanya. Berpalinglah dari pesonanya karena sedikit terpesona, Anda akan terjerat olehnya…”.[5] Sedangkan Abdul Qadir al-Jailani dengan tegas menyatakan bahwa dunia adalah hijab akhirat, dan akhirat adalah hijab Tuhan. Bila berdiri bersama, maka jangan memperhatikan kepadanya, sehingga hati (sirr) bisa sampai di depan pintu-Nya. Pandangan seperti itu adalah hasil dari pemahaman terhadap ayat-ayat al-Qur’an dan hadis Nabi secara tekstual, bukan pemahaman secara kontekstual dan sosiologis. Jika memahaminya secara kontekstual dan sosiologis, maka perlu memperhatikan pada masa awalnya al-Qur’an diturunkan, kondisi masyarakat Arab mempunyai anggapan bahwa dunia adalah satu-satunya yang kekal dalam kehidupan ini. Mereka beranggapan bahwa dunia ini adalah tempat yang abadi. Di sini al-Qur’an memberikan jawaban terhadap sikap seperti itu[6].

Sedangkan zuhud sebagai akhlak Islam, bisa diberi makna sesuai dengan situasi dan kondisi setempat. Sikap para ulama sebagaimana telah disebutkan tadi, merupakan reaksi terhadap ketimpangan sosial, politik, dan ekonomi yang mengitarinya, yang pada suatu saat dipergunakan untuk memotovasi masyarakat dari keterpurukan ekonomi dan memobilisasi gerakan massa untuk menumpas berbagai macam bentuk ketidakadilan di muka bumi ini. Dengan demikian formulasinya bisa berbeda-beda sesuai dengan tuntunan zamannya. Oleh karena itu, sebagai akhlak Islam, zuhud bisa berbentuk ajaran Futuwwah dan [7]al-Itsar.

Peran Tasawuf Untuk Mencerdaskan Pribadi Muslim

Tasawuf sebagai pengetahuan spiritual dengan Tarikat yang merupakan suatu metode langsung atau “Top Down” yang digunakan oleh para sufi untuk menyingkap lapis demi lapis hijab kebenaran relatif dengan melalui intuisi penyingkapan dan penyaksian, rasionalitas melalui proses penyucian jiwa, dan penguraian filosofis, yang sedikit demi sedikit akan membawa pelakunya kepada pemahaman makrifat tentang hakikat manusia atau “Pengetahuan Qolbu” yang akan membawanya menuju penyaksian “Realitas Absolut (al-Haqq)”. Oleh karena itu, keterlibatan individu sebagai pelaku, pelakon, atau sebagai partisipan di dalam praktek tasawuf (tarikat) mutlak diperlukan. Tidak mengherankan jika hasil-hasil pengetahuan tasawuf umumnya bersifat intuitif-subyektif-realistis. Dalam arti, Anda tidak akan mendapatkan makna sebenarnya jika tidak terlibat langsung di dalam prosesnya. Dapatkah Anda merasakan enaknya kopi kalau Anda tidak pernah minum kopi?

Bagaimanakah kedudukan Ilmu Tasawuf atau Sufisme di tengah derasnya gelombang peradaban manusia dimana kita terlibat di dalamnya? Apakah pengetahuan ini masih relevan dalam pembinaan moral dan akhlak Manusia Indonesia khususnya Pribadi Muslim?

Peradaban merupakan produk penerapan ilmu pengetahuan yang dipahami manusia atau sains dari pengamatannya atas tanda-tanda Tuhan di lingkungan hidupnya dan dirinya sendiri. Sains (baik sains eksak, biologi, maupun sosial) merupakan produk dari kognisi dan persesi inderawi, rasionalitas logis ilmiah, dan filsafat dalam lingkup fisikal (eksoteris) yang terukur yang merupakan pendekatan “Bottom-Up” untuk membangun suatu pengetahuan (knowledge) guna mengenali realitas relatif.

Obyek dari sains adalah alam semesta fisik beserta isinya sebagai tanda-tanda atau pesan-pesan dari Sang Pencipta, termasuk manusia dan polah tingkahnya. Secara eksistensial yang diamati manusia dalam keterbatsannya adalah “materi dan energi”. Output dari sains adalah realitas relatif yang bersifat kebendaan dengan batas-batas yang jelas atau terkuantifikasikan. Bahkan, jika obyek kajian sains adalah manusia, hasilnya adalah manusia sebagai obyek biologis dan psikologis yaitu ilmu hayat, neurosains, dan pengetahuan manusia yang berhubungan dengannya.

Sedangkan tasawuf merupakan pengetahuan yang diperoleh dari intuisi penyingkapan, penyaksian dan penyucian jiwa. Obyeknya adalah manusia dengan tujuan untuk memperoleh “Pengetahuan Makrifat” dan “Pengetahuan Qolbu” sekaligus dengan mengenali dirinya sendiri dan memproyeksikannya untuk mengenal Tuhannya sebagai Pencipta dan sampai kepada makna hakiki-Nya dalam keterbatasan manusia yang mencari Diri-Nya. Produk akhirnya adalah cermin kaca yang bersih mengkilat dan tembus cahaya, dimana semua kotoran dan karat yang menempel di dalamnya sudah dibersihkan. Nabi SAW sering mengibaratkan qolbu yang bersih ibarat singhasana raja. Oleh karena itu, Ilmu tasawuf atau Sufisme memegang peranan penting dan sangat mendasar pada pembinaan akhlak dan perilaku manusia, moralitasnya atau lebih khusus pada Pribadi Muslim, mengingat peranannya sebagai pengarah peradaban dalam perjenjangan integralistis penampakkan Af’al, Asma dan Sifat Allah. Dengan Tasawuf, sebagai ilmu dan tarikat sebagai praktek, manusia dapat belajar dan mengenali hakikat dirinya, ilmu pengetahuannya, dan Tuhannya.

Doktrin Tasawuf “Kenalilah dirimu maka engkau akan kenal Tuhanmu” pada dasarnya merupakan suatu doktrin universal bagi manusia spiritual, apapun agamanya. Untuk meraih pengetahuan esoteris seperti itu, maka manusia dapat melakukannya melalui proses pendidikan keruhanian. Output dari tasawuf adalah hakikat yang merupakan esensi dirinya sendiri sebagai penampakkan (tajalli) yang sempurna dari Penciptanya. Secara esensial berarti Allah SWT dan menyaksikan dengan menauhidkan-Nya : Allah, Dialah Yang Esa. Tanpa bantuan Tasawuf maka langkah sains dan derap peradaban akan terhenti di tengah jalan, cuma sampai kepada tingkat realitas yang relatif, kering dan tanpa makna, jauh dari hakikat tentang Realitas Absolut sebenarnya. Sedangkan tasawuf merupakan pendekatan top-down dimana pemaknaan atas realitas relatif terjadi sehingga realitas itu setingkat lebih maju dan memiliki makna yang utuh dan mencapai dua pengetahuan yaitu “Pengetahuan Makrifat” dan “Pengetahuan Qolbu”.

PERLUNYA PENGMBANGAN AKHLAK TASAWUF PADA MASYARAKAT MODERN

Banyak cara yang diajukan para ahli untuk mengatasi problematika modern. Salah satu cara yang hampir disepakati secara bulat oleh para ahli adalah dengan cara mengembangkan kehidupan yang berakhlak dan bertasawuf. Bertasawuf disini diartikan sebagai jalan atau proses untuk menuju pada ketenangan batin. Yaitu melalui jalan untuk mendekatkan diri pada Tuhan.
Tujuan ajaran tasawuf sendiri adalah memperoleh hubungan langsung dan disadari dengan Tuhan, sehingga seseorang merasa dengan kesadarannya itu berada di dekat hadirat-Nya. Upaya ini antara lain dilakukan dengan kontemplasi, melepaskan diri dari jeratan dunia yang senantiasa berubah dan bersifat sementara.
Sikap dan pandangan sufistik ini sangat diperlukan oleh masyarkat modern yang mengalami jiwa yang terpecah sebagaimana disebutkan diatas. Dengan catatan, asalkan pandangan terhadap tujuan tasawuf tidak dilakukan secara eklusif dan individual, melainkan berdaya aplikatif dalam merespon segala masalah yang diihadapi.
Kemampuan berhubungan dengan Tuhan ini dapat mengintegrasikan seluruh ilmu pengetauan yang berserakan itu. Karena melalui tasawuf ini, seseorang di sadarkan bahwa sumber segala sesuatu, termasuk ilmu adalah Tuhan. Selanjutnya tasawuf melatih manusia agar memiliki ketajaman batin dan kehalusan budi pekerti. Sikap batin dan kehalusan ini akan membuat seseorang untuk mengutamakan pertimbangan kemanusiaan pada setiap masalah yang dia hadapi.
Demikian pula tarikat yang terdapat dalam tasawuf akan membawa manusia memiliki jiwa istiqomah dan jiwa yang selalu diisi dengan nilai-nilai ketuhanan. Ia selalu mempunyai pegangan dalam hidupnya. Keadaan demikian menyebabkan ia tetap tabah dan tidak mudah terhempas oleh cobaan yang akan membelokkan ke jurang kehancuran. Dengan demikian, stress, putus asa dan lainya akan dapat dihindari.
Poin terakhir problematika masyarakat modern diatas adalah kehilangan masa depannya, merasa sunyi dan kehampaan jiwa di tengah laju dunia modern. Menanggapi hal itu dalam tasawuf diajarkan untuk ibadah, berdoa, dzikir, taubah dan lain-lainnya. Inilah yang memberikan harapan pada kehidupan yang lebih bermakna, kehidupan yang lebih kekal yaitu akhirat.
Itulah beberapa sumbangan positif dari akhlak tasawuf dalam rangka memecahkan atau memberika solusi atas beberapa permasalahan yang terjadi dalam dunia modern. Akhlak tasawuf benar-benar menjadi alternatif terbaik yang mampu diterapkan dalam konsep kehidupan manusia. Maka sudah sewajarnya, kita bersama menyisipkan sedikit demi sedikit akhlak tasawuf dalam kehidupan kita agar segala sesuatu menjadi seimbang dan bermakna.