Senin, 12 April 2010

Kehidupan Dunia Dalam Pandangan Tasawuf

Sebenarnya al-Qur’an maupun hadis Rasulullah saw. memang banyak yang bernada “mendiskreditkan” dunia, namun banyak pula yang menganggapnya positif. Turunnya ayat-ayat yang bernada mendiskreditkan dunia, seperti dalam firman Allah:

“Kecelakaanlah bagi setiap pengumpat lagi pencela, Yang mengumpulkan harta dan menghitung-hitung, Dia mengira bahwa hartanya itu dapat mengkekalkannya, Sekali-kali tidak! Sesungguhnya dia benar-benar akan dilemparkan ke dalam Huthamah”.[3]

Ayat di atas tak lain karena berkaitan dengan sikap dan watak kafir Arab waktu itu, yang mengharapkan kekekalan dunia ini.

Sedangkan ajaran-ajaran yang memandang positif terhadap dunia, seperti dalam firman Allah:

“Dan carilah pada apa yang Telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah Telah berbuat baik, kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan”.[4]

Dari pemahaman terhadap ajaran-ajaran tadi, lahirlah pemaknaan yang menumbuhkan konsep zuhud dalam tasawuf. Dalam rentangan sejarahnya, pengaplikasian dari konsep ini dapat diklasifikasikan menjadi dua macam: yakni zuhud sebagai maqam dan zuhud sebagai akhlak Islam.

Dalam konsep zuhud sebagai maqam, dunia dan Tuhan dipandang sebagai dua hal harus dipisahkan. Contoh yang jelas adalah ketika Hasan al-Bashri mengingatkan kepada khalifah Umar bin Abdul Aziz: “Waspadalah terhadap dunia ini. Ia bagaikan ular yang lembut sentuhannya namun mematikan bisanya. Berpalinglah dari pesonanya karena sedikit terpesona, Anda akan terjerat olehnya…”.[5] Sedangkan Abdul Qadir al-Jailani dengan tegas menyatakan bahwa dunia adalah hijab akhirat, dan akhirat adalah hijab Tuhan. Bila berdiri bersama, maka jangan memperhatikan kepadanya, sehingga hati (sirr) bisa sampai di depan pintu-Nya. Pandangan seperti itu adalah hasil dari pemahaman terhadap ayat-ayat al-Qur’an dan hadis Nabi secara tekstual, bukan pemahaman secara kontekstual dan sosiologis. Jika memahaminya secara kontekstual dan sosiologis, maka perlu memperhatikan pada masa awalnya al-Qur’an diturunkan, kondisi masyarakat Arab mempunyai anggapan bahwa dunia adalah satu-satunya yang kekal dalam kehidupan ini. Mereka beranggapan bahwa dunia ini adalah tempat yang abadi. Di sini al-Qur’an memberikan jawaban terhadap sikap seperti itu[6].

Sedangkan zuhud sebagai akhlak Islam, bisa diberi makna sesuai dengan situasi dan kondisi setempat. Sikap para ulama sebagaimana telah disebutkan tadi, merupakan reaksi terhadap ketimpangan sosial, politik, dan ekonomi yang mengitarinya, yang pada suatu saat dipergunakan untuk memotovasi masyarakat dari keterpurukan ekonomi dan memobilisasi gerakan massa untuk menumpas berbagai macam bentuk ketidakadilan di muka bumi ini. Dengan demikian formulasinya bisa berbeda-beda sesuai dengan tuntunan zamannya. Oleh karena itu, sebagai akhlak Islam, zuhud bisa berbentuk ajaran Futuwwah dan [7]al-Itsar.

1 komentar:

Unknown mengatakan...

Subhanalah, semoga kita termasuk orang2 yang beruntung... Dunia tak meracuni pikiran ini amien..