Senin, 19 Juli 2010

Hakikat tasawuf

Arti tasawuf dalam agama ialah memperdalam ke arah bagian
rohaniah, ubudiah, dan perhatiannya tercurah seputar
permasalahan itu.

Agama-agama di dunia ini banyak sekali yang menganut
berbagai macam tasawuf, di antaranya ada sebagian orang
India yang amat fakir. Mereka condong menyiksa diri sendiri
demi membersihkan jiwa dan meningkatkan amal ibadatnya.

Dalam agama Kristen terdapat aliran tasawuf khususnya bagi
para pendeta. Di Yunani muncul aliran Ruwagiyin. Di Persia
ada aliran yang bernama Mani’; dan di negeri-negeri lainnya
banyak aliran ekstrim di bidang rohaniah.

Kemudian Islam datang dengan membawa perimbangan yang paling
baik di antara kehidupan rohaniah dan jasmaniah serta
penggunaan akal.

Maka, insan itu sebagaimana digambarkan oleh agama, yaitu
terdiri dari tiga unsur: roh, akal dan jasad. Masing-masing
dari tiga unsur itu diberi hak sesuai dengan kebutuhannya.
Ketika Nabi saw. melihat salah satu sahabatnya
berlebih-lebihan dalam salah satu sisi, sahabat itu segera
ditegur. Sebagaimana yang terjadi pada Abdullah bin Amr bin
Ash. Ia berpuasa terus menerus tidak pernah berbuka,
sepanjang malam beribadat, tidak pernah tidur, serta
meninggalkan istri dan kewajibannya. Lalu Nabi saw.
menegurnya dengan sabdanya:

“Wahai Abdullah, sesungguhnya bagi dirimu ada hak (untuk
tidur), bagi istri dan keluargamu ada hak (untuk bergaul),
dan bagi jasadmu ada hak. Maka, masing-masing ada haknya.”

Ketika sebagian dari para sahabat Nabi saw. bertanya kepada
istri-istri Rasul saw. mengenai ibadat beliau yang luar
biasa. Mereka (para istri Rasulullah) menjawab, “Kami amat
jauh daripada Nabi saw. yang dosanya telah diampuni oleh
Allah swt, baik dosa yang telah lampau maupun dosa yang
belum dilakukannya.”

Kemudian salah seorang di antara mereka berkata, “Aku akan
beribadat sepanjang malam.” Sedang yang lainnya mengatakan,
“Aku tidak akan menikah.” Kemudian hal itu sampai terdengar
oleh Rasulullah saw, lalu mereka dipanggil dan Rasulullah
saw. berbicara di hadapan mereka.

Sabda beliau:

“Sesungguhnya aku ini lebih mengetahui daripada kamu akan
makrifat Allah dan aku lebih takut kepada-Nya daripada kamu;
tetapi aku bangun, tidur, berpuasa, berbuka, menikah, dan
sebagainya; semua itu adalah sunnah Barangsiapa yang tidak
senang dengan sunnahku ini, maka ia tidak termasuk
golonganku.”

Karenanya, Islam melarang melakukan hal-hal yang
berlebih-lebihan dan mengharuskan mengisi tiap-tiap waktu
luang dengan hal-hal yang membawa manfaat, serta menghayati
setiap bagian dalam hidup ini.

Munculnya sufi-sufi di saat kaum Muslimin umumnya
terpengaruh pada dunia yang datang kepada mereka, dan
terbawa pada pola pikir yang mendasarkan semua masalah
dengan pertimbangan logika. Hal itu terjadi setelah masuknya
negara-negara lain di bawah kekuasaan mereka.

Berkembangnya ekonomi dan bertambahnya pendapatan
masyarakat, mengakibatkan mereka terseret jauh dari apa yang
dikehendaki oleh Islam yang sebenarnya (jauh dari tuntutan
Islam).

Iman dan ilmu agama menjadi falsafah dan ilmu kalam
(perdebatan); dan banyak dari ulama-ulama fiqih yang tidak
lagi memperhatikan hakikat dari segi ibadat rohani. Mereka
hanya memperhatikan dari segi lahirnya saja.

Sekarang ini, muncul golongan sufi yang dapat mengisi
kekosongan pada jiwa masyarakat dengan akhlak dan
sifat-sifat yang luhur serta ikhlas. Hakikat dari Islam dan
iman, semuanya hampir menjadi perhatian dan kegiatan dari
kaum sufi.

Mereka para tokoh sufi sangat berhati-hati dalam meniti
jalan di atas garis yang telah ditetapkan oleh Al-Qur,an dan
As-Sunnah. Bersih dari berbagai pikiran dan praktek yang
menyimpang, baik dalam ibadat atau pikirannya.

Banyak orang yang masuk Islam karena pengaruh mereka, banyak
orang yang durhaka dan lalim kembali bertobat karena jasa
mereka. Dan tidak sedikit yang mewariskan pada dunia Islam,
yang berupa kekayaan besar dari peradaban dan ilmu, terutama
di bidang makrifat, akhlak dan pengalaman-pengalaman di alam
rohani, semua itu tidak dapat diingkari.

Tetapi, banyak pula di antara orang-orang sufi itu terlampau
mendalami tasawuf hingga ada yang menyimpang dari jalan yang
lurus dan mempraktekkan teori di luar Islam, ini yang
dinamakan Sathahat orang-orang sufi; atau perasaan yang
halus dijadikan sumber hukum mereka.

Pandangan mereka dalam masalah pendidikan, di antaranya
ialah seorang murid di hadapan gurunya harus tunduk patuh
ibarat mayat di tengah-tengah orang yang memandikannya.

Banyak dari golongan Ahlus Sunnah dan ulama salaf yang
menjalankan tasawuf, sebagaimana diajarkan oleh Al-Qur’an;
dan banyak pula yang berusaha meluruskan dan
mempertimbangkannya dengan timbangan Al-Qur’an dan
As-Sunnah. Di antaranya ialah Al-Imam Ibnul Qayyim yang
menulis sebuah buku yang berjudul: “Madaarijus-Saalikin ilaa
Manaazilus-Saairiin,” yang artinya “Tangga bagi Perjalanan
Menuju ke Tempat Tujuan.” Dalam buku tersebut diterangkan
mengenai ilmu tasawuf, terutama di bidang akhlak,
sebagaimana buku kecil karangan Syaikhul Islam Ismail
Al-Harawi Al-Hanbali, yang menafsirkan dari Surat
Al-Fatihah, “Iyyaaka na’budu waiyyaaka nastaiin.”

Kitab tersebut adalah kitab yang paling baik bagi pembaca
yang ingin mengetahui masalah tasawuf secara mendalam.

Sesungguhnya, tiap-tiap manusia boleh memakai pandangannya
dan boleh tidak memakainya, kecuali ketetapan dan
hukum-hukum dari kitab Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah saw.
Kita dapat mengambil dari ilmu para sufi pada bagian yang
murni dan jelas, misalnya ketaatan kepada Allah swt, cinta
kepada sesama makhluk, makrifat akan kekurangan yang ada
pada diri sendiri, mengetahui tipu muslihat dari setan dan
pencegahannya, serta perhatian mereka dalam meningkatkan
jiwa ke tingkat yang murni.

Disamping itu, menjauhi hal-hal yang menyimpang dan
terlampau berlebih-lebihan, sebagaimana diterangkan oleh
tokoh sufi yang terkenal, yaitu Al-Imam Al-Ghazali. Melalui
ulama ini, dapat kami ketahui tentang banyak hal, terutama
ilmu akhlak, penyakit jiwa dan pengobatannya.

Syaikh Ahmad Al Badawiy RA. – Wali Qutb Al Ghouts

Setiap hari, dari pagi hingga sore, ia menatap matahari, sehingga kornea matanya merah membara. Apa yang dilihatnya bisa terbakar, khawatir terjadinya hal itu, saat berjalan ia lebih sering menatap langit, bagaikan orang yang sombong. Sejak masa kanak kanak, ia suka berkhalwat dan riyadhoh, pernah empat puluh hari lebih perutnya tak terisi makanan dan minuman. Ia lebih memilih diam dan berbicara dengan bahasa isyarat, bila ingin berkomunikasi dengan seseorang. Ia tak sedetikpun lepas dari kalimat toyyibah, berdzikir dan bersholawat. Dalam perjalanan riyadhohnya, ia pernah tinggal di loteng negara Thondata selama 12 tahun, dan selama 8 tahun ia berada diatas atap, riadhoh siang dan malam. Ia hidup pada tahun 596-675 H dan wafat di Mesir, makamnya di kota Tonto, setiap waktu tak pernah sepi dari peziarah.

Pada usia dini ia telah hafal Al-Qur’an, untuk memperdalam ilmu agama ia berguru kepada Syeikh Abdul Qadir al-Jailani dan syeikh Ahmad Rifai. Ia adalah Waliullah Qutbol Gaust, Assayyid, Assyarif Ahmad al Badawi. Suatu hari, ketika sang Murid telah sampai ketingkatannya, Sjech Abdul Qodir Jaelani, menawarkan kepadanya ; ”Manakah yang kau inginkan ya Ahmad Badawi, kunci Masriq atau Magrib, akan kuberikan untukmu”, hal yang sama juga diucapkan oleh gurunya Sayyid Ahmad Rifai, dengan lembut, dan menjaga tatakrama murid kepada gurunya, ia menjawab; ”Aku tak mengambil kunci kecuali dari Al Fattah (Allah )”.


Suatu hari datang kepadanya, seorang janda mohon pertolongan, anak lelakinya ditahan di Perancis, dan sang ibu ingin agar anak itu kembali dalam keadaan selamat. Oleh Sayyidi Ahmad Al Badawi, janda itu disuruhnya untuk pulang, dan berkata sayidi : “Insya Allah anak ibu sudah berada dirumah”. Bergegas sang ibu menuju rumahnya, dan betapa bahagia, bercampur haru, dan penuh keheranan, ia dapati anaknya telah berada di rumah dalam keadaan terbelenggu. Sayyidi al badawi banyak menolong orang yang ditahan secara Dholim oleh penguasa Prancis saat itu, dan semua pulang ke rumahnya dalam keadaan tangannya tetap terbelenggu.

Pernah suatu ketika Syaikh Ibnul labban mengumpat Sayyidi Ahmad Badawi, seketika itu juga hafalan Al-Qur’an dan iman Syaikh Ibnul labban menjadi hilang. Ia bingung dan berusaha dengan beristighosah dan meminta bantuan do’a, orang orang terkemuka di zaman itu (agar ilmu dan imannya kembali lagi), tetapi tidak satupun dari yang dimintainya doa, berani mencampuri urusannya, karena terkait dengan Sayyidi Ahmad Badawi. Padahal diriwayatkan, saat itu Sayyidi Al Badawi telah wafat. Orang terkemuka yang dimintainya doa, hanya berani memberi saran kepada Syaikh Ibnul labban, agar dia menghadap Syeikh Yaqut al-‘Arsyiy, waliullah terkemuka pada saat itu, dan kholifah sayyidi abil hasan Assadzili. Ibnu labban segera menemui Sjech Yaqut dan minta pertolongannya, dalam urusannya dengan sayyidi Ahmad Al badawi. Setelah dimintai pertolongan oleh Syaikh Ibnul labban, Syeikh Yaqut Arsyiy berangkat menuju ke makam Sayyidi al-Badawi dan berkata : “ Wahai guru, hendaklah tuan memberi ma’af kepada orang ini!”. Dari dalam makamnya, terdengar jawaban “Apakah kamu berkehendak untuk mengembalikan tandanya orang miskin itu ? ya…sudah, tapi dengan syarat ia mau bertaubat”. Syeikh Ibbnul Labbanpun akhirnya bertaubat, dan tidak lama kemudian kembalilah ilmu dan imannya seperti sedia kala dan ia juga mengakui kewalian Syeikh Yaqut, karena peristiwa tersebut. Ia kemudian dinikahkan dengan putrinya Syeikh Yaqut. (Di ambil dari kitab al-Jaami’).

Syeikh Muhammad asy-Syanawi menceritakan, bahwa pada waktu itu ada orang yang tidak mau menghadiri dan bahkan mengingkari peringatan maulidnya Syeikh Ahmad Badawi, maka seketika hilanglah iman orang itu dan menjadi merasa tidak senang terhadap agama Islam. Orang itu kemudian berziarah ke makamnya Sayyid Badawi untuk minta tolong dan memohon maaf atas kesalahannya. Kemudian terdengarlah suara sayyidi Badawi dari dalam kubur : “iya, saya ma’afkan, tapi jangan berbuat lagi. Na’am (iya) jawab orang itu, spontan imannya kembali lagi. Beliau lalu meneruskan ucapannya : “Apa sebabnya kamu mengingkari kami semua”. Dijawabnya : “Karena di dalam acara itu banyak orang laki-laki dan perempuan bercampur baur menjadi satu” (tanpa ada garis pembatas). Sayyidi Badawi lalu mengatakan : “Di tempat thowaf sana, dimana banyak orang yang menunaikan ibadah haji disekitar Ka’bah, mereka juga bercampur laki-laki dan perempuan, kenapa tidak ada yang melarang”. Demi mulianya Tuhanku, orang-orang yang ada untuk menghadiri acara maulidku ini tidaklah ada yang menjalankan dosa kecuali pasti mau bertaubat dan akan bagus taubatnya. Hewan-hewan di hutan dan ikan-ikan di laut, semua itu dapat aku pelihara dan kulindungi diantara satu dengan lainnya sehingga menjadi aman dengan idzin Allah. Lalu, apakah kiranya Allah Ta’ala, tidak akan memberi aku kekuatan untuk mampu menjaga dan memelihara keamanannya orang-orang yang menghadiri acara maulidku itu ?”

Suatu ketika Syeikh Ibnu Daqiqil berkumpul dengan Sayyidi Badawi, dan ia bertanya kepada beliau : “Mengapa engkau tidak pernah sholat, yang demikian itu bukanlah perjalanannya para shalihin“. Lalu beliau menjawab : “Diam kamu! Kalau tidak mau diam aku hamburkan daqiqmu (tepung)”. Dan di tendanglah Syeikh Daqiqil oleh beliau hingga berada disuatu pulau yang luas dalam kondisi tidak sadarkan diri. Setelah sadar, iapun termangu karena merasa asing dengan pulau tersebut. Dalam kebingungannya, datanglah seorang lelaki menghampirinya dan memberi nasehat agar jangan mengganggu orang type al-Badawi, dan sekarang kamu berjalanlah menuju qubah yang terlihat itu, nanti jika sudah tiba di sana kau berhentilah di depan pintu hingga menunggu waktu ‘ashar dan ikutlah shalat berjamaah dibelakangnya imam tersebut, sebab nanti Ahmad Badawi akan ikut di dalamnya. Setelah bertemu dia ucapkanlah salam, peganglah lengan bajunya dan mohonlah ampun atas ucapanmu tadi. Ia menuruti kata-kata orang itu yang tidak lain adalah Nabiyullah Khidir a.s. Setelah semua nasehatnya dilaksanakan, betapa terkejutnya ia karena yang menjadi imam sholat waktu itu adalah Sayyidi Badawi. Setelah selesai sholat ia langsung menghampiri dan menciumi tangan dan menarik lengan Sayyidi al-Badawi, sambil berkata seperti yang diamanatkan orang tadi. Dan berkatalah Sayyidi Badawi sambil menendang Syeikh Daqiqil,” Pergilah sana murid-muridmu sudah menantimu dan jangan kau ulangi lagi!. Seketika itu juga ia sudah sampai di rumahnya dan murid-muridnya telah menunggu kedatangan Syeikh Daqiqil. Dijelaskan bahwa yang menjadi makmum sholat berjamaah dengan Sayyidi Badawi pada kejadian itu adalah para wali.

Syekh Imam al Munawi berkata : “Ada seorang Syeikh yang setiap akan bepergian selalu berziarah di makamnya Syeikh Ahmad al Badawi untuk minta ijin, lalu terdengar suara dari dalam kubur dengan jelas :”Ya pergilah dengan tawakkal, Insya Allah niatmu berhasil, kejadian tersebut didengar juga oleh Syeikh abdul wahab Assya’roni, padahal saat itu Syeikh Ahmad al Badawi sudah meninggal 200 tahun silam, jadi para aulia’ itu walaupun sudah meninggal ratusan tahun, namun masih bisa emberi petunjuk.

Berkata Syeikh Muhammad al-Adawi : Setengah dari keindahan keramat beliau ialah, pada saat banyaknya orang yang ingin berusaha membatalkan peringatan maulidnya beliau, dimana orang-orang tersebut menghadap dan meminta kepada Syeikh Imam Yahya al-Munawiy agar beliau mau menyetujuinya. Sebagai orang yang berpengaruh dan berpendirian kuat pada masa itu, Syeikh Yahya tidak menyetujuinya, akhirnya orang-orang tersebut melapor kepada sang raja azh-Zhohir Jaqmaq. Sang rajapun berusaha membujuk agar Syeikh Yahya bersedia memberi fatwa untuk membatalkan maulidnya Sayyidi Badawi. Akan tetapi Syeikh Yahya tetap tidak mau dan hanya bersedia memberikan fatwa melarang keharaman-haraman yang terjadi di acara itu. Maka acara maulid tetap dilaksanakan seperti biasa. Dan Syeikh Yahya bekata kepada sang raja: “Aku tetap tak berani sama sekali berfatwa yang demikian, karena Sayyidi Badawi adalah wali yang agung dan seorang fanatik (malati = bahasa jawanya). Hai raja, tunggu saja, kamu akan tahu akibat bahayanya orang-orang yang berusaha menghilangkan peringatan maulid Sayyidi Badawi. Memang benar, tak lama kemudian mereka yang bertujuan menghilangkan peringatan maulid Sayyidi Badawi tertimpa bencana. Orang-orang tersebut ada yang dicopot jabatannya dan diasingkan oleh rajanya. Ada yang melarikan diri ke Dimyath akan tetapi kemudian ditarik kembali dan diberi pengajaran, dirantai dan dipenjara selama setengah bulan. Bahkan diantara mereka yang mempunyai jabatan tinggi dikerajaan itu lalu banyak yang ditangkap, disidang dengan kelihatan terhina, disiksa dan diborgol besi di depan majlis hakim syara’ lalu dihadapkan raja yang kemudian dibuang di negara Maghrib.

Sayyidi Ahmad Badawi pernah berkata kepada seseorang : “Bahwa pada tahun ini hendaknya kamu menyimpan gandum yang banyak yang tujuanmu nanti akan kau berikan kepada para fakir miskin, sebab nanti akan terjadi musim paceklik pangan. Kemudian orang tadi menjalankan apa yang diperintahkan beliau, dan akhirnya memang terbukti kebenaran ucapan Sayyidi Badawi.

Berkata al-Imam Sya’roni : “Pada tahun 948 H aku ketinggalan tidak dapat menghadiri acara maulidnya Sayyidi Badawi. Lalu ada salah satu aulia’ memberi tahu kepadaku bahwa Sayyidi Badawi pada waktu peringatan itu memperlihatkan diri di makamnya dan bertanya : “Mana Abdul Wahhab Sya’roni, kenapa tidak datang ?” Pada suatu tahun, al-Imam Sya’roni juga pernah berkeinginan tidak akan mendatangi maulid beliau. Lalu aku melihat beliau memegang pelepah kurma hijau sambil mengajak orang-orang dari berbagai negara. Jadi orang-orang yang berada dibelakangnya, dikanan dan kirinya banyak sekali tak terhingga jumlahnya. Terus beliau melewati aku di Mesir, sayyidi Badawi berkata : “Kenapa kamu tidak berangkat ?”. Aku sedang sakit tuan, jawabku. Sakit tidak menghalang-halangi orang cinta. Terus aku diperlihatkan orang banyak dari para aulia’dan para masayikh, baik yang masih hidup maupun yang sudah wafat, dan orang-orang yang lumpuh semua berjalan dengan merangkak dan memakai kain kafannya, mereka mengikuti dibelakang sayyidi Badawi menghadiri maulid beliau. Terus aku juga diperlihatkan jama’ah dan sekelompok tawanan yang masih dalam keadaan terbalut dan terbelenggu juga ikut datang menghadiri maulidnya. Lalu beliau berkata: lihatlah ! itu semua tidak ada yang mau ketinggalan, akhirnya aku berkehendak untuk mau menghadiri, dan aku berkata : Insya Allah aku hadir tuan guru ?. Kalau begitu kamu harus dengan pendamping, jawab sayyidi Badawi. Kemudian beliau memberi aku dua harimau hitam besar dan gajah, yang dijanji tidak akan berpisah denganku sebelum sampai di tempat. Peristiwa ini kemudian aku ceritakan kepada guruku Syeikh Muhammad asy-Syanawi, beliau lalu menjelaskan: memang pada umumnya para aulia’ mengajak orang-orang itu dengan perantaraan, akan tetapi sayyidi Ahmad Badawi langsung dengan sendirinya menyuruh orang-orang mengajak datang. Sungguh banyak keramat beliau, hingga al-Imam Sya’roni mengatakan,”Seandainya keajaiban atau keramat-keramat beliau kalau ditulis di dalam buku tidaklah akan muat karena terlalu banyaknya. Tetapi ada peninggalan Syeikh ahmad Badawi yang sangat utama, yaitu bacaan sholawat badawiyah sughro dan sholawat badawiyah kubro. Demikianlah sekelumit manakib Sayyidi Ahmad Al Badawi disajikan kehadapan pembaca, untuk dapat diambil hikmahnya, DUSTUR YA SAYYIDI AHMAD AL BADAWI (Dian Sag)

Sebait Dari Rabiah Untuk Usman

tuhanku, tenggelamkan aku dalam cintaMu
Hingga tak ada sesuatupun yang menggangguku dalam jumpaMu
Tuhanku, bintang-gemintang berkelap-kelip
Manusia terlena dalam buai tidur lelap
Pintu-pintu istana pun telah rapat tertutup
Tuhanku, demikian malampun berlalu
Dan inilah siang datang menjelang
Aku menjadi resah gelisah
Apakah persembahan malamku Kau Terima
Hingga aku berhak mereguk bahagia
Ataukah itu Kau Tolak, hingga aku dihimpit duka,
Demi kemahakuasaan-Mua
Inilah yang akan selalu ku lakukan
Selama Kau Beri aku kehidupan
Demi kemanusiaan-Mu,
Andai Kau Usir aku dari pintuMu
Aku tak akan pergi berlalu
Karena cintaku padaMu sepenuh kalbu


Ya Allah, apa pun yang akan Engkau
Karuniakan kepadaku di dunia ini,
Berikanlah kepada musuh-musuhMu
Dan apa pun yang akan Engkau
Karuniakan kepadaku di akhirat nanti,
Berikanlah kepada sahabat-sahabatMu
Karena Engkau sendiri, cukuplah bagiku


Aku mengabdi kepada Tuhan
Bukan karena takut neraka
Bukan pula karena mengharap masuk surga
Tetapi aku mengabdi,
Karena cintaku padaNya
Ya Allah, jika aku menyembahMu
Karena takut neraka, bakarlah aku di dalamnya
Dan jika aku menyembahMu
Karena mengharap surga, campakkanlah aku darinya
Tetapi, jika aku menyembahMu
Demi Engkau semata,
Janganlah Engkau enggan memperlihatkan keindahan wajahMu
Yang abadi padaku

Ya Allah
Semua jerih payahku
Dan semua hasratku di antara segala
Kesenangan-kesenangan
Di dunia ini, adalah untuk mengingat Engkau
Dan di akhirat nanti, diantara segala kesenangan
Adalah untuk berjumpa denganMu
Begitu halnya dengan diriku
Seperti yang telah Kau katakana
Kini, perbuatlah seperti yang Engkau Kehendaki


Aku mencintaiMu dengan dua cinta
Cinta karena diriku dan cinta karena diriMu
Cinta karena diriku, adalah keadaan senantiasa mengingatMu
Cinta karena diriMu, adalah keadaanMu mengungkapkan tabir
Hingga Engkau ku lihat
Baik untuk ini maupun untuk itu
Pujian bukanlah bagiku
BagiMu pujian untuk semua itu


Buah hatiku, hanya Engkau yang kukasihi
Beri ampunlah pembuat dosa yang datang kehadiratMu
Engkaulah harapanku, kebahagiaan dan kesenanganku
Hatiku telah enggan mencintai selain dari Engkau

Hatiku tenteram dan damai jika aku diam sendiri
Ketika Kekasih bersamaku
CintaNya padaku tak pernah terbagi
Dan dengan benda yang fana selalu mengujiku
Kapan dapat kurenungi keindahanNya
Dia akan menjadi mihrabku
Dan rahasiaNya menjadi kiblatku
Bila aku mati karena cinta, sebelum terpuaskan
Akan tersiksa dan lukalah aku di dunia ini
O, penawar jiwaku
Hatiku adalah santapan yang tersaji bagi mauMu
Barulah jiwaku pulih jika telah bersatu dengan Mu
O, sukacita dan nyawaku, semoga kekallah
Jiwaku, Kaulah sumber hidupku
Dan dariMu jua birahiku berasal
Dari semua benda fana di dunia ini
Dariku telah tercerah
Hasratku adalah bersatu denganMu
Melabuhkan rindu


Sendiri daku bersama Cintaku
Waktu rahasia yang lebih lembut dari udara petang
Lintas dan penglihatan batin
Melimpahkan karunia atas doaku
Memahkotaiku, hingga enyahlah yang lain, sirna
Antara takjub atas keindahan dan keagunganNya
Dalam semerbak tiada tara
Aku berdiri dalam asyik-masyuk yang bisu
Ku saksikan yang datang dan pergi dalam kalbu
Lihat, dalam wajahNya
Tercampur segenap pesona dan karunia
Seluruh keindahan menyatu
Dalam wajahNya yang sempurna
Lihat Dia, yang akan berkata
“Tiada Tuhan selain Dia, dan Dialah Yang maha Mulia.”


Rasa riangku, rinduku, lindunganku,
Teman, penolong dan tujuanku,
Kaulah karibku, dan rindu padaMu
Meneguhkan daku
Apa bukan padaMu aku ini merindu
O, nyawa dan sahabatku
Aku remuk di rongga bumi ini
Telah banyak karunia Kau berikan
Telah banyak..
Namun tak ku butuh pahala
Pemberian ataupun pertolongan
CintaMu semata meliput
Rindu dan bahagiaku
Ia mengalir di mata kalbuku yang dahaga
Adapun di sisiMu aku telah tiada
Kau bikin dada kerontang ini meluas hijau
Kau adalah rasa riangku
Kau tegak dalam diriku
Jika akku telah memenuhiMu
O, rindu hatiku, aku pun bahagia

Muhammad al-Faqih al-Muqaddam

Nasabnya.

Imam Muhammad bin Ali bin Muhammad Shahib Mirbath bin Ali bin Alwi Khlai’ Qasam bin Muhammad bin Alwi bin Ubaidillah bin al-Imam Ahmad al-Muhajir bin Isa al-Naqib bin Muhammad bin Ali al-Uraidhi bin Ja’far al-Shadiq bin Muhammad al-Baqir bin Ali Zainal Abidin bin Husein bin Imam Ali bin Abi Thalib.


Gelar al-Faqih al-Muqaddam.

Soal gelar yang disandangnya, karena Imam Muhammad bin Ali seorang guru besar yang menguasai banyak sekali ilmu-ilmu agama diantaranya ilmu fiqih maka beliau diberi gelar al-Faqih. Salah seorang guru beliau Ali Bamarwan mengatakan, bahwa beliau menguasai ilmu fiqih sebagaimana yang dikuasai seorang ulama besar yaitu al-Allamah Muhammad bin Hasan bin Furak al-Syafi’i’, wafat tahun 406 Hijriah. Sedangkan gelar al-Muqaddam berasal dari kata Qadam yang berarti lebih diutamakan, dalam hal ini waliyullah Muhammad bin Ali sewaktu hidupnya selalu diutamakan sampai setelah beliau wafat maqamnya yang berada di Zanbal Tarim sering diziarahi kaum muslimin sebelum menziarahi maqam waliyullah lainnya. Berkata Syaikh Ahmad bin Muhammad Baharmi, ‘Saya melihat Syaikhoin Abu Bakar dan Umar ra dalam mimpi berkata kepada saya, jika engkau ingin berziarah maka yang pertama kali diziarahi ialah al-Faqih al-Muqaddam Muhammad bin Ali, kemudian ziarahilah siapa yang engkau kehendaki’. Beliau adalah orang yang pertama kali membawa bendera tasawuf di Hadramaut.

Waliyullah Muhammad bin Ali dilahirkan di Tarim, beliau anak laki satu-satunya dari Imam Ali bin Muhammad Shahib Marbad yang menurunkan sekitar 75 leluhur kaum Alawiyin, sedangkan Imam Alwi bin Muhammad Shahib Marbad menurunkan kurang lebih 15 leluhur Alawiyin. Imam Muhammad bin Ali yang terkenal dengan nama al-Faqih al-Muqaddam ialah sesepuh kaum Alawiyin. Beliau dilahirkan pada tahun 574 H di Tarim. Beliau seorang yang hafal al-quran dan selalu sibuk menuntut berbagai macam cabang ilmu pengetahuan agama hingga mencapai tingkat sebagai mujtahid mutlak. Mengenai Imam al-Faqih al-Muqaddam Muhammad bin Ali, Sayyid Idrus bin Umar al-Habsyi dalam kitabnya Iqdul Yawaqiet al-Jauhariyah mengatakan, ‘Dari keistimewaan yang ada pada Sayyidina al-Faqih al-Muqaddam adalah tidak suka menonjolkan diri, lahir dan batinnya dalam kejernihan yang ma’qul (semua karya pemikiran) dan penghimpun kebenaran yang manqul (nash-nash Alquran dan Sunnah)’. Penulis buku al-Masyra’ al-Rawy berkata, ‘Beliau adalah seorang mustanbith al-furu’ min al-ushul (ahli merumuskan cabang-cabang hukum syara’ yang digali dari pokok-pokok ilmu fiqih. Ia adalah syaikh syuyukh al-syari’ah (mahaguru ilmu syari’ah) dan seorang Imam ahli hakikat, Murakiz Dairah al-Wilayah alRabbaniyah, Qudwah al-‘Ulama al-Muhaqqiqin (panutan para ulama ahli ilmu hakikat),Taj al-A’imah al-‘Arifin (mahkota para Imam ahli ma’rifat) dan dalam segala kesempurnaannya beliau berteladan kepada Amir al-Mukminin (Imam Ali bin Abi Thalib). Thariqahnya adalah kefakiran yang hakiki dan kema’rifatan yang fitrah.” Imam al-Faqih al-Muqaddam Muhammad bin Ali, wafat di kota Tarim tahun 653 hijriah.


Guru-gurunya.

Al-Faqih al-Muqaddam belajar dengan banyak guru, diantaranya syekh Ali bin Ahmad Bamarwan di mana beliau belajar ilmu usul fiqih. Ilmu tafsir dan hadits belaiu pelajari dari sayid Ali bin Muhammad bin Jadid. Ilmu tasawuf dan ilmu hakikat beliau pelajari dar sayid Salim bin Basri bin Abdullah bin Basri bin Ubaidillah bin Ahmad al-Muhajir. Selain itu beliau juga belajar kepada syekh Abdullah bin Abdurrahman Ubaid, syekh Ahmad bin Muhammad Baisa, syekh Muhammad bin Ahmad Abilhib al-Khatib, syekh Muhammad bin Ali al-Khatib dan sayid Alwi bin Muhammad Shahib Mirbath.

Ada tiga orang guru yang banyak mempengaruhi al-Faqih al-Muqaddam, mereka adalah ayahnya sayid Ali Bin Muhammad Shahib Mirbath, syekh Ahmad Bamarwan, dan guru yang tidak pernah dijumpainya secara zahir tetapi merupakan guru yang membukanya ke alam gaib, yaitu syekh Abu Madyan.


Al-Faqih al-Muqaddam Dan Syekh Said bin Isa al-Amudi.

Thariqah al-Saadah Bani Alawi bermula dari Al-Imam al-Ustadz al-A’zham al-Faqih al-Muqaddam yang merupakan silsilah yang tinggi dan mulia, kemudian bergabung dengan Syekh Said bin Isa al-Amudi[1], keduanya menerima khirqah dari Syekh Abu Madyan al-Maghribi melalui Syekh Abdullah al-Saleh al-Maghribi. Dengan kedua ulama tersebut kokohlah Thariqah Abi Alawi di Hadramaut dan negeri lain, dengan banyaknya murid mereka. Anak-anak dan murid-murid kedua Syekh tersebut menyebarkan qaidah-qaidah thariqah tersebut. Berkata sayid Alwi bin Thahir al-Haddad,’Bersatunya keluarga al-Amudi dan Saadah Bani Alawi sejak dulu disebabkan oleh keberkahan yang menyambungkan antara al-Faqih al-Muqaddam Muhammad bin Ali dengan Syaikh al-Kabir al-arif billah Syaikh Said bin Isa al-Amudi’. Al-Faqih al-Muqaddam dan Syekh Said bersama-sama membuat landasan thariqah mereka beserta dalil-dalilnya, diantara landasan tersebut adalah :

1. Meninggalkan cara kekerasan (mengangkat senjata) dalam menyebarkan thariqah mereka.

2. Menghindarkan perselisihan bila terjadi perbedaan dalam suatu perkara hukum.

3. Beramal berdasarkan peraturan yang telah ditetapkan oleh manhaj ahlu sunnah.

4. Menyebarkan ilmu dan da’wah kepada Allah swt dengan cara hikmah dan mau’izhah hasanah.

Yang dimaksud dengan meninggalkan kekerasan (mengangkat senjata) yaitu mengganti cara penyebaran thariqahnya dengan tanpa mengangkat senjata dalam kehidupan masyarakat. Begitu pula dengan Syaikh Said bin Isa al-Amudi yang membawa cara damai dalam menyebarkan thariqahnya ke Du’an. Dalam kitab Taj al-A’rasy halaman 199 disebutkan bahwa al-Faqih al-Muqaddam selalu dihiasi dengan kefakiran dan meninggalkan senjata dalam menyelesaikan semua urusan. Beliau juga berdoa untuk anak cucunya agar mempunyai kedudukan (maqam) dan hal dengan perantaraan senjata bathin.

Dengan landasan tersebut Allah memperlihatkan kebesaran ilmu dan akhlaq setelah mereka menjauhkan diri dari berbagai perdebatan dalam hukum dan segala bentuk perselisihan. Dan mereka mewariskan sifat-sifat tersebut kepada anak cucu dan pengikutnya dengan menekankan kepada pentingnya perdamaian antara manusia dan membuat kesepakatan keamanan di jalan-jalan maupun di pasar-pasar dengan qabilah-qabilah yang berseteru, membuang jauh-jauh perselisihan yang membuat lemah kekuasaan masing-masing pemimpinnya dan sebaliknya bersibuk diri kepada pekerjaan yang bermanfaat seperti bercocok tanam karena Hadramaut adalah negeri yang luas tanah pertaniannya dan perkebunan kurma dan sayurannya. Bahkan keutamaan mereka dapat dilihat disebabkan mereka berusaha untuk memperbaiki keadaan tanah mereka dan menyibukkan diri mereka dengan mengolahnya seperti telah dikerjakan oleh al-Imam Muhammad bin Ali Shahib Marbath, al-Imam al-Syaikh Ali bin Alwi Khali’ Qasam dan al-Imam al-Faqih al-Muqaddam dan orang-orang setelah mereka.

Dapat dikatakan bahwa keluarga Bani Alawi, mereka telah berjalan di atas madrasah Bani Alawi, mereka tidak lagi mencari manhaj lain kecuali manhaj Saadah Bani Alwi yang mereka pelajari dan ajarkan kepada yang lainnya hingga saat ini.

Sehingga dapat dilihat beberapa ulama didikan madrasah Bani Alawi yang diberkahi dan selalu mengambil dan menghubungkan sanad-sanad keilmuan mereka kepada sanad-sanad ulama yang lurus dalam thariqah mereka, dan tidak terdengar dari perkataan mereka kecuali mereka dapat dari para salaf mereka, dan tidak kita baca, memutuskan dan menetapkan suatu hukum kepada para murid-muridnya kecuali dengan apa yang mereka dapat dari para keluarga dan salaf mereka yang sholeh.

[1] Syaikh Said bin Isa al-Amudi menyambung nasabnya kepada khalifah Abubakar al-Shiddiq Sebagaimana telah dikuatkan oleh para ahli sejarah, salah satunya dijelaskan dalam kitab al-Syamil Fi Tarikh Hadramaut karangan Sayid Alwi bin Thahir al-Haddad dan kitab Idam al-Quut karangan Sayid Abdurahman bin Ubaidillah al-Saggaf .

Munajat Syaikh Ibnu Athaillah As Sakandary

Wahai Tuhanku, aku tetaplah fakir ketika aku kaya, bagaimana mungkin aku tidak fakir ketika aku memang fakir? Dan aku bodoh ketika aku tahu, lalu bagaimana mungkin aku tidak bodoh ketika aku memang bodoh?

Wahai Tuhanku, seluruh yang keluar dariku pantas dicela, dan seluruh yang berasal dari-Mu pantas dimuliakan. Jika Engkau tampakkan kebaikan-kebaikanku, maka itu adalah berkat anugerah-Mu kepadaku. Sedangkan jika Engkau tampakkan kesalahan-kesalahanku, maka engkau memiliki hujjah (argumen) atasku.

Wahai Tuhanku, bagaimana mungkin Engkau menyerahkan urusanku (kepada selain-Mu) padahal aku telah bertawakal kepada-Mu, dan bagaimana mungkin aku dizalimi padahal Engkau adalah penolongku?

Bagaimana mungkin aku akan kecewa padahal Engkau datang menuju-Ku? Inilah aku yang bertawasul kepadamu dengan kefakiranku.



Bagaimana mungkin aku bertawasul dengan sesuatu yang mustahil mengantarkanku kepada-Mu, bagaimana mungkin aku mengadukan kepada-Mu keadaanku padahal bagi-Mu segalanya tidak ada yang tersembunyi. Haruskah aku menerjemahkan pengaduan ini ke dalam bahasaku, padahal itu jelas berasal dari-Mu dan kembali kepada-Mu.

Bagaimana mungkin Engkau kecewakan segala harapku padahal telah aku gantungkan kepada-Mu, bagaimana mungkin engkau tidak memperbaiki keadaan (jiwa)-ku padahal hanya dengan pertolonganMu ia akan menjadi baik dan kembali kepada-Mu.

Wahai Tuhanku, alangkah engkau ramah kepadaku padahal aku bodoh. Alangkah Engkau sayang kepadaku padahal perbuatanku buruk. Alangkah Engkau mendekatkan diri kepadaku padahal aku menjauhkan diri kepada-Mu. Alangkah Engkau lembut kepadaku. Lalu apa lagi gerangan yang menghalangiku dari-Mu?

Wahai Tuhanku, setiap kali keburukanku membuatku bisu, maka setiap kali itu pula pemuliaan-Mu kepadaku menyapaku. Dan setiap kali sifat-sifatku membuatku putus asa, maka setiap kali itu pula anugarah-Mu membuatku penuh harap.

Wahai Tuhanku, jika kebaikan orang pada umumnya saja masih merupakan kesalahan buatku, maka bagaimana mungkin kesalahan mereka bukan merupakan kesalahan buatku?

Jika hakikat-hakikat yang dicapai orang pada umumnya masih merupakan dakwaan buatku, maka bagaimana mungkin dakwaan-dakwaan mereka bukan merupakan dakwaan buatku?

Wahai Tuhanku, bagaimana aku bisa berazam sementara Engkau adalah Maha Pemaksa? Dan bagaimana aku tidak berazam sementara Engkau memerintah untuk berazam?

Mondar-mandirnya aku di seputar kejadian-kejadian inderawi (atsar) sebenarnya meniscayakan adanya asal-muasal kejadian tersebut. Karena itu, satukanlah aku dengan-Mu dengan suatu khidmat yang mengantarkanku kepada-Mu. Bagaimana mungkin Engkau (perlu) ditunjukkan oleh suatu dalil yang wujudnya pun membutuhkan-Mu? Apakah mungkin selain-Mu dapat menciptakan selain ciptaan-Mu sehingga ia menjadi tampak di depan-Mu? Sejak kapan Engkau tersembunyi (gaib) sehingga Engkau membutuhkan dalil yang menunjukkan (keadaan)-Mu? Kapan pula Engkau jauh sehingga kejadian-kejadian inderawi itulah yang mengantarkan kepada-Mu?

Wahai Tuhanku, buatlah mata yang tidak melihat-Mu sebagai Maha Pemantau, dan rugilah pejamnya seorang hamba yang tidak mendapatkan jatah cinta kepada-Mu.

Wahai Tuhanku, inilah kehinaanku yang tampak di antara kedua tangan-Mu, dan inilah keadaan (jiwa)-ku yang tidak samar bagi-Mu. Hanya kepada-Mu aku minta, aku sampai kepada-Mu. Dan hanya Engkau yang menjadi dalilku tentang Engkau. Maka tunjukilah aku dengan cahaya-Mu dan selamatkanlah aku dengan kebenaran ubudiyah di depan-Mu.

Wahai Tuhanku, berilah aku ilmu dari ilmu-Mu yang tersimpan. Jagalah aku dengan rahasia nama-Mu yang terjaga. Gapaikanlah aku kepada hakikat-hakikat yang dicapai orang-orang dekat kepada-Mu. Tempuhkanlah aku ke jalan orang-orang yang ditarik-Mu. Cukupkanlah pengurusanku dengan pengurusan-Mu. Cukupkanlah pilihanku dengan pilihan-Mu. Tolonglah aku ‘atas labirin keterdesakanku (idhthirar). Keluarkanlah aku dari kehinaan diriku. Dan bersihkanlah aku dari keluhku dan syirikku sebelum aku meninggal.

Hanya kepada-Mu aku minta tolong, maka tolonglah aku. Hanya kepada-Mu aku bertawakal, maka janganlah Engkau serahkan urusanku kepada selainMu. Hanya kepada-Mu aku meminta, maka janganlah Engkau tidak memberiku. Hanya keutamaan-Mu yang aku sukai, maka janganlah Engkau kecewakan aku. Hanya kepada sisi-Mu aku bernisbah, maka janganlah Engkau jauhkan aku. Dan hanya di depan pintumu aku bersimpuh, maka janganlah engkau usir aku.

Wahai Tuhanku, sesungguhnya qadha dan qadar telah mengalahkanku. Hawa yang sangat cenderung kepada syahwat telah menawanku. Maka jadilah Engkau sebagai penolongku, sehingga Engkau menolongku dan menyadarkanku.

Dan cukupkanlah aku dengan karunia-Mu, sehingga dengannya aku tidak perlu lagi meminta.

Engkaulah yang telah memasukkan cahaya ke dalam hati para wali, dan engkaulah yang telah menghilangkan debu-debu dari sir (relung kesadaran paling dalam) para kekasih-Mu. Engkaulah yang telah mengakrabi mereka manakala mereka ditakutkan dengan alam. Dan Engkaulah yang memberi mereka petunjuk sehingga menjadi jelaslah bagi mereka alam semesta.

Apa yang ada jika Engkau tidak menciptakannya? Dan apa yang tiada jika Engkau menciptakannya?

Alangkah ruginya orang yang ridha kepada selainMu sebagai pengganti. Dan alangkah ruginya orang yang tetap terhalang dari-Mu.

Bagaimana mungkin selain diri-Mu ditolak padahal Engkau tak pernah berhenti berbuat baik (ihsan).

Bagaimana mungkin selain-Mu dapat dimohon padahal Engkau tak pernah mengubah keberlangsungan anugerah-Mu.

Wahai Zat yang kekasih-kekasih-Nya merasakan manisnya sapaan dari-Nya, sehingga mereka berdiri di depan-Nya sambil merayu.

Wahai Zat yang telah mengenakan para kekasih Nya dengan pakaian takut kepada-Nya, sehingga mereka menetap dalam keperkasaan-Nya.

Engkaulah yang zikir sebelum orang-orang berzikir. Engkaulah yang pertama kali berihsan sebelum hamba-hamba ahli ibadah. Engkau adalah lebih cepat memberi dari permintaan para peminta.

Dan Engkau adalah Maha Pemberi kepada kami, kemudian Engkau memberi kami selaku peminjam utang.

Maka, mintakanlah aku dengan rahmat-Mu sehingga aku sampai kepada-Mu. Dan tariklah aku dengan anugerah-Mu sehingga aku datang menuju-Mu.

Wahai Tuhanku, sesungguhnya harapku tak ‘kan pernah putus dari-Mu meski aku bermaksiat kepadaMu, sebagaimana aku tak ‘kan pernah berhenti takut meski aku takut kepada-Mu. Sesungguhnya alam telah mendorongku kepada-Mu. Dan ilmuku tentang pemuliaan-Mu kepada-Mu telah menolongku.

Lalu bagaimana mungkin aku kecewa padahal Engkau adalah harapanku. Bagaimana mungkin aku dihinakan padahal Engkau adalah sandaranku?

Bagaimana mungkin aku tenteram padahal dalam kehinaan Engkau ulangkan aku? Bagaimana mungkin aku tidak mulia padahal kepada Engkau aku bernisbah?

Engkaulah yang tiada Tuhan selain-Mu, maka engkau mengetahui segala sesuatu. Tidak ada sesuatupun yang luput dari-Mu. Dan Engkaulah yang memperkenalkanku kepada segala sesuatu. Maka aku lihat Engkau Suci dalam segala sesuatu. Engkau pun tampak dalam segala sesuatu.

Wahai Zat yang dengan rahmaniyah-Nya bersemayam di atas arsy-Nya, maka jadilah arsy itu gaib (tak terjangkau) dalam rahmaniyah-Nya, sebagaimana alam pun gaib di arsy-Nya.