Senin, 23 Mei 2011

Telaga Sufi di Bulan Suci


Wahai orang-orang yang beriman, diwajibkan puasa atas kamu sekalian, sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu, agar kamu sekalian bertakwa. (Al-Qur ‘an, Al-Baqarah 183)
Sulthanul Auliya’ Syekh Abdul Qadir al-Jaelani dalam kitabnya AI-Ghunyah mengupas,

bahwa kata Ramadlan itu terdiri lima huruf: R-M-DL-A-N. Huruf Ra’ – (R) berarti Ridlwanallah (Ridla Allah), huruf Mim (M) berarti Mahabatullah (Mencintai Allah), huruf Dlad (DL) berarti Dlamanullah (dalam jaminan Allah), huruf Alif (A) berarti Ulfatullah (kasih sayang Allah), dan huruf Nun (N) berarti Nurullah (cahayaAllah).

Karena itulah bulan suci Ramadlan disebut sebagai bulan Ridla, bulan Cinta, bulan Kasih Sayang, bulan Lindungan, bulan Cahaya, sekaligus sebagai bulan anugerah dan karamah bagi para auliya dan orang-orang yang berbuat kebajikan.

Disebutkan para ulama sufi, bahwa bulan Ramadlan jika dibandingkan dengan bulan-bulan lainnya, ibarat kalbu di dalam dada, ibarat para nabi dengan umat manusia, dan ibarat Tanah Suci Haram dibanding dengan bumi lainnya.

Hari-hari yang penuh dengan dahaga dan lapar, malam-malam penuh keagungan dan anugerah kita arungi bersama-sama, agar kita bisa bersembunyi di balik tirai Ilahi dalam puasa yang sungguh-sungguh puasa: Puasa Hakiki.

Sebab, Ramadlan itu sendiri merupakan salah satu nama dari sekian nama Allah. Karenanya, bulan Ramadlan merupakan Bulan Ilahi, dimana Allah sendiri yang membalas pahala-pahala mereka yang berpuasa. Seakan-akan memang ada rahasia agung yang sangat pribadi antara Allah dengan para hamba-Nya. Setidak-tidaknya, hakikat takwa benar-benar dilimpahkan pada hamba-hamba Allah yang berpuasa, sebagaimana disebutkan “Haqqa Tuqaatih”, takwa yang hakiki.

Sebuah hadits menyebutkan, “Janganlah kalian semua mengatakan Ramadlan, sebab Ramadlan itu adalah nama dari nama-nama Allah Ta’ala.”
Maka Allah sendiri juga menyebutkan dengan kalimat “Syahru Ramadlan”, bukan Ramadlan saja. Hal demikian menunjukkan betapa pentingnya bulan ini, bahkan betapa Allah Ta’ala sampai membuat wahana yang amat istimewa dan khusus terhadap bulan Ramadlan tersebut.

Dalam hadits Shahih riwayat Imam Muslim, Rasulullah SAW bersabda, - dalam Hadits Qudsi - “Allah Azzawa-Jalla berfirman: “Setiap amal manusia kembali padanya, kecuali puasa. Sesungguhnya puasa itu hanya untuk- Ku, dan Akulah yang akan membalasnya sendiri. Puasa itu merupakan tameng, manakala di hari puasa kalian, maka janganlah melakukan hubungan suami-istri dan jangan pula berbuat kotor. Maka apabila ada seserang memakinya, katakanlah :

“Aku ini orang yang berpuasa. Dan demi Dzat Yang Menguasai Jiwa Muhammad, sungguh bau mulut orang yang berpuasa itu di sisi Allah lebih harum dibandingkan misik, di hari kiamat nanti. “

Dalam hadits lain disebutkan, “Hendaknya kamu berpuasa, karena puasa itu tidak ada bandingannya.” (HR. Nasa’i)

Makna puasa itu sendiri adalah mengekang dan mengangkat. Artinya mengekang segala keinginan yang mendorong kita untuk menyimpang dari perintah dan kehendak Allah, mengekang dari segala keinginan untuk berpaling pada selain Allah.

Bahwa puasa itu merupakan ibadah yang tiada bandingnya, semata juga karena puasa itu merupakan jiwa penghapusan terhadap hal-hal yang berbau empiris. Sebab Ramadlan adalah nama Allah, suatu kegembiraan kita karena kita memasuki nama Allah. Sebab itulah puasa yang berarti meninggalkan, sangat berhubungan erat dengan proses hamba-hamba Allah dalam meninggalkan “keakuan, nafsu, dan seluruh sifat tercelanya” agar bisa fana’ ke hadirat Allah. Sebab dalam kata “meninggalkan” itu mengandung arti sebagai bentuk dari ketiadaan dan negasi, dan karenanya tidak ada bandingannya. Maksudnya, memasuki bulan Allah berarti juga tidak bisa membandingkan Allah dengan lainnya, sebagaimana dalam Al-Qur’an, “Tiada satu pun misal bagi-Nya. “

Intinya, puasa itu merupakan ibadah yang bisa menyempumakan spiritualitas para hamba. Bentuk-bentuk pengekangan itu sendiri mengandung pelajaran yang amat mahal nilainya. Setahun dalam 12 bulan, Allah memberi anugerah satu bulan saja, agar hamba-hamba-Nya menjadi merdeka. Merdeka dari seluruh ikatan duniawi, dan fana ‘kepada Allah dalam lembah bulan suci ini.

Mereka yang yang sedang menjalani bulan puasa, hakikatnya menempuh jalan kemerdekaan yang sesungguhnya. Hanya saja ada tipikal manusia berpuasa, sekadar menahan lapar dan dahaga, tetapi ia tidak mampu menahan godaan hawa nafsunya. Ada juga yang mampu menahan dahaga, sekaligus menahan diri dhahir dan batinya dari segala yang diharamkan Allah. Puncaknya adalah mereka yang berpuasa, menahan diri dari godaan fisik dan batin, sekaligus fana’ dalam Allah. Yang terakhir inilah disebut sebagai puasa Khawasul Khawas. Puasa dari segala hal selain Allah. Hanya kepada Allahlah dirinya hadir, dan tak ada lain kecuali kehadiran Allah dalam jiwanya.

Dalam tradisi Rasulullah SAW, bulan puasa merupakan bulan ubudiyah. Jika siang hari beliau menahan dari dari segala hal selain Allah, maka di malam hari beliau melakukan Qiyamul Lail, yang kelak disebut dengan tarawih, sebagai upaya bangkit dalam ma ‘rifatullah.




Setidak-tidaknya ada lima peristiwa besar berkait dengan bulan suci ini:

Pertama, bulan ini disebut dengan bulan Ramadlan, yang merupakan salah satu asma ‘ dari sekian asma’ Allah Ta’ala. Berarti, bulan ini adalah awal mula hamba-hamba-Nya memasuki asma’ Allah lewat pancaran cahaya ma’rifatnya. Ma’rifat Asma’, itulah awal dari pengenalan hamba- Nya kepada-Nya, lalu dilanjutkan dengan ma’rifat Sifat, dan terakhir ma’ ri fat bi-Nuridz-Dzat (ma’rifat dengan cahaya Dzatullah). Penghayatan terhadap ma’rifat itu, tidak akan tercapai manakala hamba Allah tidak mau mengekang dirinya, keakuannya, hasrat-hasrat nafsunya, egonya, dan kepentingan-kepentingannya, melainkan hamba harus puasa dari segala hal, kecuali hanya Allah belaka, sebagai tujuan dan sekaligus juga wahana penyaksian (musyahadahnya).

Kedua, bulan ini merupakan bulan di mana Kalamullah al-Qur’ an diturunkan dari Lauhul Mahfudz ke Langit Dunia secara global. Kalamullah itulah yang juga merupakan “ kepastian global” atas sejarah jagad raya ini. Turunnya al-Qur’an secara global, selaras dengan “Kun”-nya Allah, dan kelak melimpah secara historis dalam “Fayakuun”. Mengapa al-Qur’an diturunkan di bulan suci Ramadlan, karena Kalamullah itu adalah manifestasi dari sifat-Nya, “Al-Kalim”, di mana semaian wahananya haruslah mawjud pada asma ‘Nya, yaitu Ramadlan itu sendiri.

Ketiga, di bulan ini ada Lailatul Qadr. Malam yang melebihi seribu bulan cahaya. Cahaya bulan itu sendiri merupakan pantulan dari matahari, dan manakala tiada matahari, bulan tak bercahaya, maka terjadi kegelelapan yang dahsyat. Dengan kata lain, Lailatul Qadr merupakan wahana di mana Cahaya-cahaya Allah itu mawjud, dalam jiwa-jiwa hambaNya yang beriman. Pendaran cahaya-Nya yang melebihi ribuan cahaya bulan, hanyalah simbol betapa tak terkirakan Cahaya-Nya itu. Mereka yang mempunyai jiwa yang telah fana , dalam “kegelapan malam fana’ul fana”’, adalah jiwa mereka yang mampu menyaksikan dalam musyahadah Cahaya-Nya. Karena itu, kefana ‘an itu hanya akan termawjud manakala para hamba itu senantiasa berdzikir, bertaqarrub, bermuqarabah, dan bertaubah dalam arti yang hakiki. Sebab Cahaya-cahaya-Nya, hanya bisa disongsong oleh Sirrul ‘Abdi, sebagai puncak ketakwaan hamba Allah itu sendiri. Sirrul ‘Abdi adalah hakikat kehambaan yang final. Wujudnya adalah adalah kesimaan hamba dalam kebaqa ‘an-Nya, sehingga sang hamba tak lagi “ada” , dan yang ada hanyalah Yang Maha Ada dalam Abadi-Nya.

Keempat, di bulan ini para hamba menuai kemerdekaan dan kebebasan yang sesungguhnya. Sebab pintu-pintu surga dibuka, pintu-pintu neraka ditutup, syetan-syetan dibelenggu. Disebut merdeka dan bebas, karena para hamba dibebaskan diri dari upaya terikat oleh kepentingan duniawi, kepentingan ukhrawi, bahkan kepentingan dari segala hal selain Allah. Sebab, kebebasan itu tidak terwujud secara hakiki manakala hamba masih diperbudak oleh selain Allah. Wujudnya adalah cahaya hati yang terang benderang sebagai “Rumah Allah” dalam jiwanya, sebagaimana disebutkan, dalam sebuah hadits, “Qalbul Mu ‘mini Baitullah” (hati orang yang beriman adalah Rumah Allah).

Kelima, munculnya dua kegembiraan: kegembiraan pertama, adalah ketika mereka yang berpuasa itu melakukan buka puasa (ifthar), dan kegembiraan kedua adalah kegembiraan ketika bertemu Tuhannya. Kegembiraan pertama bisa disebut sebagai kegembiraan lahiriah, dan kegembiraan kedua bisa disebut sebagai kegembiraan batiniah. Atau yang pertama adalah kegembiraan fana ‘nya hamba dalam kefitrahannya (dan karena itu disebut ifthar), lalu yang kedua adalah fana ‘ul fana’ dalam kebaqa’an-Nya, ketika menemui Tuhannya. Dua kegembiraan inilah yang sangat ditunggu-tunggu oleh hamba-hamba Allah. Hamba yang telah berfitrah, sekaligus hamba yang telah menjadi “Cermin Ilahi” dalam liqa’ (bertemu) dengan-Nya.

Mereka yang telah melakukan tradisi puasa sufistik, senantiasa akan merasakan puasa selama lamanya. Sebab di bulan Ramadlan itulah hamba Allah berada dalam khauf dan raja’ (ketakutan dan harapan), lalu meningkat lagi menjadi dalam qabdl dan basth (ketergenggaman dalam Kuasa Ilahi dan keleluasaan dalam rahmat-Nya), bahkan ada yang mencapai haibah dan uns (dalam lembah Kharisma Ilahi sekaligus juga dalam pelukan kemesraan yang tiada tara). Maka puasa, sesungguhnya adalah “perjuangan jiwa” yang disebut sebagai jihadul akbar (perjuangan besar).



-M Luqman Hakiem-

Bulan Ilahi itu Ramadlan Namanya


Allah Turun ke muka bumi,
dengan Ridla, Mahabbah, Dloman, Ulfah, dan Nur-Nya.
Katanya bulan itu melebihi pendaran seribu purnama,


karena Senyum Ilahi membungkus Gairah RinduNya
Kecintaan Agung kepada para hambaNya.

Bulan itu, Ramadlan namanya.
Tak ada kenangan paling indah sepanjang masa,
kecuali kenangan yang tercitra jadi impian keabadian.
Allah, Meridloi kita, ketika kaki kita melangkah pertama, di pintu-pintu syurga.
Allah mengunci neraka, bara nafsu, dan memenjarakan liarnya hewani kita,
Allah membelenggu syetan-syetan yang berselingkuh di bilik urat nadi jiwa.
Lalu Allah memaafkan kita, Allah mencintai kita, Allah membebaskan kita.
Tak ada yang mengenang lebih panjang, lebih indah,
dibanding dengan pelaminan syurga di muka semesta.
Ketika dua pecinta berpandangan dengan cahaya jiwa,
lalu berpelukan dalam keteguhanhakiki,
lalu saling melepas dalam jarak kerinduan agungnya.

Ketika seluruh cahaya berkumpul,
Ruh-ruh suci menyatu,
milyaran Malaikat berhamburan,
dalam barisan-barisan yang digerakkan oleh
Kemahabesaran dan Kemahaindahan….
Disanalah Malam Kepastian (Lailatul Qadar):
Mahkota-mahkota Pengantin Ilahi dikenakan.
Keharuan yang melahirkan airmata.
Airmata yang yang bergolak dalam gelombang cinta dan kasih,
menjadi bahan-bahan jagad semestaraya.

Kelopak mata kita yang sembab ini
adalah kelopak “Kun’’, dan ketika “Fayakuun”,
airmata itu membelah pipi-pipi tulip Kemaha-IndahanNya,
dalam KemahabesaranNya.

Lalu selembar Lauhul Mahfudz di GenggamanNya
Sekadar untuk mencatat Kisah CintaNya,
Lalu disana tertulis

“Puasa ini hanya untukKu wahai hambaKu dan kekasihKu
Biar aku sendiri yang membalas cintamu, luruh kerinduanmu
Karena Aku mencintaimu”

Amboi, gulungan-gulungan ombak di di samuderaNya
Bunga-bunga dibermusim di Syajarah KauniyahNya
Mengembang dengan warna-warni:

RidlaNya
MahahabbahNya
DlomanNya
UlfahNya
NurNya

Lima macam bunga yang menghapus
seluruh keindahan dan semerbak semesta
Entah apa namanya, bidadarikah itu,
atau syurga-syurgaNya?

Yang jelas, tarian-tarian syurgawi itu mengepakkan sayap-sayap Keindahan
Sebab Mahkota Ilahi segera diturunkan, di selubung rahasia gua Hira
Dalam pelukan panglima Ruh
Jibril.

Dari kesunyian itu cahaya muncah menerangi kegelapan semesta
Kekafiran, kemusyrikan, kezaliman, ketidakadilan, ketakaburan
Kemunafikan, kefasikan, kecintaan duniawi
Keangkuhan, kepameran, ketakjuban diri,
Kekeroposan, kedengkian, dan irihati,
Tipusmuslihat, kedustaan, dan kebinatangan
Lapisan-lapisan kegelapan.
Hangus dalam cahayanya
Cahaya dari Maha Cahaya
Di Bulan Cahaya
Untuk lahirkanya Sayyidina yang bercahaya
Muhammad yang bercahaya
Agar lahir hamba-hamba yang bercahaya
Melalui malam paling bercahaya
Allahu Akbar!

Zuhud


Dasar dan zuhud adalah ilmu dan cahaya yang memancar dalam kalbu dan melapangkan dada. Dengan cahaya itu akhirat jelas lebih baik dan kekal. Perbandingan dunia dengan akhiratpaling sederhana adalah ibarat buah-buahan dengan permata.

Allah Swt. berfirman:
“Dan janganlah kamu tunjukkan kedua matamu kepada apa yang telah Kami berikan kepada golongan-golongan dari mereka, sebagai bunga kehidupan dunia untuk Kami coba mereka dengannya. Dan karunia Tuhan kamu adalah lebih baik dan lebih kekal.” (Q.s. Thaha: 131)

Dan Allah swt. berfirman:
”Barangsiapa yang menghendaki keuntungan di akhirat akan Kami tambah keuntungan baginya dan barangsiapa yang menghendaki keuntungan di dunia Kami berikan kepadanya sebagian keuntungan di dunia dan tidak ada baginya suatu bagian pun di akhirat.” (Q.s. Asy-Syuura: 20).

Tentang hak Qarun, Allah swt. berfirman:
“Maka keluarlah Qarun kepada kaumnya dalam kemegahannya. Berkatalah orang-orang yang menghendaki kehidupan dunia, ‘Moga-moga kiranya kita mempunyai seperti apa yang telah diberikan kepada Qarun; sesungguhnya Ia benar-benar mempunyai keberuntungan yang besar’ Berkatalah orang-orang yang dianugerahi ilmu,‘Kecelakaan yang besarlah bagimu, pahala Allah adalah lebih baik bagi orang-orang yang beriman dan beramal saleh’.” (Q.s. Al-Qashash: 79-80).

Dijelaskan pula bahwa zuhud merupakan salah satu buah ilmu. Rasulullah saw. bersabda: “Barangsiapa yang pagi-pagi, dengan tujuan utamanya adalah dunia, Allah akan mencerai-beraikan urusannya, memporak-porandakan pekerjaannya dan menjadikan kefakirannya ada di depan matanya, serta tidak memberinya bagian dunia, kecuali yang telah ditetapkan kepadanya. Dan barangsiapa yang pagi-pagi bertujuan akhirat, Allah akan menghimpun keinginan-keinginannya, memelihara pekerjaannya, menjadikan kekayaannya ada dalam kalbunya, dan dunia mendatanginya dalam keadaan patuh.”

Ketika ditanya tentang firman Allah Swt :
“Barangsiapa yang Allah menghendaki akan memberikan kepadanya petunjuk, niscaya Dia melapangkan dadanya untuk (memeluk) Islam. Dan barangsiapa yang dikehendaki Allah kesesatannya, niscaya Allah menjadikan dadanya sesak lagi sempit.” (Q.s. Al-An’am: 125).

Yakni, tentang arti dan pengertian As-Syarhu (lapang), Rasulullah Saw. menjawab, “Ketika cahaya memasuki kalbu, ia jadi lapang dan luas.”
Ditanyakan kepada beliau, “Apakah hal itu memiliki tanda-tanda tertentu?”
“Benar,“ jawab Rasulullah, “memisahkan diri dari negeri yang penuh tipu daya, dan kembali pada negeri keabadian, serta mempersiapkan untuk mati sebelum datangnya maut.”

Rasulullah Saw juga bersabda, “Malulah kepada Allah dengan sebenar-benarnya!”
Dikatakan kepada beliau, “Kami memang malu.”
Rasulullah Saw. menimpali, ‘‘Kalian membangun apa yang tidak kalian tempati dan kalian memakan apa yang tidak kalian makan.”
Selanjutnya Rasulullah Saw. bersabda, “Barangsiapa yang hidup zuhud di dunia, Allah memasukkan hikmah ke dalam kalbunya, menjadikan lisannya berbicara dengan (penuh) hikmah, memberitahunya tentang penyakit dunia dan obatnya, serta mengeluarkannya dari dunia dengan selamat (sejahtera) menuju ke negeri yang penuh kedamaian (Darus salam).”

Sabda beliau pula, “Seorang hamba itu tidak akan mencapai kesempurnaan hakikat iman, sehingga ia lebih mencintai untuk tidak dikenal daripada dikenal, dan sesuatu yang sedikit itu lebih ia cintai daripada sesuatu yang banyak.”
Dan sabda Rasulullah saw. berikutnya, “Jika Allah hendak mengaruniakan kebaikan kepada seseorang, Dia jadikan ia zuhud di dunia, menjadikan senang di akhirat, dan diperlihatkan cacat dirinya.”

Sabda beliau, “Hidup zuhudlah di dunia, niscaya kalian dicintai Allah swt, dan berzuhudlah terhadap apa yang jadi milik manusia, niscaya manusia mencintai diri kalian!”
Sabdanya pula, “Barangsiapa berkeinginan untuk diberi ilmu oleh Allah tanpa belajar, dan petunjuk tanpa hidayat, maka hendaklah ia hidup zuhud di dunia.”
Hidup zuhud memiliki esensi, dasar dan buah. Esensi zuhud adalah, menjauhkan diri dari kehidupan dunia dan memalingkan diri darinya, penuh kepatuhan semaksimal mungkin.
Dasar dari zuhud adalah ilmu dan cahaya yang memancar dalam kalbu, dan melapangkan dada. Dengan cahaya itu akhirat jelas lebih baik dan kekal. Perbandingan dunia dengan akhirat paling sederhana adalah ibarat buah-buahan dengan permata.
Sedangkan buah zuhud adalah merasa cukup dengan apa adanya, untuk sekadar memenuhi kebutuhan, sekadar biaya penumpang kendaraan.
Sementara dasar dari hidup zuhud itu adalah cahaya ma’rifat yang membuahkan hal menjauhkan diri dari dunia. Ini menjelma pada anggota tubuh berupa sikap mencegah diri dari dunia, kecuali sekadar memenuhi kebutuhan sebagai bekal perjalanan. Bekal darurat di tengah jalan adalah tempat tinggal, pakaian, makanan dan perkakas rumah.

Makanan memiliki jangka waktu dan takaran tertentu. Jangka waktu makanan yang terpendek atau terdekat adalah sekadar merasa cukup dengan mengganjal rasa lapar pada waktu itu pula. Jika makanan itu sekadar untuk makan pagi, maka ia tidak menyimpan makanan untuk makan malam. Jangka waktu sederhana adalah menyimpan makanan untuk rentang waktu sebulan sampai empat puluh hari saja; dan yang lebih minim lagi, menyimpan makanan untuk satu tahun. Bila melampaui jangka waktu tersebut, itu berarti telah keluar dari seluruh kategori hidup zuhud. Kecuali ia memiliki kasab yang tidak bersumber dari kekuasaan; seperti Daud At-Tha’ie. Dia adalah orang yang memiliki 20 dinar. Ia menahan uang tersebut dan merasa puas dengan sejumlah uang itu selama 20 tahun; yang demikian ini tidak membatalkan tahap dan derajat zuhud di akhirat, kecuali bagi orang yang mensyaratkan adanya tawakal dalam hidup zuhud itu sendiri.
Ukuran dan takarannya minimal setengah adalah satu kati, dan takaran yang tertinggi ialah satu thud. Lebih dari takaran tersebut, berarti membatalkan maqam hidup zuhud.

Jenis makanan tersebut adalah makanan pokok sehari-hari, walaupun hal itu berupa tepung kasar. Jenis sederhana adalah roti gandum, dan jenis yang tertinggi adalah roti gandum yang tidak diayak. Bila diayak, tergolong hidup mewah, bukan hidup zuhud. Rempah-rempahnya, yang paling rendah adalah cuka, sayur dan garam. Jenis sederhana adalah minyak, dan jenis tertinggi ialah daging. Itu pun seminggu sekali, atau dua kali. Jika berlangsung lama, orang tersebut bukanlah orang yang hidup zuhud.

Aisyah r.a. berkata, “Selama empat puluh malam di rumah Rasulullah Saw, lampu ataupun api tidak pernah dinyalakan.”
Dikatakan, selama tiga hari sejak tiba di Madinah, Rasulullah Saw. belum pernah kenyang dengan roti gandum.
Sedangkan pakaian, minimal adalah pakaian yang dapat menutupi aurat dan melindungi diri dari panas dan dingin. Sedangkan paling mewah adalah pakaian yang berupa baju, celana, sarung dan jenis yang kasar, kemudian bila mencuci pakaian, ia tidak mendapatkan pakaian lain sebagai gantinya. Orang yang memiliki dua baju bukanlah orang yang hidup zuhud.
Aisyah r.a, kata Abu Dzar, pernah mengeluarkan pakaian yang bertambal-tambal dan sarung kasar, lalu dia berkata, ”Rasulullah Saw. bertahan dengan dua macam pakaian ini.”

Rasulullah Saw. pernah salat dengan mengenakan pakaian dan tenunan bulu, setelah mengucapkan salam, beliau bersabda, ”Aku disibukkan dengan melihat baju ini, bawalah baju ini ke Abu Jahm (Al-Hadist).”
Tali sandal beliau telah usang, lalu (oleh salah seorang sahabat) diganti dengan tali sandal yang baru. Seusai salat beliau bersabda, “Kembalikanlah tali sandal yang usang, sungguh aku melihat (tali baru) dalam salat.”
Beliau takjub terhadap keindahan sepasang sandalnya itu, spontan beliau sujud, lalu bersabda, “Keindahan sepasang sandal itu membuatku kagum, maka aku tunduk kepada Tuhanku, khawatir Dia membenciku.”
Selanjutnya beliau keluar dengan mengenakan sepasang sandal tersebut, dan kemudian diberikan kepada orang miskin yang pertama kali beliau lihat (temui).
Baju Umar r.a. diperkirakan memiliki dua belas tambalan, di antara tambalan itu berasal
dari kulit.

Adapun Ali r.a, di masa pemerintahannya membeli pakaian seharga 3 dirham, lalu memotong lengan bajunya itu sampai di pergelangan tangan seraya berkata, “Segala puji bagi Allah, ini termasuk pakaian yang mewah.”
Di antara mereka juga berkata, ”Aku menaksir pakaian dan sandal Sufyan seharga satu dirham dan 2/6 dirham.”
Ali r.a. berkata, “Sesungguhnya Allah telah memberikan hidayat kepada para pemimpin agar mereka seperti halnya manusia kelas bawah, agar kaum yang kaya meneladani mereka dan tidak merendahkan kefakiran si orang miskin, karena dia sendiri juga fakir.”

Tempat tinggal (rumah) dalam ukuran paling sederhana adalah, Anda puas dengan salah Satu sudut di dalam masjid, atau sebuah tempat pondokan ahli shuffah. Rumah termewah bagi orang yang hidup zuhud adalah dia berupaya mencari tempat khusus, yaitu sebuah ruangan atau kamar, baik dengan jalan dibeli ataupun disewa, dengan syarat luasnya tidak melebihi kebutuhan, tidak terlalu tinggi dan dia tidak mempermasalahkan akan catnya.
Dalam sebuah atsar disinyalir, bahwa orang yang meninggikan bangunan rumahnya lebih dari enam hasta, dipanggil oleh penyeru, “Hendak ke mana wahai orang yang paling fasik? Sedang Rasulullah saw. meninggal dunia, tidak pernah menata batu-bata dan bambu.”
Abdullah bin Umar r.a. berkata, “Rasulullah Saw melintasi kami yang sedang mengerjakan atau mendirikan rumah dari bambu, maka beliau bersabda, “Sesungguhnya persoalannya lebih cepat dari itu. Nabi Nuh as. membuat rumah dan bambu. Maka dinyatakan kepada beliau, Jika kamu mau, kamu dapat membuatnya dari tanah.’ ’Ini sudah cukup untuk orang yang akan mati,’ jawab beliau’.”


Rasulullah Saw. bersabda, “Barangsiapa membangun (rumah) di atas atau lebih dari kebutuhannya, maka akan dibebankan kepadanya pada hari Kiamat.”
Beliau juga bersabda:
“Setiap bangunan (rumah) adalah beban bagi pemiliknya pada hari Kiamat, kecuali yang (sekadar) melindunginya dari panas dan dingin.”



Tentang perkakas dan perabot rumah, ada tingkatan-tingkatan tersendiri. Yang terendah atau paling sederhana adalah seperti keadaan Nabi Isa Ibnu Maryam as, sebab yang beliau miliki hanyalah sisir dan sebuah cangkir. Ketika melihat orang menyisir rambutnya dengan jari-jemari, beliau membuang sisir miliknya; juga saat melihat orang lain minum dengan menggunakan tangannya, maka beliau pun membuang cangkirnya.
Perabot atau perkakas dengan mutu sedang adalah menggunakan jenis perabot kasar, satu buah untuk setiap tujuan, dan berupaya sekuat tenaga untuk menggunakan satu perabot tersebut untuk beberapa tujuan.

Umar r.a. berkata kepada Umair bin Sa’ied, gubernur Hamsh, “Harta-benda apakah yang kamu miliki?”
”Aku memiliki tongkat yang kugunakan untuk bersandar dan membunuh ular ketika aku menjumpainya. Aku juga memiliki kantong kulit, tempat menaruh (menyimpan) makananku; dan aku memiliki mangkuk besar, kugunakan makan, membasuh kepala dan pakaianku. Aku juga punya bejana, di Situ aku menaruh minumanku dan air wudhu’ku. Selain harta-benda itu semua, maka hal tersebut mengikuti saja terhadap apa yang ada padaku,” jawab Umair bin Sa’ied. “Kamu benar,” kata Umar.
Al-Hasan berkata, ‘Aku pernah mendapatkan 70 orang saleh, tidak seorang pun dari mereka yang memiliki pakaian, kecuali hanya satu. Dan tidak seorang pun yang melepaskan satu pakaian untuk diletakkan di tanah.”

Alas tidur Rasulullah Saw. sendiri, bantalnya terbuat dari kulit yang berisikan sabut kasar.
Inilah riwayat dan perjalanan para zahid di dunia. Orang yang mencegah diri dan derajat ini, maka tidak sedikit pun yang menyesal karena hilangnya martabat semacam itu. Dia pasti gigih untuk lebih mendekati mereka, daripada mendekati orang-orang yang berfoya-foya dengan kehidupan duniawi.

Ada beberapa tingkatan hidup zuhud:
Pertama, dia hidup zuhud, sementara nafsunya cenderung pada dunia, namun ia terus berjuang dan memeranginya. Ia adalah orang yang berupaya hidup zuhud (mutazahhid), bukan zahid. Sungguh demikian, awal orang yang zuhud adalah upaya hidup zuhud (mutazahhid).
Kedua, dirinya berpaling dari dunia, sama sekali tidak cenderung kepadanya. Karena dia tahu, bahwa kompromi antara kenikmatan dunia dan akhirat sangatlah mustahil. Maka jiwanya dibiarkan meninggalkan dunia, sebagaimana seseorang yang mengorbankan dirham, guna mendapatkan permata, meskipun dirham itu sangat ia cintai. Inilah hidup zuhud.
Ketiga, jiwanya tidak cenderung dan tidak berpaling dari dunia. Baginya, ada dan tiadanya harta-benda (dunia) adalah sama. Harta bagi dia seperti air, perbendaharaan (khazanah) Allah seperti samudera.

Itulah sebabnya, hatinya tidak pernah bergerak, baik itu karena cinta ataupun berpaling dari harta-benda. Tingkatan ini yang paling sempurna, karena orang yang benci terhadap sesuatu, disibukkan oleh sesuatu itu sendiri, sebagaimana orang yang mencintainya.
Karena itu, Rabi’ah Al-Adawiyah mencela dunia, “Kalau tidak karena berharganya dunia, dalam hati Anda sekalian, tentu kalian tidak akan mencelanya.”
Suatu ketika uang sejumlah seratus dirham dibawa kepada Aisyah ra. Beliau tidak berpaling dan uang tersebut, namun membagi-bagikannya atau memisah-misahkannya untuk dibagi hari itu.

“Jika Anda mau, Anda bisa membeli daging dengan uang dirham itu untuk makan,” kata pembantunya.
Aisyah r.a. menjawab, “Andaikata kamu mengingatkanku, tentu akan kulakukan. Inilah yang disebut kaya itu, dan inilah yang lebih sempurna dari zuhud. Tetapi itu adalah sasaran praduga tipu daya terhadap orang yang pandir. Sebab, setiap orang yang tertipu itu merasakan dalam dirinya, bahwa tidak ada kaitan antara kalbu dan dunia. Tanda-tanda dan hal itu adalah, dia tidak merasakan perbedaan antara pencurian terhadap harta-benda miliknya dan pencurian terhadap harta-benda orang lain. Selama dia masih merasakan perbedaan itu, maka dia disibukkan olehnya.”

Hidup zuhud yang sempurna adalah zuhud dalam zuhud. Yakni, dia tidak menganggap hidup zuhud itu sebagai derajat tertentu. Sebab, orang yang meninggalkan kehidupan dunia dan mengira bahwa dirinya meninggalkan sesuatu, identik dengan mengagungkan dunia. Karena dunia atau harta-benda bagi mereka yang memiliki mata hati, tiada berarti apa pun. Pemilik harta-benda itu ibarat orang yang dihalang-halangi anjing di depan pintu istana raja maka ia berikan sepotong roti pada anjing tersebut, sehingga si anjing pun sibuk dengan urusan makanan itu, lalu ia pun masuk ke dalam istana raja dan duduk di atas singgasananya. Dan anjing yang ada di depan pintu istana Allah itu adalah setan, seluruh isi dunia nilainya lebih sedikit dari sepotong roti tadi bila dibandingkan dengan kerajaan sang raja. Sebab, sepotong roti itu dinisbatkan kepada sang raja, yang bisa binasa dengan nilai sepadannya. Sedangkan kehidupan akhirat tidaklah fana’, tidak binasa, tidak seperti kehidupan dunia, sebab akhirat itu tanpa batas.

Ditinjau dari motif-motifnya, zuhud itu terbagi dalam tiga tingkatan, yaitu:
Pertama, motivasi zuhud itu adalah rasa takut (khauf) terhadap api neraka. Ini adalah zuhudnya orang-orang yang takut (al-kha’fun).
Kedua, motivasi zuhud yang berupa cinta pada kenikmatan akhirat. Ini lebih tinggi dari yang pertama. Inilah zuhud orang-orang yang berharap (ar-raajun). Ibadat yang berdasarkan rasa harap (ar-raja’) lebih utama dari ibadat yang berdasarkan rasa takut (al-khauf). Karena rasa harap itu mengantarkan pada rasa cinta (mahabbah).
Ketiga, ini lebih tinggi lagi. Motivasi zuhud di sini adalah sikap menjauhkan diri dari perhatian terhadap selain Al-Haq, sebagai upaya menyucikan diri dari selain Al-Haq dan sebagai sikap mengecilkan selain Allah Swt. Ini adalah zuhud orang-orang yang ma’rifatullah (al-‘arifuun). Inilah zuhud yang hakiki. Sedangkan dua bentuk zuhud sebelumnya adalah sekadar muamalat, sebab bisa saja si zahid dalam dua tingkatan di atas lepas dan sesuatu harapan masa kini (dunia) untuk diganti dengan masa depan (akhirat) yang pahalanya berlipat ganda.

Zuhud ditinjau dari kandungan isinya terbagi dalam tiga tingkatan pula. Sedangkan zuhud yang sempurna adalah hidup zuhud meninggalkan selain Allah Swt. di dunia dan akhirat. Sedangkan tingkatan di bawahnya adalah hidup zahud meninggalkan dunia, tanpa akhirat. Berarti ia meninggalkan segala bentuk kesenangan di dunia termasuk di dalamnya, baik itu berupa harta-benda, kehormatan, jabatan dan kenikmatan duniawi.

Tingkatan di bawahnya lagi adalah hidup zuhud dan harta-benda, namun tanpa meninggalkan kedudukan atau kehormatan. Atau, hidup zuhud dalam beberapa hal, tanpa meninggalkan lainnya. Dan zuhud itu tergolong lemah, karena kedudukan itu lebih menggiurkan daripada harta-benda; maka zuhud dengan meninggalkan kedudukan itu lebih utama.

Hidup zuhud sendiri adalah, Anda menjauhkan diri dari dunia sepenuhnya menurut kemampuan. Kemudian bila dunia itu menjauhi Anda, sedangkan Anda masih mencintainya, maka itu adalah kefakiran, bukannya zuhud. Walaupun demikian, kefakiran itu memiliki keistimewaan dibanding kaya, karena fakir atau miskin itu mencegah diri dari bersenang-senang dengan kelezatan duniawi. Ini lebih utama daripada orang yang diberi kemampuan untuk menguasai harta-benda dan bersenang-senang dengannya hingga ia terbiasa merasa tenang dengan gelimang harta-benda tersebut. Kalbunya pun tidak bisa jauh dari kenikmatan. Akhirnya, semakin besar dan keras penyakit serta kerugiannya menjelang mati. Lalu dunia itu seakan-akan surga, dan bagi si miskin seakan-akan penjara. Karena si kaya merasa bersih dari bencana dunia.
Padahal kemiskinan atau kefakiran adalah faktor-faktor yang menjadi sebab kebahagiaan.
Nabi Muhammad Saw. bersabda, “Sesungguhnya Allah Swt. melindungi hamba-Nya dari harta-benda, sedangkan
ia mencintainya, seperti salah seorang di antara kalian melindungi (keluarganya) yang sakit, dari makanan dan minuman.”
Sabda beliau pula:
“Orang-orang miskin dari umatku masuk surga sebelum orang-orang kaya dari mereka dengan tenggang waktu lima ratus tahun.”

Sabdanya, “Sebaik-baik umat ini adalah orang-orang miskinnya.”
Sabdanya, “Jika kamu melihat orang miskin datang, maka katakanlah, ‘Selamat datang dengan syiar orang-orang saleh. ‘Jika kamu melihat orang kaya datang, maka katakanlah, ‘Dosa yang disegerakan balasannya’.”

Nabi Musa as. pernah bertanya, “Wahai Tuhanku, siapakah kekasih-kekasih-Mu di antara makhluk-Mu hingga aku dapat mencintai mereka demi Engkau?” “Setiap orang fakir,“ jawab-Nya.
Perlu diingat, bahwa walaupun orang miskin itu puas dengan apa yang dianugerahkan kepadanya, juga tidak terlalu berambisi untuk meminta dan berusaha. Derajat dan tingkatannya mendekati derajat dari tingkatan orang zuhud.

Rasulullah Saw. bersabda, “Berbahagialah siapa yang diberi petunjuk Islam, sedangkan kehidupannya cukup dan ia merasa puas dengan kehidupan yang demikian itu.”
Beliau juga bersabda, “Orang-orang fakir yang sabar adalah sahabat-sahabat Allah Swt.”
Sabdanya, “Hamba-hamba yang paling disenangi oleh Allah adalah orang fakir yang rela (puas).”
Allah Swt. pernah menurunkan wahyu kepada Nabi Ismail as, “Memohonlah kepada-Ku di sisi orang-orang yang remuk hatinya!”
“Siapakah mereka?” tanya Nabi Ismail.
“Orang-orang fakir yang jujur,“ jawab-Nya.
Jadi, pahala orang fakir itu menjadi besar ketika dia puas, rela dan sabar. Rela, puas dan sabar bagi orang miskin merupakan awal ke-zuhud-an. Tingkatan ini hanya bisa sempurna dengan sabar.

Waliyullah Gunung Pring


Kiai Haji Nahrowi Dalhar

Kiai Haji Nahrowi Dalhar atau Mbah Dalhar dikenal sebagai ulama yang mumpuni. Belum lama ini sosok Kiai Ahmad Abdul Haq meninggal dunia. Kiai kharismatik ini adalah putra dari kiai Dalhar yang juga dikenal sebagai salah satu wali

yang masyhur di tanah Jawa. Mbah Dalhar begitu panggilan akrabnya adalah mursyid tarekat Syadziliyah dan dikenal sebagai seorang yang wara’ dan menjadi teladan masyarakat.
Kiai Haji Dalhar , Watucongol, Magelang dikenal sebagai salah satu guru para ulama. Kharisma dan ketinggian ilmunya menjadikan rujukan umat Islam untuk menimba ilmu. Mbah Dalhar , begitu panggilan akrabnya adalah sosok yang disegani sekaligus panutan umat Islam, terutama di Jawa Tengah. Salah satu mursyid tarekat Syadziliyah ini dikenal juga menelorkan banyak ulama yang mumpuni.

Mbah Dalhar dilahir kan pada 10 Syawal 1286 H atau 10 Syawal 1798 – Je (12 Januari 1870 M) di Watucongol, Muntilan, Magelang, Jawa Tengah. Lahir dalam lingkungan keluarga santri yang taat. Sang ayah yang bernama Abdurrahman bin Abdurrauf bin Hasan Tuqo adalah cucu dari Kyai Abdurrauf. Kekeknya mbah Dalhar dikenal sebagai salah seorang panglima perang Pangeran Diponegoro. Adapun nasab Kyai Hasan Tuqo sendiri sampai kepada Sunan Amangkurat Mas atau Amangkurat III. Oleh karenanya sebagai keturunan raja, Kyai Hasan Tuqo juga mempunyai nama lain dengan sebutan Raden Bagus Kemuning.
Semasa kanak – kanak, Mbah Dalhar belajar Al-Qur’an dan beberapa dasar ilmu keagamaan pada ayahnya sendiri. Pada usia 13 tahun baru mondok di pesantren. Ia dititipkan oleh ayahnya pada Mbah Kyai Mad Ushul (begitu sebutan masyhurnya) di Dukuh Mbawang, Ngadirejo, Salaman, Magelang. Di bawah bimbingan Mbah Mad Ushul , ia belajar ilmu tauhid selama kurang lebih 2 tahun.

Kemudian tercatat juga mondok di Pondok Pesantren Al-Kahfi Somalangu, Kebumen pada umur 15 tahun. Pesantren ini dipimpin oleh Syeikh As Sayid Ibrahim bin Muhammad Al-Jilani Al-Hasani atau yang ma’ruf dengan laqobnya Syeikh Abdul Kahfi Ats-Tsani. Selama delapan tahun mbah Kyai Dalhar belajar di pesantren ini. Selama itulah Mbah Dalhar berkhidmah di ndalem pengasuh. Hal itu terjadi atas dasar permintaan ayahnya kepada Syeikh As Sayid Ibrahim bin Muhammad Al-Jilani Al-Hasani.

Jalan Kaki dan Pemberian Nama Baru
Tidak hanya di daerah sekitar Mbah Dalhar menimba ilmu. Di Makkah Mukaramah berliau berguru kepada beberapa alim ulama yang masyhur. Perjalalannya ke tanah suci untuk menuntut ilmu terjadi pada tahun 1314 H/1896 M. Mbah Kyai Dalhar diminta oleh gurunya, Syeikh As Sayid Ibrahim bin Muhammad Al-Jilani Al-Hasani untuk menemani putera laki – laki tertuanya Sayid Abdurrahman Al-Jilani Al-Hasani untuk menuntut ilmu di Mekkah. Syeikh As Sayid Ibrahim bin Muhammad Al-Jilani Al-Hasani berkeinginan menyerahkan pendidikan puteranya kepada shahib beliau yang menjadi mufti syafi’iyyah Syeikh As Sayid Muhammad Babashol Al-Hasani
Keduanya berangkat ke Makkah dengan menggunakan kapal laut melalui pelabuhan Tanjung Mas, Semarang. Ada sebuah kisah menarik tentang perjalanan keduanya. Selama perjalanan dari Kebumen da singgah di Muntilan , kemudian lanjut sampai di Semarang, Mbah Dalhar memilih tetap berjalan kaki sambil menuntun kuda yang dikendarai oleh Sayid Abdurrahman. Hal ini dikarenakan sikap takdzimnya kepada sang guru. Padahal Sayid Abdurrahman telah mempersilahkan mbah Kyai Dalhar agar naik kuda bersama.
Di Makkah (waktu itu masih bernama Hejaz), mbah Kyai Dalhar dan Sayid Abdurrahman tinggal di rubath (asrama tempat para santri tinggal) Syeikh As Sayid Muhammad Babashol Al-Hasani yaitu didaerah Misfalah. Sayid Abdurrahman dalam rihlah ini hanya sempat belajar pada Syeikh As Sayid Muhammad Babashol Al-Hasani selama 3 bulan, karena beliau diminta oleh gurunya dan para ulama Hejaz untuk memimpin kaum muslimin mempertahankan Makkah dan Madinah dari serangan sekutu. Sementara itu mbah Kyai Dalhar diuntungkan dengan dapat belajar ditanah suci tersebut hingga mencapai waktu 25 tahun.
Syeikh As_Sayid Muhammad Babashol Al-Hasani inilah yang kemudian memberi nama “Dalhar” pada mbah Kyai Dalhar. Hingga ahirnya beliau memakai nama Nahrowi Dalhar. Dimana nama Nahrowi adalah nama asli beliau. Dan Dalhar adalah nama yang diberikan untuk beliau oleh Syeikh As Sayid Muhammad Babashol Al-Hasani. Rupanya atas kehendak Allah Swt, mbah Kyai Nahrowi Dalhar dibelakang waktu lebih masyhur namanya dengan nama pemberian sang guru yaitu Mbah Kyai “Dalhar”. Allahu Akbar.
Ketika berada di Hejaz inilah mbah Kyai Dalhar memperoleh ijazah kemursyidan Thariqah As-Syadziliyyah dari Syeikh Muhtarom Al-Makki dan ijazah aurad Dalailil Khoerat dari Sayid Muhammad Amin Al-Madani. Dimana kedua amaliyah ini dibelakang waktu menjadi bagian amaliah rutin yang memasyhurkan.
Mbah Kyai Dalhar adalah seorang ulama yang senang melakukan riyadhah. Sehingga pantas saja jika menurut riwayat shahih yang berasal dari para ulama ahli hakikat sahabat – sahabatnya, beliau adalah orang yang amat akrab dengan nabiyullah Khidhr as. Sampai – sampai ada putera beliau yang diberi nama Khidr karena tafaullan dengan nabiyullah tersebut. Sayang putera beliau ini yang cukup ‘alim walau masih amat muda dikehendaki kembali oleh Allah Swt ketika usianya belum menginjak dewasa.

Selama di tanah suci, mbah Kyai Dalhar pernah melakukan khalwat selama 3 tahun disuatu goa yang teramat sempit tempatnya. Dan selama itu pula beliau melakukan puasa dengan berbuka hanya memakan 3 buah biji kurma saja serta meminum seteguk air zamzam secukupnya. Dari bagian riyadhahnya, beliau juga pernah melakukan riyadhah khusus untuk mendoakan para keturunan beliau serta para santri – santrinya. Dalam hal adab selama ditanah suci, mbah Kyai Dalhar tidak pernah buang air kecil ataupun air besar di tanah Haram. Ketika merasa perlu untuk qadhil hajat, beliau lari keluar tanah Haram.
Selain mengamalkan dzikir jahr ‘ala thariqatis syadziliyyah, mbah Kyai Dalhar juga senang melakukan dzikir sirr. Ketika sudah tagharruq dengan dzikir sirrnya ini, mbah Kyai Dalhar dapat mencapai 3 hari 3 malam tak dapat diganggu oleh siapapun. Dalam hal thariqah As-Syadziliyyah ini menurut kakek penulis KH Ahmad Abdul Haq, beliau mbah Kyai Dalhar menurunkan ijazah kemursyidan hanya kepada 3 orang. Yaitu, Kyai Iskandar, Salatiga ; KH Dimyathi, Banten ; dan kakek penulis sendiri yaitu KH Ahmad Abdul Haq. Sahrallayal (meninggalkan tidur malam) adalah juga bagian dari riyadhah mbah Kyai Dalhar. Sampai dengan sekarang, meninggalkan tidur malam ini menjadi bagian adat kebiasaan yang berlaku bagi para putera – putera di Watucongol.

Murid dan Karya – karyanya
Karya mbah Kyai Dalhar yang sementara ini dikenal dan telah beredar secara umum adalah Kitab Tanwirul Ma’ani. Sebuah karya tulis berbahasa Arab tentang manaqib Syeikh As-Sayid Abil Hasan ‘Ali bin Abdillah bin Abdil Jabbar As-Syadzili Al-Hasani, imam thariqah As-Syadziliyyah. Selain daripada itu sementara ini masih dalam penelitian. Karena salah sebuah karya tulis tentang sharaf yang sempat diduga sebagai karya beliau setelah ditashih kepada KH Ahmad Abdul Haq ternyata yang benar adalah kitab sharaf susunan Syeikh As-Sayid Mahfudz bin Abdurrahman Somalangu. Karena beliau pernah mengajar di Watucongol, setelah menyusun kitab tersebut di Tremas. Dimana pada saat tersebut belum muncul tashrifan ala Jombang.

Banyak sekali tokoh – tokoh ulama terkenal negara ini yang sempat berguru kepada beliau semenjak sekitar tahun 1920 – 1959. Diantaranya adalah KH Mahrus, Lirboyo ; KH Dimyathi, Banten ; KH Marzuki, Giriloyo dan lain sebagainya. Sesudah mengalami sakit selama kurang lebih 3 tahun, Mbah Kyai Dalhar wafat pada hari Rabu Pon, 29 Ramadhan 1890 – Jimakir (1378 H) atau bertepatan dengan 8 April 1959 M. Ada yang meriwayatkan jika beliau wafat pada 23 Ramadhan 1959. Akan tetapi 23 Ramadhan 1959 bukanlah hari Rabu namun jatuh hari Kamis Pahing. (Oleh: Nurul Huda)

Tembang Sufi Nusrat Khan


Biasa dengar lagu Allahu oleh Raihan. Sebenarnya lagu itu asalnya dinyanyikan oleh Sir Nusrat Fateh Ali Khan atau yang dikenal dengan Nustrat Khan. Kepiwaiannya dalam bermusik mengantarakan sosoknya

menjadi orang termasyhur sejagat. IA seorang lagenda dalam musik Qawwali jenis musik trasisional India yang syarat dengan nilai nilai sufistik. WAlaupun sebagaian mengatakan bahwa banyak mengandung unsur syiah.

Namun demikian, nusrat adalah musisi yang banyak mendapatkan perhatian. Baik oleh kalangan musisi dunia seperti Peter Gabriel hinnga Mic Jagger, beberapa musisi nasyid sekarang banyak terisniptasi olehnya. Tidak salah kalau TIME tanggal 6 November 2006, “60 Tahun dari Asia Heroes”, daftar Nusrat sebagai salah satu dari 12 seniman atas dan Pemikir dalam 60 tahun terakhir

Penyanyi rock dunia, Mick Jagger pernah menyempatkan diri menonton konser musisi yang satu ini. Ia begitu kagum luar biasa. Ia bahkan ikut larut dalam tembang yang dinyanyikan Nustat Khan. “ Beruntung aku dapat tempat duduk yang tepat sehingga dapat menyaksikansendiri reaksi para penonton terhadap Qawali. Sebagaimana di setiap sajian Qawalli, pujian kepada Alloh SWT selalu mengawali acara. Sebagian besar orang-orang Muslim itupun langsung jatuh kedalam ekstasi karena kekuatan hamd : Alloh hu, Alloh hu Alloh hu , dibelakang sebuah meja, persis di depan panggung, saya lihat Mick Jagger mengayun-ayunkan kepala dan bahunya mengikuti irama seolah tersihir,” kata Prof Ali Akbar. Bahkan ia menyebutnya dengan manusia dengan suara terindah di muka bumi.

Nusrat Fateh Ali Khan dikenal sebagai musisi yang masyhur. Pria kelahiran Pakistan 13 Oktober 1948 dikenal di seluruh dunia sebagai penyanyi yang mempunyai kemapuan luar biasa. Khususnya penyanyi Qawwali yaitu musik puji-pujian para sufi. Ia berhasil membawa musik sufi ke level internasional dan menciptakan generasi baru pecinta Qawwali, baik di Pakistan maupun di seluruh dunia. Nustrat adalah anak kelima dan putra pertama dari Ustad Fateh Ali Khan, seorang musikolog, vokalis, instrumentalis, dan Qawwal.

Secara tradisional, Qawwali dipraktekkan turun temurun. Keluarga Nusrat (yang berasal dari Afganistan) memiliki tradisi yang tak terputus dalam mementaskan qawwali selama 600 tahun. Salah satu julukan kehormatannya adalah Shahenshah-e-Qawwali, berarti Kaisar Qawwali (Emperor of Qawwals).
Khan mulai dengan belajar memainkan tabla dengan ayahnya, sebelum belajar pada Raag Vidya dan Bol Bandish. Pada tahun 1971, Nusrat menjadi pemimpin group musik Qawalli yang didirikan bersama keluarganya. Hasil rekamannya disiarkan diradio sebagai dari sebuah festival musik Jashn-e-Baharan. Khan bernyanyi terutama dalam bahasa Urdu dan Punjabi dan kadang-kadang dalam bahasa Persia, Brajbhasha dan Hindi.
Adapun hit besar pertamanya di Pakistan adalah lagu Haq Ali Ali, yang dilakukan dengan gaya dan instrumentasi tradisional. Kariernya mulai meroket setelah menandatangi kerjasama dengan perusahaan rekaman Oriental Star Agencies (OSA) Birmingham Inggris. Label ini yang mensopnsori tur konser
di Inggris pada era 80-an.

Beberapa Penghargaan
Banyak musisi yang pernah bekerjasama dengannya. Ia pernah bekerja sama dengan dedengkot World Music, Peter Gabriel tahun 1985, Peter Gabriel kemudian merilis lima album Nusrat’s Qawwali tradisional, bersama-sama dengan beberapa karya eksperimental-nya yang termasuk album Mustt Mustt dan Rise Star. Kemudian musisi Kanada Michael Brook bekerjsama di album Mustt Mustt (1990) dan Song Night (1996) Nama lainnya adalah vokalis Pearl Jam Eddie Vedder dalam 1995.
Beberapa penghargaan pernah diterimanya . Ia memenangkan Hadiah Budaya Asia Fukuoka VII 1996. Pada tahun 1997 albumnya masuk nominasi Grammy Award di Amerik untuk kategori musik rakyat tradisional.

Khan jatuh sakit dengan gagal ginjal dan hati dan meninggal 11 Agustus 1997 di London. Ia wafat Inggris dalam perjalanan ke Los Angeles untuk menerima transplantasi ginjal. Jenazahnya kemudian dibawa ke Faisal abad, Pakistan dan pemakamannya dihadiri oleh banyak orang.(Oleh: Nurul Huda)

Ilmu-Ilmu Tasawuf


Syekh Abul Hasan Syadzily
Beliau r.a. berkata: Ilmu-ilmu ini adalah benteng-benteng dan penjelasan terhadap posisi-posisi jiwa, bersitan-bersitan, tipu dayanya, dan kehendaknya, serta memutus hati

dari memperhatikan, bersantai, dan bertenteraman (dengan ego) di atas jalan tauhid dan syariat dengan kemurnian cinta dan keikhlasan agama dengan sunah.
Mereka mempunyai beberapa tambahan dalam maqam-maqam keyakinan dari zuhud, sabar, harap, takut, tawakal, ridha, dan lain-Iainnya yang termasuk maqam-maqam yakin. Inilah jalan orang-orang yang menuju (kepada Allah) dalam metode interaksi.



Adapun ahlullah dan hamba-hamba istimewa-Nya, maka mereka adalah kaum yang ditarik Allah dari kejahatan dan pangkal-pangkalnya. Dia pekerjakan mereka kepada kebaikan dan cabang-cabangnya. Dia limpahkan kecintaan khalwat pada mereka, dan Dia buka jalan munajat bagi mereka. Sehingga Dia mengenalkan diri-Nya lantas mereka mengenal-Nya. Dia menumbuhkan cinta pada mereka, maka mereka mencintai-Nya. Dan Dia Yang Menunjukkan jalan, lalu mereka menempuhnya. Jadi, mereka senantiasa dengan-Nya serta untuk-Nya. Dia tidak membiarkan mereka untuk selain-Nya dan tidak mendinding mereka dari-Nya. Bahkan, mereka terdinding dengan-Nya dari selain-Nya, tidak mengenal selain-Nya, dan tidak cinta kecuali kepada-Nya. “Mereka itulah orang-orang yang telah diberi Allah petunjuk dan mereka itulah orang-orang yang mempunyai akal” (QS Az-Zumar 39;18).

Hakikat Jalan (Tasawuf)
Jalan ini tidak ditempuh dengan kerahiban, makan gandum, kulit padi, maupun sisa produksi. Akan tetapi, dengan kesabaran dan keyakinan dalam petunjuk. Allah SWT berfirman, “Dan Kami jadikan di antara mereka itu pemimpin-pemimpin yang memberi petunjuk dengan perintah Kami ketika mereka sabar (dalam menegakkan kebenaran) dan adalah mereka meyakini ayat-ayat kami, Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang memberikan keputusan di antara mereka pada hari Kiamat tentang apa yang selalu mereka perselisihkan padanya.” (QS. As-Sajadah [32]: 24-25)

Dan, pelabuhan ini sungguh mulia, padanya lima perkara: sabar, takwa, wara’, yakin, dan makrifat. Sabar apabila disakiti, takwa dengan tidak menyakiti, wara’ terhadap yang keluar masuk dari sini —dan dia menunjuk mulutnya— dan pada hati, bahwa tidak menerobos ke dalamnya selain apa yang dicintai oleh Allah dan Rasul-Nya, juga keyakinan dalam rezeki, dan makrifat terhadap al-Haqq yang tidak akan hina seseorang bersamanya kepada siapa pun dari makhluk. “Bersabarlah (hai Muhammad) dan Tiadalah kesabaranmu itu melainkan dengan pertolongan Allah dan janganlah kamu bersedih hati terhadap (kekafiran) mereka dan janganlah kamu bersempit dada terhadap apa yang mereka tipu dayakan. Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang bertakwa dan orang-orang yang berbuat kebaikan.” (QS, An-Nahl [16]: 127-128).

Hakikat orang yang berakal
Beliau r.a. berkata: Orang yang berakal adalah orang yang mengerti tentang Allah, apa-apa yang Dia kehendaki atasnya dan apa yang berasal darinya secara syariat. Dan, yang Allah inginkan dari hamba itu ada empat: adakalanya nikmat atau cobaan, ketaatan atau kemaksiatan.
Apabila kamu berada dengan nikmat, maka Allah menuntut syukur darimu secara syariat. Apabila Allah menghendaki cobaan bagimu, maka Dia menuntut kesabaran darimu secara syariat. Jika menghendaki ketaatan darimu, maka Allah menuntut darimu kesaksian terhadap anugerah dan memandang taufik secara syariat. Dan, jika menghendaki kemaksiatan darimu, maka Allah menuntut darimu tobat dan kembali kepada-Nya dengan penyesalan secara syariat.

Siapa yang mengerti empat perkara ini dari Allah dan melakukan apa yang Allah cintai darinya secara syariat, maka dia adalah hamba yang sebenar-benarnya. Dalilnya adalah sabda Nabi SAW, “Siapa yang apabila diberi lantas ia bersyukur, jika ditimpa cobaan dia bersabar, menzalimi lalu meminta ampun, dan dizalimi lalu memaafkan,” Kemudian, beliau berdiam. Para sahabat bertanya, “Apa, wahai Rasulullah?” Beliau menjawab, “Merekalah yang mendapatkan keamanan dan mereka adalah orang-orang yang mendapat petunjuk.” Demikian juga dalam ungkapan sebagian mereka, “Tidak pernah gampang hal itu kecuali bagi seorang hamba yang mencinta. Dia tidak mencintai kecuali karena Allah semata atau mencintai apa yang Allah perintahkan sebagai syariat agamanya.” Wassalam.

Beliau r.a. berkata: Terdapat di sebagian khabar, “Siapa yang taat kepada-Ku dalam segala sesuatu dengan meninggalkan segala sesuatu, niscaya Aku memperkenankannya dalam setiap sesuatu; bahwa Aku ber-tajalli kepadanya pada setiap sesuatu hingga dia melihat-Ku seakan-akan Aku adalah segalanya.” Inilah ketaatan yang terdapat pada hak awam orang-orang yang saleh.

Adapun ketaatan pada hak khawdsh dari kalangan shiddiqin adalah dengan ‘keputusasaan’ dari mereka dengan menghadap kepada segala sesuatu karena bagusnya kehendak Tuhan mereka pada setiap sesuatu. Maka, seolah-olah Dia berkata, “Siapa yang taat kepada-Ku atas segala sesuatu dengan menghadap pada segala sesuatu karena bagusnya kehendak-Ku pada setiap sesuatu, bahwa Aku ber-tajalli kepadanya pada setiap sesuatu hingga dia melihat-Ku seakan-akan Aku lebih dekat kepadanya dari segala sesuatu.

Ensiklopedia Dzikir


Dzikirlah kepada-Ku, niscaya Aku akan dzikir kepadamu.(Q.s. Al Baqarah: 152).
“Wahai orang-orang yang beriman, berdzikirlah kepada Allah dengan dzikir yang sebanyak-banyaknya.” (Q.s. Al Ahzab: 41)
“Ahli dzikir kepada-Ku adalah teman duduk-Ku.” (Hadis Qudsy yang diriwatatkan HR. Ahmad)
“Siapa yang ingin bersenang-senang ditaman syurga, perbanyaklah dzikir.” (HR.Thabrani)

Keselamatan memiliki empat bagian, yang sembilan diantaranya terdapat dalam diam kecuali dari dzikir kepada Allah Taa’la, sedangkan yang satunya lagi terdapat dalam meninggalkan pergaulan dengan orang-orang bodoh. (Ali Bin Abi Thalib)
Orang yang berdzikir kepada Allah ditengah-tengah orang-orang yang lalai berdzikir kepada-Nya seperti pohon yang hijau yang berada ditengah-tengah tanaman yang kering, dan seperti rumah yang berpenghuni diantara reruntuhan rumah. (Ali bin Abi Thalib)
Diantara indera-indera lahiriah, tidak ada yang lebih mulia daripada mata, maka janganlah kamu penuhi semua keinginannya (pandangannya) karena ia akan melalaikan kalian dari dzikir kepada Allah. (Ali Bin Abi Thalib)

Dzikir adalah membebaskan diri dari sikap lalai dan lupa dengan menghadirkan hati secara terus-menerus bersama Allah. Sebagian kalangan mengatakan bahwa dzikir adalah menyebut secara berulang-ulang dengan hati dan lisan nama Allah, salah satu sifat-Nya, salah satu hukum-Nya, atau lainnya, yang dengannya seseorang dapat mendekatkan diri kepada Allah. (Menurut Ibnu Athaillah)
Dzikir adalah lembaran kekuasaan, cahaya penghubung, pencapaian kehendak, tanda awal perjalanan yang benar dan bukti akhir perjalanan menuju Allah. Tidak ada sesuatu setelah dzikir. Semua perangai yang terpuji merujuk kepada dzikir dan bersumber darinya. (Imam Abu Qasim al Qusyairi)
Dzikir adalah unsur penting dalam perjalanan menuju al Haq. Bahkan, dia adalah pemimpin dalam perjalanan tersebut. Seseorang tidak akan sampai kepada Allah kecuali dia tekun dalam berdzikir. (Imam Abu Qasim Al Qusyairi)

Tidak diragukan bahwa hati dapat berkarat seperti halnya besi dan perak. Dan alat pembersih hati adalah dzikir. Dzikir dapat membersihkannya, sehingga dia menjadi seperti cermin yang bersih. Apabila seseorang meninggalkan dzikir, maka hatinya akan berkarat. Dan apabila dia berzikir, maka hatinya menjadi bersih.Berkaratnya hati disebabkan dua perkara, yakni lalai dan dosa. Dan yang dapat membersihkannya juga dua perkara, yakni istighfar dan dzikir. Barang siapa yang lalai dalam kebanyakan waktunya, maka karat di hatinya akan menumpuk sesuai dengan tingkat kelalaiannya. Apabila hati berkarat, maka segala sesuatu tidak tergambar di dalamnya sesuai dengan faktanya. Dia akan melihat kebatilan dalam bentuk kebenaran, dan melihat kebenaran dalam bentuk kebatilan. Sebab, ketika karat hati itu bertumpuk, hati menjadi gelap, sehingga bentuk-bentuk kebenaran tidak tergambar sebagaimana adanya. Apabila karat hati bertumpuk, maka hati menjadi hitam dan pandangannya menjadi rusak, sehingga dia tidak dapat menerima kebenaran dan tidak dapat mengingkari kebatilan. Inilah siksaan hati yang paling berat. Sumber dari semua itu adalah kelalaian dan mengikuti hawa nafsu. Keduanya menghilangkan cahaya hati dan membutakannya. Allah berfirman dalam surat al Kahfi ayat 28 yang artinya : Dan janganlah engkau mengikuti orang yang hatinya telah Kami lalaikan dari mengingat Kami, serta menuruti hawa nafsunya dan keadaannya melewati batas. (Ibnu qayyim Al jauziyah)
Keistimewaan itu terdapat dalam ucapan, perbuatan dan benda-benda. Dan keistimewaan yang paling agung adalah keistimewaan dzikir. Sebab, tidak ada amal anak Adam yang paling dapat menyelamatkannya dari siksa Allah selain dzikir kepada-Nya. Allah telah menjadikan segala sesuatu seperti minuman. Masing-masing memiliki manfaat khusus. Dengan demikian, setiap yang umum dan yang khusus harus diperhatikan sesuai dengan kondisi setiap orang. (Ahmad Zaruq)

Tidak akan terbuka pintu maqam ridla bagi seorang hamba melainkan setelah dia mengerjakan tiga perkara pada fase awal perjalanannya, yaitu :
1. Dia tenggelam dalam nama tunggal (Allah). Dzikir dengan nama tunggal ini hanya khusus bagi orang-orang yang telah mendapat izin dari seorang mursyid kamil.
2. Dia bergaul dengan orang-orang yang berzikir
3. Dia konsisten dalam mengerjakan amal saleh, dan bersih dari noda. Dengan kata lain, dia berpegang teguh pada syariat yang dibawa Nabi Muhammad saw. (Ahmad ibn Ujaibah)

Ada tiga macam dzikir: Dzikir dengan lisan yang memiliki sepuluh kebaikan. Dzikir dengan hati yang memiliki tujuh ratus kebaikan, dan dzikir yang pahalanya tidak ditimbang dan dihitung , yaitu puncak kecintaan kepada Allah serta perasan malu karena kedekatan-Nya. (Ibnu Salim)
Tidak setiap orang yang mengaku berdzikir (mengingat Allah) meski orang ingat (Sahl bin Abdullah)
Makna dzikir adalah mengaktualisasikan pengetahuan, bahwa Allah melihat Anda. Maka dengan hati Anda menyaksikan-Nya dengan dekatdengan Anda dan Anda merasa malu dengan-Nya. Kemudian Anda memprrioritaskan-Nya daripada diri Anda sendiridan seluruh kondisi spiritual Anda. (Sahl bin Abdullah)
Hakikat dzikir adalah melupakan dzikir. Yakni melupakan dzikir Anda kepada Allah SWT. dan melupakan segala sesuatu selain Allah Azza wa Jalla. (Asy-Syibli)
Dzikir adalah tiang penopang yang sangat kuat atas jalan menuju Allah swt. Sungguh, ia adalah landasan bagi tharikat itu sendiri. Tidak seorang pun dapat mencapai Allah swt, kecuali dengan terus-menerus dzikir kepada-Nya. (Abu Ali ad-Daqqaq berkata)
Dzikir adalah tebaran kewalian. Seseorang yang dianugerahi keberhasilan dalam dzikir berarti telah dianugerahi taburan itu, dan orang yang tidak dianugerahinya berarti telah dipecat. (Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq )

Dzikir berarti meninggalkan bidang kealpaan dan memasuki bidang musyahadah mengalahkan rasa takut dan disertai kecintaan yang luar biasa. (al-Wasithy )
Seorang yang benar-benar dzikir kepada Allah akan lupa segala sesuatu selain dzikirnya. Allah akan melindunginya dari segala sesuatu, dan ia diberi ganti dari segala sesuatu. (Dzun Nun al-Mishry )
Seandainya bukan kewajibanku untuk berdzikir kepada-Nya, tentu aku tidak berdzikir karena mengagungkan-Nya. Orang sepertiku berdzikir kepada Allah swt.? Tanpa membersihkan mulutnya dengan seribu tobat karena berdzikir kepada-Nya!” (Muhammad al-Kattany )
Tiada sehari pun berlalu, kecuali Allah swt. berseru, ‘Wahai hamba-Ku, engkau telah berlaku zalim kepada-Ku. Aku mengingatmu, tapi engkau melupakan-Ku. Aku menghilangkan penderitaanmu, tapi engkau terus melakukan dosa. Wahai anak Adam, apa yang akan engkau katakan besok jika engkau bertemu dengan Ku’? (Sahl bin Abdullah)
Seseorang yang tidak dapat merasakan keganasan alpa, tidak akan merasakan sukacita dzikir. (Abu Utsman )
Ada hukuman atas tiap-tiap sesuatu, dan hukuman bagi seorang ahli ma’rifat adalah terputus dari dzikir kepada-Nya.(Ats-Tsaury)
Dzikir berarti tiadanya ingatan pelaku dzikir terhadap dzikirnya. (Dzun-Nun)
Dzikir dengan lidah tana dirasakan oleh hati-itulah dzikir yang biasa; dzikir dengan lidah yang disertai oleh hati-itulah dzikir yang meraih pahala; dan dzikir bilah hati mengembara dalam ingatan dan meninggalkan lidah dalam diam, nilai dzikir semacam itu hanya dikethui oleh Allah SWT. (al Kharraz)
Barangsiapa yang ingat akan dzikir-Nya lebih lalai ketimbang yang lupa akan dzikir-Nya. (Abu Bakar al Wasiti)
Carilah kemanisan dalam tiga hal: shalat, dzikir dan membaca Al-Qur’an. Kemanisan hanya dapat ditemukan di sana, atau jika tidak sama sekali, maka ketahuilah bahwa pintu telah tertutup.(Abu Sulaiman ad-Dar).

Al-Luma


Syeikh Abu Nashr As-Sarraj
Kefakiran
Syekh Abu Nashr as-Sarraj — rahimahullah — berkata: Saya pernah mendengar jawaban Ibnu Salim ketika ditanya tentang dzikir, “Ada tiga macam bentuk dzikir: dzikir dengan

lisan yang memiliki sepuluh kebaikan, dzikir dengan hati yang memiliki tujuh ratus kebaikan dan dzikir yang pahalanya tidak dapat ditimbang dan dihitung,
yaitu puncak kecintaan kepada Allah serta perasaan malu karena kedekatan-Nya.”



Al- Junaid -rahimahullah- berkata, “Kefakiran adalah samudra cobaan (bala’), namun seluruh cobaannya adalah kemuliaan.” la ditanya tentang kapan orang fakir yang jujur ini mengharuskan masuk surga sebelum orang-orang kaya dengan tenggang waktu lima ratus tahun? Maka la menjawab, “Jika si fakir ini bermuamalah kepada Allah dengan hati nuraninya, setuju dengan Allah pada apa yang tidak diberikan-Nya, sehingga kefakirannya dianggap sebagai nikmat dari Allah yang diberikan kepadanya, dimana la merasa takut bila kefakirannya itu hilang sebagaimana ia merasa takut bila kekayaannya itu hilang. Ia selalu bersabar, berniat karena Allah dan bersenang hati dengan kefakiran yang telah dipilihkan Allah untuknya, dengan tetap menjaga agamanya, menyembunyikan kefakirannya, menampakkan kekecewaannya terhadap makhluk dan merasa cukup dengan Allah dalam kefakirannya, sebagaimana difirmankan Allah Swt., ‘(Berinfaklah) kepada orang-orang fakir yang terikat (oleh jihad) di jalan Allah; mereka tidak dapat (berusaha) di muka bumi; orang yang tidak tahu menyangka mereka orangkaya karena memelihara diri dari meminta-minta. Kamu kenal mereka dengan melihat sifat-sifatnya, mereka tidak meminta kepada orang secara mendesak.’ (Q.S. al-Baqarah: 273).

Apabila si fakir memiliki sifat-sifat tersebut, maka la akan masuk surga sebelum orang-orang kaya dengan tenggang waktu lima ratus tahun. Sementara hari Kiamat cukup baginya sebagai beban untuk menunggu dan diperhitungkan amalnya.”
Ibnu al Jalla’ -rahimahullah- berkata, “Barangsiapa tidak menyertai kefakirannya dengan sikap wara` (jaga diri dari syubhat), maka la akan terjerumus pada hal-hal yang diharamkan secara pasti, sementara la sendiri tidak menyadarinya.”
Al Junaid -rahimahullah- pernah ditanya, “Siapakah orang yang paling mulia?” Lalu la menjawab, “Yaitu orang fakir yang ridha.”
Al-Muzayyin -rahimahullah- pernah mengatakan, “Batas kefakiran ialah bila orang yang fakir tidak bisa lepas dari kebutuhan.”
Ia juga mengatakan, `Apabila si fakir kembali kepada Allah Azza wa Jalla maka la akan bisa diterangkan bahwa la disertai ilmu pengetahuan, akhirnya la bingung dalam keberadaannya.”
Sementara al Junaid -rahimahullah- mengatakan, “Seseorang tidak bisa memastikan dengan benar akan kefakirannya sehingga la yakin bahwa di hari Kiamat nanti tidak ada orang yang lebih fakir daripada dirinya.”

Pendapat Mereka Tentang Ruh
Asy-Syibli -rahimahullah- mengatakan, "Hanya dengan Allah, ruh, jasad dan bersitan-bersitan hati bisa eksis, dan bukan karena eksistensi dzatnya masing-masing."
Ia juga pernah berkata, "Ruh itu penuh keramahan dan kelembutan, kemudian ia menggantung pada ujung hakikat. Ia tidak tahu siapa sebenarnya yang disembah dan berhak sebagai peribadatan, dimana la tidak mendekat kepada Dzat Yang Maha Menyaksikan (asy-Syahid) dengan tanpa melihat pada fenomena-fenomena alam yang menjadi saksi (Masyahid). la yakin, bahwa makhluk tidak akan bisa memahami Dzat Yang Maha Qadim dengan SifatNya yang bisa diberi alasan."
Syekh Abu Nashr as-Sarraj -rahimahullah- berkata: Saya pernah melihat pembahasan al Wasithi -rahimahullah- tentang ruh, dimana la mengatakan, "Ruh itu ada dua macam: ruh yang menghidupkan makhluk, dan ruh yang menjadi penerang hati. Dan ruh yang terakhir inilah yang difirmankan Allah Swt.:
“Dan demikianlah Kami wahyukan kepadamu ruh (nilai spiritual al-Qur'an) dengan perintah Kami.”
(Q.S. asy-Syura: 52).

la dinamakan ruh karena kelembutannya. Jika anggota tubuh berbuat kejelekan yang menyalahi adabnya, maka ruh akan terhalang dari sentuhan-sentuhan sebab yang menyakitkan."
Al Wasithi melanjutkan, "Ketika perhatian-perhatian itu terjadi pada ruh, maka ia akan menapak lebih tinggi pada hari-hari dan waktunya, la tahu segala yang mengajaknya berbicara dan memberi isyarat pada yang bisa dilihat."
Selanjutnya al Wasithi mengatakan, "Sesungguhnya itu adalah dua unsur: ruh dan akal. Maka ruh tidak dapat memberi kepada ruh sesuatu yang dicintainya. Demikian pula akal tidak siap untuk menolak dari akal sesuatu yang tidak disukainya."
Dikisahkan dari Abu Abdillah an-Nibaji yang mengatakan, “Apabila seorang arif telah bisa ‘sampai' (wushul), maka dalam dirinya terdapat dua ruh: ruh yang tidak mengalami perubahan dan perbedaan, dan ruh yang mengalami perubahan dan perbedaan."
Sebagian kaum Sufi mengatakan, "Ruh itu ada dua macam: ruh yang bersifat qadim dan ruh manusiawi (basyariyyah). Mereka berpendapat demikian atas dasar sabda Rasulullah Saw.:
"Kedua mataku tidur, namun hatiku tidak tidur." (H.r. Bukhari-Muslim dari Aisyah).

Maka secara lahiriah beliau tidur dengan ruh manusiawinya, sementara batinnya tidak tidur dan selalu terjaga tanpa mengalami perubahan.
Demikian halnya dengan sabda beliau:
"Sesungguhnya aku dijadikan lupa supaya aku bisa membuat sunnah. "
Sementara itu beliau juga pernah memberitahu, bahwa beliau tidak pernah dijadikan orang yang lupa. Maka apa yang diberitahukan ini adalah kondisi ruh qadim.
Demikian pula dengan sabda beliau:
“Aku tidaklah seperti kalian, sesungguhnya aku senantiasa berada dalam lindungan Tuhanku Yang memberiku makan dan minum."

Apa yang diberitahukan ini adalah sifat ruh qadim. Sebab beliau memberitahukan tentang sifat-sifat yang bukan sifat-sifat ruh. Syekh Abu Nashr as-Sarraj - rahimahullah - berkata: Pendapat tentang ruh yang dikemukakan tersebut adalah tidak benar. Sebab sifat keqadiman tidak akan bisa terpisah dari Dzat Yang Maha Qadim, sementara makhluk tidak sambung dengan Yang Maha Qadim - Semoga Allah senantiasa memberi taufik.
Saya pernah mendengar Ibnu Salim ditanya tentang pahala dan siksa, "Apakah pahala dan siksa diberikan pada ruh dan jasad atau hanya pada jasad?" Maka ia menjawab, "Taat dan maksiat tidak muncul dari jasad saja tanpa ruh atau dari ruh saja tanpa jasad, sehingga pahala dan siksa hanya diberikan pada jasad saja atau pada ruh saja. Maka orang yang berpendapat bahwa ruh itu mengalami reinkarnasi, perpindahan dan keqadiman, maka ia benar-benar tersesat dan sangat merugi."

Isyarat
Syekh Abu Nashr as-Sarraj -rahimahullah- berkata: Jika ada seseorang bertanya, "Apa makna isyarat?" Maka jawablah, "Pada firman Allah, ‘Maha Suci Dzat' (Q.s. al-Furqan:1).
Maka lafadz ‘alladzii’ dalam ayat tersebut adalah suatu kirzayah (metonimia). Sementara metonimia adalah seperti isyarat dalam kelembutan maknanya. Dan isyarat hanya bisa dipahami oleh para tokoh yang memiliki keilmuan yang tinggi."

Asy-Syibli -rahimahullah- berkata, "Setiap isyarat yang digunakan makhluk untuk memberi isyarat kepada al-Haq adalah dikembalikan kepada mereka, sehingga mereka memberi isyarat kepada al-Haq dengan al-Haq, yang mana mereka tidak menemukan jalan untuk menuju ke sana."
Abu Yazid al-Bisthami mengatakan, "Orang yang paling jauh dari Allah ialah orang yang paling banyak memberi isyarat kepadaNya." Kemudian la bercerita, ‘Ada seseorang datang kepada al-Junaid bertanya tentang suatu masalah. Kemudian al-Junaid memberi isyarat dengan kedua matanya melihat ke langit. Lalu orang tersebut berkata, ‘Wahai Abu al-Qasim, jangan memberi isyarat kepadaNya, sebab Dia lebih dekat dengan Anda daripada apa yang Anda isyaratkan.' Maka
al- Junaid berkata, ‘Anda benar.' Dan kemudian tertawa."

Dikisahkan dari Amr bin Utsman al-Makki -rahimahullah- yang mengatakan, "Hakikat para sahabat kami adalah Tauhid sementara isyarat mereka dianggap syirik."
Sebagian kaum Sufi berkata, "Masing-masing orang ingin memberi isyarat kepada-Nya, akan tetapi tidak seorang pun diberi jalan menuju ke sana."
Dikisahkan dari al Junaid -rahimahullah- yang pernah berkata kepada seseorang, "Dia itukah yang Anda beri isyarat wahai laki-laki? Berapa kali Anda memberi isyarat kepada-Nya? Tinggalkan, maka Dia akan memberi isyarat kepada Anda."
Abu Yazid -rahimahullah- berkata, "Barangsiapa memberi isyarat kepada-Nya dengan ilmu, maka la telah kufur, sebab isyarat dengan ilmu hanya terjadi pada sesuatu yang diketahui. Dan barangsiapa memberi isyarat kepada-Nya dengan ma'rifat maka ia telah kufur (mulhid) sebab isyarat dengan ma'rifat hanya terjadi pada hal-hal yang bisa dibatasi."

Saya mendengar ad-Duqqi bercerita: Az-Zaqqaq -rahimahullah- pernah ditanya tentang ‘murid', maka la menjawab, "Hakikat murid ialah dengan memberi isyarat kepada Allah Swt, sehingga ia bisa menemukan Allah bersamaan dengan isyarat itu sendiri." Kemudian la ditanya, "Lantas apa yang bisa memahami kondisi spiritualnya?" la menjawab, "Ialah menemukan Allah Swt. dengan menghilangkan isyarat?" Permasalahan ini dikenal dari al Junaid.
An-Nuri -rahimahullah- mengatakan, "Dekatnya kedekatan tentang apa yang kita beri isyarat adalah jauhnya kejauhan."
Yahya bin Mu'adz -rahimahullah- berkata, "Jika Anda melihat seseorang memberi isyarat kepada suatu perbuatan maka tarekat (cara) yang ia tempuh adalah tarekat wara’ (jaga diri dari syubhat). Jika Anda melihat seseorang memberi isyarat kepada ilmu maka tarekat yang la tempuh adalah tarekat ibadah. Jika Anda melihatnya memberi isyarat pada keamanan dalam rezeki maka tarekatnya adalah tarekat zuhud. Jika Anda melihatnya memberi isyarat pada ayat-ayat Tuhan, maka tarekatnya adalah tarekat al-Abdal (para pengganti). Jika Anda melihatnya memberi isyarat kepada nikmat-nikmat Allah maka tarekatnya adalah tarekat para arif."
Abu All ar-Rudzabari -rahimahullah- mengatakan, "Ilmu kami ini adalah isyarat. Jika telah menjadi ungkapan maka akan tidak jelas (samar)."
Seseorang menanyakan suatu masalah kepada Abu Ya'qub as-Susi -rahimahullah- dimana la hanya memberikan isyarat atas pertanyaannya itu. Maka as-Susi menjawab, "Wahai laki-laki yang bertanya, sebenarnya kami bisa menjawab pertanyaan Anda tanpa dengan isyarat yang Anda berikan." Tampaknya Abu Ya'qub tidak menyukai isyaratnya.

Kepandaian (azh-Zharf)
Al Junaid -rahimahullah- pernah ditanya tentang makna azh-zharf, maka ia menjawab, “Yaitu menghindari segala bentuk akhlak yang rendah, dan menggunakan segala akhlak yang mulia, Anda berbuat semata karena Allah kemudian Anda tidak melihat bahwa diri Anda merasa berbuat.”

Muru’ah
Ahmad bin Atha' -rahimahullah- ditanya tentang muru'ah, maka la menjawab, "Jangan menganggap banyak amalan yang Anda lakukan untuk Allah, dan ketika Anda melakukan suatu amal maka seakan-akan Anda tidak pernah melakukan sesuatu, sementara Anda menginginkan yang lebih banyak dari itu."

Nama Sufi
Mengapa kelompok ini disebut dengan sebutan Sufi? Maka Ibnu ‘Atha' -rahimahullah- memberikan jawaban, "Mereka disebut dengan nama itu, karena bersihnya kelompok tersebut dari kotoran makhluk dan keluar dari tingkat kejelekan."
An-Nuri -rahimahullah- mengatakan, “Mereka disebut dengan nama ini, sebab kelompok tersebut mencakup makhluk dengan lahiriah para ahli ibadah, sementara mereka mencurahkan segalanya hanya untuk Allah dengan tingkatan orang-orang yang cinta.”
Asy-Syibli -rahimahullah- berkata, “Mereka disebut dengan nama ini, karena masih ada sisa-sisa diri (nafsu) mereka yang tertinggal. Andaikan tidak ada sisa-sisa tersebut, tentu tidak akan ada nama yang bisa melekat pada mereka.”
Sebagian kaum Sufi mengatakan, “Mereka disebut demikian disebabkan mereka bernafas dengan ruh kecukupan (al-kifayah) dan berpenampilan dengan sifat inabah (kembali kepada Tuhan).”




Rezeki
Yahya bin Mu'adz -rahimahullah- mengatakan, "Dalam wujud (keberadaan) seorang hamba, rezeki tanpa harus dicari, dan itu membuktikan bahwa rezeki diperintah untuk mencari pemiliknya."
Sebagian kaum Sufi mengatakan, "Apabila saya mencari rezeki sebelum waktunya maka saya tidak akan mendapatkannya dan apabila saya mencarinya setelah lewat waktunya saya juga tidak akan mendapatkannya dan apabila saya mencarinya tepat pada waktunya maka saya akan tercukupi."
Diceritakan dari Abu Ya'qub -rahimahullah- yang berkata: Orang-orang berbeda pendapat tentang sebab-sebab datangnya rezeki. Sebagian kaum mengatakan, bahwa sebabnya rezeki adalah berusaha dan bekerja keras. Ini adalah pendapat orang-orang Qadariyah. Sementara itu sebagian kaum yang lain mengatakan, bahwa sebabnya rezeki adalah taqwa.
Mereka berpendapat demikian atas dasar lahiriah ayat al-Qur'an:
"Barangsiapa bertaqwa kepada Allah niscaya Dia akan memberikan jalan keluar. Dan memberinya rezeki dari arah yang tidak disangka."
(Q.s. ath-Thalaq: 2-3).

Mereka telah keliru dalam pendapatnya. Sementara Ilmu yang ada di sisi Allah, bahwa sebabnya rezeki ialah karena penciptaan. Sebagaimana yang difirmankan Allah Swt.:
“Allah-lah yang menciptakan kalian, kemudian memberimu rezki, kemudian mematikanmu, kemudian menghidupkanmu (kembali). Adakah di antara yang kamu sekutukan dengan Allah itu yang dapat berbuat sesuatu dari yang demikian itu? Maha Suci Dia dan Maha Tinggi dari apa yang mereka persekutukan."
(Q.s. ar-Rum: 40).

Allah tidak mengkhususkan pemberian rezeki-Nya kepada orang mukmin saja, tetapi juga orang kafir.
Abu Yazid bercerita: Saya pernah memuji baik seorang murid di hadapan sebagian ulama. Kemudian orang alim (ulama) tersebut bertanya, "Dari mana penghidupannya?" Saya menjawab, "Saya tidak pernah meragukan Penciptanya sehingga saya harus bertanya siapa yang memberinya rezeki." Orang alim tersebut merasa malu lalu ia tidak melanjutkan.

Masalah 1
Al Junaid -rahimahullah- ditanya, "Bagaimana bila nama seorang hamba telah hilang dan yang tetap tinggal hanya hukum Allah?" Maka la menjawab, "Perlu Anda ketahui - semoga Allah memberi rahmat kepada Anda - bahwa jika ma'rifat kepada Allah (Ma'rifat Billah) telah menjadi agung dan tinggi, maka bekas-bekas hamba akan menghilang dan simbol-simbolnya akan terhapus. Pada saat itu tampaklah ilmu al-Haq dan yang tersisa adalah nama hukum Allah Swt."
Al Junaid -rahimahullah- pernah ditanya, "Kapan seorang hamba menganggap sama antara orang yang memuji dengan orang yang mencacinya?" la menjawab, "Ketika la menyadari bahwa ia hanyalah seorang makhluk dan bahan fitnahan."



Ibnu Atha' -rahimahullah- ditanya, "Kapan la mendapatkan kedamaian hati? atau Dengan apa la bisa meraih kedamaian hati?" la menjawab, "Yaitu dengan memahami haqul-yaqin, yaitu al-Qur'an, kemudian la diberi ilmul-yaqin dan setelah itu la melihat ainul-yaqin. Pada saat itu hatinya akan merasa tenteram. Sedangkan ciri-cirinya adalah ridha atas takdir yang telah ditentukan-Nya dengan perasaan penuh wibawa dan cinta serta menganggap-Nya sebagai Pelindung dan Dzat Yang diserahi tanpa ada perasaan curiga yang mengganjal."

Abu Utsman -rahimahullah- ditanya tentang perasaan sedih yang sering dialami manusia pada umumnya, sementara la tidak tahu dari mana la datang. Maka Abu Utsman menjawab, "Sesungguhnya ruh selalu mawas diri dari perbuatan dosa dan kejahatan yang senantiasa mengintai jiwa (nafsu), sementara jiwa akan melupakannya. Dan apabila ruh menemukan jiwa telah sadar, maka kejahatannya akan ditunjukkan, akhirnya ia diselimuti rasa kegelisahan dan sedih. Inilah perasaan sedih yang sering ditemukan seseorang, sementara ia tidak mengerti dari mana la masuk ke dalam dirinya."

Firasat
Yusuf bin al-Husain -rahimahullah- pernah ditanya tentang Hadis Nabi Saw, "Hati-hatilah terhadap firasat orang mukmin karena ia melihat dengan Cahaya Allah." Maka la mengatakan, "Ini benar dari Rasulullah dan terutama orang-orang yang beriman (mukmin). Dan ini adalah kelebihan dan karamah (kemuliaan ) bagi orang yang hatinya diberi cahaya oleh Allah dan dilapangkan dadanya. Sementara itu seseorang tidak berhak memberikan keputusan hukum untuk dirinya dengan firasat tersebut, sekalipun banyak benarnya dan sedikit sekali terjadi kesalahan. Orang yang tidak bisa memberikan keputusan hukum untuk dirinya dengan hakikat keimanan, kewalian dan kebahagiaan, lalu bagaimana ia bisa memberi keputusan hukum untuk dirinya dengan kelebihan karamah? Sebenarnya itu hanyalah kelebihan bagi orang-orang beriman tanpa harus memberi isyarat apa pun kepada seseorang."

Fantasi (waham)
Ibrahim al-Khawwash -rahimahullah- pernah ditanya tentang waham, maka ia mengatakan, "Waham adalah pemisah yang berdiri sendiri antara akal dan pemahaman, dimana ia tidak bisa dinisbatkan pada akal sehingga menjadi bagian dari sifat-sifat akal dan tidak pula dinisbatkan pada pemahaman sehingga ia menjadi bagian dari sifat-sifat pemahaman. Namun la berdiri sendiri yang mirip dengan sinar antara matahari dengan air, dimana ia tidak bisa dinisbatkan pada matahari dan tidak pula pada air. Atau mirip dengan rasa kantuk antara tidur dan bangun terjaga, maka ia tidak bisa disebut orang yang sedang tidur dan tidak pula orang yang sedang bangun terjaga. Maka ini adalah kesadarannya, yakni kelangsungan akal pada pemahaman atau pemahaman pada akal, sehingga di antara keduanya tidak ada pemisah yang berdiri sendiri. Sedangkan pemahaman adalah intisari yang jernih dari akal, sebagaimana intisari segala sesuatu adalah isinya."

Masalah 2
Abu Yazid -rahimahullah- pernah ditanya tentang makna firman Allah Swt.:
"Kemudian Kitab itu Kami wariskan kepada orang-orang yang Kami pilih di antara hamba-hamba Kami, lalu di antara mereka ada yang menganiaya diri mereka sendiri dan di antara mereka ada yang pertengahan dan di antara mereka ada (pula) yang lebih dahulu berbuat kebaikan dengan izin Allah.".
(Q.s. Fathir: 32).

Maka Abu Yazid mengatakan, "Orang yang terlebih dahulu berbuat kebaikan (as-sabiq) adalah orang yang dicambuk dengan cambuk cinta (mahabbah), dipenggal dengan pedang kerinduan dan berbaring di depan ‘pintu' kewibawaan. Sementara orang yang tengah-tengah (al-muqtashid) adalah dicambuk dengan cambuk kesedihan, dipenggal dengan pedang penyesalan lalu berbaring di depan ‘pintu' kemuliaan. Sedangkan orang yang menganiaya dirinya sendiri (azh-zhalim) adalah dicambuk dengan cambuk harapan dan cita-cita, dipenggal dengan pedang ketamakan lalu terkapar di ‘pintu' siksaan."
Sementara itu kaum Sufi yang lain mengatakan, "Orang yang menganiaya dirinya sendiri akan disiksa dengan hijab (penghalang), dan orang yang berada di tengah-tengah telah masuk ke bagian dalam, sedangkan orang yang terdepan dalam melakukan kebaikan telah sujud di atas hamparan milik Sang Penguasa dan Maha Pemberi."
Sedangkan yang lainnya berkata, "Orang yang menganiaya dirinya sendiri disiksa dengan penyesalan atas kecerobohannya, sedangkan orang yang tengah-tengah diselimuti dengan perlindungan dan kehati-hatian. Sedangkan orang yang terdepan dalam melakukan kebaikan akan bersujud dengan hatinya kepada al-Haq di atas hamparan ‘permadani’. Orang yang menganiaya dirinya akan terhalang dari memperoleh penjagaan dan as-sabiq tampak melakukan sujud di atas permadani dengan hatinya kepada al-Haq. Sementara itu orang yang menganiaya dirinya sendiri akan terhalang untuk mendapatkan isyarat, orang yang tengah-tengah akan terjaga dengan isyarat yang jelas, sedangkan orang yang terdepan dalam melakukan kebaikan akan selalu dicinta dengan membenarkan isyarat."
Sementara itu ada kaum Sufi lain yang berpendapat, bahwa orang yang menganiaya diri sendiri adalah dal, orang yang tengah-tengah adalah ba', dan orang yang terdepan dalam melakukan kebaikan adalah mim.

Berandai (Tamanni)
Ruwaim bin Ahmad -rahimahullah- pernah ditanya, "Bolehkan seorang murid berandai-andai?" la menjawab, "Seorang murid tidak seyogyanya berandai-andai, la hanya boleh berharap. Sebab berandai-andai adalah melihat nafsu sedang berharap adalah melihat apa yang lebih dahulu ditentukan Allah.
Berandai-andai adalah termasuk sifat-sifat nafsu, sedangkan berharap adalah sifat hati. Dan hanya Allah Yang Maha Tahu."

Rahasia Nafsu


"Syeikh Abu Nashr As-Sarraj"

Sahi bin Abdullah — rahimahullah — pernah ditanya tentang rahasia nafsu, maka ia mengatakan, “Nafsu adalah suatu rahasia, dimana rahasia tersebut tidak akan tampak pada siapa pun

dari makhluk Allah kecuali hanya pada Fir’aun yang pernah mengatakan, ‘Saya adalah Tuhan kalian yang maha-tinggi.’ Rahasia nafsu memiliki tujuh lapis penghalang dari langit dan tujuh lapis penghalang dari bumi. Ketika seorang hamba berusaha mengubur nafsunya ke dalam lapisan-lapisan bumi, maka hatinya akan mulia membumbung tinggi ke lapisan-lapisan langit. Dan jika Anda telah mengubur nafsu Anda di bawah lapisan bumi, maka dengan hati Anda bisa sampai ke singgasana Arasy.”

Cemburu (Ghirah)
Asy-Syibli — rahimahullah — pernah ditanya tentang kecemburuan (ghirah), maka ia mengatakan, “Bahwa cemburu itu ada dua jenis: cemburu manusiawi (basyariyyah) dan cemburu Ketuhanan (Ilahiyah). Cemburu manusiawi adalah cemburu terhadap individu, sedangkan cemburu Ilahiyyah adalah sikap cemburu terhadap waktu, dimana ia tidak ingin menyia-nyiakannya untuk selain kepentingan Allah Swt.”

Masalah
Fath bin Syakhraf — rahimahullah — berkata: Suatu ketika saya pernah bertanya kepada Israfil, guru Dzun-Nun — rahimahumallah, ‘Wahai guru (syeikh), apakah rahasia-rahasia hati (al-asrar) akan disiksa sebelum tergelincir (melakukan dosa)?” Ia tidak menjawab selama berhari-hari, kemudian setelah itu ia mengatakan, “Hai Fath, jika kamu sudah berniat sebelum berbuat, maka al-asrar akan disiksa sebelum tergelincir (melakukan dosa).” Setelah mengatakan demikian ia lalu menjerit dan masih sempat hidup selama tiga hari sebelum akhirnya meninggal.

Abu Bakar Muhammad bin Musa al-Farghani yang dikenal dengan sebutan al-Wasithi pernah ditanya tentang sifat hati. Maka ia mengatakan, “Hati dibagi menjadi tiga kondisi: hati yang diuji, hati yang tercabut dari akarnya dan hati yang terkoyak hancur, dimana awal-awal dari kondisinya adalah roboh. Ini adalah orang yang mampu merealisasikan dengan permulaan-permulaannya, bahwa ia belum terwujud sebelum sesuatu yang disebutkan. Jika Anda hadir maka Anda akan jatuh pada kehancuran yakni kematian, berarti hilang. Maka inilah awal dan akhir Anda, agar Anda tidak mengatakan, ‘Saya telah maju dan mundur.’ Dan tiga jenis hati ini, lisan membisu tidak mampu berbicara.”

Al-Jariri ditanya tentang apa yang dimaksud dengan bencana (bala’). Maka ia mengatakan, “Bencana (bala’) itu dibedakan menjadi tiga macam: Sebagai siksaan bagi orang-orang yang ikhlas, sebagai penghapusan dosa bagi orang-orang terdepan dalam menjalankan kebaikan (as-sabiqun) dan sebagai pembenaran atas ujian bagi anbiya’ dan ash-shadiqin.”

Masalah tentang perbedaan antara al-hubb (cinta) dan al-wudd (kasih sayang). Al-hubb di dalamnya terdapat unsur dekat dan jauh, sedangkan Al-wudd sama sekali tidak mengandung unsur keterputusan, kejauhan ataupun kedekatan. Sesungguhnya orang yang menyaksikan al-hubb adalah dengan haqul-yaqin, orang yang menyaksikan al-wudd adalah dengan ‘ainul-yaqin sedangkan orang yang menyaksikan ash-shiyanah (keterjagaan) adalah dengan ilmulyaqin. Al-wudd adalah sambung (al-washl) tanpa kesinambungan (muwashalah). Sebab al-washl adalah tetap, sedangkan al-muwashalah adalah menggunakan waktu.

Tangis
Abu Said al-Kharraz — rahimahullah — ditanya tentang tangis, lalu ia mengatakan, “Tangis itu ada tiga macam: Dari Allah (minalIah), kepada Allah (ilallah) dan pada Allah (‘alallah). Sementara menangis yang dari Allah akan lama tersiksa kerinduannya bila disebutkan terlalu lama waktu bertemu-Nya, menangis karena takut terputus dengan-Nya dan berpisah dari imbalan yang dijanjikan-Nya, dan menangis karena gelisah bila ada kasih sayang dan kejadian-kejadian yang mengakibatkannya tidak bisa sampai kepada-Nya.

Sedangkan menangis kepada Allah adalah rahasia hatinya berusaha memaksakan kerinduan yang membara kepada-Nya dan menangis karena jiwanya terbang dengan kerinduan kepada-Nya, menangis karena kehilangan akal untuk-Nya, menangis karena mengadukan keluh kesah, menangis karena berhenti di depan-Nya, menangis karena lembutnya pengaduan kepada-Nya, menangis karena berhenti di hamparan kerendahan untuk mencari kedekatan dengan-Nya, menangis ketika bergegas apabila diduga lamban menuju kepada-Nya, menangis karena takut terputus jalan sehingga tidak bisa sampai kepada-Nya, menangis karena takut tidak bisa baik untuk bertemu dengan-Nya, dan menangis karena merasa malu. dengan-Nya dengan mata apa ia memandang-Nya. Kemudian menangis pada-Nya adalah menangis ketika diperlamban untuk bertemu dengan-Nya pada sebagian waktu yang ia biasakan, dan menangis karena kesenangan di saat ia bisa sampai kepada-Nya, bila ia dipeluk dengan kebaikan-Nya, sebagaimana seorang bayi yang masih menyusu ibunya, ketika itu ia menangis. Maka dengan demikian tangisan memiliki delapan belas macam.”

Yang Menyaksikan (Asy-Syahid)
Tatkala al-Junaid — rahimahullah — ditanya, “Mengapa asy-Syahid (yang menyaksikan) itu di sebut Syahid (menyaksikan)? Maka ia menjawab, “Dzat Yang Maha Menyaksikan, al-Haq Swt. adalah Yang menyaksikan hati nurani Anda dan rahasia-rahasia hati Anda, dimana Dia senantiasa mengetahuinya, menyaksikan Keindahan-Nya yang ada pada makhluk dan hamba-hamba-Nya. Jika seseorang melihat-Nya, ia akan menyaksikan Ilmu-Nya dengan melihat kepada-Nya. Sementara itu, seorang Sufi yang ‘menyaksikan’ harus menempuh tingkatan para murid, sehingga ia bisa menyaksikan umumnya kaum arif (al-’arifin) dan memikul nama orang yang menyaksikan yang hadir dalam kegaiban, dimana ia tidak merasa keberatan, tidak letih dan tidak pernah lengah. Jika ia masih pernah lengah dan lupa sebagaimana seorang murid, maka ia belum disebut orang yang sanggup menyaksikan (asy-syahid). Dan ketika yang berlangsung adalah selain ketentuan ini dalam lahiriahnya maka itu tidak benar, dan ia bukanlah cara yang ditempuh kaum Sufi.”




Kesucian Bermuamalah dan Beribadah
Syekh Abu Nashr as-Sarraj mengatakan: Para guru Sufi (syeikh) tanah Haram pernah berkumpul dengan Abu al-Husain Mi bin Hindun al-Qurasyi al-Farisi — rahimahullah — kemudian mereka menanyakan tentang kesucian bermuamalah dan beribadah. Maka ia menjawab, “Sesungguhnya pada akal terdapat petunjuk (dilalah), dalam hikmah terdapat isyarat dan dalam ma’rifat terdapat kesaksian (syahadah). Maka akal memberikan petunjuk, hikmah memberikan isyarat, dan ma’rifat menyaksikan bahwa kejernihan ibadah tidak akan dicapai kecuali melalui kejernihan ma’rifat yang ada empat:




  1. ma’rifat (mengenal) Allah Swt.;
  2. ma’rifat tentang diri (nafsu);
  3. ma’rifat tentang kematian;
  4. ma’rifat tentang apa yang bakal terjadi setelah kematian, dari janji dan ancaman Allah Swt. Maka orang yang mengenal Allah niscaya akan memenuhi hak-hak-Nya, orang yang mengenal nafsunya ia akan bersiap-siap melawan dan berjuang menentangnya, orang yang mengenal kematian akan bersiap siaga menghadapinya, orang yang mengerti ancaman Allah akan menjauhi larangan-Nya dan mengerjakan perintah-Nya.

Sementara itu untuk menjaga hak-hak Allah ada tiga cara: Memelihara kesetiaan (al-wafa’), adab dan muru’ah. Adapun menjaga kesetiaan adalah dengan menauhidkan hati Anda akan Kemahatunggalan (Infiradiyyah)-Nya, kukuh dan tetap untuk menyaksikan (musyahadah) Kemaha-esaan (Wahdaniyyah)-Nya dengan Cahaya Azaliyyah-Nya dan hidup bersama-Nya. Adapun menjaga adab adalah dengan menjaga rahasia-rahasia hati dan bersitan-bersitan luar, menjaga waktu, menghindari sikap dengki dan permusuhan. Sedangkan menjaga muru’ah ialah dengan tetap berdzikir, baik ucapan maupun perbuatan, menjaga lisan, mata, makanan dan pakaian. Itu semua bisa dilakukan dengan adab. Sebab pangkal semua keabaikan di dunia dan di akhirat adalah adab.” — Semoga Allah senantiasa melimpahkan taufik-Nya kepada kita.

Kedermawanan
Al-Rants al-Muhasibi — rahimahullah — berkata, “Orang dermawan ialah orang yang tidak pernah peduli kepada siapa pun yang ia beri.” Sementara itu al-Junaid — rahimahullah — mengatakan, “Orang dermawan adalah orang yang tidak menjadikan Anda butuh kepada suatu perantara.”

Datuk Kalampayan


Syeikh Muhammad Arsyad al-Banjari

Beberapa penulis biografi Syeikh Muhammad Arsyad al-Banjari, antara lain Mufti Kerajaan Indragiri Abdurrahman Siddiq, berpendapat bahwa ia adalah keturunan Alawiyyin melalui jalur Sultan Abdurrasyid Mindanao.

Jalur nasabnya ialah Maulana Muhammad Arsyad Al Banjari bin Abdullah bin Abu Bakar bin Sultan Abdurrasyid Mindanao bin Abdullah bin Abu Bakar Al Hindi bin Ahmad Ash Shalaibiyyah bin Husein bin Abdullah bin Syaikh bin Abdullah Al Idrus Al Akbar (datuk seluruh keluarga Al Aidrus) bin Abu Bakar As Sakran bin Abdurrahman As Saqaf bin Muhammad Maula Dawilah bin Ali Maula Ad Dark bin Alwi Al Ghoyyur bin Muhammad Al Faqih Muqaddam bin Ali Faqih Nuruddin bin Muhammad Shahib Mirbath bin Ali Khaliqul Qassam bin Alwi bin Muhammad Maula Shama’ah bin Alawi Abi Sadah bin Ubaidillah bin Imam Ahmad Al Muhajir bin Imam Isa Ar Rumi bin Al Imam Muhammad An Naqib bin Al Imam Ali Uraidhy bin Al Imam Ja’far As Shadiq bin Al Imam Muhammad Al Baqir bin Al Imam Ali Zainal Abidin bin Al Imam Sayyidina Husein bin Al Imam Amirul Mu’minin Ali Karamallah wajhah wa Sayyidah Fatimah Az Zahra binti Rasulullah SAW.



Riwayat masa kecil

Diriwayatkan, pada waktu Sultan Tahlilullah (1700 - 1734 M) memerintah Kesultanan Banjar, suatu hari ketika berkunjung ke kampung Lok Gabang. Sultan melihat seorang anak berusia sekitar 7 tahun sedang asyik menulis dan menggambar, dan tampaknya cerdas dan berbakat, dicerita-kan pula bahwa ia telah fasih membaca Al-Quran dengan indahnya. Terkesan akan kejadian itu, maka Sultan meminta pada orang tuanya agar anak tersebut sebaiknya tinggal di istana untuk belajar bersama dengan anak-anak dan cucu Sultan.

Menikah dan menuntut ilmu di Mekkah.

Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari mendapat pendidikan penuh di Istana sehingga usia mencapai 30 tahun. Kemudian ia dikawinkan dengan seorang perempuan bernama Tuan Bajut. Hasil perkawinan tersebut ialah seorang putri yang diberi nama Syarifah.

Ketika istrinya mengandung anak yang pertama, terlintaslah di hati Muhammad Arsyad suatu keinginan yang kuat untuk menuntut ilmu di tanah suci Mekkah. Maka disampaikannyalah hasrat hatinya kepada sang istri tercinta.

Meskipun dengan berat hati mengingat usia pernikahan mereka yang masih muda, akhirnya isterinya mengamini niat suci sang suami dan mendukungnya dalam meraih cita-cita. Maka, setelah mendapat restu dari sultan berangkatlah Muhammad Arsyad ke Tanah Suci mewujudkan cita-citanya. Deraian air mata dan untaian doa mengiringi kepergiannya.

Di Tanah Suci, Muhammad Arsyad mengaji kepada syeikh terkemuka pada masa itu. Di antara guru beliau adalah Syeikh ‘Athoillah bin Ahmad al-Mishry, al-Faqih Syeikh Muhammad bin Sulaiman al-Kurdi dan al-‘Arif Billah Syeikh Muhammad bin Abdul Karim al-Samman al-Hasani al-Madani.

Syeikh yang disebutkan terakhir adalah guru Muhammad Arsyad di bidang tasawuf, dimana di bawah bimbingannyalah Muhammad Arsyad melakukan suluk dan khalwat, sehingga mendapat ijazah darinya dengan kedudukan sebagai khalifah.

Setelah lebih kurang 35 tahun menuntut ilmu, timbullah kerinduan akan kampung halaman. Terbayang di pelupuk mata indahnya tepian mandi yang di arak barisan pepohonan aren yang menjulang. Terngiang kicauan burung pipit di pematang dan desiran angin membelai hijaunya rumput. Terkenang akan kesabaran dan ketegaran sang istri yang setia menanti tanpa tahu sampai kapan penentiannya akan berakhir. Pada Bulan Ramadhan 1186 H bertepatan 1772 M, sampailah Muhammad Arsyad di kampung halamannya, Martapura, pusat Kesultanan Banjar pada masa itu.

Akan tetapi, Sultan Tahlilullah, seorang yang telah banyak membantunya telah wafat dan digantikan kemudian oleh Sultan Tahmidullah II bin Sultan Tamjidullah I, yaitu cucu Sultan Tahlilullah. Sultan Tahmidullah yang pada ketika itu memerintah Kesultanan Banjar, sangat menaruh perhatian terhadap perkembangan serta kemajuan agama Islam di kerajaannya.

Sultan Tahmidullah II menyambut kedatangan beliau dengan upacara adat kebesaran. Segenap rakyatpun mengelu-elukannya sebagai seorang ulama “Matahari Agama” yang cahayanya diharapkan menyinari seluruh Kesultanan Banjar. Aktivitas beliau sepulangnya dari Tanah Suci dicurahkan untuk menyebarluaskan ilmu pengetahuan yang diperolehnya. Baik kepada keluarga, kerabat ataupun masyarakat pada umumnya. Bahkan, sultan pun termasuk salah seorang muridnya sehingga jadilah dia raja yang ‘alim lagi wara’. Selama hidupnya ia memiliki 29 anak dari tujuh isterinya.


Hubungan dengan Kesultanan Banjar

Pada waktu ia berumur sekitar 30 tahun, Sultan mengabulkan keinginannya untuk belajar ke Mekkah demi memperdalam ilmunya. Segala perbelanjaanya ditanggung oleh Sultan. Lebih dari 30 tahun kemudian, yaitu setelah gurunya menyatakan telah cukup bekal ilmunya, barulah Syekh Muhammad Arsyad kembali pulang ke Banjarmasin. Akan tetapi, Sultan Tahlilullah seorang yang telah banyak membantunya telah wafat dan digantikan kemudian oleh Sultan Tahmidullah II bin Sultan Tamjidullah I, yaitu cucu Sultan Tahlilullah.

Sultan Tahmidullah II yang pada ketika itu memerintah Kesultanan Banjar, sangat menaruh perhatian terhadap perkembangan serta kemajuan agama Islam di kerajaannya. Sultan inilah yang meminta kepada Syekh Muhammad Arsyad agar menulis sebuah Kitab Hukum Ibadat (Hukum Fiqh), yang kelak kemudian dikenal dengan nama Kitab Sabilal Muhtadin.

Pengajaran dan bermasyarakat

Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari adalah pelopor pengajaran Hukum Islam di Kalimantan Selatan. Sekembalinya ke kampung halaman dari Mekkah, hal pertama yang dikerjakannya ialah membuka tempat pengajian (semacam pesantren) bernama Dalam Pagar, yang kemudian lama-kelamaan menjadi sebuah kampung yang ramai tempat menuntut ilmu agama Islam. Ulama-ulama yang dikemudian hari menduduki tempat-tempat penting di seluruh Kerajaan Banjar, banyak yang merupakan didikan dari suraunya di Desa Dalam Pagar.

Di samping mendidik, ia juga menulis beberapa kitab dan risalah untuk keperluan murid-muridnya serta keperluan kerajaan. Salah satu kitabnya yang terkenal adalah Kitab Sabilal Muhtadin yang merupakan kitab Hukum-Fiqh dan menjadi kitab-pegangan pada waktu itu, tidak saja di seluruh Kerajaan Banjar tapi sampai ke-seluruh Nusantara dan bahkan dipakai pada perguruan-perguruan di luar Nusantara Dan juga dijadikan dasar Negara Brunai Darussalam.

Karya-karyanya

Kitab karya Syekh Muhammad Arsyad yang paling terkenal ialah Kitab Sabilal Muhtadin, atau selengkapnya adalah Kitab Sabilal Muhtadin lit-tafaqquh fi amriddin, yang artinya dalam terjemahan bebas adalah “Jalan bagi orang-orang yang mendapat petunjuk untuk mendalami urusan-urusan agama”. Syeikh Muhammad Arsyad telah menulis untuk keperluan pengajaran serta pendidikan, beberapa kitab serta risalah lainnya, diantaranya ialah:

• Kitab Ushuluddin yang biasa disebut Kitab Sifat Duapuluh,

• Kitab Tuhfatur Raghibin, yaitu kitab yang membahas soal-soal itikad serta perbuatan yang sesat,

• Kitab Nuqtatul Ajlan, yaitu kitab tentang wanita serta tertib suami-isteri,

• Kitabul Fara-idl, semacam hukum-perdata.

Dari beberapa risalahnya dan beberapa pelajaran penting yang langsung diajarkannya, oleh murid-muridnya kemudian dihimpun dan menjadi semacam Kitab Hukum Syarat, yaitu tentang syarat syahadat, sembahyang, bersuci, puasa dan yang berhubungan dengan itu, dan untuk mana biasa disebut Kitab Parukunan. Sedangkan mengenai bidang Tasawuf, ia juga menuliskan pikiran-pikirannya dalam Kitab Kanzul-Makrifah.

Setelah ± 40 tahun mengembangkan dan menyiarkan Islam di wilayah Kerajaan Banjar, akhirnya pada hari selasa, 6 Syawwal 1227 H (1812 M) Allah SWT memanggil Syekh Muh. Arsyad ke hadirat-Nya. Usia beliau 105 tahun dan dimakamkan di desa Kalampayan, sehingga beliau juga dikenal dengan sebutan Datuk Kalampayan.

Niat


Syekh Abul Hasan Asy-Syadzily

Hakikat niat adalah pengosongan selain yang diniatkan ketika masuk di dalamnya. Sedangkan kesempurnaan niat adalah memprioritaskannya secara penuh. Rasulullah saw. bersabda; “Sesungguhnya amal-amal itu bergantung pada niat-niatnya” Niat sendiri mempunyai posisi, waktu, cara dan arti. Saya meminta Anda agar menjernihkan posisinya, menyelaraskan dalam waktu-waktunya, menjaga cara-caranya dan mendalami arti-artinya.
Saya minta agar Anda benar dalam berjanji, baik dalam tujuan, dan semata karena Allah dalam kehendak, mengagungkan hak ketuhanan, dan mendisiplinkan jiwa sebagai predikat kehambaan.
Posisi niat adalah hati, waktunya adalah ketika memulai amal, dan caranya adalah mengaitkan hati dengan raga.

Sedangkan arti niat ada empat: Bermaksud, bertujuan, berkehendak dan berkemauan. Semuanya berarti satu. Niat sendiri memiliki dua ilustrasi: Menghadapkan hati melalui kebangkitan yang baik di dalamnya. Dan kedua, adalah ikhlas dalam amal semata hanya bagi Allah, semata untuk meraih pahala dan hanya menghadap Allah swt.

Sedangkan makna dari sabda Rasul saw. “Barang siapa baik niatnya maka akan saleh pula amalnya” kebaikan niat antara diri Anda dengan Allah dilakukan melalui tawajjuh (menghadapkan hati) hati dengan cara menga¬gungkan Allah dan mengagungkan perintah Allah, disamping menga¬gungkan substansi perintah itu sendiri. Kebaikan niat ada dian¬tara Anda dengan sesama hamba melalui tawajuh jiwa, dengan mena¬sihati kepada mereka, disertai menegakkan hak asasi mereka, meninggalkan bagian-bagian duniawi, menepiskan hal-hal yang berdimensi materi, disertai sabar dan tawakal kepada Allah swt.

Burung dan Ikan Hiu
Abu Yazid al-Bisthamy ditanya, “Aku dengar anda berjalan di atas air dan terbang di atas udara.”
“Orang beriman lebih memuliakan Allah Azza wa-Jalla ketimbang langit sap tujuh. Apa yang perlu dikagumi dari sekadar berjalan di air dan terbang di udara, seperti posisi burung dan ikan hiu?”

Nabi Musa AS dan Trenggiling
Suatu saat Nabi Musa as melewati pantai sepanjang laut. Lalu ia bermunajat, “Tuhanku, lelah sekali kedua dengkulku, dan berat sekali punggungku. Oh Kekasihku, apa yang hendak kau berlakukan padaku ini?”
Allah pun mengutus binatang Trenggiling untuk menjawabnya.

“Wahai anak Imran, apakah kau berharap pada Tuhanmu, dengan ibadahmu padanya? Bukankah Allah telah memilihmu dan berbicara padamu, dan membuatmu dekat dan mbermunajat padaNya? Demi Yang menciptakanku dan Melihatku, sesungguhnya aku berada di padang sahara ini sejak 360 tahun, selama itu aku bertasbih siang malam, sedikit pun aku tidak berpaling dariNya. Dan sejak tiga hari lalu aku tidak makan. Bahkan setyiap saat gemreteglah tulang-tulangku karena Maha BesarNya.”

Ujian Tawakkal
Abu Said Abul Khair ra menegaskan, “Suatu hari aku menuju pelosok desa, rasa lapar benar-benar mencekam. Nafsuku meronta agar memohon kepada Allah Ta’ala, lalu kukatakan, “Itu bukan perilaku orang yang tawakkal.” Lalu nafsuku menuntutku agar bersabar. Namun ketika aku berhasrat untuk kedua kalinya, ada bisikan lembut:
Adakah ia bodoh bahwa Kami lebih dekat?
Kami tak pernah menelantarkan siapa yang datang kepada Kami
Abu Said ingin memohon sabar
Seakan Kami tak melihatnya dan tidak tahu.

Sebagian Syeikh Sufi mengatakan, “Aku pernah melihat seorang pemuda di Masjidil Haram sedang dalam kondisi menderita dan kelaparan, saya sangat kasihan padanya. Aku punya seratus dinar dalam kantong, lalu kudekati dia. “Hai saying, ini buat kebutuhan-kebutuhanmu…”

Pemuda itu tidak menoleh sama sekali padaku, dan aku terus mendesaknya. Pemuda itu berkata, “Hai Syeikh, dinar ini sesuatu yang tidak bisa aku jual dengan syurga dan seisinya. Syurga itu negeri keagungan, asal sumber keteguhan dan keabadian. Bagaimana aku menjualnya dengan harga yang hina?”

Benteng-benteng Mata Batin
Imam Syadzili r.a. berkata, “Benteng matabatin itu ada empat: ikatan hati bersama Allah, meninggalkan selain Allah, matamu tidak memandang kepada apa yang diharamkan oleh Allah, dan kakimu tidak merambah kepada hal yang tidak ada harapan pahala dari Allah.”

Dia berkata mengutip dari gurunya, “Ada dua keburukan yang banyaknya kebaikan sangat jarang bermanfaat bersamanya: tidak senang terhadap qadha (ketetapan) Allah dan kezaliman terhadap hamba-hamba Allah. Dan, ada dua kebaikan yang banyaknya keburukan sangat jarang memudaratkan bersamanya: ridha terhadap ketentuan Allah dan memaafkan hamba-hamba Allah.”

Beliau r.a. berkata, “Janganlah kamu bersahabat dengan orang yang mengutamakan dirinya atasmu karena ia tercela. Dan, juga dengan orang yang mengutamakan dirimu atas dirinya karena itu tidak akan berlangsung lama. Temanilah orang yang bersamanya selalu ingat kepada Allah. Maka, Allah menerima tobatnya apabila kehilangan, dan mencukupkannya apabila dia menyaksikan, Dzikirnya cahaya dan penyaksiannya pembuka pintu gaib. Jadilah tujuanmu itu Allah dan cintamu bersama kematian di setiap langkah, maka Ia senantiasa berada di depanmu. Jangan kamu menemani orang yang sifatnya begitu, jangan kamu bergantung kepadanya, tolak dia sejak langkah pertama, dan perlakukan dia dengan baik selama pertemanan denganmu,” Beliau r.a. menyampaikan dan gurunya bahwa jiwa itu ada tiga: jiwa yang tidak terjadi jual beli terhadapnya karena kebebasannya, jiwa yang terjadi jual beli padanya karena kemuliaannya, dan jiwa yang terabaikan; tidak ada kebebasan maupun kemuliaan.

Dia berkata, “Siapa yang tidak merasakan keakraban bersama Allah apabila dia berpaling dari-Nya. Siapa yang memberi manfaat atau menyakiti dengan lebih berat dari rasanya apabila mereka menghadap kepada-Nya. Tidak ada sesuatu bersamanya dari keakraban dengan Allah, sedikit maupun banyak. Sesungguhnya di antara amal-amal paling utama itu adalah tekad-tekad dan memenuhi kesetiaan.”

Mengutip dari gurunya, beliau berkata, “Awal yang paling utama itu empat setelah empat: cinta kepada Allah, ridha terhadap keputusan Allah, zuhud terhadap dunia, tawakal kepada Allah, melaksanakan kewajiban-kewajiban dari Allah, menjauhi langan-larangan Allah, sabar terhadap yang tidak berguna, dan wara’ dalam setiap sesuatu yang melalaikan.”

Beliau berkata, “Apabila ego menang dan roh kalah, maka terjadi kekeringan dan kegersangan. Perkara terbalik, dan kejahatan seluruhnya muncul Karena itu, berpeganglah kamu dengan Kitab Allah yang memberi petunjuk dan sunah Rasul-Nya yang menyembuhkan. Kamu akan senantiasa dalarn kebaikan selama mengutamakan keduanya. Orang yang berpaling dari keduanya telah ditimpa kejahatan. Para penganut kebenaran (al-Haqq) itu, jika mendengarkan kesia-siaan, mereka berpaling darinya.

Dan, jika mendengarkan kebenaran, mereka menghadap kepadanya. Siapa yang melakukan kebaikan, Kami tambahkan kebaikan baginya.”