Sabtu, 17 April 2010

Perlukah Guru Mursyid?

Jalan menuju Allah bukan bersifat maddi atau material, tetapi ia bersifat maknawi atau rohani. Mata lahir dan akal tidak nampak, yang nampak adalah ruh atau hati yang bersih. Kalau untuk berjalan di jalan raya yang bersifat material, yang nampak oleh mata lahir, dan dilengkapi dengan panduan rambu-rambu lalu lintas, setiap hari banyak terjadi kecelakaan seperti masuk jurang, tergelincir, tabrakan dan sebagainya, apalagi
perjalanan hati atau rohaniah yang mata dan akal tidak dapat melihatnya. Seribu kali lebih susah.

Kita perlu bimbingan dari orang yang bisa melihat dan memahami jalan-jalan rohaniah untuk menuju Allah. Orang ini disebut Guru Mursyid. Tanpa bimbingannya, kadang-kadang sehari 200 kali manusia mengalami kecelakaan rohaniah seperti masuk jurang rohaniah atau tergelincir dari jalan rohaniah tidak dapat mereka rasakan, sebab kecelakaan itu bersifat maknawi yang tidak dapat dilihat oleh mata atau akal.

Diantara contoh kecelakaan rohaniah adalah bila suatu hari kita diuji oleh Allah, misalnya rumah kita terbakar, anak kita ditabrak mobil, kita tidak sabar, maka kitapun berkata, “mengapa ini semua terjadi padaku dan apalah artinya musibah ini”. Kita tidak puas dengan ketentuan Allah, seolah-olah mengeluh kepada Allah. Kemudian bila kita menerima kenikmatan, kita menjadi sombong dan tidak mensyukurinya. Bila mendapatkan kesuksesan dan keberhasilan, kita merasakan itu disebabkan oleh kepintaran kita. Sudah menyentuh syirik khafi (syirik yang tersembunyi). Dalam sholat diri kita tidak melahirkan rasa takut dan merasakan keagungan Allah, tetapi ketika berhadapan dengan Presiden atau raja, hati kita terasa tergetar, itu juga sudah merupakan kecelakaan rohaniah. Ketika berdakwah dipuji orang, hati berbunga-bunga, juga termasuk kecelakaan rohaniah. Selepas sholat, kita marah besar dengan anak buah kita yang bekerja kurang baik dengan menggunakan bahasa yang kasar dan gaya yang sombong, itu juga termasuk kecelakaan rohaniah. Dapatkah ulama biasa merasakan kecelakaan-kecelakaan rohaniah yang terjadi pada dirinya dan manusia setiap hari?

Guru mursyid sangat diperlukan oleh setiap manusia dalam perjalanan hati atau rohani menuju taqwa. Ia dapat memimpin di bidang ilmu, akal atau hati, yang lahir maupun yang batin dan dalam semua hal sehingga hidup manusia dapat tertuju kepada Allah. Guru mursyid dianugerahkan Allah ilmu-ilmu yang luar biasa. Ada ilmu lahir, ada ilmu batin. Bukan saja dia dapat memimpin akal, tetapi terutama dia memimpin hati (roh) manusia. Walaupun mursyid itu seorang yang tidak hafal Qur’an dan hadits. Oleh karena itu walau bagaimana hebat, alim seseorang dia memerlukan adanya seorang guru mursyid yang memimpin perjalanan hati dia menuju Allah. Setiap orang wajib ada mursyid yang memimpin dirinya, baik dia ulama atau tidak, hafiz atau tidak, pakar Islam atau bukan, mualim atau tidak, profesor Islam atau bukan, kalau tidak maka setan yang akan menjadi guru yang memimpin perjalanan hatinya.

Imam Malik pernah berkata :

‘Barang siapa yang tidak mempunyai guru mursyid maka setanlah yang akan menjadi gurunya’

Mursyid itu susah dicari. Apalagi di zaman sekarang yang sudah jauh dari zaman Rasulullah. Orang yang jadi mursyid hanya dalam hitungan jari saja. Sebab itu mursyid kurang populer dan jarang disebut dalam kehidupan sehari-hari. Sebab itu pimpinan sudah tidak ada lagi di kalangan umat Islam hari ini. Maka mereka berjuang dengan main-main akal, beribadah sesuka hati, bertindak sembrono, tidak diukur secara ilmu lagi.

Guru mursyid hanya seorang saja, walaupun guru sumber ilmu boleh banyak. Dalam hal apapun harus kembali kepadanya termasuk dalam hal yang mubah. Walaupun mubah, tetapi untuk mendapatkan barokah haruslah bertanya padanya. Lebih-lebih lagi kalau sudah menjadi arahan atau perintahnya, wajib ditaati. Setiap arahannya sudah menjadi wajib arodhi, sebab mentaati pemimpin adalah wajib.

Jadi setiap orang yang ingin memperbaiki dirinya harus ada mursyid yang akan membimbingnya, sekalipun dia ulama, hafal Al Quran dan ahli Hadits. Mengapa? Dalam ajaran Islam ini, ada ilmu yang datang dari akal, dan ada yang dari hati; ada lahir ada batin; ada yang tersurat dan ada yang tersirat. Kalau seseorang itu diberi ilmu yang tersurat, belum tentu dia akan diberi ilmu yang tersirat. Tidak semua muhadditsin akan diberi ilmu hati. Oleh karena itu, walau ulama sekalipun, mesti ada guru yang memimpinnya. Di sinilah banyak orang salah paham, terutama para ulama. Hati mereka berkata, “Saya sudah jadi ulama, alim, sudah mengajar profesor, sudah menjadi dosen, mengapa perlu pimpinan? Saya bisa memimpin diri saya sendiri. Buat apa bersandar pada orang lain?” Sebab mereka merasa memiliki banyak ilmu dan dapat memimpin dirinya sendiri. Lebih-lebih lagi mereka tidak mau dipimpin oleh guru yang mursyid.

Orang yang boleh memimpin ataupun mursyid, hanyalah orang yang pintu hatinya terbuka, yaitu yang mempunyai bashirah. Bukan sekedar akal saja yang terbuka. Banyak orang yang akalnya terbuka, hingga dapat menangkap ilmu, tetapi sedikit orang yang hatinya terbuka. Mursyid itu ialah orang yang hatinya terbuka luas dan dapat memimpin orang lain. Dia tidak semestinya lebih alim daripada orang yang dipimpinnya. Tetapi dia dianugerahkan ilmu hikmah.

Jadi setiap orang mesti mencari seorang guru mursyid untuk memimpin dirinya walaupun dia alim. Setelah dia bertemu dengan guru mursyid yang layak, maka lahir dan batinnya perlu diserahkan kepada guru mursyid. Bagaimanakah ciri ulama atau guru yang dapat diambil sebagai guru mursyid.

0 komentar: