Senin, 12 April 2010

DZIKIR ITU MUSIK

Orang tahu dzikir itu menimbulkan ketenteraman, menambah kekhusyu’an, menghanyutkan jiwa dalam cinta Ilahi, menguatkan keyakinan dalam pasrah, akhirnya memuncratkan optimisme dan semangat.
Tapi mengapa banyak orang yang katanya sudah berdzikir namun kenikmatan-kenikmatan seperti tersebut di atas tidak juga mereka temui? Apa karena ada perbedaan pada bacaan-bacaan yang dilafalkan? Atau waktunya yang kurang tepat? Atau jumlahnya yang kurang? Atau gurunya yang tak canggih?

Dzikir bukan semata soal bacaan dan jumlah, waktu dan tempat, atau guru dan murid. Satu hal penting yang sering terabaikan dalam berdzikir adalah prosesnya. Apa proses utamanya? Musik! Apa…? Musik…? Ya…, musik!

Dzikir itu proses rasa dan kesadaran, bukan proses fikir yang kognitif. Makanya kalau berdzikir jangan berfikir. Singkirkan semantika dan gramatika, juga tak perlu logika dan algoritma. bahkan Allah juga sudah menegaskan dalam Al Qur'an surat al-Imran ayat 191:

"(yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): "Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka".
(QS. 3:191)

Jelas perbedaannya antara berdzikir dan berfikir, dzikir hanya kepada Allah dan fikir adalah tentang sebab akibat. Jadi dalam berdzikir gunakan saja rasa…, rasa… dan rasa… Abah Anom, seorang sufi besar Tarekat Qadiriyah Naqsyabandiyah, mempunyai pesan yang selalu diingat oleh murid-murid beliau:

“Jangan merasa pandai, tapi pandailah merasa…”

Berfikir itu melangkah, sedangkan berdzikir adalah menari. Berfikir itu kucing yang memandangi isi kolam, berdzikir itu ikan yang bersenandung di dalam kolam.

0 komentar: