Senin, 23 Mei 2011

Perilaku Wara'


Syeikh Abul Hasan Asy-Asyadzily
Bahkan, orang-orang yang cerdas bersikap wara’ dari wara’-wara’ tersebut, dan mereka berlindung kepada Allah darinya. Imam Syadzili ditanya tentang wara, beliau menjawab: Wara’ adalah kenikmatan-kenikmatan jalan ini (tasawuf) terhadap orang yang disegerakan warisannya dan ditunda pahalanya. Hingga wara berujung pada mereka dengan cara mengambil hal dari Allah, tentang Allah, pengungkapan dengan Allah, amal karena Allah dan dengan Allah di atas bukti yang jelas dan pandangan batin yang tajam. Mereka dalam kebanyakan waktu dan seluruh keadaan, tidak mengatur, tidak memilih, tidak berangkat, tidak bertafakur, tidak memandang, tidak menuturkan, tidak menggenggam, tidak berjalan, dan tidak bergerak kecuali dengan Allah dan karena Allah Swt.

Ilmu memasuki hakikat perkara melalui mereka. Karena itu, mereka terhimpun di dalam inti perhimpunan, tidak mereka-reka terhadap apa yang lebih tinggi maupun yang lebih rendah. Adapun yang terendah dan paling rendah, maka Allah me-wara kan mereka dan hal itu sebagai pahala atas ke-waraan mereka beserta pemeliharaan terhadap gugatan-gugatan syaniat atas mereka.

Barang siapa yang tidak ada warisan bagi ilmu dan amalnya, maka dia terdinding dari dunia atau terkendali dengan dakwaan. Padahal warisannya adalah ketakwaan untuk akhlaknya, menjadi tinggi dan gagah dengan ilmunya, dan menunjukkan kepada Allah dengan amalnya. Maka, yang demikian itu adalah kerugian yang nyata. Semoga Allah melindungi kita dan hal itu.

Bahkan, orang-orang yang cerdas bersikap wara’ dari wara’-wara’ tersebut, dan mereka berlindung kepada Allah darinya.
Siapa yang dengan ilmu dan amalnya tidak semakin bertambah kefakiran kepada Allah dan tawadhu’ terhadap makhluk-Nya, maka dia orang yang celaka. Mahasuci Allah yang telah memutus banyak orang ahli kesalehan dengan kesalehan mereka dan Dzat Yang Menyalehkan mereka, sebagaimana Dia memutus orang-orang yang berbuat kerusakan dengan kerusakan mereka dan Dzat Yang Menciptakan mereka. Karena itu, minta tolonglah kepada Allah. Sesungguhnya Dia Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.

KESAKSIAN-KESAKSIAN
Beliau r.a. berkata: Aku melihat seolah-olah aku sedang duduk bersama para sahabatku di depan guruku. Lalu, guruku berkata kepadaku, “Peliharalah dariku empat pasal; tiga untukrnu dan satu untuk orang yang malang ini: jangan memilih dalam perkaramu sedikit pun, pilihlah untuk tidak memilih, dan larilah dari pilihan tersebut, bahkan larilah dari pelarianmu, dan dari segala sesuatu kepada Allah. ‘Dan Tuhanmu menciptakan apa yang Dia kehendaki dan memilihnya. Sekali-kali tidak ada pilihan bagi mereka.’ (QS. Al-Qashash [281]: 68)’. Seluruh pilihan syariat adalah pilihan Allah, tidak ada bagimu sedikit pun dan kamu mesti melaksanakannya. Karena itu, dengarkan dan taatlah, Inilah letak fiqih rabbani dan ilmu ilhami, yaitu tanah bagi ilmu hakikat yang diambil dari Allah bagi orang yang lurus. Jadi, pahamilah, bacalah, dan ajaklah kepada Tuhanmu. Sesungguhnya kamu di atas petunjuk yang lurus. Dan, jika mereka mendebatmu, maka katakanlah: “Allah Maha Mengetahui apa yang kalian lakukan.”

Kamu harus zuhud terhadap dunia dan bertawakal kepada Allah karena zuhud adalah pangkal dalam amal-amal dan tawakal adalah pokok puncak dalam ahwal. Tegakkan kesaksian dengan Allah dan berpeganglah kepada-Nya dalam ucapan, perbuatan, akhlak, dan ahwal, Siapa yang berpegang teguh kepada Allah, maka dia sungguh telah diberi petunjuk ke jalan yang lurus.
Jauhilah keraguan, kesyirikan, ketamakan, dan sikap protes terhadap Allah sedikit pun. Dan, sembahlah Allah di atas kedekatan yang agung, niscaya kamu akan dianugerahi cinta, pilihan, pengkhususan, dan penanganan dari Allah. Dan, Allah menangani pemeliharaan orang-orang yang bertakwa,”

Kemudian, guruku berkata kepadaku, “Dan yang memutus jiwa si malang ini dan keterhubungan dengan ketaatan kepada-Nya, mendinding hatinya dan perealisasian maknifat kepada-Nya, dan menyibukkan akalnya dari kesaksian-kesaksian pengesaan-Nya adalah dua perkara; masuknya ke dalam amal dunianya dengan pengaturannya dan ke dalam amal akhiratnya di atas keraguan terhadap anugerah-anugerah Kekasihnya. Karena itu, Allah menghukumnya dengan dinding penutupan, keserupaan pengatur-pengatur, dan melupakan penghitungan. Allah Swt menenggelamkannya di lautan pengaturan dan penetapan, dan dia tergantung di dalamnya dengan wara’ pengeruhan. Tidakkah mereka bertobat kepada Allah dan meminta ampun kepada-Nya? Dan, Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
Oleh karena itu, kembalilah kalian kepada Allah pada awal-awal pengaturan dan penetapan, niscaya kalian akan dianugerahi topangan pemudahan dan dibentangkan penghalang antara kalian dengan penyulitan. Setiap wara’ yang tidak membuahkan ilmu dan cahaya bagimu, maka jangan kamu hitung pahalanya. Setiap keburukan yang dikuntit oleh sikap takut dan lan kepada Allah, maka jangan dipandang beban (dosa) baginya,”

Kemudian, dia memberi isyarat dan berkata, “Ambillah rezekimu di mana Allah menurunkanmu dengan mengamalkan ilmu pengetahuan dan mengikuti sunah. Dan, janganlah kamu naik mendaki sebelum Dia membawamu naik, sehingga tergelincir kakimu,”

Beliau r.a. berkata: Aku berada di Manshurah (provinsi bagian Mesir-penj). Pada tanggal 8 Zulhijah, aku melewati malam dalam kegelisahan karena persoalan kaum Muslimin dan persoalan kawasan perbatasan, maksudku Iskandariah khususnya. Aku berdoa dan bersimpuh kepada Allah tentang perkara Sultan dan kaum Muslimin. Ketika memasuki akhir malam, aku (bermimpi) melihat tenda yang sangat luas, tinggi menjulang ke langit, dan dilingkupi cahaya. Begitu banyak orang berdesakan dari penduduk langit dan penghuni bumi. Mereka semua sibuk terhadapnya.
Aku bertanya, “Milik siapa tenda ini?” Mereka katakan, “Milik Rasulullah SAW.” Aku pun segera mendatanginya dengan penuh kegembiraan. Di depan pintunya aku jumpai sekelompok ulama dan orang-orang saleh sekitar 70 orang. Aku kenali di antara mereka adalah al-Faqih (pakar fikih) Izzuddin bin Abdissalam, al-Faqih Majduddin; pengajar di Qus, al-Faqih Kamal bin al-Qadhi Shadruddin, al-Faqih al-Muhaddits (ahli hadis) Muhyiddin bin Suraqah, al-Faqih al-HakIm Binu al-Hawafiz dan bersamanya dua orang laki-laki yang tidak aku lihat orang yang Iebih elok dari mereka berdua, Dan, aku tidak mengenal mereka kecuali muncul perkiraan padaku dalam mimpi itu bahwa mereka al-Faqih Zakiyuddin bin Abdul Azhim al-Muhaddits dan Syekh Majduddin al-Idhmimi.

Aku ingin melangkah maju kepada Rasulullah Saw, maka aku menekankan diriku dengan kerendahan hati dan kesopanan bersama al-Faqih Izzuddin bin Abdissalam. Dan, aku berkata kepada diriku, “Tidak layak bagimu melangkah maju di antara alim umat pada masa ini.” Lalu, al-Faqih melangkah maju dan seluruh orang mengikutinya, Dan Rasulullah Saw memberi isyarat kepada mereka ke sebelah kiri dan kanan agar mereka duduk.

Aku ikut melangkah maju seraya menangis dalam kegelisahan dan kegembiraan, Gembira, karena kedekatanku dengan Rasulullah Saw dari segi nasab. Sedangkan merasa gelisah, disebabkan persoalan kaum Muslimin dan wilayah perbatasan. Dan, bergerak kerinduan tabiatku kepada beliau Saw. Lantas, beliau mengulurkan tangannya hingga menggenggam tanganku dan berkata kepadaku, “Jangan kamu gelisahkan hingga seperti ini. Kamu mesti menasihati puncak persoalan, yakni Sultan. Karena, jika pemimpin mereka adalah orang yang zalim, maka betapa dia.” (Dan beliau menghimpun jari-jari tangan yang lima dan tangan kirinya seakan-akan beliau menyedikitkan rentang waktu). “Dan jika pemimpin mereka orang yang bertakwa, maka Allah melindungi orang-orang yang bertakwa.” (Dan beliau membentangkan kedua tangannya yang kiri dan kanan).

Adapun kaum Muslimin, maka cukup bagimu (menyerahkan kepada) Allah, Rasul-Nya, dan orang-orang Mukmin ini, ‘Dan barang siapa mengambil Allah, Rasul-Nya, dan orang-orang yang beriman menjadi penolongnya, maka sesungguhnya pengikut (agama) Allah itulah yang pasti menang.’ (QS. AI-Maidah [5]: 56)

Adapun Sultan, maka kekuatan dibentangkan kepadanya selama dia memimpin penduduk wilayahnya, bernasihat dalam kepemimpinannya, dan bernasihat terhadap kaum Mukminin dan para hamba-Nya. Karena itu, nasihatilah dia. Dan, katakan dengan tegas pada orang yang zalim: musuh Allah. Dan, tuliskan baginya, “Dan bersabarlah kamu, sesungguhnya janji Allah adalah benar dan sekali-kali janganlah orang-orang yang tidak meyakini (kebenaran ayat-ayat Allah) itu menggelisahkan kamu, “ (QS. Ar-Rum [301]: 60). Lantas, aku berkata, “Kami menang, demi Tuhan Ka’bah.” Dan, aku pun tersadar.

Beliau r.a. berkata: Sebagian orang fakir meminta izin ke padaku untuk menghadiri pengajian. Maka, aku bermaksud dengan hal itu. Lalu, aku melihat guruku r.a. Tangan kanannya memegang buku, di dalamnya ada Al-Quran Al-Azhim dan hadis Rasulullah Saw. Tangan kirinya memegang kertas berisi Untaian puisi pendek. Dia berkata seperti orang mengejek, “Kalian berpaling dari ilmu-ilmu suci kepada ilmu-ilmu para pengikut hawa nafsu yang rendah. Siapa yang memperbanyak melakukan ini maka dia adalah hamba yang diperbudak oleh hawa nafsu, tawanan syahwat-syahwat dan angannya. Bergelora dengannya hati orang yang lalai dari hura-hura, serta orang-orang yang sesat lagi buta. Tidak ada kehendak bagi mereka dalam mengerjakan kebaikan dan mendapatkan ampunan. Mereka meliuk-liuk bergoyang ketika mendengarnya seperti liukan anak-anak. Dan, jika orang yang zalim tidak berhenti, sungguh Allah akan membalik buminya menjadi langit dan langitnya menjadi bumi”

Kondisi perasaan gembira yang amat luar biasa (ekstasi) menimpaku karenanya dan aku berkata kepadanya, “Benar, guruku. Kecuali bahwa nafsu itu sifatnya bumi sedangkan roh itu sifatnya langit” Dia berkata kepadaku, “Benar, Ali. Apabila roh itu mencurahkan hujan ilmu-ilmu dan diri itu kokoh dengan amal-amal saleh, maka tercapai kebaikan seluruhnya. Apabila ego yang menang dan roh kalah, maka akan terjadi kekeringan dan kegersangan, perkara terbalik dan kejahatan seluruhnya muncul.

Karena itu, berpeganglah kamu dengan Kitab Allah yang memberi petunjuk dan sunah Rasul-Nya yang menyembuhkan. Kamu akan senantiasa dalam kebaikan selama mengutamakan keduanya. Sungguh telah ditempa kejahatan orang yang berpaling dari keduanya. Dan, penganut kebenaran (al-Haqq) jika mendengarkan kesia-siaan, mereka berpaling darinya. Dan, jika mendengar kebenaran, mereka menghadap kepadanya. Siapa yang melakukan kebaikan, Kami tambahkan kebaikan baginya
Beliau r.a. berkata: Aku melihat guruku dl bawah ‘Arsy. Malta, aku berkata kepadanya, “Tuanku, aku melihatmu tadi malam di bawah ‘Arsy.” Dia menyahut “Tidak kamu lihat kecuall dirimu sendiri, Ali. Siapa yang bersama Allah tanpa di mana dan bagaimana itu terlihat? Akan tetapi, jika kamu mewarisi kedudukanku, kamu melihatku.”

0 komentar: