Senin, 22 Februari 2010

Cermin Keberanian Seorang Sufi


Abdul Bashir (35 thn)-Korban Selamat Tenggelamnya KM Senopati Nusantara
Bagi Abdul Bashir, warga Demak, yang bekerja di perusahaan meubel di Kalimantan Tengah, peristiwa tenggelamnya KM Senopati Nusantara di penghujung tahun 2006 lalu sungguh menjadi peristiwa Desember kelabu yang tidak

bisa terlupakan sepanjang hayatnya. Bashir, begitu ia biasa disapa, adalah satu dari 500 orang penumpang, yang selamat saat KM Senopati Nusantara yang berlabuh dari pelabuhan Kumai Kalimantan Tengah menuju Pelabuhan Tanjung Mas Semarang Jawa Tengah tenggelam ditengah lautan.

“Saat kapal mulai oleng, hampir seluruh penumpang terlihat panik. Suara tangis, jeritan dan gema takbir penumpang bertalu-talu menjadi satu,” kenang Bashir. “Kepanikan itu semakin menjadi, tengah malam, menjelang tenggelam dan kapal sudah kehilangan kendali, para penumpang histeris berlari tak menentu arah. Ditambah lagi lampu mati, hujan turun dengan derasnya di iringi gelegar petir yang seakan saling bersahutan dan akhirnya menyambar salah satu sisi kapal yang sudah mulai digenangi air laut dan air hujan,” tambah Bashir.

Namun bagi setiap penempuh jalan spiritual, utamanya Bashir, tawakal atau berpegang teguh pada Allah, menjadi modal pertama dan utama dalam menghadapi berbagai kehidupan. Bashir merasa beruntung saat musibah itu menimpanya ia sudah bertarekat. Ia telah berbaiat memilih tarekat syaadziliyyah pada mursyid kaamil mukammil di Tulung Agung, Jawa Timur.

Laku lampah yang di dapat dari tarekat syaadziliyyah menghantarkan Bashir dapat bertawakkal, menjaga kesantunan nya kepada Allah meski dalam suasana yang sangat genting dan mencekam. Saat itulah Bashir “melihat” bahwa tawakkal bisa jadi dirasa tidak memuaskan sebab ia menuntut kesabaran. Ia seolah ingin mengatakan bahwa banyak orang yang tak mampu bertawakkal karena hawa nafsunya menolak untuk bersabar. Tapi bagi Bashir di dalam kesabaran itulah memang letak ujiannya. Itulah yang membuatnya rela mendahulukan orang lain berebut jalan dan mengambil pelampung demi keselamatan mereka. Itulah yang menjadikan Bashir pasrah disaat tubuhnya akan tenggelam bersamaan dengan tenggelamnya kapal dengan puluhan sepeda motor, kendaraan roda empat dan truk didalamnya.

Musibah atau bencana memang tak bisa di biarkan, tetapi ia harus diperjuangkan dengan cara-cara yang telah disediakan Allah, yakni tawakkal dan sabar. Bashir tak membiarkan kepasrahan hatinya lepas dari Allah. Ia pasrah sepasrah-pasrahnya. Ia sabar sesabar-sabarnya dan tak mengizinkan nafsunya liar mencari alat penyelamat selain Allah. Bagi Bashir, apalah artinya pelampung yang membungkus dada, jika Allah tak bersemayam di dalam dada; Apalah arti sebuah keselamatan jika keselamatan itu di dapat dari hasil nafsu yang meronta-ronta. “Na’udzubillah !,” tukasnya, singkat.

Air laut sudah menggenangi hingga batas dadanya, kedua tapak kakinya telah berpisah dari lantai dek kapal yang dipijak sebelumnya. Kapal itu pun semakin jauh tenggelam menuju dasar permukaan laut bersama berbagai puluhan kendaraan dan barang-barang bawaan penumpang. Namun Bashir sedikit pun tak bergeming dalam tawakal dan sabar. Ia benar-benar telah sampai pada fatwa Imam Abul Hasan Asy-Syadziliy yang mengatakan, ‘’Apa yang menjadi urusanmu, tak perlu kau turut mengaturnya. Apabila kalian harus mengatur diri juga, maka lebih baik aturlah agar kalian tidak mengatur. Keberpalingan mu (untuk tidak mengatur) dan semua urusanmu, serahkan saja kepada Allah Swt.”

Di luar tugas menafsirkan dan meyakini hukum kemanusiaan bahwa manusia harus berikhtiar, ada tugas yang sangat jelas di mata Bashir saat itu yakni kewajiban menerima taqdir Allah dengan tawakkal dan sabar hingga tubuh dan seluruh organ batinnya secara utuh merasakan makna hakiki firman Allah yang berbunyi, “Dan Tuhanmu menciptakan apa yang dikehendaki dan dipilih-Nya. Mereka tidak dapat memilih. Maha Suci Allah dan Maha Tinggi dari apa yang mereka sekutukan.” (Q.S. al-Qhashas (28) : 68)”

Ia terima semua yang datang dari Allah tidak karena ukuran selamat atau celaka, tetapi dengan ukuran iman yang menghiasi hati sanubarinya sendiri. Lalu Allah-pun memberinya kesanggupan mengibarkan tawakkal dan sabar dalam dirinya, hingga pada akhirnya tawakkal dan sabar yang terkibar itu menjadi “energi” tersendiri.

Di tengah lautan yang gelap gulita dan badai ombak yang mencapai ketinggian enam meter, Allah mengapungkan tubuhnya (tanpa sekoci dan pelampung) hingga tidak turut tenggelam seperti yang dialami puluhan penumpang lainnya. “Alhamdulillah, Mas. Saya tidak turut tenggelam. Allah mengapungkan saya meski tanpa pelampung,” tutur Basir yang sejurus kemudian mengatakan, “Saya yakin ini rahmat Allah yang Allah salurkan lewat aurod (jamak dari wird; red) syadziliyyah dan berkah doa mursyid !,” jelas Basir penuh semangat.
Meski demikian, ia terus berjuang. Berjuang bukan untuk agar dapat secepatnya ke tepi lautan. Ia berjuang agar hatinya tetap menjadi baitullah, rumah Allah. Dan dzikir
Allah…Allah..Allah…pun terus di gemakan nya hingga (kira-kira lima menit kemudian) ia melihat sekoci yang semula dianggapnya sebagai onggokan sampah menghampirinya. Ia menghindari sekoci itu. Namun uniknya, semakin ia menghindari, semakin cepat sekoci itu mendekat dan menghampiri Basir. Ia tak sanggup menghindari dan diraihnya pula sekoci yang ternyata sudah ada tiga orang penumpang dalam keadaan lunglai di dalam sekoci yang hanya muat untuk ditumpangi empat orang penumpang itu.
Empat hari tiga malam, ia terombang-ambing tak menentu arah ditengah lautan, hingga sebelum terdampar ditepian pantai ia berpapasan dengan sekoci yang lebih besar lagi yang sudah ditumpangi sembilan orang korban naas lainnya. Bashir bersama ketiga korban lainnya berinisiatif untuk pindah ke sekoci yang memang muat untuk ditumpangi oleh lima belas orang itu.

Bersama ke dua belas rekan senasibnya itu, akhirnya Bashir terdampar di anjungan pengeboran minyak di kepulauan Bawean dan tepat tanggal 1 Januari 2007 pukul setengah satu siang Bashir mendapat pertolongan medis dari pegawai pengeboran minyak disana. Bashir dan ketiga belas rekannya pun diantar ke kepulauan Surabaya untuk mendapat pertolongan medis lanjutan.
Bala’ yang tidak indah, pedih dan tragis telah memancing Bashir menjadi pemberani sejati dalam mewujudkan sumpah yang senantiasa diucapkan disetiap shalatnya; inna sholatiy wa nusukiy wa mahyaaya wa mamatiy lillaahi robbil ‘aalamiin; sesungguhnya shalatku, jalanku, hidup dan matiku hanya untuk Allah Tuhan semesta alam. Pemberani dalam pengertian sebenarnya. Ia benar-benar telah membuktikan Allah sebagai satu-satunya tujuan dan cita-cita mulai dari dalam hatinya. Inilah keberanian yang sesungguhnya dituntut dari setiap penempuh jalan spiritual.
Maka, patut bagi setiap penempuh Dunia Ruhani yang masih bernyali kecil dan bergantung pada makhluk untuk merenungkan sabda Nabi: “Jika Allah Swt mencintai seorang hamba-Nya maka ia akan di uji dengan bala. Jika dia sabar, maka Allah akan memilihnya. Jika ia ridla, maka Allah akan mengistimewakannya.”

0 komentar: