Senin, 23 Mei 2011

Sabar


Setiap orang Mukmin mampu bersabar terhadap bencana yang menimpanya, namun tidak dapat bersabar atas kesenangan yang dianugerahkan kepadanya, kecuali orang yang benar (orang yang jujur)

Allah Swt. berfirman:
“Dan bersabarlah. Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar.” (Q.s. Al-Anfal: 46)

Ada beberapa hal yang dikaruniakan untuk orang-orang yang sabar, dan tidak diberikan kepada selain mereka.
Allah Swt. berfirman:
“Mereka itulah yang mendapat keberkatan yang sempurna dan rahmat Tuhannya, dan mereka itulah orang-orang yang mendapat petunjuk.” (Q.s. Al-Baqarah: 157).

“Dan sesungguhnya Kami akan memberi balasan kepada orang-orang yang sabar dengan pahala yang lebih baik dan apa yang telah mereka kerjakan.” (Q.s. An-Nahl: 96).

“Dan Kami jadikan di antara mereka itu pemimpin-pemimpin yang memberi petunjuk dengan perintah Kami ketika mereka sabar.” (Q.s. As-Sajdah: 24).

Firman Allah Swt, “Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah yang dicukupkan pahala mereka tanpa batas.” (Q.s. Az-Zumar: 10).

Allah Swt. menyebutkan kata “sabar” dalam Al-Qur’an lebih dari tujuh puluh tempat.

Rasulullah Saw. bersabda, “Sabar itu separo dari iman.”
Rasulullah Saw. juga bersabda, “Di antara yang terbatas (paling sedikit) yang diberikan kepada kalian adalah keyakinan dan kesabaran yang kokoh. Barangsiapa mendapatkan bagian dari kedua hal tersebut, dia selalu memperhatikan bangun malam dan puasa siang.”

“Sabar merupakan salah satu simpanan dari simpanan-simpanan surga.”

Pada suatu kesempatan Nabi Muhammad Saw. ditanya tentang iman, beliau menjawab, “lman itu adalah sabar.”

Nabi Isa as. pernah bersabda, “Sungguh, kalian tidak akan mengetahui apa yang kalian senangi, kecuali dengan kesabaran kalian atas apa yang kalian benci.”

Esensi Sabar
Esensi sabar adalah, keteguhan yang mendorong hidup beragama, dalam menghadapi dorongan hawa nafsu. Itu adalah salah satu karakteristik manusia yang terkomposisi dari unsur malaikat dan unsur binatang. Binatang hanya dikuasai oleh dorongan-dorongan nafsu birahi, sedangkan para malaikat tidaklah dikuasai oleh hawa nafsu. Mereka semata-mata diarahkan pada kerinduan untuk menelusuri keindahan hadirat ketuhanan dan dorongan ke arah derajat kedekatan dengan-Nya.

Mereka bertasbih menyucikan Allah Swt. sepanjang siang dan malam tiada henti. Pada diri mereka tidak terdapat dorongan-dorongan hawa nafsu. Sementara pada diri manusia dan binatang tidak terdapat sifat sabar, bahkan manusia itu cenderung dikuasai oleh dua macam pasukan yang saling menyerang dan berebut untuk menguasainya. Salah satunya, pasukan Allah dan para malaikat-Nya, berupa akal pikiran berikut seluruh instrumennya. Yang kedua, dari pasukan setan, yaitu hawa nafsu dan seluruh instrumennya, setelah adanya informasi unsur pendorong agama dan akal. Sebab, pandangannya terpaku pada akibat-akibat sesudahnya.

Serangan dimulai dengan memerangi pasukan setan. Jika pendorong agama lebih kuat dalam menghadapi pendorong hawa nafsu, hingga dapat mengalahkannya, maka berarti telah mencapai tingkatan sabar. Sabar itu tidak akan pernah terwujud, kecuali setelah terjadinya perang antara kedua pendorong tersebut. Hal ini identik dengan kesabaran saat meneguk obat pahit yang didorong oleh dorongan-dorongan akal pikiran, namun dicegah oleh dorongan-dorongan hawa nafsu. Setiap orang yang dikalahkan oleh hawa nafunya, tidak akan menelan obat pahit tersebut, sebaliknya orang yang akal pikirannya dapat mengalahkan hawa nafsunya, ia mampu bersabar dengan rasa pahit obat itu agar bisa sembuh. Separo keimanan itu akan terpenuhi dengan kesabaran, karena itulah Rasulullah Saw. bersabda, “Sabar itu separo dan iman.”

Karena keimanan itu dikaitkan pada pengetahuan dan perbuatan sekaligus. Sedangkan seluruh amal perbuatan yang membentangkan dua sisi; preventif dan ekspresif penyucian dan penghiasan diri hanya bisa tuntas dan sempurna dengan kesabaran. Sebab sejumlah perbuatan iman selalu berhadapan dengan dorongan hawa nafsu. Karenanya, perbuatan iman tidak dapat sempurna, kecuali dengan peneguhan pendorong agama dalam menghadapi hawa nafsu. Itulah sebabnya, Rasulullah Saw. bersabda, “Puasa itu adalah separo dari kesabaran.”

Karena sabar itu kadang-kadang berhadapan dengan dorongan-dorongan hawa nafsu dan terkadang pula berhadapan dengan dorongan-dorongan amarah; sedangkan puasa berfungsi sebagai penghancur dan pemusnah hawa nafsu.

Derajat Kesabaran

Ditinjau dan kuat dan tidaknya, kesabaran itu terdiri atas tiga tingkatan:
Tingkatan tertinggi adalah terkekangnya seluruh dorongan hawa nafsu hingga tidak memiliki kekuatan sama sekali untuk kontra. Hal ini dicapai dengan kesabaran yang kontinyu dan mujahadah yang terus-menerus. Mereka itu termasuk dalam golongan yang disinyalir (dalam Al-Qur’an):

“Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan, ‘Tuhan kami adalah Allah,’ kemudian mereka meneguhkan pendirian mereka,” (Q.s. Fushshilat: 30, Al-Ahqaf: 13).

Kepada golongan tersebut Sang Penyeru berseru:
“Hai jiwa yang tenang, kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas dan diridhai-Nya.” (Q.s. Al-Fajr: 27-8).

Tingkatan terendah adalah kokohnya dorongan-dorongan hawa nafsu dan tersisihnya dorongan agama. Hawa nafsu memenangkan kompetisi ini, sehingga kalbu pun menyerah pada pasukan setan, Mereka yang demikian itu termasuk dalam golongan yang disinyalir oleh Al-Qur’an:
”Akan tetapi, telah tetaplah perkataan (ketetapan) dari padaKu, ‘Sesungguhnya akan Aku penuhi neraka Jahannam itu dengan jin dan manusia bersama-sama’” (Q.s. As-Sajdah: 13).

Ada dua indikasi dalam hal ini, yaitu:
Pertama, seseorang selalu berkata, ”Aku sangat butuh dan rindu tobat, namun itu sangat menyulitkan bagiku. Karenanya, aku tidak bersikeras untuk tobat.”
Orang yang demikian adalah orang yang putus asa, dan dia adalah orang yang binasa.

Kedua, dalam dirinya tidak terdapat rasa rindu untuk tobat, namun ia berkata, “Allah Maha Mulia, Maha Dermawan lagi Maha Pengasih. Dia tidak butuh tobatku, sehingga surga yang luas itu tidak akan jadi sempit dan ampunan masih sangat luas bagiku.”

Orang yang demikian adalah orang yang patut dikasihani. Akal pikirannya menjadi tawanan hawa nafsunya, digunakan semata untuk menyiasati pengetrapan hawa nafsu, sehingga akal pikirannya menjadi seperti seorang Muslim yang dikepung dan ditawan oleh orang-orang kafir, mereka menghina dan mencemoohnya di kandang babi.

Dapat Anda bayangkan, bagaimana kira-kira nasib seorang budak bila diambil oleh anak tuannya yang paling keras, kemudian diserahkan kepada musuhnya yang paling bengis, hingga ia mencemooh dan menghinakan si budak tersebut?

Begitu pula keadaan dan nasib si alpa yang benar-benar lalai, karena mengabaikan Allah. Na’udzubillah dari situasi seperti itu!

Tingkatan pertengahan adalah orang yang tidak bersungguh-sungguh melakukan penyerangan. Dalam peperangan itu, kemenangannya silih berganti. Adakalanya dia menang, tapi pada saat lain dia kalah. Inilah para mujahid yang disebut:

”(mereka) mencampur-baurkan pekerjaan yang baik dengan pekerjaan lain yang buruk...” (Q.s. At-Taubah: 102).

Indikasinya, dia mampu meninggalkan hawa nafsu yang terlemah, namun tidak mampu mengalahkan hawa nafsu yang paling kuat. Mungkin, pada suatu saat ia mampu mengalahkan dan menang, tapi saat lain tiada berdaya dan kalah.

Dalam segala hal, ia sangat letih karena ketidakberdayaannya, terus melakukan perlawanan, untuk berjuang dan mengenyahkannya. Itulah sebenarnya yang merupakan jihad akbar atau perjuangan besar.

Sepanjang dia bertaqwa dan membenarkan adanya pahala terbaik (surga), maka Allah kelak akan menyiapkan baginya jalan yang mudah.

Dengan demikian, ia tidak mampu mengalahkan unsur kebinatangannya; kekuatan akal pikirannya tidak mampu melawan hawa nafsunya. Padahal ia telah didukung oleh akal pikiran, dan unsur kebinatangannya diharamkan.

Karena itulah, Allah Swt. berfirman, “Mereka itu sebagai binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat jalannya (dari binatang ternak itu).” (Q.s. Al-A’raaf: 179).


Kebutuhan Sabar
Kebutuhan akan sifat dan sikap sabar berlaku umum dalam segala hal. Karena segala peristiwa yang ditemui oleh seorang hamba dalam hidup ini, tidak lepas dari dua bentuk. Pertama, ia sepakat dengan hawa nafsunya. Kedua, bertentangan dan bertolak belakang dengan hawa nafsunya.

Jika ia mampu menyelaraskan dengan kesenangannya, seperti kesehatan, kesejahteraan, kekayaan, jabatan, kedudukan dan banyak anak. Betapa itu semua sangat membutuhkan sabar. Bila (seseorang) tidak mampu menahan hawa nafsunya, ia akan bersikap congkak bersenang-senang dan selalu mengikuti hawa nafsu; sehingga ia melupakan awal dan akhirnya, ujung dan pangkalnya. Karena itu, para sahabat —semoga Allah meridhai mereka— berkata, “Kami diuji dengan kesengsaraan, maka kami dapat bersabar. Kami juga diuji dengan kesenangan, lalu kami tidak mampu bersabar.”

Itulah sebabnya dinyatakan, “Setiap orang Mukmin mampu bersabar terhadap bencana yang menimpanya, namun tidak dapat bersabar atas kesenangan yang dianugerahkan kepadanya, kecuali orang yang benar (orang yang jujur).”

Bersabar terhadap kemewahan, artinya tidak cenderung kepadanya, dia sadar sepenuhnya bahwa itu merupakan titipan baginya. Anugerah kebahagiaan itu mampu mengantarkannya pada (maqam) kedekatan kepada-Nya. Dia tidak larut dalam kenikmatan dan kelalaian, dia memenuhi hak bersyukur atas nikmat. Untuk itu penjelasannya amat panjang.

Sedangkan sabar, yang bertentangan atau bertolak belakang dengan hawa nafsu ini terbagi menjadi empat macam:

Pertama: Sabar dalam taat.
Nafsu sering berpaling dari sebagian bentuk ketaatan, seperti rasa malas dalam salat, sifat kikir dalam zakat; dan rasa malas serta kikir secara bersamaan, dalam haji dan jihad. Bersabar dalam taat, merupakan suatu perbuatan yang sangat berat dan sulit.

Seorang yang taat membutuhkan kesabaran dalam tiga hal:
Mengawali ibadat dengan rasa ikhlas, bersabar dari kotoran-kotoran riya’, tipudaya setan dan tipudaya nafsu.

Ketika beramal, atau di tengah-tengah melaksanakan ibadat, diperlukan kesabaran. Agar tidak malas untuk mewujudkan segala rukun dan sunnah-sunnahnya. Dilaksanakan dengan tata aturan yang benar disertai dengan adab dan kehadiran hati serta membuang was-was.

Setelah melaksanakan ibadat, ia hendaknya bersabar untuk tidak menyebutkan dan menyebarluaskan amaliahnya, baik itu dengan niatan riya’ ataupun agar didengar orang lain (sum’ah).
Semua itu merupakan sikap yang sangat berat untuk mengalahkan nafsu.

Kedua: Sabar terhadap maksiat.
Rasulullah Saw. telah bersabda, “Seorang pejuang adalah orang yang memerangi hawa nafsunya, dan orang yang hijrah itu adalah orang yang meninggalkan keburukan.”

Bersikap sabar terhadap maksiat lebih berat dan sulit lagi, apalagi terhadap maksiat yang sudah menjadi watak kebiasaan. Sebab, pasukan yang muncul untuk menghadapi dorongan-dorongan keagamaan di sini terdiri dari dua lapisan; pasukan hawa nafsu dan pasukan watak kebiasaan.

Bila keduanya dianggap sepele, maka yang dapat bersabar terhadap kebiasaan tersebut hanyalah orang yang berlaku benar (as-shiddiq). Maksiat lisan misalnya, mudah dan sepele, seperti ghibah, dusta, percekcokan, dan berbangga diri. Ini semua sangat membutuhkan ragam sabar yang paling tangguh.

Ketiga: Sabar terhadap hal yang tidak berkaitan dengan ikhtiar hamba, namun dia berikhtiar pula dalam menangkal dan memperbaikinya.

Seperti gangguan dari orang lain, baik itu dengan tangan atau lisan. Bersabar terhadap hal tersebut, dilakukan dengan tanpa membalas. Sikap tersebut kadang-kadang wajib dan terkadang juga sunnah.

Sebagian sahabat berkata, “Kami tidak menganggap keimanan seseorang itu sebagai keimanan, bila dia tidak dapat bersabar terhadap gangguan orang lain.”

Allah Swt. berfirman:
“Dan kami sungguh-sungguh akan bersabar terhadap gangguan-gangguan yang kamu lakukan kepada kami. Dan hanya kepada Allah saja orang-orang yang bertawakal itu berserah diri,” (Q.s. Ibrahim: 12).

“janganlah kamu hiraukan gangguan mereka dan bertawakallah kepada Allah.” (Q.s. Al-Ahzab: 48).

“Dan Kami sungguh-sungguh mengetahui, bahwa dadamu menjadi sempit disebabkan apa yang mereka ucapkan, maka bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu dan jadilah kamu di antara orang-orang yang sujud (salat).” (Q.s. Al-Hijr: 97-8).

Ke empat: Sabar terhadap peristiwa yang awal dan akhirnya, yang tidak masuk kategori ikhtiar.
Seperti halnya aneka ragam musibah, meninggalnya beberapa orang tercinta, musnahnya harta-benda, sakit dan penyakit, kehilangan sebagian anggota badan, dan berbagai petaka lainnya. Bersabar terhadap hal tersebut merupakan derajat yang tertinggi.

Ibnu Abbas berkata, “Sabar dalam Al-Qur’an terdiri dan tiga tingkatan (maqam): Bersabar dalam melakukan kewajiban-kewajiban, memiliki tiga ratus derajat; bersabar terhadap larangan-larangan Allah memiliki enam ratus derajat; dan bersabar terhadap musibah, ketika goncangan pertama, memiliki sembilan ratus derajat.”

Rasulullah Saw. bersabda, ”Allah Swt. berfirman, ‘Bila Aku memberi cobaan kepada hamba-Ku dengan suatu musibah, lalu dia bersabar dan tidak mengadukan kepada para penjenguknya, maka Aku menggantikan baginya daging yang lebih baik dari dagingnya, dan darah yang lebih baik dari darahnya. Jika Aku menyembuhkannya, Aku menggantinya dan dia pun tidak punya dosa, dan jika Aku mematikannya, maka dia berpulang ke rahmat-Ku’.”

Rasulullah Saw juga bersabda, ”Allah Swt. berfirman, Apabila Aku hadapkan kepada salah seorang hamba-Ku suatu musibah pada tubuhnya atau pada hartanya, atau pada anaknya. Kemudian dia menerimanya dengan kesabaran yang simpatik, baik, maka pada hari Kiamat Aku malu untuk menegakkan timbangan amal baginya atau untuk nembentangkan sebuah catatan untuknya’.”

Rasulullah saw. bersabda, “Menunggu kelapangan dengan sabar adalah ibadat.”

Sabdanya pula, “Di antara bentuk pengagungan Allah swt. dan pengenalan terhadap hak-Nya adalah, kalian tidak mengadukan sakit kalian dan tidak menyebutkan musibah yang menimpa diri kalian”

Anda telah paham, bahwa diri Anda membutuhkan kesabaran kapan saja. Dengan demikian, sabar itu adalah setengah dan iman, sedangkan setengahnya lagi berkaitan dengan amal perbuatan, yaitu syukur.

Rasulullah Saw. telah bersabda, “Iman itu terdiri dan dua bagian: Bagian pertama adalah sabar, bagian kedua adalah syukur”.

0 komentar: