Senin, 23 Mei 2011

Surat Sufi Imam Syadzili kepada Sidi Ali bin Makhluf


Syeikh Abul Hasan Asy-Asyadzily
Imam Syadzili berkirim surat kepada Sidi (tuanku) Ali bin Makhluf di Tunis. Almarhum dimakamkan di sebuah ketinggian (burj) di Tunis. Berikut ini petikan surat tersebut:

Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Segala puji bagi Allah, Tuhan seru sekalian alam. Shalawat kesejahteraan dan salam kedamaian semoga senantiasa terlimpah kepada junjungan kita, Muhammad, penutup para utusan.



Dari Ali bin Abdullah yang dikenal dengan nama Syadzili kepada anandanya yang baik budi, diberkati, murni nan suci, terbebaskan dari jalur-jalur kerusakan, Ali bin Makhluf ash-Shaqali.
Assalamu‘alaikum warahmatullah wabarakatuhu.

Ketahuilah, semoga Allah senantiasa menyokongmu dengan keluasan dan kebeningan wawasan, sesungguhnya Rasulullah SAW pernah ditanya mengenai siapa gerangan para wali kekasih Allah, Beliau menjawab, “Mereka adalah orang-orang yang jika mereka dipandang, maka disebut (nama) Allah.” Pahamilah dengan baik makna sabda Rasulullah: “Jika mereka dipandang”! Maka, berpalinglah dari pandangan materi ke pandangan immateri dan nilai-nilai, jauh dan pandangan alla awam termasuk di dalamnya pandangan hewan-hewan yang tak memiliki matahati (bashIrahj, Mereka itulah orang-orang yang dinyatakan Allah SWT dalam firman: “Dan kamu melihat berhala-berhala mereka itu memandang kepadamu padahal ia tidak melihat.” (QS. Al-A’raf [7]: 198) Carilah petunjuk melalui cahaya Allah yang dititipkan di dalam hati, yang hanya dengannyalah para wali Allah memandang, berekspresi, mendapat taufik, dan akhirnya mencermati dan menggapai kebenaran.

Hal ini terlihat nyata pada diri manusia yang terharum dan tercerahkan dengan cahaya-Nya, yang keharumannya menjadikan harum segala sesuatu (yang dimaksud adalah diri Rasulullah SAW—ed.). Pilihan dan kegemaran beliau terhadap wewangian dan segala yang baik merupakan sesuatu yang menakjubkan. Dan, menurut kesepakatan para ulama, aroma beliau melebihi wewangian segala sesuatu yang wangi.

Cobalah pahami dan masuk ke dalam khazanah pengetahuan Rasulullah SAW. Toh, apalah status dinimu hingga tidak kamu amini apa yang beliau sabdakan berikut: “Demi Allah, tiadalah makanan melainkan untuk kita, tiadalah minuman melainkan untuk kita, tiadalah pernikahan melainkan untuk kita, begitujuga tiadalah wewangian melainkan untuk kita.” Beliau dengan demikian merupakan pangkal segala wewangian, dan magnet keindahan segala sumber mineral, Sebab, beliau adalah mineralnya segala mineral. Petiklah lentera cahaya beliau, ciduklah bahtera cinta beliau, minumlah telaga pengetahuan beliau. Berbekallah dengan kepatuhan kepada beliau, niscaya segala sesuatu akan tunduk dan patuh kepadamu.

Demi Allah, beliau adalah manifestasi ilmu ladunni, amal saleh, dan rezeki yang selaksa. Ya Allah, jadikanlah segala sesuatu dalam genggaman tangannya dan zuhudkanlah ia bersama kepemilikan terhadapnya. Ya Allah, jadikanlah ia termasuk dalam keluarga Ibrahim. Sungguh telah Engkau anugerahkan Kitab dan Hikmah kepada keluarga Ibrahim, dan Engkau berikan kepadanya kerajaan yang besar. Dan, jadikanlah ia termasuk keluarga Muhammad.

Perhatikanlah kezuhudan ini, Hapuslah ia dari dirimu dan tutupilah ia dari sesamamu kecuali terhadap Dzat yang memberimu status tersebut. Sebab, di manakah lagi engkau bisa menemukannya setelah bagian cahaya profetik kenabian dan sumber ke-shiddiqiyyah-an jika bukan dan Dzat pemilik al-Ism al-A’zham (nama agung) yang bersanding dengan titah “kun”, dan yang mengatur prima qadha’ dan takdir semesta.

Kepada-Nyalah ridha tunggal tanpa reserve (pengecualian) tercurahkan. Dari-Nyalah qadha’ dan takdir mencabang hingga Locus pembagian dan hal-hal yang saling berlawanan, ketika Syara’ memberikan rambu-rambu apa yang Dia cintai dan apa yang Dia benci. Barang siapa menyepelekan atau meragukan ini, maka perhatikanlah permisalan Adam a.s., entitas pertama manusia yang menjadi pangkal seluruh anak manusia. Adakah kau temukan padanya sesuatu yang dibenci Syara’? Tidak! Dia merangkum segala jenis manusia: Yang beriman dan kafir, yang taat dan pemaksiat, yang mengesakan dan menyekutukan, yang ikhlas dan munafik. Barulah ketika muncul perbedaan dan keragaman, Syara’ mewacanakan cinta dan benci, ridha dan murka. Jadi, asal-muasal segala sesuatu adalah diridhai dan dicintai.

Dan dialah Adam, Sedangkan keturunannya sebagaimana yang telah aku jelaskan kepadamu.

Begitu juga perihal qadha’ awal (prima qadha’) bersama takdir-takdir yang berbeda-beda. Para nabi, rasul, dan tokoh-tokoh sentral terkemuka telah menekuninya dengan rahasia-rahasia mereka, dan mereka tidak menyaksikan apa-apa selain Allah dan qadha’-Nya. Mereka pun menjelaskan, menjabarkan, dan mensyariatkan kepada orang-orang di bawah mereka sampai datang perintah Allah kepada orang yang Dia kehendaki dan kaum pembenar (shiddIq), yang bersih, yang tulus untuk menyingkap pengetahuan ini beserta pengetahuan mengenai prinsip, pengetahuan mengenai (alam) roh, dan pengetahuan mengenai (alam) barzakh sebelum permulaan eksistensi semesta.


Dan merekalah sekat-sekat segala sesuatu terbelah, antara segala sesuatu yang saling berlawanan (kontradiktif), yang saling serupa, dan yang saling bergesekan. Barang siapa yang berprasangka bahwa ilmu ini, yakni pengetahuan mengenai roh dan lainnya, baik yang telah disebut maupun yang belum disebut, tidak dimiliki oleh kelompok khash, golongan orang-orang yang dianugerahkan kedudukan pertama yang tinggi, maka ia telah terjerembab dalam dua masalah besar berikut ini:



Pengabaian terhadap wali Allah lantaran menuding mereka tidak tahu-menahu dan lalai mengenai hal tersebut serta berprasangka buruk terhadap Tuhan yang senantiasa bersama mereka. Bagaimana mungkin boleh berprasangka buruk pada orang yang telah diberi keistimewaan?!
Pendustaan terhadap qudrah kekuasaan Allah dan Syara’ yang membicarakan ihwal kaum Yahudi dan badui-badui Arab yang berselisih paham mengenai roh dalam firman: “Dan mereka bertanya kepadamu tentang roh. Katakanlah: “Roh itu termasuk urusan Tuhanku, dan tidaklah kamu diberi pengetahuan metainkan sedikit.”” (Q.S. Al-Isra’ [17]: 85). Apa bukti yang kamu miliki sampai lancang menyatakan ketidaktahuan kaum shiddiqln dan para wali yang mendapatkan keistimewaan dari Allah yang terluhur mengenai hal tersebut?
Lontaran pertanyaan tentang roh ini memiliki empat komponen kata tanya: Apakah? Bagaimana? Mengapa? Siapa?

Pertanyaan “apakah” berarti menanyakan apakah roh itu ada atau tidak. Lalu pertanyaan “bagaimana” berarti menanyakan tentang kondisi, dan “mengapa” menanyakan tentang illat (kausa), sementara di dalam ayat ini tidak ada keterangan sama sekali mengenai kepastian hal tersebut.
Jika kamu katakan bahwa di dalam pertanyaan mereka mengandung makna “apakah”, sedangkan kata tanya “apakah” mengandaikan pertanyaan apakah roh itu ada atau tiada, dan apakah keberadaannya telah diketahui sebelumnya. Satu hal yang pasti, mereka jelas-jelas sudah mengetahui keberadaan roh. Jika tidak, Allah tentu tidak akan berfirman: “Dan mereka bertanya kepadamu tentang roh.” Jadi, kemungkinan pertanyaan ini otomatis gugur.

Pertanyaan mereka ini juga tidak mengandung unsur “bagaimana” maupun “mengapa”. Sebab, jika mereka menanyakan keduanya, tentu mereka tidak akan puas dengan jawaban: “Katakanlah: ‘Roh itu termasuk urusan Tuhanku.’” Dan, niscaya mereka akan terus berusaha mendapatkan jawaban yang memuaskan dan menentang hal tersebut sebagaimana kebiasaan, kesibukan, dan keinginan mereka pada waktu itu.

Jadi, jelas bahwa pertanyaan mereka ini mengarah pada “di manakah roh itu?” dengan bukti jawaban dan penjelasan yang gamblang dan memuaskan: “Katakanlah: ‘Roh itu termasuk urusan Tuhanku, dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit.” Rasulullah SAW sudah mengetahui arah pertanyaan mereka, sehingga beliau pun lantas mengembalikannya kepada Allah.

Hal ini sama seperti orang yang menanyakan ihwal Adam. Orang yang ditanya tentu bisa mengetahui arah pertanyaannya, sehingga ia menjawab, “Adam diciptakan dari tanah,” Jika memang ia puas dan menerima jawaban tersebut, dan penanya tidak kembali kecuali dengin membawa pemahaman yang agung dan tak terbantahkan dan Dzat Pengatur Yang Mahaagung, maka bagaimana mungkin seseorang mau menuding bahwa seorang wali tidak mengetahui masalah roh dan tidak seharusnya mengetahui hal tersebut?

Allah telah menetapkan kepada kita untuk mengetahui hal tersebut, dan di sini tidak ada perumpamaan. Seandainya Dia memberikan perumpamaan, kemudian kita menyia-nyiakannya, tentu kita kafir atau durhaka kepada-Nya. Maka, bagaimana dengan entitas makhluk yang banyak sekali permisalannya? Kebodohan yang nyata sekali jika dikatakan bahwa masalah ini tidak boleh diketahui, sedangkan itu adalah sesuatu yang ada perumpamaan dan perbandingan, yaitu roh.

Dan, Allah menetapkan untuk mengenal Dzat yang tidak ada penyerupaan maupun bandingan, Semoga Allah melindungi kita dari kebodohan orang-orang bodoh dan kezaliman orang-orang zalim.
Satu hal yang ingin saya tegaskan di sini, Allah memiliki rahasia-rahasia yang tidak dapat diungkap oleh deskripsi tulisan, dan tidak sepantasnya rahasia-rahasia tersebut ditutup-tutupi kecuali dengan deskripsi tulisan di dalam diwan-diwan (buku catatan) para ulama ahli hikmah yang dianugerahkan matahati yang jernih dan tajam. Tidak sepantasnya mereka menutup-nutupi hal tersebut karena sudah begitu jelas dan gamblang. Jangan terlalu memedulikan mereka meskipun mereka banyak memiliki dalih dan argumen. Akan tetapi, tunduklah kepada Allah al-Haqq dan patuhlah kepada-Nya dalam hal-hal yang memang mereka kuasai, dan kesampingkanlah mereka dalam hal-hal yang tidak ada pengetahuan mereka tentangnya.

Allah SWT telah memerintahkan Nabi kita, Muhammad SAW, untuk meneladani Nabi Ibrahim a.s. dan para nabi Iainnya, padahal beliau adalah pemilik keutamaan yang tak tergapai oleh siapa pun. Namun, beliau tetap mengatakan, “Saya sejajar dengan mereka dalam hal kenabian, kerasulan, hidayah, dan dalam hal-hal yang berlaku pada diri, badan, hati, dan roh.” Beliau mengikuti mereka dalam hal-hal yang ada titik kesamaan, sementara yang kita khususkan bagi beliau merupakan target kita dan kembali kepada apa yang ditentukan bagi kita (sebagai umat beliau).

Begitu juga dengan orang yang memahami rahasia ini. Allah bersama orang-orang Mukmin kelompok awam, juga bersama kelompok menengah, dan bersama orang-orang Mukmin yang mendapatkan kedudukan yang tinggi. Namun, Dia memilah-milah mereka dalam hal yang memang dikhususkan hanya kepada orang-orang yang mendapatkan kekhususan.

Jika kamu termasuk orang-orang yang diberi kekhususan tersebut, tambahlah terus ilmu dan amalmu dalam kefakiran kepada Allah dan ketawadhuan terhadap para hamba (sesama manusia). Bersikaplah lembut dan kasih sayang terhadap orang-orang Mukmin, kendati mereka berbuat zalim kecuali dalam hal-hal yang Dia perintahkan kepadamu untuk bersikap tegas terhadap mereka, sembari tetap mendoakan kebaikan bagi mereka dan mencegah kezaliman mereka.

Jika kamu ingat ini, sementara kamu sadar belum mampu melakukannya dengan pertimbangan agar tidak mengguncang hati orang-orang awam tersebut, maka tinggalkanlah apa yang belum kamu mampu ini. Duduklah tafakur di depan pintu-Nya, niscaya kamu akan memperoleh apa yang kamu inginkan dan Tuhan Yang Maha Pengatur. Selama itu, peganglah tata krama di hadapan Hadirat Ilahi jika kamu sudah mengetahuinya. Jika belum, pahamilah dari ayahandamu apa yang masih tersamar bagimu.

Bagi orang yang duduk di hadapan Hadirat Ilahi ada empat posisi pokok yang keseluruhannya merupakan pusat batin, yakni jiwa, raga, hati, dan akalnya, Dia tenang dan mantap dengan keimanan, tauhid dan cahaya, ilmu dan makrifat, keyakinan, rasa malu, segan, keintiman, dan kecintaan, sambil mulutnya berucap dengan ucapan yang jelas, melantunkan doa dengan etika semua posisi pokok tersebut:
“Ya Allah, hamba mohon kepada-Mu kelekatan memandangMu, perolehan mendengar di hadapan-Mu, dan kebetahan menempati apa yang datang kepada hamba dan-Mu. Jika Engkau kembalikan hamba pada makhluk-Mu, maka tuntunlah hamba untuk menempuh kehalusan tata krama dengan menghadap orang yang menghadap kepada-Mu dan berpaling dari orang yang berpaling dari-Mu. Jika Engkau kembalikan hamba pada hak-hakMu, maka hamba memohon kepada-Mu agar bisa berperilaku sebagaimana laku sopan santun Rasul-Mu dan jangan Engkau halangi hamba dan-Mu dengan amal hamba. Jika Engkau kembalikan hamba pada bagian-bagian peruntungan hamba, maka hamba memohon kepada-Mu kepastian memperoleh izin-Mu dengan persetujuan kata dari-Mu atau dengan isyarat yang datang dari-Mu. Jadikanlah hamba termasuk orang yang mengambil hal itu dengan hal tersebut. Dekatkanlah hikmah (kebijaksanaan) kepada mulut kami, berikanlah kuasa pada lidah-lidah kami untuk menuturkannya, penuhilah hati-hati kami dengannya, dan pastikanlah kami beramal dengannya dalam hal yang tampak dan terpendam dari kami. Sokonglah kami dengan roh (spirit) dari-Mu agar kami tidak menyakiti diri kami dengan hawa nafsu kami dan tidak menuruti setan-setan dalam diri kami. Jadikanlah kami ke dalam golongan yang patuh kepada Mu, sebab hanya pengikut agama-Mulah yang pasti menang,”

Ketahuilah, suratmu telah sampai kepada kami, Ia telah memancarkan kegembiraan dalam hati kami dan melambaikan sorai keceriaan di dada kami. Bahasa kebersamaan di dalamnya terbentang, sementara bahasa perpisahan tertahan. Namun, kebersamaan ini tidak seyogianya diumbar, akan tetapi simpanlah sebagai rahasiamu dengan kesaksian tauhid pada Tuhanmu, Di atas segalanya Dialah Tuhanku dan Tuhanmu.

Telah kamu sampaikan, “Aku mengatakan kepada orang sebelummu dan seakan-akan kamulah lawan bicara (mukhathab) di baliknya.” Jika kamu inginkan sesuatu yang tidak ada cela padanya, hendaklah ‘perpisahan’ tetap ada di lisanmu, sementara ‘kebersamaan’ disaksikan dalam rahasia batinmu. Jangan kamu bosan dan mundur dengan kefanaanmu darinya, begitu juga dengan keabadianmu. Berlarilah menuju Allah dari segala dualisme, dan jangan kembali dengan apa pun, baik besar maupun kecil, kecuali dengan seizin-Nya. Bagaimana mungkin kamu melalaikan-Nya, sementara Dia telah mencurahkan kasih sayang kepadamu melalui gurumu yang selalu berdiri mengawasimu dalam segala gerak-gerikmu yang disaksikan oleh matabatin, seolah-olah kamu adalah dia? Lalu, bagaimana pendapatmu dengan Dzat Yang Maha Mengawasi setiap jiwa?

Terkait dengan izin Allah, perlu saya jelaskan firman Allah SWT: “Dan (ingatlah) di waktu Aku mengajar kamu menulis, hikmah, Taurat, dan Injil.” (QS. Al-Maidah [5]: 110) Dalam konteks pengajaran ini, gurumu mengatakan berulang-ulang: Dengan izinku dan izin Allah, yakni dengan ilmu Allah. Merujuk pada ayat ini, Allah telah memberikan kuasa pengetahuan tersebut pada Isa a.s, Maka, sesuatu yang disertai perkataan itu adalah lebih sempurna. Pengetahuan atau izin tersebut kebanyakan berlaku dalam hal yang mubah dari bagian-bagian peruntungan diri. Sementara itu, yang wajib dan yang sunah sudah disentuh oleh perintah dan larangan; telah keluar dan dua hal di atas, Jadi, di sinilah seorang wali (kekasih Allah) membutuhkan izin. Karena itu, jangan kamu campur adukkan izin dengan perintah, niscaya kamu akan keliru langkah dan menggugurkan satu dimensi dan hukum-hukum syariat. Jika sudah demikian, maka kamu termasuk orang-orang yang bodoh.

Perlu kami perjelas lagi, yang dimaksud dengan izin pada hak wali itu adalah cahaya yang menyinari hati yang kemudian Allah pancarkan di dalam dan di atas diri wali. Lalu, cahaya tersebut membentang kepada sesuatu yang diinginkan oleh wali sehingga ia mendapati bersama cahaya itu suatu cahaya lain atau kegelapan di bawah cahaya. Cahaya tersebut lantas memberitahumu untuk bersikap sesuai dengan kehendakmu antara mengambil atau menolak, menenima atau menampik, memberi atau menahan, berdiri atau duduk, pergi atau tetap tinggal, ini adalah persoalan mubah yang diberi keleluasaan izin untuk memilih. Jika disertai ‘perkataan’, hukum mubah menjadi semakin kuat dengan kehendak Allah. Dan, jika disertai niat yang benar, ia akan memantul dan hukum mubah dan berubah menjadi mandub (sunah, anjuran). Apabila yang muncul di bawah cahaya yang membentang dari hati itu adalah kegelapan maka itu adalah isyarat adanya amarah yang menyertai. Karena: itu, waspadai dan jauhilah hal tersebut, sesungguhnya ia dilarang atau hampir-hampir dilarang.

Status hukum sesuatu tersebut tidak bisa dipastikan dan ditetapkan kecuali dengan bukti (sandaran) dan Kitab Allah, sunah Rasul-Nya, ijma’, atau ragam ijtihad para imam mazhab yang kamu anut, seperti Imam Malik, Syafi’i, dan selain keduanya dari kalangan khulafaurrasyidin. Dengan demikian, tetapkanlah keputusan hukum atas dasar yang sahih. Jika kegelapan yang ada menyerupai mendung di mana hati tidak bersinar terang bersamanya dan pikiran tidak bisa berkonsentrasi secara jernih di dalamnya, maka jagalah jarak dengannya, sebab ia hampir merupakan sesuatu yang makruh.

Jangan tetapkan suatu hukum berdasarkan nalar dan pendapatmu. Sungguh banyak orang yang telah tersesat dari sini. Jangan berikan fatwa pada seseorang meskipun ia meminta fatwa kepadamu. Dan, berikan tempat bagi sikap wara pada : haknya dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Jika kamu praktikkan tata krama ini tak lama lagi kamu akan memperoleh bukti yang nyata dan penjelasan dari Tuhanmu serta kesaksian yang mengikutinya. Inilah sekelumit penjelasan mengenai persoalan ini. Tidak sedikit pun niatan atau unsur kesengajaaan dalam diri kami untuk menggariskannya. Akan tetapi, ia mengalir begitu saja dari lisan dan hati, menuruti kehendak-Nya. Kepada-Nya kami memohon anugerah, ampunan, dan musydhadah di atas maqam tertinggi derajat Ihsan.

Terkait dengan apa yang kamu kirimkan, kami telah menerimanya dan kami merasa sangat gembira. Kami menjadi teringat dengan kemurahan-kemurahan pada waktu sebelumnya. Seandainya bukan karena sangat ingin bertemu, tentu kami ingin memberikan kepadamu lebih banyak lagi dari apa yang bisa kami berikan. Semoga Allah segera mempertemukan kita sesuai dengan apa yang Dia cintai dan ridhai.

Ihwal perjalanan yang kamu ceritakan sudah kami pahami. Meskipun harapan hati begitu berhasrat, sampai kapal pemberangkatan al-Mahdiyah tiba yang seakan-akan telah melayukan harapan kedatangan kalian, Sementara soal az-Zaituni, sesungguhnya hati saya juga sudah teringat kepadanya jauh sebelum kedatangan surat kalian pada kami dan kami pun ikut bersedih.

Katakan kepadanya agar tetap tegar dan tabah hingga Allah memberikan ketetapan sesuai dengan yang Dia kehendaki. Dia masih memiliki ribuan bahkan ratusan ribu pengganti kekasih yang hilang. Dia Maha Mendengar segala sesuatu, melihat segala sesuatu. Para kekasih menjadi patah harapan dan bersedih sedangkan kita jangan sampai demikian. Ujian tersebut adalah hukum yang baik dan penuh hikmah. Dan, (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin? Kegembiraan dari Allah pasti akan datang, hingga seolah-olah tidak ada sesuatu yang terjadi. Semoga Allah berkenan menganugerahkan rasa syukur pada kita atas nikmat-nikmat Nya, serta membebaskan saudara dan kekasih kita dari kehinaan tersebut menuju kemuliaan anugerah kekayaan dan kesaksian atas karunia-karunia dan kebaikan budi-Nya.

Telah kami terima juga berita keterguncangan hati kalian, Haji Zakaniya, Haji Yahya, Haji Abdullah, az-Zaruti, al-Warsyisi, Abdullah al-Faitur, ahli rthdth Muhammad, juga Si gluslam Mas’ud. Saya pernah berpapasan dengan Ali, sepupu mereka dan mempersilakan untuk mampir ke tempat kami. Namun, ia memilih untuk melanjutkan perjalanan haji dan tidak mampir di tempat kami meski dia sangat ingin sekali.

Begitu kami terima berita mengenai prahara perjalanan kalian, hati kami pun ikut bersedih. Namun, jangan sampai hal tersebut melemahkan tekad kalian yang telah begitu menggunung bak Gunung Qabis, kendati ada di antara kalian yang emosi, diam, dan larut dengan kesedihannya.

Demi Allah yang tidak ada tuhan selain Dia, andai saja saya masih memiliki kekuatan yang cukup membantu saya dalam menyeberangi setiap daratan dan lautan, sehingga saya dapat menyelamatkan para sahabatku dari segala fitnah dengan kehendak dan pertolongan Allah. Dan, tiada daya upaya maupun kekuatan melainkan hanya bersama Allah Yang Mahatinggi lagi Mahaagung.


Telah meminta pendapat orang yang meminta pendapat untuk melakukan perjalanan darat maupun laut, dan atau apa yang membawa kepada kesedihan. Ketahuilah, kapal pemberangkatan al-Mahdiyah singgah selama 19 hari. Dan, kami melihat Ahmad ash-Shabuni sangat berhasrat untuk berangkat ke Baitullah dan kami telah memutuskan berangkat pada waktu sebelum kedatangan kalian. Padahal, saya sangat berharap pada kalian, seandainya saja bukan karena 70 keluarga yang telah bertekad untuk melakukan perjalanan bersamaku pada tahun ini dan mereka telah menjual banyak barang mereka. Mereka berjumlah 200 orang lebih. Tujuh puluh orang di antaranya adalah tokoh-tokoh besar mereka, termasuk para ulama dan ahli fikih. Dan rombongan tersebut, saya tidak mengetahui golongan wali-wali khulafa’, ‘umana, nuqaba’, nujaba’, abdal akhfiya’, dan akhyar. Kemudian, saya menemukan perhimpunan mereka di Yaman dan saya berharap bisa bertemu dengan sebagian mereka.



Seandainya bukan karena golongan mereka ini, saya ingin bertahan setahun ini menunggu sampai kalian tiba. Namun, gelombang-gelombang mereka telah membawa diri dan hati saya untuk tunduk memenuhi panggilan Allah. Dan, Allah memberikan petunjuk kepada orang yang Dia kehendaki ke jalan yang lurus.

Insya Allah kami akan melakukan perjalanan bersama seluruh keluarga saya pada bulan ini atau beberapa han setelahnya. Kami sudah terbiasa menahan diri sembari menggiatkan pengajian, dan hal itu telah berlaku di tiga tempat persinggahan yang kami lalui, tanpa kelelahan maupun kesia-siaan, juga tanpa kehabisan bekal, berkat karunia Allah yang mengalir pada orang-orang yang mencintai kami dengan kehendak-Nya. Kami pun tidak sampai tersesat di pedalaman padang pasir dan kehilangan asa. Semoga Allah senantiasa memberikan keberkahan pada para dermawan yang baik hati dan semakin menambahkan karunia-Nya pada mereka.

Sejak tiba di Mesir, kemudian selama perjalanan ke pedalaman Mesir bagian selatan, semua orang ingin melayani kami. Maka, kami pun ingin mengambil waktu setengah tahun sebelum waktu wukuf, insya Allah. Saya tidak khawatir dengan orang-orang yang mengusik saya kecuali para penggemar saya. Mereka tidak ingin saya pergi cepat-cepat sebagaimana yang telah saya tetapkan pada kalian. Dan, itu adalah keinginan saya. Kepada Allah-lah saya meminta pertolongan. Dia adalah Penolong, dan Dialah sebaik-baik Pelindung.

Keluarga saya juga telah merasa betah dengan keterangan-keterangan mereka. Mereka menjadikan pelabuhan sebagai tempat tinggal sementara. Dan, semua ini merupakan ketetapan Allah yang telah dibentangkan-Nya di atas kehendak dan kekuasaan-Nya. Segalanya adalah milik Allah, baik kata, urusan, rahasia, maupun kekuasaan (sulthan), juga kerajaan, Dia berikan kepada orang yang Dia kehendaki dengan pengawasan-Nya. Dia Mahakaya dari semua itu, dan Dia adalah pemilik karunia yang besar.
Terkait dengan hal yang kamu ceritakan mengenai perjalanan di darat dan laut, jangan sampai kalian menjadi terbebani dengan rasa takut dan lapar sedikit pun selama perjalanan di darat. Buah kismis susah sekali didapat dan makanan juga jarang diperoleh. Orang-orang berusaha mendapatkan dan sangat jarang seseorang dan mereka berhasil mendapatkan sesuatu.

Kendati dalam kecukupan dan kemakmuran, janganlah kalian tempuh jalan ini kecuali dengan bekal cukup dan perhatian dengan bimbingan Syekh pemuka, atau dengan keyakinan khusus dari aI-Haqq (Allah). Keyakinan ini diusung dengan ketulusan, sembari menyisihkan ego, menjadikan tawakal kepada-Nya sebagai petunjuk jalan, dan lindungan Allah di atas kepalanya, kuasa Allah mencukupinya, belai cinta (mahabbah) memandunya, dan kerinduan kepada Allah akan terus mengisi kalbu dan pikirannya. Neraka pun akan berkata kepadanya, “Hai orang Mukmin, lewatlah! Sungguh cahayamu telah memadamkan kobaran apiku.” Hal ini jarang ditemukan pada selain kalian. Barang siapa menemukan keistimewaan ini dalam dirinya, maka Ia tidak memerlukan yang lain, sebab hal itu tidak ada kedudukannya lagi dalam Kerajaan Allah,

Menangislah, kemudian buatlah orang-orang menangis atas perginya orang-orang yang memanggul beban berat kita (para wali dan ulama). Mereka adalah orang-orang yang mengerti benar kondisi kita, tetapi seolah-olah mereka adalah orang-orang bodoh dan tidak tahu-menahu bersama kita; dipandang sama seperti salah seorang kita. Padahal, mereka adalah orang-orang istimewa yang diturunkan oleh Allah di tengah-tengah komunitas umat ini di segala zaman.

Ironis sekali jika kita tenggelam dalam kemalangan, publisitas, dan melumuri amal kita dengan kotoran. Padahal, Allah SWT telah berfirman: “Barang siapa yang bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar. Dan, memberinya rezeki dan arah yang tiada disangka-sangkanya.” (QS. Ath-Thalaq [65]:2-3) SahI bin Abdullah menincikan takwa dan manifestasi daya dan kekuatan, dan memalingkan pengertiannya dan hal-hal yang dilukiskan oleh orang-orang bdthil berupa ketakwaan lahiriah sementara batin mereka berlumur kotoran.

Benar kiranya bahwa seorang hamba itu (berada dalam kondisi dua poros yang tarik-menarik) secara lahir berlumur maksiat dan syahwat hedonisme, tetapi tetap berusaha menjalankan amal-amal ketaatan, Sedangkan cakrawala telah tertutup dengan klaim-klaim palsu dari penyandaran daya dan kekuatan pada dirinya. Maka, hamba ini telah melampaui batas, melakukan rekayasa dan kebohongan yang amat besar.

Kebaikan tidak bisa berdiri tegak bersama keburukan. Orang-orang yang cermat (al-muhaqqiqun) menempuh dan melakukan banyak hal. Mereka memandang dorongan dan menanti-nanti buah hasil, Lalu, apabila tidak berhasil mendapatkan buah dan hasil, mereka menyadari bahwa ilmu dan amalnya tidak sempurna atau cacat. Dan, apabila kehilangan dorongan dan landasan yang sahih pada prinsip dasarnya, maka amal mereka pun tidak dianggap.

Allah SWT berfirman: “Barang siapa yang bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar.” (QS. Ath-Thalaq [65]: 2). Hai orang yang mengklaim diri berada dalam takwa, mana jalan keluar itu? Apabila kamu melihat jalan keluar itu, maka apakah dengan janji dan jaminan Allah? Dan jika yang kamu dapati hanya kebingungan belaka, maka siapa yang benar dan siapa yang pembohong? Siapakah yang lebih benar ucapannya daripada Allah?! “Dan barang siapa yang bertawakal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya.” (QS, Ath-Thalaq [65]: 3)

Tawakal tidak sah kecuali hanya bagi orang yang bertakwa. Dan, ketakwaan tidak sempurna kecuali dengan dorongan (syariat) dan buah (makrifat). Jadi, perhatikanlah baik-baik dorongan dan landasan tersebut (syariat), prinsip-prinsip dasar (hakikat), dan buah (makrifat). Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang sabar.

Perjalanan laut bagi saya Iebih dekat, Iebih saya sukai, dan Iebih hemat biaya. Karena itu, siapa saja yang mendapatkan kesempatan pemberangkatan dari Mahdiyah, maka kami sebenarnya telah berpesan tentang kalian kepada Syekh Abu Au as-Saqath. Dan, jangan sampai kalian bepergian ke tempat kami kecuali dengan keyakinan yang mantap agar jangan sampai perbekalannya kalah dengan semangat diri dan luapan hati.

Apabila sudah siap, maka perhatikan dan perkirakanlah perjalanan kami dari pelabuhan, Jangan sampai salah seorang kalian datang dan tidak menemukan orang yang bisa disinggahi, lalu hatinya tercabik-cabik (putus asa) dan dikejar-kejar waktu, sehingga ia tidak sampai ke Haram Allah (Mekah), tidak juga dapat kembali ke rumahnya. Kecuali, jika ia telah mengenal mata angin dengan baik di mana pun ia berada dan dia termasuk orang yang disinggung dalam firman Allah SWT: “Lambung mereka jauh dari tempat tidurnya.” (QS. As-Sajadah [32]: 16)

Apakah menurutmu tidur itu telah menjauhkan lambung mereka dari tempat tidur dan membiarkan hati mereka tidur dan tenang bersama selain-Nya?! Tentu saja tidak. Akan tetapi, hati mereka terangkat dari segala sesuatu dan matahati mereka tidak pernah tidur sedikit pun. Coba pahamilah pengertian ini!

Lambung mereka jauh dari meniduri segala hal selain Allah dan melawan takdir. “Sedang mereka berdoa kepada Tuhannya dengan rasa takut dan harap,” (QS. As-Sajadah [32]: 16) Hanya kepada Allah dan karena ketakutan kepada-Nya, Dia pun membawa mereka kepada-Nya. Dan, karena kerinduan mereka kepadaNya, Dia pun meminumi mereka dengan cinta-Nya. “Dan mereka menafkahkan sebagian dari rezeki yang Kami berikan kepada mereka.” (QS. As-Sajadah [321: 16)
Seandainya ada cukup waktu untuk berpanjang lebar membicarakannya, tentu akan saya tulis berlembar-lembar surat penjelasan mengenai hal ini untuk kalian. Namun, al-Haqq (Allah) telah menentukan kuasa-Nya pada hati, menyegarkannya dengan hikmah-Nya, dan mencukupkannya dari percakapa panjang dengan makhluk-Nya.

Soal kasus Haji Zakariya yang menggagalkan rencananya hanya gara-gara uang lima belas dinar, seandainya ia ikut dengan membawa uang yang jauh lebih rendah dari itu, maka masih diharapkan dan Allah semoga memenuhinya. Namun, kitab ketentuan membutuhkan lebih dari itu dalam hitungan pengetahuan. Semoga Allah memberinya taufik pertolongan untuk menapaki jalan kebenaran.
Mengenai al-FaqIr Abu Yahya, tekadnya yang menggebu-gebu sudah saya dengar. Sampaikan salam saya kepadanya dan beritahukan bahwa sepupunya pergi haji dan sekarang sedang di pelabuhan, di tempat kedua sepupunya, Ibrahim dan Muhammad, Keduanya merupakan orang yang terhormat dalam kemuliaan dan ilmu pengetahuan. Saudara yang tertua, Ibrahim, menggeluti dunia tasawuf, memiliki integritas (istiqamah) dan kemampuan yang cukup mumpuni dalam bidang agama, kebajikan, dan toleransi. Sementara adiknya, Muhammad, menggeluti disiplin ilmu AI-Qur’an dan Hadis, serta mempelajari

Bidang-bidang fura (pengembangan dan Al-Quran dan Hadis) sebagai makanan keseharian. Ia sudah menikah, sedang kakaknya masih membujang.
Pesan saya, jika ada salah seorang di antara kalian yang datang, antarkanlah ia kepada dua tokoh ahli fikih yang lurus dan terkemuka: Abu Umar dan saudaranya, Jamaluddin, juga kepada seorang ahli fikih, as-Sadid Abu Muhammad Abdul Wahhab. Sesungguhnya Allah telah memberikan anugerah kepadanya dan kepada iparku, Syarafuddin.

Soal kitab yang kalian katakan telah dibelikan, jika memang kalian telah mendapatkannya, suruhlah seseorang untuk membawanya (kemari) atau titipkan pada orang yang bisa dipercaya agar ia menyerahkannya kepada salah seorang ahli fikih tersebut, atau kepada Jamal, atau kepada ipar saya, atau kepada Sadid. Saya izinkan kalian untuk menyampaikan salam saya pada murid-murid saya di perkotaan maupun pelosok pedesaan, secara lisan langsung (musyafahatan), melalui penyampaian pesan (taballughan), atau secara tertulis (kitabatan), sesuai dengan kemampuan kalian.
Semoga salam keselamatan, rahmat Allah, dan keberkahanNya tercurah kepadamu, juga pada orang-orang yang telah disebut maupun yang tidak disebut, serta pada seluruh penduduk kampung dan wilayah.

0 komentar: