Senin, 23 Mei 2011

Ridha Terhadap Qadha’


Imam al-Ghozali
Allah Swt. berfirman,“Allah ridha terhadap mereka dan mereka pun ridha terhadap-Nya.” (Q.S. Al-Maidah: 119, lihat pula At-Taubah: 100, Al-Mujadilah: 22 dan Al-Bayyinah: 8).

Rasulullah Saw. bersabda, “Apabila Allah mencintai seorang hamba, Dia mencobanya. Jika hamba itu sabar, Allah memilihnya, dan bila ridha Dia mengutusnya.”

Beliau juga bersabda, “Sembahlah Allah dengan (penuh) ridha. Jika kamu tidak bisa, maka dalam kesabaran terhadap apa yang tidak kamu inginkan terdapat kebaikan (pahala) yang banyak.”
Rasulullah Saw. pernah bersabda kepada sekelompok kaum,
“Apa (identitas) kalian?”
“Kami adalah kaum Mukmin,” jawab mereka.
“Apa tanda-tanda keimanan kalian?” tanya Rasulullah.
“Kami bersabar atas bencana (kesusahan) dan kami bersyukur ketika lapang (kelapangan hidup), serta kami ridha dengan posisi-posisi qadha’ (ketentuan-ketentuan Allah),” jawab mereka.
Kemudian Rasulullah Saw. bersabda, “Kalian adalah orang-orang Mukmin, demi Tuhan (Pemilik) Ka’bah.”
Dalam riwayat lain disinyalir, “Karena kedalaman ilmunya, nyaris membuat para hukama’ dan para ulama menjadi Nabi.”
Di antara yang diwahyukan Allah Swt. kepada Nabi Daud as. adalah:
“Apa yang dimiliki para wali-Ku dan keinginan terhadap dunia. Sun gguh, keinginan pada dunia dapat menghilangkan rasa manis munajat (kepada)-Ku dan kalbu mereka; sesungguhnya kecintaan (keinginan)-Ku terhadap para wali-Ku adalah: Aku ingin mereka menjadi para ruhaniawan yang tidak bersedih hati.”
Rasulullah Saw. bersabda, Allah Swt. berfirman dalam Hadis Qudsi:
“‘Aku adalah Allah, tiada Tuhan selain Aku. Barangsiapa tidak dapat bersabar atas cobaan-Ku, tidak mensyukuri nikmat-nikmatKu, dan tidak ridha terhadap qadha’-Ku, maka hendaklah ia mencari tuhan selain selain Aku’.”

Rasulullah Saw. juga bersabda, “Allah Swt. berfirman, ‘Aku telah menciptakan kebaikan dan telah menciptakan ahli baginya, juga telah menciptakan kejahatan dan telah menciptakan ahlinya. Maka, berbahagialah siapa yang Kuciptakan untuk kebaikan dan memudahkannya di hadapannya celakalah siapa yang Kuciptakan untuk kejahatan dan Aku telah memudahkan kejahatan di hadapannya. Celaka, kemudian celaka (bagi) siapa yang berkata, ‘Mengapa dan bagaimana’.”

Diwahyukan kopada Nabi Daud as.:
“Wahai Daud, kamu berkehendak dan Aku berkehendak. Hanya saja yang Aku inginkan: Jika kamu men yerah pada apa yang Aku kehendaki, maka Aku penuhi apa yang kamu inginkan. (Sebaliknya), jika kamu tidak menyerah pada apa yangAku kehendaki, niscayaAku menjadikan kamu lelah dan susah dalam hal yang kainu inginkan, kemudian yang terjadi hanyalah apa yang Aku kehendaki.”
Sekelompok ulama mengingkari adanya ridha terhadap qadha’ Allah Swt. Mereka berkata, “Ridha terhadap qadha’ tidak mungkin digambarkan dengan hal-hal yang bertentangan dengan nafsu. Sedangkan yang bisa digambarkan hanyalah sabar.”

Tanda-tandanya adalah, ridha terhadap bencana dan ridha terhadap realita yang kontra dengan watak serta kesenangan. Bentuk ridha ini ada tiga arah.
Arah pertama, ia dibuat tercengang oleh penyaksian cinta secara langsung, dan berpaling dari rasa sakit. Ini adalah bentuk musyahadah langsung dari cinta manusia ketika dikuasai oleh amarah, ambisi dan nafsu syahwat; bahkan pada saat marah, ia tidak merasakan luka yang mengenai dirinya. Orang yang tamak tidak merasakan rasa sakit ketika kakinya tertusuk duri. Sebaliknya, bila amarahnya telah reda dan apa yang dituju oleh si tamak itu telah digapai, rasa sakit itu menjadi-jadi.

Jika telah terbayangkan bahwa sedikit rasa sakit dapat menyelusup pada rasa cinta yang sedikit, juga rasa sakit yang sedikit dapat menyelusup dalam rasa cinta yang kuat, maka rasa cinta dan sakit itu, masing-masing dapat bertambah dan dapat pula menguat.
Apabila kecintaan terproyeksi sedemikian rupa, dimana kegandrungan terhadap bentuk yang terstruktur seperti daging dan darah yang penuh dengan kotoran; sebenarnya hal itu dicapai dengan mata lahiriah, yang seringkali menemui kesalahan; sehingga mata tersebut melihat sesuatu yang besar tampak kecil, yang jauh tampak dekat, dan yang jelek tampak indah. Lalu bagaimana mungkin penglihatan pada hadirat ketuhanan dan keagungan Azali Yang Abadi —yang tidak pernah terproyeksi pemutusan dan penyerangannya— tidak dapat dicapai dengan mata batin, padahal bagi ahlinya tampak lebih benar dan jelas daripada penglihatan mata lahiriah?

Berdasarkan inilah Al-Junaid r.a. bertanya kepada Sari As-Saqathi r.a, “Apakah sang pecinta menemui pedihnya kesusahan?”
“Tidak,” jawabnya.
“Jika dipukul dengan pedang?”
“Tidak juga, walaupun dipukul dengan pedang sebanyak tujuhpuluh kali secara bertubi-tubi,” jawab Sari lagi.
Sebagian sufi berkata, “Aku mencintai segalanya, karena cinta-Nya. Bahkan walaupun Dia mencintai api, aku pun suka masuk ke dalam api tersebut.”
Umar bin Abdul Aziz r.a. berkata, “Kegembiraanku tiada yang tersisa, kecuali hanya dalam posisi ketetapan Allah Swt.”
Di antara kaum sufi mengalami musibah, putranya telai raib selama tiga hari. Lalu ada orang mengusulkan, “Bagaimana seandainya Anda memohon kepada Allah Swt. agar mengembalikannya kepada Anda?”
“Gugatanku kepada-Nya tentang apa yang telah ditetapkan-Nya lebih pedih bagiku daripada keraiban putraku,” jawabnya.
Arah kedua, dia merasakan kepedihan dan secara naluri tidak menyukainya. Hanya saja ia ridha, disebabkan akal pikiran dan imannya, karena tahu banyaknya pahala yang disebabkan oleh kesusahan atau bencana. Seperti halnya orang sakit yang rela dioperasi dan minum obat. Karena dia tahu bahwa itu adalah faktor yang dapat menyembuhkan, bahkan ia merasa gembira bila ada orang yang menghadiahkan obat kepadanya, walaupun pahit.
Demikian halnya dengan seorang pedagang, dia rela menempuh perjalanan jauh yang melelahkan, padahal itu bertentangan dengan nalurinya.
Hal semacam ini, ditemui pula dalam menggapai tujuan-tujuan duniawi. Lalu bagaimana mungkin hal itu tidak diakui keberadaannya dalam upaya menggapai kebahagiaan ukhrawi?

Dikisahkan bahwa seorang wanita dibukakan pintu oleh Al-Mushili Al-Anshari. Tiba-tiba wanita itu terjatuh hingga patah kukunya, namun masih sempat tertawa.
“Apakah Anda tidak merasakan sakit setelah terjatuh?” kata Al-Anshari.
“Sungguh, kelezatan imbalan pahalanya dapat menghilangkan kepahitan rasa sakitnya dan kalbuku,” jawabnya singkat.
Jadi, orang yang yakin bahwa imbalan pahala bencana (kesusahan) lebih besar dari apa yang dideritanya, tentu ia akan bersikap ridha.
Arah ketiga, seyogyanya Anda yakin bahwa Allah Swt. ada di balik semua keajaiban yang halus, bahkan sangat halus. Keyakinan semacam itu harus lahir dari kalbu seseorang. (Mengapa dan bagaimana) — dia tidak sampai terheran-heran terhadap apa yang berlangsung di permukaan alam semesta, yang oleh orang bodoh dikira kacau, runyam dan tidak stabil, sementara itu dia tahu bahwa rasa herannya tersebut seperti Musa as. yang terheran-heran terhadap perilaku Nabi Khidir as, membakar perahu anak-anak yatim, membunuh seorang anak dan membangun kembali dinding yang telah roboh seperti yang disebutkan dalam Surat Al-Kahfi.

Namun setelah Khidir as. membuka tabir dan rahasia apa yang dilakukannya, Musa menjadi paham dan tidak lagi merasa heran. Rasa heran beliau disebabkan oleh rahasia-rahasia yang masih tersembunyi tersebut.
Demikian pula dengan af’al Allah Swt. Sebagai contoh, di antara mereka yang bersikap ridha — setiap kali ditimpa musibah, berkata, “Yang terbaik adalah, apa yang telah ditakdirkan oleh Allah Swt.”
Ia bersama keluarganya di sebuah padang sahara, sementara yang dimilikinya hanyalah seekor khimar yang membawa tenda, seekor anjing penjaga mereka, dan seekor ayam jantan yang membangunkan mereka dari tidur.
Pada suatu malam, datang seekor musang dan memangsa ayam jantan miliknya. Tahu bahwa ayamnya telah dimangsa musang, ia hanya berkata, “Itu yang terbaik.”

Kemudian datanglah srigala dan memangsa khimar miliknya. Mengetahui hal yang demikian, keluarganya merasa sedih, namun ia tetap berkilah, “Itu yang terbaik.”
Selanjutnya anjing satu-satunya yang dimilikinya terserang penyakit, lalu mati. Sekali lagi ia menanggapi kejadian menyedihkan itu dengan ucapan, “Itu yang terbaik.”

Keluarganya terheran-heran melihat sikapnya, hingga akhirnya tiba waktu pagi dan ia beserta keluarganya telah dikepung oleh perampok, lalu anak-anak mereka disandera dan dibawa pergi.

Tempat mereka diketahui dari kokok ayam jantan, tempat yang lain diketahui dari lolongan anjing, dan tempat sebagian mereka diketahui dari ringkik khimar.

Lalu ia berkata, “Anda telah tahu, bahwa yang terbaik adalah apa yang telah ditakdirkan oleh Allah Swt. Kalau Allah Swt tidak membinasakan mereka, tentu Anda sekalian dan kami telah binasa.”
Dikisahkan pula, bahwa seorang Nabi melakukan ibadat di sebuah gunung yang berdekatan dengan sebuah mata air. Kemudian lewatlah seorang penunggang kuda dan singgah sebentar untuk minum dan mata air tersebut. Dompetnya yang berisi uang seribu dinar tertinggal.
Tidak lama berselang, datanglah orang lain lagi untuk minum pula, lalu ia mendapatkan dompet tersebut dan membawanya. Berikutnya, tibalah seorang laki-laki miskin memanggul seikat kayu bakar. Ia minum dan setelah itu berbaring untuk melepaskan lelah. Tiba-tiba datang si penunggang kuda untuk mengambil dompetnya yang tertinggal, namun tidak mendapatkannya.

Karena tidak mendapatkan uangnya, sementara yang ada di dekatnya adalah si miskin tersebut, si penunggang kuda menuduh dan menuntut si miskin untuk mengembalikan uangnya, ia memeriksa dan menyiksanya, namun demikian tetap tidak mendapatkan uangnya, akhirnya si pembawa kayu bakar pun dibunuhnya.

Menyaksikan peristiwa tersebut Nabi yang melakukan ibadat itu berseru, “Tuhanku, ada apa ini? Yang mengambil dompet berisi seribu dinar adalah orang lain. Namun mengapa Engkau menjadikan si penunggang kuda itu menzalimi si miskin tersebut hingga ia membunuhnya?”
Lalu Allah Swt. menurunkan wahyu kepadanya:

“Bersibuk-sibuklah kamu dengan ibadatmu! Mengetahui rahasia-rahasia Sang Maha Penguasa itu bukan urusanmu; si miskin pembawa kayu bakar itu telah membunuh ayah si penunggang kuda, karenanya Aku menempatkannya untuk mendapat qisas (balasan) darinya. Sedangkan ayah penunggang kuda itu telah mengambil seribu dinar dari harta milik orang yang mengambil dompetnya dan Aku mengembalikannya, sebagai warisannya.”
Jadi, orang yang meyakini rahasia-rahasia semacam ini tidak merasa heran terhadap af’aI Allah Swt. Rasa heran dan takjub itu dikarenakan ketidaktahuannya. Dia tidak akan berkata, “Mengapa dan bagaimana?” sehingga dia ridha terhadap apa yang telah ditentukan Allah di alam semesta-Nya ini.

Di sini ada empat segi yang bersumber dari pengetahuan terhadap kemahasempurnaan hikmah dan kasih-sayang Allah, terhadap sistematika sebab yang mengantarkan pada akibat. Mengenal qadha’ pertama, bagaikan kerdipan mata, dan terhadap qada yang merupakan sebab dan terwujudnya rincian qadha’.

Semua hal tersebut disusun dalam perspektif yang paling sempurna dan baik, tidak ada yang lebih sempurna dan Iebih baik dari itu.
Jika seseorang menimbun harta, dia itu tergolong kikir lagi lemah, bukan dermawan, yang bertentangan dengan takdir. Di balik itu berhimpun pengetahuan tentang rahasia takdir (sirrul qadar) Allah Swt. Sebagaimana orang yang yakin terhadap hal itu, hanya bersikap ridha dan rela terhadap setiap yang berlangsung dan bersumber dari Allah. Uraian tentang hal itu sangat panjang.

Proporsi Ridha
Barangkali Anda bertanya, “Bagaimana mungkin sikap ridha terhadap qadha’ Allah bisa bertemu dengan sikap benci terhadap orang-orang kafir dan orang-orang yang suka berbuat maksiat, padahal dalam kaitan mengingkari kekafiran itu sebagai ibadat, dan Allah Swt juga berkehendak demikian terhadap mereka?”

Sekelompok orang lemah berprasangka, bahwa meninggalkan amar ma’ruf merupakan salah satu sikap ridha terhadap qadha’. Sikap demikian mereka sebut dengan perilaku yang baik. Ini benar-benar ketololan dan sikap bodoh yang sebenarnya. Malah justru Anda harus ridha, dan sekaligus membenci semuanya.

Ridha dan benci merupakan dua hal yang bertolak belakang bila menimpa satu hal dari satu arah. Keduanya tidak bertolak belakang atau bertentangan jika, misalnya, musuh Anda yang juga merupakan musuh dari musuh Anda yang lain, terbunuh. Anda ridha atas terbunuhnya, dari sisi bahwa dia adalah musuh Anda. Namun Anda juga tidak suka, dari sisi bahwa dia itu adalah musuh dari musuh Anda yang lain.
Demikian pula dengan perbuatan maksiat, ia memiliki dua segi:

Satu segi dikembalikan kepada Allah, yakni dari sisi bahwa perbuatan maksiat itu terjadi atas qadha’ dan kehendak Allah Swt. Dari segi ini maksiat itu diridhai. Segi kedua dikembalikan kepada pelaku maksiat tersebut, yakni dari sisi bahwa maksiat tersebut adalah sifat dirinya dan hasil perbuatannya. Karena maksiat itu dibenci oleh Allah, maka dari segi ini maksiat dibenci. Allah Swt. telah menjadikan Anda sebagai hamba dengan membenci siapa yang membenci-Nya, di antara orang-orang yang mendurhakai dan melanggar perintah-Nya. Maka, Anda sebagai orang yang dijadikan hamba oleh Allah dengan hal tersebut, harus mematuhi perintah-Nya.

Jika kekasih Anda berkata kepada Anda, “Sungguh, aku hendak menguji rasa cintamu, dengan cara memukul dan menganiaya budakku, hingga dia memakiku. Orang yang membenci budakku, berarti mencintaiku, sebaliknya orang yang mencintai dan mengasihi budakku, dia adalah musuhku.”
Padahal Anda sendiri tahu, bahwa yang memaksa budak itu memaki kekasih Anda adalah kekasih Anda sendiri, dan itu merupakan rekayasa darinya.
Karena itu, maka sikap dan jawaban Anda adalah, “Makian budakmu itu, sungguh aku sukai dari sisi bahwa hal itu adalah rekayasamu terhadap budakmu, dan tujuanmu untuk mengasingkan siapa yang kamu kehendaki. Sedangkan makian si budak dari sisi bahwa itu adalah sifatnya dan merupakan pertanda dan tindak permusuhannya, sungguh aku membenci dan tidak menyukainya sebab aku mencintaimu. Tentu saja aku harus membenci orang yang menampakkan sikap permusuhan kepadamu.”

Ini adalah persoalan yang samar. Orang-orang lemah selalu tergelincir di situ, karenanya mereka berbicara tentang hal tersebut secara serampangan.
Selain itu, tidak layak Anda berpraduga bahwa pengertian ridha terhadap qadha’ Allah adalah orang yang meninggalkan doa kepada Allah, bahkan membiarkan anak panah yang mengarah kepada Anda sehingga mengenai diri Anda, padahal Anda mampu menahannya dengan perisai.Justru doa sebagai refleksi ibadat Anda agar dari kalbu Anda memancar dzikir yang murni, kekhusyu’an dan kehalusan kalbu demi kesiapannya menerima kelembutan-kelembutan dan cahaya-cahaya.

Di antara bentuk ridha terhadap qadha’ Allah ialah, berhubungan dengan kekasihnya melalui berbagai sebab yang bisa sampai kepada sang kekasih. la juga meninggalkan sebab-sebab yang bertentangan dengan apa yang diinginkan kekasihnya itu, demi ridhanya.
Keengganan orang haus meminum air dingin, karena beranggapan bahwa dirinya ridha dengan rasa haus, sebagai salah satu qadha’ Allah Swt. Padahal, qadha’ dan kecintaan Allah justru perilaku menghilangkan rasa haus dengan air tersebut.

Tindakan keluar dan peraturan-peraturan syariat dan dari Sunnatullah juga bukan perilaku ridha terhadap qadha’ Allah Swt. Justru pengertian dan sikap ridha adalah, tidak menentang terhadap Allah Swt. baik secara lahir maupun batin. Ridha berarti pula mengerahkan seluruh tenaga untuk berhubungan dengan segala hal yang dicintai Allah Swt, dengan cara melaksanakan perintah dan meninggalkan seluruh larangan-Nya.

0 komentar: