Senin, 23 Mei 2011

Ikhlas dan Jujur


Al-Ghazali

Ikhlas memiliki hakikat, prinsip dan kesempurnaan. Prinsip ikhlas adalah niat, sebab dalam niat itu

terdapat keikhlasan. Sedangkan hakikat ikhlas adalah kemurnian niat dari kotoran apapun yang mencampuri kesempurnaan adalah kejujuran.



Pilar-Pilar Ikhlas

PILAR PERTAMA : Niat
Allah Swt. berfirman: “Dan janganlah kamu mengusir orang-orang yang menyeru Tuhannya di pagi hari dan di petang hari, sedang mereka menghendaki keridhaan-Nya.” (Q.s. Al-An’am: 52).

Arti niat adalah kehendak dan keinginan memperoleh ridha Allah Swt. Rasulullah Saw. bersabda, “Sesungguhnya seluruh pekerjaan itu bergantung niat.”
Beliau juga bersabda, “Sesungguhnya para malaikat melaporkan amal seorang hamba. Kemudian Allah Swt. berfirman, ‘Lemparkanlah! buanglah amal itu, sebab dia itu tidak meniatkannya demi memperoleh ridha-Ku, dan tulislah untuknya begini dan begitu!’ Para malaikat berkata, ‘Sungguh, ia sedikit pun tidak melakukan perbuatan demikian!’ Lalu Allah Swt. berfirman, ‘Sesungguhnya dia meniatkannya, sungguh, dia meniatkannya’.”

Sabda Rasulullah Saw. berikutnya:
“Manusia itu ada empat macam, (yaitu): Orang yang oleh Allah dikaruniai ilmu dan harta. Dia memanfaatkan hartanya dengan ilmu yang dimilikinya. Lalu ada orang lain berkata, ‘Andaikata Allah mengaruniai aku seperti yang dikaruniakan kepada orang itu, tentu aku akan beramal sebagaimana dia beramal!’ Kedua orang ini pahalanya sama. Dan ada orang yang oleh Allah dikaruniai harta, tapi tidak dikaruniai ilmu, maka dia akan tersesat dengan kebodohannya dalam menggunakan hartanya. Lalu ada orang berkata, ‘Andaikata Allah mengaruniaiku seperti yang dikaruniakan kepadanya, tentu aku akan berbuat seperti apa yang ia perbuat!’ Maka kedua orang ini dosanya sama.” (Al-Hadis).

Sabdanya yang lain, “Barangsiapa berperang dan tidak berniat, kecuali hanya satu ikat saja, maka baginya adalah pahala yang diniatkan.”

Dikisahkan bahwa seseorang dari bani Israil melintasi sebuah bukit pasir pada masa paceklik. Menyaksikan bukit dan gundukan pasir itu ia bergumam dalam dirinya, “Andaikata aku memiliki makanan sebanyak bukit pasir ini, tentu dan pasti aku bagi-bagikan kepada manusia.” Kemudian Allah menurunkan wahyu kepada Nabi mereka (bani Israil) di masa itu: “Katakan kepadanya, bahwa Allah Swt. telah menerima sedekahmu, memberi balasan terhadap kebaikan niatmu, dan memberimu pahala andaikata kamu memiliki makanan sebanyak (gundukan bukit pasir itu), lalu kamu menyedekahkannya.”

“Barangsiapa menikahi seorang wanita dengan suatu maskawin, sedangkan ia punya niat untuk tidak memenuhinya, maka dia adalah seorang pezina. Dan barangsiapa berhutang, kemudian Ia punya niat tidak akan membayar, maka dia itu adalah pencuri.”
Hakikat Niat

Hakikat niat adalah, kemauan yang mendorong kekuatan yang lahir dari pengetahuan. Penjelasannya, bahwa seluruh pekerjaan Anda tidaklah absah tanpa kekuatan, kemauan dan ilmu. Ilmu menggerakkan kemauan. Kemauan merupakan motivasi dan pendorong kekuatan; dan kekuatan adalah alat, sarana dan pembantu kemauan dengan menggerakkan seluruh organ.

Misalnya, Allah menciptakan nafsu makan kepada diri Anda, hanya saja nafsu makan itu tenang, seakan-akan tidur. Bila mata Anda terantuk pada makanan, secara otomatis timbul pengetahuan tentang makanan tersebut, lalu bangkitlah nafsu makan Anda. Kemudian tangan Anda memungutnya. Sementara kerja tangan Anda memungut makanan itu dengan kekuatan yang tersimpan di dalamnya, yakni kekuatan yang patuh pada isyarat perintah nafsu makan. Nafsu makan itu bangkit karena adanya pengetahuan tentang makanan yang lahir dan penjelajahan indera rasa. Begitu juga ketika diciptakan selera nafsu/keinginan kepada sesuatu yang tampak di depan Anda, juga diciptakan pada diri Anda keinginan pada kelezatan-kelezatan yang akan datang. Kecenderungan dan kemauan semacam ini bangkit dari pengetahuan yang lahir dari akal pikiran. Dan kekuatan ikut membantu kecenderungan atau kemauan ini dengan menggerakkan organ.




Jadi niat itu adalah, kecenderungan atau kemauan kuat yang merupakan motivator bagi kekuatan. Karenanya, orang yang berperang, bisa saja motifnya adalah kecenderungan pada harta-benda, jadi itulah niatnya. Bisa juga motifnya adalah kecenderungan pada pahala akhirat, maka itulah niatnya.
Jadi niat itu adalah kemauan yang mendorong. Kemudian, makna dan keikhlasan niat itu sendiri adalah kemurnian unsur pendorong, yang bersih dari unsur lainnya.

Dorongan Niat
Jika suatu amal perbuatan dapat terealisasi dengan dorongan niat, maka niat dan amal merupakan ibadat yang sempurna. Niat merupakan satu dari dua sisi ibadat, namun merupakan sisi yang terbaik dan paling vital. Karena amal perbuatan dengan organ tubuh tidak akan mengenai sasaran, kecuali punya pengaruh dalam hati, yakni agar cenderung pada kebaikan dan jauh dari keburukan. Sehingga berpikir dan berdzikir mampu mengantarkan pada kesenangan jiwa dan ma’rifat, yang keduanya merupakan faktor bagi kebahagiaan di akhirat. Jadi, tujuan dan maksud dari meletakkan dahi di atas tanah bukanlah semata-mata peletakan dahi di atas tanah ansich; tetapi, ketundukan hati, sedangkan hati itu dapat dipengaruhi dengan perbuatan-perbuatan organ tubuh.

Tujuan zakat itu bukan untuk menghilangkan hak milik, tapi untuk memusnahkan kehinaan sifat kikir. Yakni, memotong ketergantungan hati dengan harta-benda. Tujuan dari penyembelihan binatang kurban bukanlah daging dan darahnya, tapi rasa ketakwaan hati dengan mengagungkan dan membesarkan syiar-syiar Allah Swt. Dan niat merupakan kecenderungan hati itu sendiri pada kebaikan. Itu adalah inti dari yang dituju dan lebih baik dari perbuatan organ-organ tubuh, dimana tujuan sebenarnya adalah penyerapan pengaruhnya ke dalam kalbu, yang menjadi tempat yang dituju. Karena itulah seluruh amal hati mewarisi pengaruh bentuk apa pun, namun bukan amal anggota badan. Perbuatan anggota badan tanpa kehadiran hati merupakan hal yang sia-sia belaka.

Walaupun memang disengaja, pengobatan sakit perut dengan obat yang diminum, jelas Iebih mujarab daripada obat yang dioleskan pada bagian luar perut, agar reaksi olesan obat itu mengalir ke dalam perut. Demikian sebaliknya, bila pengaruh obat oles itu tidak dapat meresap ke dalam perut, tentu sakit perut itu tidak akan sembuh. Dengan penjelasan ini, diketahuilah rahasia sabda Rasulullah Saw:
“Niat seorang Mukmin lebih baik dari amal perbuatannya.” (Al-Hadis).

Keutamaan Niat.
Niat memiliki keutamaan, karena di situlah inti tujuan itu bersemayam dan berpengaruh. Karena itu, banyak-banyaklah Anda berniat dalam seluruh amal perbuatan, bahkan Anda bisa beramal satu amaliah saja dengan niat yang banyak. Jika kemauan dan kecintaan Anda itu benar, niscaya Anda akan diberi petunjuk jalannya. Dalam hal ini, cukup bagi Anda satu contoh saja. Masuk dan berdiam di dalam masjid adalah ibadat, dan itu bisa dilakukan dengan delapan macam niat:
Pertama, Anda yakin bahwa masjid adalah rumah Allah (Baitullah). Orang yang memasuki masjid berarti datang menemui Allah; Anda pun berniat untuk berjumpa dengan Allah Swt.
Rasulullah Saw. bersabda, “Barangsiapa duduk di dalam masjid, berarti dia berkunjung kepada Allah Swt.” Hak pihak yang dikunjungi adalah menghormati pengunjungnya.

Kedua, niat untuk mengikat diri dengan Allah Swt. (murabathah).
Firman Allah Swt.: ”...dan kuatkanlah kesabaranmu dan tetaplah bersiap siaga...” (Q.s. Ali-Imran: 200).

Ada yang berkomentar, maksudnya adalah menunggu datangnya salat setelah melaksanakan salat sebelumnya.

Ketiga, niat i’tikaf. Maksudnya adalah, mencegah pendengaran, penglihatan dan organ tubuh dari kebiasaan bergerak-gerak. I’tikaf adalah bentuk lain dari puasa.
Rasulullah Saw. bersabda:
“Kerahiban ummatku adalah duduk di dalam masjid.” (Al-Hadis).

Keempat, niat untuk khalwat dan meninggalkan segala kesibukan untuk merenungkan kehidupan akhirat, serta cara mempersiapkan diri menghadapinya.

Kelima, memusatkan diri untuk dzikir dan mendengarkan dzikir, atau memperdengarkannya. Sesuai dengan sabda Rasulullah Saw., “Barangsiapa menuju masjid untuk mengagungkan Allah Swt. atau menyebut-Nya, maka dia itu seperti pejuang di jalan Allah Swt.”

Keenam, bermaksud untuk mengamalkan ilmu, memberi peringatan kepada orang yang keliru ketika melakukan salat, ber-amar ma’ruf nahi munkar, sehingga dengan demikian kebaikan itu terwujud bersamanya.

Ketujuh, meninggalkan dosa-dosa karena malu kepada Allah Swt., dengan jalan melakukan niat yang baik dalam diri, perkataan dan amal perbuatan, sehingga orang yang berbuat dosa pun merasa malu.

Kedelapan, Anda berniat mengambil faedah pada saudara seakidah, sebab yang demikian itu merupakan simpanan berharga bagi kehidupan akhirat.
Masjid merupakan tempat utama (markas) pemeluk agama yang cinta kepada dan, dalam Allah. Analogikan seluruh amal perbuatan dengan hal ini, dengan berhimpunnya niat-niat tersebut dapat membersihkan amal-amal Anda, sehingga mencapai derajat amal muqarrabun. Sebagaimana juga, kontra pada niat baik tersebut dapat mengantarkan pada perbuatan setan. Seperti orang yang berdiam di masjid dengan niat berbicara batil, memfitnah dan membicarakan sifat-sifat orang lain, menemani orang yang suka bermain-main dan bersenda-gurau, memperhatikan wanita dan anak-anak, melihat orang yang berdebat dengan sesama teman dengan motivasi egois dan popularitas, agar orang-orang yang mendengarkan ucapan dan pembicaraannya merasa rendah.




Demikian pula tidaklah semestinya melalaikan niat yang baik dalam urusan-urusan yang dibolehkan (mubah) di masjid.
Disinyalir dalam sebuah hadis, bahwa pada hari Kiamat nanti seorang hamba ditanya tentang segala sesuatu, hingga tentang celak pada kedua matanya, pecahan-pecahan tanah yang diremukkan oleh jari-jemarinya, dan sentuhan tangannya terhadap pakaian saudaranya.

Contoh niat dalam hal-hal yang dibolehkan adalah, orang yang mengenakan parfum atau bersolek pada hari Jum’at. Bisa saja tujuannya untuk menikmati kenyamanannya dan memamerkan kekayaannya untuk menarik simpati wanita, dan menebarkan kerusakan. Ada pula yang niatnya mengikuti sunnah, menghormati rumah Allah, menghormati hari Jum’at, untuk menghilangkan bau tidak sedap yang bisa dihirup oleh orang lain, agar bau semerbak itu sampai kepada mereka, sehingga mencegah timbulnya ghibah bila mereka mencium bau tidak sedap darinya.
Tentang dua kelompok ini, Rasulullah Saw. bersabda:
“Barangsiapa mengenakan wewangian karena Allah, pada hari Kiamat nanti semerbak harumnya lebih dari semerbak minyak misik. Dan barangsiapa mengenakan wewangian karena selain Allah, pada hari Kiamat nanti baunya lebih busuk dari bangkai.” (Al-Hadis).

Kategori Niat
Perlu diingat, bahwa niat bukanlah masuk dalam kategori ikhtiar. Karena itu, seharusnya Anda tidak tertipu, sehingga Anda berkata dengan lisan dan hati Anda, ”Aku duduk di masjid dengan niat ini dan itu.” Lalu Anda mengira bahwa diri Anda telah melakukan niat. Padahal sebelum itu, Anda telah tahu bahwa niat itu adalah pendorong yang menggerakkan amal. Apabila niat tidak ada, amal pun tidak terwujud.
Niat yang dibuat-buat, seperti ucapan Anda, “Aku berniat untuk menyayangi si Fulan, mencintai dan mengaguminya.” Atau Anda berkata, “Aku berniat untuk haus, atau lapar, atau kenyang.”
Pertama, Anda yakin bahwa masjid adalah rumah Allah (Baitullah). Orang yang memasuki masjid berarti datang menemui Allah; Anda pun berniat untuk berjumpa dengan Allah Swt.

Seluruhnya memiliki faktor dan sebab, yang bisa mewujudkannya.
Dengan kata lain, semuanya tidak dapat terwujud tanpa sebab dan faktor-faktor dimaksud. Orang yang berkata, “Aku meniatkannya sebelum terwujud.” Hal itu sebenarnya merupakan angan-angan belaka, bukan niat.

Orang yang bersetubuh karena dikuasai gejolak nafsu seks, bagaimana mungkin menggunakan niatnya, ”Aku berniat melakukan persetubuhan untuk mendapatkan keturunan,” dan mungkin untuk memperbanyak anak dengan tujuan berbangga-bangga diri. Bahkan niat ketika bersetubuh, tidak akan terbersit dari hati Anda, kecuali iman Anda kokoh dan pengetahuan tentang kerendahan nilai kebahagiaan dunia dan besarnya nilai pahala akhirat merupakan pengetahuan yang sempurna; sehingga iman dan pengetahuan dapat menguasai Anda. Dari situlah secara otomatis lahir kecintaan Anda kepada segala hal yang mengantarkan pada perolehan pahala akhirat. Sebaliknya, bila rasa cinta itu tidak lahir, berarti Anda ketika itu tidak punya niat. Karena itulah, sejumlah ulama salaf menahan diri untuk melakukan beberapa kebaikan; bahkan dituturkan bahwa Muhammad bin Sirin tidak menyalati jenazah Hasan Al-Bashri dengan alasan, “Niat belum hadir di hatiku.”

Konon pernah dikatakan kepada Thaus, “Doakan kami!”
“Aku akan mendoakan kalian setelah mendapatkan niat untuk kepentingan itu.”

Di antara mereka berkata, ”Aku, sejak sebulan yang lalu berupaya mencari niat untuk menjenguk seseorang. Maka, aku menunggu kebenaran niatku.”
Orang yang tahu tentang hakikat niat dan mengetahui pula bahwa niat merupakan jiwa (ruh) dari amal perbuatan, maka dia tidak akan disibukkan oleh amal perbuatan yang tanpa jiwa (ruh). Hal ini menguatkan bahwa suatu hal yang mubah bisa saja lebih utama dari suatu ibadat jika disertai dengan niat.
Orang makan dan minum tanpa niat berpuasa saat itu, dengan niat agar mampu melaksanakan ibadat, maka tindakan makan dan minum itu lebih utama.
Orang yang bosan melakukan ibadat dan tahu bahwa dengan tidur semangatnya bisa pulih kembali, maka tidur lebih utama baginya. Bahkan jika pada saat-saat tertentu menghibur diri dengan kelakar dan senda-gurau mampu membangkitkan semangatnya, maka kegiatan menghibur diri itu lebih utama baginya daripada melakukan salat yang disertai dengan rasa bosan.

Rasulullah Saw. bersabda:
“Sesungguhnya Allah tidak merasa bosan, kecuali kalian merasa bosan.” (Al-Hadis).

Abu Darda’ berkata, ”Aku berupaya mengistirahatkan jiwaku, dengan suatu bentuk senda-gurau. Itu bisa menjadi sarana pembantu bagiku untuk mewujudkan kebenaran.”

Ali r.a. berkata, “Hibur dan istirahatkanlah jiwa itu, sebab bila terusmenerus merasa sedih, dia jadi gagap dan tidak cakap.”
Hal-hal mendetail seperti inilah yang terasa amat sulit dan berat di mata para ahli dzahir, fuqaha’, seperti ketidakberdayaan seorang dokter untuk mengobati orang yang sakit panas dengan daging. Sementara dokter ahli kadang-kadang menyuruh mengembalikan tenaga sang pasien, sehingga hal itu menjadi obat yang mujarab.


PILAR KEDUA : Keikhlasan Niat.
Allah Swt. telah berfirman:
“Padahal mereka tidak disuruh, kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama dengan lurus.” (Q.s. Al-Bayyinah: 5).

“Ingatlah, hanya kepunyaan Allah-lah agama yang bersih (dari syirik).” (Q.s. Az-Zumar: 3).

Firman-Nya pula:
“Kecuali orang-orang yang tobat dan mengadakan perbaikan dan berpegang teguh kepada (agama) Allah yang tulus ikhlas (mengerjakan) agama mereka karena Allah.” (Q.s. An-Nisa’: 146).

Nabi Muhammad Saw. bersabda, ”Allah Swt. berfirman dalam Hadis Qudsi: ‘Ikhlas itu adalah salah satu rahasia dan rahasia-Ku, yang Kutitipkan dalam kalbu beberapa hamba-Ku yang Kucintai’.”

Rasulullah Saw. bersabda kepada Mu’adz, “Ikhlaslah dalam beramal, niscaya kamu dapat imbalan (banyak) dan amal yang sedikit .“

Sabda beliau pula: “Siapa pun seorang hamba melakukan amal perbuatan dengan ikhlas selama empatpuluh hari, maka memancarlah hikmah dari kalbu melalui lisannya.”

Hakikat Ikhlas
Hakikat ikhlas adalah pemusatan satu motivasi. Lawannya adalah dualisme. Yakni, dualisme dalam motivasi, sehingga setiap hal yang berkembang selalu dicampuri dengan unsur lain. Apabila terbebas dari segala bentuk campur unsur lain bisa disebut murni.



Anda telah tahu, bahwa niat itu merupakan pendorong. Orang yang beramal tanpa riya’ itu disebut mukhlish. Orang yang beramal hanya karena Allah disebut mukhlash. Namun ada istilah khusus bagi keduanya. Ingkar misalnya, adalah bentuk kecenderungan, namun kecenderungan dalam konteks kebatilan. Kami telah mensinyalir tentang punahnya keikhlasan karena intervensi riya’, namun demikian, rasa ikhlas itu dapat punah pula karena motif-motif dan tujuan-tujuan lainnya. Orang yang berpuasa kadang-kadang bermaksud untuk memperoleh perlindungan, kesehatan yang prima yang bisa dilahirkan dengan berpuasa. Orang yang memerdekakan seorang budak bisa saja bertujuan supaya aman dari kejahatan budak tersebut.
Orang yang menunaikan ibadat haji mungkin saja bertujuan agar sehat dengan gerakan-gerakan tubuh dalam perjalanannya itu. Atau dia lari dari problem keluarga, atau lari dari penganiayaan musuh ataupun kejenuhan bersama keluarga.

Seorang pelajar menuntut ilmu, ada pula yang bertujuan agar mudah mencari penghidupan, atau agar aman —dengan kekuatan ilmu yang diperoleh— dari kezaliman, atau untuk menulis buku-buku agar bisa menulis dengan lancar. Atau dia melakukan haji dengan berjalan kaki untuk memperingan bekal. Dia berwudhu’ untuk membersihkan diri atau agar mendinginkan organ tubuh.

Orang mandi, ada yang berniat agar berbau sedap. Beri’tikaf untuk memperingan beban tempat tinggal. Dia berpuasa untuk memperingan beban untuk memasak dan membeli makanan. Memberi sedekah untuk menahan diri dari kejembelan seorang pengemis, atau menjenguk orang sakit agar dijenguk pula bila sakit. Niat-niat dan tujuan-tujuan semacam itu kadang-kadang lepas dan kadang-kadang bercampur-aduk dengan tujuan ibadat. Jika salah satu tujuan seperti disebutkan di atas terbetik dalam sebuah amal perbuatan, itu artinya keikhlasan telah punah. Ini merupakan suatu hal yang cukup alot dan sulit. Karena itulah sebagian mereka berkata, “Ikhlas satu jam adalah kesuksesan abadi. Namun hal itu sangat berat.”
“Berbahagialah orang yang satu langkah hidupnya tidak ditujukan, kecuali demi Allah Swt.,” kata Abu Sulaiman Ad-Darany.
Ma’ruf Al-Karkhy memukul-mukul dirinya seraya berkata, “Wahai jiwaku, wahai diriku, bertulus-ikhlaslah engkau, agar engkau selamat!”

Derajat Dualisme.
Perlu diingat, bahwa dualisme niat itu berperingkat: Kadang-kadang menang, kadang-kadang kalah, tapi terkadang juga berimbang (sejurus) dengan tujuan ibadat, dan itu tidak menafikan pahala dalam hal-hal mubah. Sungguhpun unsur lain dari tujuan karena Allah itu ada, tapi pahala atau imbalan yang diterimanya sesuai dengan kadar unsur tersebut, yang mencampurinya. Sedangkan sisanya tidak memperoleh imbalan pahala.
Jika dalam suatu ibadat yang harus dilaksanakan dengan ketulus ikhlasan kepada Allah Swt., unsur dualisme niatnya menang atau lebih tinggi, maka ibadat itu batal (gugur). Kemudian apabila dualisme niat itu sama (sebanding) atau kalah, maka keikhlasannya batal. Bisakah seluruh unsur dualisme itu dinafikan secara keseluruhan?
Dalam hal ini terdapat beberapa penjelasan dalam Bab “Riya”. Untuk lebih jelasnya, silakan Anda merujuk pada kitab Al-Ihya’.

PILAR KETIGA : Kejujuran
Kejujuran adalah kesempurnaan ikhlas. Allah Swt. berfirman, ”Ada orang-orang yang menepati apa yang telah mereka janjikan kepada Allah ...“ (Q.s. Al-Ahzab: 23).

Nabi Muhammad Saw. bersabda: “Sesungguhnya orang yang jujur dan membiasakan diri berlaku jujur, maka dicatat di sisi Allah sebagai orang yang sangat jujur.” (H.R. Bukhari-Muslim).

Allah Swt. berfirman: “Ceritakanlah (hai Muhammad) kisah Ibrahim di dalam AlKitab (Al-Qur’an) ini. Sesungguhnya ia adalah seorang yang sangat membenarkan (sangat jujur) lagi seorang Nabi.” (Q.s. Maryam: 41).

Ada enam tingkatan kejujuran. Orang yang mencapai derajat kejujuran yang sempurna layak disebut sebagai orang yang benar-benar jujur, antara lain:
Pertama, jujur dalam perkataan, di setiap situasi, baik yang berkaitan dengan masalalu, kini dan yang akan datang. Kejujuran ucapan ini punya dua sisi kesempurnaan:

Waspada terhadap ucapan yang bersifat pamer. Walaupun ucapan itu sendiri benar adanya, tapi dipahami sebagai lawan kata dan kebenaran. Kedustaan yang diwaspadai dipahami sebagai lawan kebenaran, sebab hati mendapatkan bentuk kedustaan yang berasal dari dusta lisan. Dan bila arah hati telah bergeser dari kebenaran menuju arah yang menyimpang, maka kebenaran itu tidak dapat mengejawantah pada hati secara benar, sehingga penglihatan-penglihatan hati tidak benar/jujur pula. Penampakan amal itu tidak masuk dalam kategori ini sebab ia sendiri merupakan kejujuran, atau suatu hal yang benar adanya. Namun, penampakan amal itu terjerumus dalam larangan.
Masa bodoh terhadap arti ucapan. Ini tidak seharusnya dilakukan, kecuali dengan tujuan yang benar. Penyempurnaan sisi kedua ini adalah hendaknya memelihara kejujuran dalam seluruh pembicaraan bersama Allah Swt. Jadi, ketika mengucapkan, ”Aku hadapkan wajahku,” kemudian dalam hatinya terbetik sesuatu selain Allah, maka dia itu adalah pendusta.

Selanjutnya, pada saat mengucapkan, “Kepada-Mu aku menyembah,” padahal dirinya adalah budak dunia atau budak hawa nafsunya, atau budak orang lain, tentu sulit sekali pembenaran ucapan itu pada hari Kiamat nanti. Karena itulah, Nabi Isa as. berkata, “Wahai budak dunia!”
Dan Nabi Saw. kita bersabda: “Celakalah hamba dirham dan hamba dinar!” (Al-Hadis).

Kedua, kejujuran dalam niat. Hal itu berupa pemurnian, yang menjurus pada kebaikan. Jika di dalamnya terdapat unsur campuran lainnya, berarti kejujuran kepada Allah Swt. telah sirna. Karenanya, orang semacam itu disebut, “Si jujur bermuka masam, dan si jujur bermuka manis”.
Apabila murni, hal itu dikembalikan pada substansi keikhlasan itu sendiri.

Ketiga, kejujuran dalam bertekad. Seseorang bisa saja mempunyai tekad yang bulat untuk bersedekah bila dikaruniai rezeki. Juga bertekad untuk berbuat adil bila dikaruniai kekuasaan. Namun adakalanya tekad itu disertai dengan kebimbangan, tapi juga merupakan kemauan bulat yang tanpa keragu-raguan. Orang yang mempunyai tekad yang bulat lagi kuat disebut sebagai orang yang benar-benar kuat dan jujur.

Keempat, memenuhi tekad. Seringkali jiwa dibanjiri dengan kemauan yang kuat pada mulanya, tapi ketika menginjak tahap pelaksanaan, bisa melemah. Karenajanji tekad yang bulat itu mudah, namun menjadi berat ketika dalam pelaksanaan.
Oleh karena itu, Allah Swt. berfIrman: ”Ada orang-orang yang menepati apa yang telah mereka janjikan kepada Allah.” (Q.s. A1-Ahzab: 23).

Allah swt. juga berfirman: “Dan di antara mereka ada yang telah berikrar kepada Allah, ‘Sesungguhnya jika Allah memberikan sebagian karunia-Nya kepada kami, pastilah kami akan bersedekah ... dan pastilah kami termasuk orang-orang yang saleh.’ Maka setelah Allah memberikan kepada mereka sebagian dari karunia-Nya, mereka kikir dengan karunia itu, dan berpaling, dan mereka memanglah orang-orang yang selalu membelakangi (kebenaran). Maka Allah menimbulkan kemunafikan pada hati mereka sampai pada waktu mereka menemui Allah, karena mereka telah memungkiri terhadap Allah apa yang telah mereka ikrarkan kepada-Nya dan (juga,) karena mereka selalu berdusta.” (Q.s. At-Taubah: 75-7).


Kelima, kejujuran dalam beramal. Tidak mengekspresikan hal-hal batin, kecuali batin itu sendiri memang demikian adanya. Artinya, perlu adanya keselarasan dan keseimbangan antara yang lahir dan yang batin. Orang yang berjalan tenang misalnya, menunjukkan bahwa batinnya penuh dengan ketentraman. Bila ternyata tidak demikian, dimana kalbunya berupaya untuk menoleh kepada manusia, seakan-akan batinnya penuh dengan ketentraman, maka hal itu adalah riya’. Sebaliknya, bila hatinya tidak berpaling kepada manusia, tapi tiba-tiba lalai, itu bukanlah riya’. Namun dengan demikian, kejujuran menjadi sirna, karenanya Rasulullah Saw. pun berdoa: “YaAllah, jadikanlah batinku lebih baik daripada lahirku, dan jadikanlah untukku ekspresi lahir yang baik.”



Abdul Wahid berkata, “Hasan Bashri adalah orang yang paling tekun melakukan amal yang diperintahkan, dan paling keras meninggalkan sesuatu yang dilarang. Aku belum pernah menyaksikan orang yang batinnya sama dengan lahirnya.”

Keenam, kejujuran dalam maqam-maqam agama. Ini adalah peringkat kejujuran tertinggi. Seperti maqam takut (khauf), harapan (raja’), cinta (hubb), ridha, tawakal dan lain-lain.

Seluruh maqam tersebut memiliki titik tolak, hakikat dan puncak akhir (klimaks). Sebab dinyatakan pula, “Ini adalah rasa takut yang benar (al-khaufus-shadiq)”, dan, ”ini ada!ah kesenangan yang jujur/ benar (as-syahwah as-shadiq)”. Itu!ah sebabnya Allah Swt. berfirman: “Sesungguhnya orang-orang yang beriman hanyalah orang-orang yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, kemudian mereka tidak ragu-ragu dan mereka berjihad dengan harta dan jiwa mereka pada jalan Allah, mereka itulah orang-orang yang benar.” (Q.s. Al-Hujurat: 15).

Firman-Nya pula: ”Akan tetapi, sesungguhnya kebaktian itu ialah kebaktian orang yang beriman kepada Allah, hari kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, Nabi-nabi, dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan) dan orang-orang yang meminta-minta; dan (memerdekakan) hamba sahaya, mendirikan salat dan menunaikan zakat; dan orang-orang yang menepati janjinya apabila ia berjanji, dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan dan dalam peperangan. Mereka itulah orang-orang yang benar (imannya); ....“ (Q.s. Al-Baqarah: 177).

Inilah tingkatan-tingkatan kejujuran. Orang yang mampu mewujudkannya secara keseluruhan, dialah orang yang benar-benar jujur. Orang yang belum mampu mencapai sebagian peringkat kejujuran, tingkatan dirinya sesuai dengan kadar peringkat kejujuran yang telah digapainya.
Di antara sejumlah kejujuran adalah, pembenaran kalbu bahwa Allah Swt. adalah Maha Pemberi rezeki, dan bertawakal kepada-Nya. Inilah yang perlu kita ingat!

0 komentar: